Jumat, 04 Maret 2011

Budaya

PENGOLAHAN TANAH MENURUT TRADISI
SUKU DAWAAN
(Erick M. Sila)

I. Pendahuluan
Suku Dawan adalah salah satu suku terbesar dari beberapa suku lain: “ Tetun, Bunak, Helon, Kemak, Rote, dan Sabu” . Suku Dawan menempati seluruh wilayah Timor barat yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat suku Dawan hidup dalam kelompok-kelompok berdasarkan marga ( kanaf ). Setiap kanaf memiliki adat istiadatnya masing-masing. Masyarakat Dawan umumnya sebagai petani. Sifat lain dari suku Dawan adalah masih terdapat begitu banyak ritus keagamaan primitif yang mewarnai setiap kegiatan hidup mereka, meskipun mereka telah memeluk agama kristen.
Masyarakat Dawan mengenal Tuhan (Uis Neno) sebagai dewa tertinggi. Dalam mengolah tanah, masyarakat Dawan meyakini adanya dewa kesuburan. Masyarakat Dawan menyebutnya Uis Pah ( Dewa bumi / penguasa bumi). Dalam bercocok tanam, mereka harus mengadakan sebuah upacara ritual dengan mempersembahkan korban hewan kepada Uis Pah.
Hal ini tidak akan kita pahami tanpa mengetahui hubungan antara bercocok tanam, Tuhan, dan pemujaan terhadap roh dalam tradisi suku Dawan.

II. Peranan Uis Neno dan Uis Pah dalam Pertanian Dawan
Dikatakan bahwa Uis Neno adalah dewa tertinggi yang berkuasa atas alam semesta. Dialah Tuhan yang ada sejak awal mula. Selain itu mayarakat Dawan juga meyakini adanya dewa kesuburan (Uis Pah). Uis Pah diyakini bertanggung jawab atas tanah yang subur:
a. Tuhan atau Uis Neno
Uios Neno adalah dewa langit atau dewa tertinggi yang diyakini oleh masyarakat Dawan. Uis Neno dianggap sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta. Ia adalah dewa pemberi hujan, sinar matahari, atau untuk medapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan.
b. Dewa Bumi atau Uis Pah
Uis Pah adalah sebutan untuk roh yang dianggap berkuasa atas tanah. Menurut kerpercayaan masyarakat Dawan, roh-roh tersebut adalah penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, sungai dan gunung. Dewa ini dianggap sebagai dewi wanita yang mendampingi Uis neno. Setiap roh yang mendiami tempat-tempat tersebut di atas memiliki peranannya masing-masing.
“Roh-roh dan dewa-dewi ini, menurut H.G. Nordholt Schulte adalah berbagai variasi manifestasi dari dewa tertinggi orang Dawan Uis Neno […] dewa tertinggi ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai jenis dewa-dewi rendah lainya dan diberi wewenang untuk menangani daerah-daerah atau bagian-bagian kehidupan tertentu”.

III. Ritus Bercocok Tanam Masyarakat Dawan
Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan umumnya bertani berpindah-pindah tempat. Untuk persiapan lahan, masyarakat Dawan harus melewati beberapa tahap berikut: “(1) tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam (tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)” . Penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau)
Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan. Hal ini bertujuan untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat penggunaan parang.
b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo)
Tiga minggu berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar. Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Dipilih pada sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya. Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna simbolis, yaitu menyeimbangkan kembali kekuatan-kekuatan alam. Bumi yang panas akibat pembakaran kebun memjadi dingin kembali. Dengan demikian mereka berbesar hati untuk mendapatkan hasil yang berlimpah.
c. Tahap Menanam (tapoen fini buke)
Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih tersebut. Sebelum dimohonkan berkat, benih-benih tersebut diletakan di atas sebuah altar batu. hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari serangan semut dan binatang-binatang lain.
d. Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e)
Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini dilangsungkan secara sederhana dengan mempersembahkn seekor hewan korban. Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan lebat.
e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)
Ketika tiba waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan.

IV. Penutup
Suku Dawan adalah sama seperti bangsa-bangsa lain yang juga memiliki budaya dan kultusnya sendiri. Dengan kondisi alam yang tandus dan kering masyarakat Dawan harus bekerja keras. Salah satu cara untuk menjinakkan alam yaitu dengan pemujaan dan penghormatan kepada Uis Pah yang diyakini bertanggung jawab atas kesuburan tanah. Dalam bercocok tanam masyarakat Dawan harus melewati tahap-tahap seperti: tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), tahap menanam (tapoen fini buke), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), dan tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan).
Dengan perkembangan budaya dan pengaruh agama kristen, tempat-tempat pemujaan terhadap dewa-dewi/roh sedikit demi sedikit dianggap sebagai tempat suci dimana Tuhan hadir. Namun praktek ini terkadang masih kita jumpai dalam masyarakat Dawan.
REFLEKSI
Dalam refleksi ini, saya menemukan bahwa: Tradisi atau kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat Dawan adalah masyarakat kultur yang meyakini adanya dewa-dewi seperti halnya bangsa-bangsa lain. Dalam Perjanjian Lama dikisahkan bahwa, ketika melintasi padang gurun bangsa Israel dilindungi oleh yahwe yang selalu menang perang. Ketika memasuki tanah terjanji, mereka harus memulai cara hidup yang baru. Di mana mereka harus mulai tinggal menetap dan mengolah tanah untuk mempertahankan hidup mereka. Bangsa Israel melakukan praktek pemujaan kepada Yahwe yang dianggap dapat memberikan hasil panen yang berlimpah kepada mereka. Demikian halnya dengan masyarakat Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah.
Ritus-ritus kepercayaan dan pemujaan kepada dewa-dewi atau roh-roh tertentu, secara tidak langsung telah membentuk suatu kepercayaan akan adanya suatu yang lebih tinggi dan bersifat Ilahi.
Ritus-ritus kepercayaan inilah yang pada akhirnya membawa mereka kepada pemahaman akan Allah yang satu dan mahatinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar