Jumat, 04 Maret 2011

filasafat

ANSELMUS DARI CANTERBURY
(Erick M. Sila)

ABSTRAKSI

Akhir abad ke 12 ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang luar biasa dalam memberikan suatu harapan akan masa depan yang cerah terutama bagi Filsafat dan Teologi. Anselmus dari Canterbury adalah salah satu pemikir yang sangat terkenal pada masa ini. Ia pantas dikatakan sebagai skolastikus pertama karena karya-karyanya. Ia adalah seorang beriman yang mencari suatu argumen yang masuk akal. Inti pemikirannya adalah “Credo Ut Intelligam” atau “Fides Quaerens Intellectum” yakni kebenaran-kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak mempunyai kekuatan pada dirinya sendiri.

I. Pendahuluan
Filsafat mengalami kemunduran sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-9. Kemunduran filsafat disebabkan karena adanya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Tengah memasuki wilayah Eropa. Perpindahan bangsa-bangsa ke Eropa dan ketidakstabilan politik pada masa itu mengakibatkan kekaisaran Romawi runtuh. Keruntuhan bangsa Romawi mempengaruhi segala peradapannya, baik peradaban kristiani maupun peradaban yang bukan kristiani.
Suatu zaman baru dimulai ketika Karel Agung (742-814) mulai berkuasa di Eropa pada awal abad pertengahan. Pada zaman inilah ilmu pengetahuan dan kesenian mulai diperhatikan. Zaman ini disebut zaman skolastik.
Periode skolastik adalah suatu aliran filsafat yang berdasarkan atas agama dan kepercayaan. Pendapat ini sebenarnya sudah bertentangan dengan sifat filsafat skolastik, sebab filsafat di Eropa pada masa itu tidak berbicara tentang wahyu. Ada ilmu khusus yang berbicara tentang wahyu yaitu Teologia. Kedua ilmu ini tidaklah bertentangan. Bagi para filsuf, berbicara tentang wahyu karena firman Tuhan tidak mungkin salah. Bagi mereka itulah kebenaran dan ini diterima atas wahyu. Anselmus Canterbury adalah salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini. Ia hadir untuk memberikan jawaban atas persoalan mengenai hubungan antara iman dan akal yang merupakan isi dari iman kristen. Jawaban Anselmus Canterbury atas persoalan ini ternyata membawa suatu arah baru bagi pemikiran filsafat.
Anselmus Canterbury berbicara mengenai iman dan wahyu. Hubungan antara budi dengan kepercayaan yang dirumuskan oleh Anselmus ialah “Fides Quaerens Intellectum” dan “Credo Ut Intelligam”.
Filsafat Anselmus mengarah kepada kepercayaan akan agama. Agama menolong manusia untuk memahami secara mendalam tentang Tuhan, manusia dan dunia, seperti yang diyakini oleh setiap orang beriman dewasa ini. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk membahas secara khusus tokoh ini.

II. Riwayat Hidup
Anselmus lahir di Aosta, Piedmont, Italia sekitar tahun 1033 dari pasangan Gondolvo dan Ermenberga. Ayahnya adalah seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah seorang Bugundia yang kaya raya .
Pada waktu ia berumur 27 tahun, Anselmus masuk biara Benediktin di Bec, dekat Rouen Prancis. Berkat kegemilangan intelektuslnya, Anselmus kemudian diangkat menjadi pemimpin biara di Bec menggantikan Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus diangkat menjadi Uskup Agung Canterbury oleh Raja William II.
Dalam kepemimpinannya sebagai Uskup Canterbury, Anselmus tidak selamanya berjalan mulus. Anselmus Sering kali mengalami selisih pendapat dengan raja-raja Inggris. Faktor utama terjadinya perselisihan ialah mengenai kebebasan Gereja-gereja Inggris dari kekuasaan raja, serta peranan paus di Inggris. Akibatnya, Anselmus harus hidup dalam pembuangan di eropa daratan.
Anselmus Canterbury, karena kepandaian dan kegemilangannya, berhasil menulis beberapa karya penting dalam bidang teologi. Inti ajarannya ialah hubungan antara rasio dan iman, yang dikenal dengan itilah “Credo Ut Intelligam”. Ia meninggal dunia pada tahun 1109 dan digelari sebagai “Pujangga Gereja” pada tahun 1720.

III. Doktrin Anselmus
A. Dialektika
Anselmus mengikuti gaya pemikiran Agustinus dan Scotus Eriugena yakni bahwa kebenaran-kebenaran yang disampaikan melalui wahyu, harus dipercaya terlebih dahulu. Bagi Anselmus, rasio tidak mempunyai kekuatan pada dirinya sendiri. Rasio bukanlah satu-satunya jalan yang membawa orang kepada kepercayaan tetapi pertama-tama orang harus percaya telebih dahulu sehingga bisa sampai kepada kebenaran itu:
Aku tidak ingin menembus keagungan-Mu, ya Tuhan, karena daya tangkapku tidak mampu. Namun aku ingin sekedar mengerti kebenaran-Mu, yang hatiku percaya dan kasihi. Karena aku tidak berusaha mengerti agar percaya, melainkan aku percaya agar aku dapat mengerti. Sebab ini aku percaya juga bahwa kalau tidak aku percaya, aku tak mengerti.

Hubungan antara budi dan kepercayaan dilukiskan oleh Anselmus dengan istilah “Fides Quaerens Intellectum” (Iman Mencari Pengertian), dan “Credo Ut Intelligam” (Aku Percaya Untuk Mengerti).
Iman tidak terikat oleh apapun, bahkan akal sekalipun. Akan tetapi, iman dan akal tidak dapat dipisahkan. Hal ini dibuktikan oleh Anselmus bahwa walaupun orang mendapatkan kepastian melalui iman namun berkat dorongan iman akal tergerak untuk menyelami secara mendalam mengenai kebenaran yang di-imani-nya. Berdasarkan imanlah orang sampai kepada suatu kebenaran yang tak tergoyahkan, sebab kepastian iman diperoleh melalui wahyu. Iman dan akal adalah berasal dari Allah. Iman sampai kepada manusia dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan akal adalah penerangan dari yang ilahi.
Anselmus memberikan suatu arah baru bagi pemikiran filsafat terutama bagi pandangan agama kristen. Orang yang percaya akan agama memiliki pengertian tentang Tuhan, manusia, dan dunia secara lebih mendalam. Agama menolong manusia untuk sampai kepada kebenaran itu. Anselmus mempertahankan kemampuan budi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran.
Anselmus yakin akan adanya akal, sehingga ia memohonkan rahmat ilahi untuk menemukan titik terang yang meyakinkan akal (ratio) yakni percaya dengan hati (fides).

B. Argumen Ontologis
Anselmus memiliki argumen ontologis yang sangat terkenal, meskipun Agustinus menganggapnya omong kosong. Walaupun demikian, Anselmus membuat mata mereka terbuka di kemudian hari.
Dalam argumennya mengenai Monologion, Anselmus ingin membuktikan bahwa Allah benar-benar ada. Ia yakin bahwa pasti ada suatu hal yang amat baik, sebagaimana semua hal yang baik memiliki kebaikan.
Adanya sesuatu “yang ada” secara relatif mengandaikan bahwa ada sesuatu “yang ada” secara mutlak yakni Allah. Allah adalah “ada” yang lebih besar dari segala sesuatu yang kita pikirkan. Pengertian tentang Allah yang ada dalam pikiran kita, lebih besar dari apa yang kita pikirkan dan tentunya berada dalam realitas sebagai yang tertinggi dan terbesar. Tidak ada sesuatupun yang lebih besar daripada yang dapat dianggap ada dalam kenyataan. Jadi, tidak ada lagi hal yang dapat kita pikirkan lebih besar dari diri-Nya.
Meskipun uraian ini tidak dapat dikenakan kepada segala hal, misalnya pulau yang indah yang ada dalam khayalan manusia belum tentu ada dalam kenyataan, namun pengertian tentang Allah dimiliki oleh setiap manusia sebagai yang tebesar.
Dalam argumen Monologion, Anselmus tidak hanya menawarkan suatu argumen tentang eksistensi Allah, melainkan juga berbagai atribut yang dikenakan kepada Allah. Jika dalam argumen Monologion Anselmus hanya membuktikan keberadaan Allah, dan mengabaikan sifat-sifat ilahi, maka argumen Monologion yang berbicara tentang eksistensi Allah, dianggap kurang orisinil. Namun pada kenyataannya, konsep tersebut tidak ada yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan, yang ternyata memberikan hasil yang sangat mengagumkan.
Tuhan harus menjadi Yang Mahakuasa, sebab kalau tidak demikian berarti ada seseorang yang lebih besar daripada-Nya. Akan tetapi tidak ada yang lebih besar dari apa yang kita pikirkan, maka Allah adalah Mahakuasa. Ia maha adil, maha kasih, dan maha baik.

C. Cur Deus Homo?
Salah satu karya Anselmus yang sangat terkenal yaitu “Cur Deus Homo” (Mengapa Allah Menjadi Manusia?). Dalam karyanya ini, Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia demi menyelamatkan dosa-dosa kita. Dalam Cur Deus Homo, Anselmus dituduh merendahkan martabat Allah sebagai manusia.
Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia dan mati demi dosa-dosa kita. Serandainya Allah tidak menjadi manusia, maka manusia yang adalah gambaran Allah, akan binasa oleh karena dosa itu sendiri. Oleh karena Allah adalah Maha pengasih, maka Ia sendiri harus menjadi manusia demi memulihkan kehormatan-Nya yang telah rusak. Meskipun manusia telah berbuat dosa tetapi Allah menebusnya, sebab Allah adalah Maha pengasih dan hanya dalam Dialah penebusan itu terjadi. Oleh sebab itu, Allah menjadi manusia melalui Yesus Kristus putera-Nya yang tunggal, yang wafat di salib demi menebus dosa manusia.
Dalam Cur Deus Homo, Anselmus mau menunjukan bahwa penjelmaan dan salib adalah pantas dan masuk akal. Tuduhan bahwa tidak pantas Allah menjadi manusia, telah dijawab oleh Anselmus, sehingga orang yang belum percaya diarahkan kepada kebenaran.

IV. Penutup
Dalam ajarannya mengenai Fides Quaerens Intellectum atau Credo Ut Intelligam, Anselmus memberikan suatu jawaban yang masuk akal bahwa untuk mencapai suatu gambaran yang mendalam tentang Allah, pertama-tama, kita harus percaya terlebih dahulu. Ia menegaskan bahwa budi harus dipergunakan dalam keagamaan. Hal ini bukan berarti bahwa budi adalah segala-galanya, tetapi melalui agama atau kepercayaan, orang dapat sampai kepada suatu pengertian yang jelas. Melalui agama atau kepercayaan, manusia dituntun untuk lebih mengerti tentang Tuhan, manusia, dan dunia.
Dalam argumen ontologisnya, Anselmus membuktikan bahwa Allah benar-benar ada. Allah dirumuskan sebagai yang terbesar yang dapat dibayangkan. Allah berada bukan hanya dalam khayalan tetapi juga dalam kenyataan. Allah adalah mahabaik, dan penuh belaskasih; sehingga Anselmus merumuskannya dalam Cur Deus Homo.
Dalam Cur Deus Homo, Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjelma sebagai manusia. Dosa yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dibayar, maka untuk memulihkan kembali hubungan dengan umat-Nya, Allah mengutus putera-Nya yang tunggal yang rela wafat di salib demi dosa-dosa manusia.
Sebagai orang kristen dan pengikut kristus yang tersalib, hal ini merupakan suatu rahmat yang besar. Kita dituntut untuk menderita bersama Dia. Bagi orang kristen, salib merupakan tanda kemenangan, sebab oleh Dia dan dalam Dia kita memperoleh penebusan.
DAFTAR PUSTAKA


Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Donald J. MC, Wiliam (ed). New Catholic Encyclopedia Volume I. Washington: The Catholic University of America, 1967.
Edwards, Paul (ed). Enciclopedia Of Philosophy. New York-London: Macmillan Co., Inc. & Free Press-Collier Macmillan Publishers, 1972.
Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat Barat Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Snijders, Adelbert. Manusia dan kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Schneiders, Nikolas Martinus. Orang Kudus Sepanjang Tahun. Jakarta: Obor, 1993.
Wijatna, I.R Poedja. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Bina Aksara, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar