Sabtu, 26 Mei 2012

KITAB SUCI: PAULUS MEMBELA KEBENARAN AJARANNYA DI YERUSALEM (Uraian Eksegetis Atas Galatia 2:1-10) Oleh: Erick M. Sila

I. Pengantar Sejak semula Paulus telah dipilih Allah untuk menjadi pewarta Sabda-Nya. Pilihan Allah atas diri Paulus terjadi secara defenitif ketika ia sedang dalam perjalanannya ke Damsyik. Paulus dipanggil Allah dari jalan yang jahat kepada jalan yang benar; dari seorang penganiaya jemaat Allah kepada pewarta Sabda Allah. Menjadi seorang pewarta Injil bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Paulus. Banyak tantangan dan halangan yang ia hadapi. Menghadapi tantangan yang berat, dibutuhkan ketahanan dalam diri Paulus. Ia harus memilih jalan mana yang harus diikuti. Maju dalam pewartaan sabda Allah itu atau menyerah saja kepada keadaan. Paulus menyadari bahwa panggilan untuk mewartakan Injil diberikan oleh Allah dan bukan dari manusia. Allah yang menyatakan diri kepada Paulus. Kesadaaran akan panggilan Allah adalah kunci bagi Paulus untuk terus mewartakan Injil. Di Galatia ada pertentangan di antara kelompok-kelompok. Persoalan ini beasal dari pewartaan Paulus kepada mereka. Paulus dituduh oleh orang-orang Yahudi sebagai penyebar ajaran sesat dan bertentangan dengan hukum taurat. Oleh karena itu, ada “saudara-saudara palsu” yang menuntut umat Galatia agar menyerupai umat di Yerusalem. Tekananya pada hukum taurat yakni tentang sunat. Bagi orang Yahudi, hukum taurat adalah hukum yang harus ditaati secara radikal. Dengan demikian, pewartaan Paulus di tengah-tengah orang tak bersunat atau kaum kafir adalah pelanggaran besar. Orang-orang Yahudi menekankan taurat, menekankan sunat dan adat istiadat, sedangkan Paulus menekankan iman. Bagi Paulus iman akan Yesus Kristus yang bangkit adalah yang menyelamatkan. Tuduhan inilah yang menyebabkan Paulus datang ke Yerusalem untuk membela pewataannya. Untuk memahami secara lebih mendalam tentang perikop ini, penulis akan mebahasnya dalam eksegese berikut. II. Eksegese Perikop Gal 2:1-10 1 Kemudian setelah lewat empat belas tahun, aku pergi pula ke Yerusalem dengan Barnabas dan Titus pun kubawa juga. 2 Aku pergi berdasarkan suatu penyataan. Dan kepada mereka kubentangkan Injil yang kuberitakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi – dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpandang -, supaya jangan dengan percuma aku berusaha atau telah berusaha. 3 Tetapi kendatipun Titus, yang bersama-sama dengan aku, adalah seorang Yunani, namun ia tidak dipaksa untuk menyunatkan dirinya. 4 Memang ada desakan dari saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang menyelundup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Kristus Yesus, supaya dengan jalan itu mereka dapat membebankan kita. 5 Tetapi sesaatpun kami tidak mau mundur dan tunduk kepada mereka, agar kebenaran Injil dapat tinggal tetap pada kamu. 6 Dan mengenai mereka yang dianggap terpandang itu bagaimana kedudukan mereka dahulu, itu tidak penting bagiku, sebab Allah tidak memandang muka – bagaimanapun juga, mereka yang tepandang itu tidak memaksakan sesuatu yang lain kepadaku. 7 Tetapi sebaliknya, setelah mereka lihat bahwa kepadaku telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti kepada Petrus untuk orang-orang bersunat 8 – karena Ia yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, Ia juga yang telah meberikan kekuatan kepadaku untuk orang-orang yang tidak bersunat. 9 Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes yang dipandang sebagai sikoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat; 10 hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya. Eksegese: Ayat 1: Dalam ayat pertama ini, Paulus mengisahkan tentang perjalanannya yang kedua ke Yerusalem. Dikatakan: “Setelah empat belas tahun”, tetapi tidak dikatakan dengan jelas setelah apa. Ada yang mengatakan empat belas tahun setelah pertobatannya, ada yang mengatakan setelah kunjungannya yang pertama kepada Petrus dan ada juga yang mengatakan setelah karyanya di Siria dan Kilikia, seperti yang dikatakan oleh G. Luedemann. Dalam ayat ini, Paulus juga menyebutkan orang-orang yang menyertainya dalam perjalanan itu. Orang-orang itu adalah Barnabas dan Titus. Titus adalah seorang Yunani, seorang yang bukan Yahudi. Maksud Paulus menempatkan sosok Titus di sini kiranya jelas bahwa Paulus ditugaskan oleh Allah untuk memberitakan Injil di tengah orang-orang bukan Yahudi selama itu. Paulus mewartakan Injil di tengah orang-orang kafir dan tidak bersunat. Ayat 2: Di sini Paulus menegaskan: “Aku pergi berdasarkan suatu penyataan”. Yang di maksud di sini bahwa Paulus pergi mewartakan Injil di tengah orang-orang bukan Yahudi atau orang-orang kafir adalah atas penyataan kehendak Allah. Ia pergi bukan atas kehendak sendiri atau atas kehendak orang lain, melainkan atas kehendak Allah. Allahlah yang menyatakan perintah-Nya kepada Paulus untuk mewartakan sabda-Nya di tengah orang-orang kafir, kepada jemaat di Galatia. Kepada jemaat inilah Paulus membentangkan Injil Kristus yang bangkit. Maka atas perintah Allah, Paulus tidak meragukan ajarannya. “Dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpadang”. Yang dimaksudkan Paulus di sini ialah tokoh-tokoh agama di Yerusalem yakni Kefas, Yakobus dan Yohanes. Dalam sebuah pertemuan pribadi dengan mereka, Paulus menjelaskan ‘kabar gembira’ yang ia sampaikan kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi selama waktu yang telah lewat. Paulus menyadari bahwa hal ini sangat penting dan harus diselesaikan dengan baik. Apalagi hal ini menyangkut ajaran iman Kristen menegenai Kristus yang bangkit. Oleh karena itu, Pulus berusaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa ajaran yang satu dan yang sama tentang Yesus kristus yang bangkit, itu juga yang ia wartakan di tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi. Jadi, bukan ajaran yang lain. Persoalan megenai Sabda Allah adalah masalah serius bagi Paulus. Dengan demikian, ia bekerja keras untuk meyakinkan tokoh-tokoh agama di Yerusalem agar jangan menjadi sia-sia apa yang telah ia lakukan. Paulus menyadari bahwa walaupun ia telah berhasil membuat banyak orang bertobat oleh karena Sabda Allah yang ia wartakan, tetapi kalau tidak ada dukungan dari Petrus, Yakobus dan Yohanes, maka semuanya akan sia-sia. Paulus khawatir akan perpecahan yang akan terjadi di antara jemaat Yahudi (kaum bersunat) dan jemaat bukan Yahudi (kaum tak bersunat). Kenyataan bahwa memang ada perbedaan di antara dua kelompok jemaat Allah ini. Akan tetapi bagi Paulus, jemaat Kristen Yahudi dan jemaat Kristen bukan Yahudi adalah satu di dalam Allah. Namun semuanya ini akan sia-sia jika tidak ada pengakuan dari tokoh-tokoh jemaat di Yerusalem. Ayat 3: Dalam ayat ini, dengan jelas digambarkan bahwa masalahnya ialah tentang bersunat dan tidak bersunat. Persoalan ini dengan jelas merujuk pada Titus, seorang Yunani yang telah menjadi Kristen tetapi tidak bersunat. Menurut pemahaman Yahudi, setiap orang yang masuk dalam kelompok mereka harus mentaati hukum taurat. Hal ini berdampak juga bagi orang-orang Yahudi yang telah menjadi Kristen. Bagi mereka, setiap orang yang menjadi Kristen wajib mentaati hukum taurat, adat-istiadat dan sunat. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa bukan taurat yang meyelamatkan tetapi iman akan Yesus Kristus yang bangkit itu yang menyelamatkan. Fakta bahwa Titus tidak bersunat namun telah menjadi Kristen, merupakan kesempatan yang baik bagi mereka untuk menyerang Paulus. Ayat 4: Paulus mengatakan bahwa ada beberapa saudara yang berusaha membelokan ajaran Paulus. Ia menyebut mereka sebagai “saudara-saudara Palsu”. Paulus menyebut mereka “saudara palsu” karena mereka menyebut diri orang Kristen, Pengikut Kristus, tetapi cara hidup mereka tidak menunjukan identitas tersebut. “Saudara-saudara palsu” ini menghasut para pengikut Paulus untuk menyerang Paulus. Mereka selalu memata-matai Paulus dalam karyanya. Dari itu, mereka berharap dapat menemukan bukti yang cocok untuk memaksa Paulus dan pengikutnya mengikuti tata cara ritual di Yerusalem. Dalam menghadapi mereka, Paulus mengatakan bahwa mereka membatasi kebebasan Paulus. Tekanan Paulus mengenai kebebasan bukan pada dirinya sendiri, melainkan dalam Kristus, sebab hanya dalam Dialah kita bebas (Gal 3:28). Ayat 5: Atas dasar itulah Paulus bertahan terhadap mereka. Paulus bertahan terhadap usaha penghancuran dan pembatalan terhadap Injil. Ia berjuang mati-matian demi kebenaran Injil. Memang, kebenaran itu hanya ada dalam Injil dan tidak ada kebenaran lain selain Injil Kristus itu sendiri. Kebenaran itulah yang dipersolkan oleh beberapa saudara palsu. Oleh karena itulah Paulus mengatakan: “Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum taurat, maka sia-sialah kematian Kristus (bdk Gal 2:21). Ayat 6: Mengenai para pemimpin jemaat di Yerusalem, Paulus sangat menghargai dan menghormati mereka. Akan tetapi Paulus tidak melihat kedudukan di antara mereka itu sebagai sesuatu yang mutlak. Mungkin yang dimaksudkan Paulus tentang “bagaimana kedudukan mereka dahulu” adalah bahwa mereka mengenal Yesus sewaktu Ia masih berada di dunia. Mungkin juga Paulus membandingkan kehidupan mereka dan kehidupannya sendiri sebelum pertobatannya. Akan tetapi, karena kuasa kasih dari Allah, Paulus dipilih dan diangkat menjadi pewarta sabda Allah, sama seperti rasul-rasul yang lain. Atas dasar inilah Paulus berbicara menegenai mereka yang terpandang dan bagaimana kedudukan mereka dahulu, tidak penting bagi Paulus. Paulus menyadari bahwa Allah tidak memandang muka. Allah yang memanggil setiap orang menurut ketetapan-Nya. Yang terpenting adalah bahwa para pemimpin jemaat itu tidak memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan Injil Tuhan kepada Paulus. Ayat 7-8: Para pemimpin Jemaat Yerusalem melihat bahwa Allahlah yang memberikan kepercayaan pemberitaan Injil kepada Paulus. Tugas itu diberikan dari Allah dan diperuntukkan bagi orang-orang tak bersunat, sama seperti kepada Petrus bagi orang-orang bersunat (Yahudi). Di sini ditunjukkan dengan jelas bahwa tugas yang dijalankan oleh Petrus maupun Paulus, berasal dari Allah yang satu dan yang sama. Dari Allah yang satu dan yang sama itu juga Paulus mendapat tugas mewartakan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi (tak bersunat). Demikian juga kepeda Petrus untuk orang-orang Yahudi (bersunat). Ayat 9: Kerja keras Pulus untuk mentobatkan orang-orang kafir dan ketahanan Paulus dalam mewartakan Injil, sangat berkesan bagi para pemimpin jemaat di Yerusalem. Mereka melihat bahwa Allah yang berkarya dalam diri Paulus. Maka mereka berjabat tangan dengan Paulus sebagai tanda persekutuan. Mereka yakin bahwa Allah di pihak mereka. Yakobus, Petrus dan Yohanes yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, menyetujui pendapat mereka (Paulus dan Barnabas) dan menyebut mereka dalam kalangan para rasul. Setelah berjabatan tangan, mereka masing-masing melanjutkan tugas pewartaan yakni Petrus bagi orang-orang bersunat, sedangkan Paulus untuk orang-orang tak bersunat. Di sini juga nampak ada pembagian wilayah antara Petrus dan Paulus. Ayat 10: Hal terakhir yang dikatakan Paulus adalah bahwa ia harus mengingat orang-orang miskin. Di sini jelas bahwa walaupun Paulus mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, ia tetap menjaga dan menjalin hubungan dengan orang-orang Kristen Yahudi. Ia selalu mengingat orang-orang miskin yang tinggal di Yudea. Mengenai orang miskin, Paulus sangat menaruh kasih kepada mereka. Hal ini nampak dari perhatian Paulus yakni dengan mengirimkan persembahan setiap tahun untuk gereja di Yerusalem. III. Penutup dan Refleksi Paulus adalah orang pilihan Allah yang ditugaskan untuk mewartakan sabda-Nya. Paulus menerima panggilan Allah itu dan melaksanakannya dengan setia dan bakti. Ia tidak gentar terhadap tantangan-tantangan yang datang menimpa dirinya. Ia yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah akan selalu bersamanya. Ia tahu bahwa tugas ilahi ada padanya, maka tentu juga ia tahu bahwa kekuatan ilahi akan menyertainya dalam mengemban tugas itu. Persoalan mengenai sunat dan tidak bersunat adalah masalah besar dan berat bagi Paulus. Akan tetapi, Paulus tetap berpegang teguh pada kebenara Injil yakni bahwa keselamatan setiap orang tidak tergantung dari sunat atau tidak bersunat melainkan iman akan Yesus Kristus yang bangkit, itu yang menyelamatkan. Dalam mewartakan sabda Allah, kita juga sering dihadapkan dengan persoalah-persoalan yang menyangkut budaya atau adat istiadat tertentu. Di sini kita dituntut untuk mengambil sikap dan keputusan sesuai dengan kehendak Allah. Jadi bukan atas kehendak sendiri atau atas kehendak orang lain yang memeiliki kepentingan tertentu, melainkan atas kehendak Allah. Dalam mengambil suatu kebijakan atau keputusan, hendaknya kita mengikuti teladan Paulus. Paulus tidak secara gegabah mengambil keputusan pada saat menghadapi tantangan dan halangan dalam pewartaannya. Sekalipun ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat, Paulus merasa perlu berbicara dengan para pemimpin jemaat. Salah satu sikap buruk yang harus diatasi pada manusia sekarang ini adalah kecenderungan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Bagaimanapun juga kekerasan tidak akan menyelesaikan suatu masalah. Sikap lain yang ditunjukkan Paulus adalah sikap kerendahan hati. Sikap ini ditunjukkan Paulus kepada para pemimpin jemaat di Yerusalem. Paulus sangat menghargai dan menaruh hormat kepada mereka. Walaupun demikian, sikap ini tidak mengurangi keteguhan Paulus dalam mepertahankan kebenaran Injil. Sikap hormat yang ditunjukan Paulus ini bukan untuk mendapatkan restu dari manusia melainkan restu Allah.

LITURGI: SIMBOL GARAM DALAM LITURGI GEREJA (Oleh: Erick M. Sila)

I. Pendahuluan Perayaan-perayaan Gereja Katolik syarat dengan simbol-simbol. Melalui simbol, Gereja secara simbolis mengungkapkan makna terdalam dari sebuah perayaan. Simbol merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari perayaan-perayaan liturgi Kristen. Simbol bukan hanya sebuah ekspresi tetapi terutama sebagai lambang sakramental yang menghadirkan Kristus, iman Gereja dan realitas hidup umat Kristen yang baru di dalam Roh Kudus. Orang-orang Kristen memakai simbol dalam liturgi untuk menyatakan relasinya dengan Allah dan komunitasnya. Salah satu simbol yang dikenal dan dipakai dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja Katolik adalah garam. Berbicara tentang garam, semua orang tentu sudah mengenal apa itu garam, bagaimana rasanya, warna, sifat dan manfaatnya dalam kehidupan manusia. Garam adalah salah satu kebutuhan primer dari manusia. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur yang tidak diberi garam. Pasti terasa hambar dan tidak enak untuk dinikmati. Garam sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Selain berguna untuk kebutuhan manusia sehari-hari, garam juga bermanfaat untuk keperluan rohani khususnya digunakan dalam perayaan-perayaan liturgi Kristen. Yang menjadi pertanyaan kita adalah apa sebenarnya manfaat garam itu dalam kehidupan manusia dan apa makna yang terkandung di dalamya, serta bagaimana garam itu digunakan dalam tradisi Kitab Suci, sehingga Gegreja menjadikan garam serbagai salah satu simbol dalam perayaan-peyayaan liturgi. Akan tetapi, ada persoalan bahwa simbol garam ini sangat sedikit dibahas dalam buku-buku liturgi. Hal ini mungkin karena pada zaman sekarang ini, garam hanya digunakan secara fakultatif dalam pembaptisan dan pemberkatan air suci. Walaupun demikian, penulis mencoba membahasnya secara lebih mendalam pada paper ini. II. Garam A. Manfaat dan Sifat-sifat garam Untuk mengetahui manfaat dan sifat-sifat garam, pertama-tama kita harus mengetahui apa itu garam. Menuru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) garam adalah senyawa kristalin (NaCl) yang merupakan clorida dan sodium. Sedangkan menurut Ensiklopedi Umum, garam adalah zat biasa yang banyak dipakai oleh manusia, dan merupakan bagaian terbesar dari pada semua zat padat yang larut dalam air laut dan danau asin; juga didapatkan sebagai endapan besar garam karang. Berbicara tentang garam, semua orang tentu mengenal apa itu garam. Akan tetapi, kalau kita ingin mengetahui apa gunanya garam tanyalah kepada ibu-ibu, pastilah mereka tahu apa gunanya. Karena garam adalah bumbu masak utama di setiap dapur rumah tangga. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur atau makanan yang tidak diberi garam? Bagaimana reaksi kita pada saat memakannya? Pasti kita akan merasa cemberut dan marah-marah. Akan tetapi, jika sayur atau makanan itu diberi garam yang cukup pasti akan menjadi nikmat dan kita pasti merasa senang dan bahagia dalam menikmatinya. Manfaat garam yang kedua adalah mengawetkan. Salah satu contoh nyata dalam kehidupan kita adalah adanya ikan asin, yaitu ikan yang diawetkan dengan garam. Demikian juga dengan daging. Daging yang telah dicampur dengan sedikit garam, bisa disimpan lama tanpa membusuk. Sifat-sifat dari garam adalah berwarna putih, rasa asin dan dapat larut dalam air. B. Pemakaian Garam dalam Kitab Suci Dalam tradisi Kitab Suci, garam sudah biasa dikenal masyarakat dan banyak digunakan dalam berbagai macam keperluan sehari-hari. Orang-orang Fenisia mengumpulkan garam dari hasil penguapan air laut yang berasal dari tambak-tambak yang ada, sedangkan orang-orang Ibrani mengumpulkan garam yang banyak tersedia di tepi laut mati. Di tepi laut mati banyak ditemukan persediaan garam dan tempat ini biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan peristiwa hukuman Allah atas Sodom dan Gomora, di mana istri lot berubah menjadi patung garam ketika ia melawan perintah Allah (Kej 19:26). Garam dipakai baik untuk keperluan jasmani (sebagai bumbu masakan), maupun keperluan rohani atau ritual. Dalam uacara-upacara ritual bangsa Israel, garam digunakan untuk memurnikan persembahan-persembahan yang dikurbankan. Selain itu, garam juga digunakan sebagai pengawet dan sebagai tanda “perjanjian garam” dengan Allah. Dalam Kitab Suci, garam juga digunakan untuk memurnikan air. Nabi Elisa menggunakan garam untuk memurnikan dan menyehatkan air yang tidak baik pada mata air di Yerikho (2 Raj 2:19-22). Bayi-bayi yang baru lahir diolesi dengan garam sebelum dibedunggi (Yeh 16:4). Yesus sendiri mengatakan “Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13). Perkataan Yesus ini bukanlah sebuah perintah “kamu harus menjadi garam dunia”, melainkan: “kamu adalah garam dunia”. Garam pada zaman Yesus adalah sesuatu yang sangat penting dan bahkan sangat mahal. Garam pernah disebut “emas putih” karena digunakan sebagai alat pembayaran. Di bawah pemerintahan Antiokhus Epifanes, Siria menetapkan pajak garam untuk dibayarkan kepada Roma. III. Pemakaian Garam dalam Liturgi Garam merupakan salah satu simbol yang dipakai dalam liturgi Kristen. Garam dalam liturgi dipakai sebagai simbol kerendahan hati dan kebijaksanaan. Pada tahun 1969, garam yang telah dicampurkan dengan air, diberkati oleh imam untuk digunakan dalam upacara pembaptisan. Dalam liturgi kita garam hanya digunakan secara fakultatif bagi persiapan pembaptisan dan pemberkatan air suci. Garam yang telah dicampurkan dengan air pembaptisan menyebabkan pembebasan dari dosa serta mengantar orang masuk ke dalam kehidupan Tritunggal Mahakudus, karena orang yang dibaptis mengambil bagian dalam misteri paskah Kristus. Selain dalam berbagai upacara liturgis, garam juga digunakan dalam upacara pengusiran roh-roh jahat. Dalam salah satu poin yang terdapat dalam Traditio Apostolica-nya, Hipolitus melaporkan bahwa beberapa minggu sebelum malam paskah yakni masa intensif untuk persiapan babtis bagi mereka yang terpilih sebagai orang-orang yang dipanggil Tuhan masuk dalam jemaat keselamatan, mereka juga diikutsertakan dalam ibadat sabda dan aneka kegiatan liturgis lain. Misalnya, mengikuti kegiatan liturgi: eksorsisme, penumpangan tangan, pemberian tanda salib (di dahi), penyerahan credo, doa Bapa Kami dan pemberian garam. Fungsi khusus dari garam ini adalah untuk melindungi tubuh atau tempat-tempat dari gangguan atau kekuatan roh jahat. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1237 dikatakan bahwa: Karena pembaptisan adalah tanda pembebasan dari dosa dan penggodanya, ialah setan, maka diucapkan satu atau beberapa eksorsisme ke atas orang yang dibaptis atau meletakan tangan di atasnya; sesudah itu orang yang dibaptis menyangkal setan. Dikisahkan bahwa seorang ibu mengunakan air suci yang sebelumnya telah dicampur garam untuk menyeduk kopi atau teh yang akan diberikan kepada anak atau suaminya yang diduga terkena roh jahat. Santa Theresia dari avila mengatakan bahwa tidak satupun yang mampu membuat roh jahat lari tunggang-langgang tanpa berpaling kecuali air suci. Garam dalam liturgi kita dipakai sebagai simbol pembersihan (bdk. Im 2:13; 2 Raj 2:20-22), baik pembersihan dari dosa mapun dari kekuatan-kekuatan jahat. Fungsi garam memiliki hubungan yang erat dengan misi Yesus bagi manusia. Yesus pernah bersabda: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apa ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13). “Kamu adalah garam dunia”. Yang ingin dikatakan Yesus terutama adalah kamu sangat berharga dan penting bagi misi kerajaan Allah di dunia. Artinya, kita mempunyai tugas penting di dunia ini untuk menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan yang baik, menyembuhkan segala sesuatu yang sakit, menyelamatkan, dan sebagainya. Garam hanya ada gunanya apabila dipakai. Garam jarang ditemukan dalam bentuk yang murni. Garam semacam ini terjadi dari karang atau fosil. Karena ketidakmurnian dan perubahan-perubahan kimiawi, membuat garam itu cepat rusak dan menjadi tawar apabila disimpan terlalu lama. Garam yang disimpan lama sama saja dengan dibuang dan diinjak-injak orang. Sama dengan Gereja dan kekristenan kita. Hanya ada gunanya kalau melakukan fungsi dan misinya di dunia ini. Itulah yang telah dilakukan Gereja melalui simbol garam ini. IV. Penutup dan Refleksi Garam merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Garam dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai keperluan. Garam dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik, menyembuhkan yang sakit, dan menyelamatkan. Fungsi garam tidak hanya dilihat sebagai salah satu kebutuhan jasmani saja (sebagai pengewet makanan), melainkan juga untuk kebutuhan dan keperluan rohani. Garam digunakan dalam liturgi Gereja Katolik sebagai simbol pemurnian atau pembersihan dari dosa, pengusiran roh jahat dan menyelamatkan. Melalui simbol garam yang diterima bersama dengan air pada waktu pembaptisan, kita diterima menjadi anggota jemaat baru kerajaan Allah. Melalui pembaptisan kita dibebaskan dari dosa dan melestarikan kembali hubugan kita dengan Allah yang telah rusak. Garam dalam perayaan liturgis lain seperti eksorsisme, berfungsi membebaskan dan menyembuhkan manusia dari ikatan roh jahat. Menjadi garam dunia berarti mampu memberikan rasa yang lebih kepada dunia, dengan membahagiakan orang lain, bukan membahagiakan diri sendiri. Kita dipanggil untuk menyaksikan dan mewujudkan cinta kasih Allah di dunia ini. Dengan menjadi alat misi kasih Allah, kita dapat memberikan rasa yang berbeda kepada dunia. Garam mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil dan diutus untuk memelihara ciptaan Allah yang semakin terancam dan rusak. Selain itu, sebagai orang Kristen, kita juga diberi tugas untuk memulihkan kembali hubungan-hubungan yang rusak baik antara sesama manusia, maupun keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan dengan Allah penciptanya. Garam menyelamatkan. Sebagai orang Kristen kita diberi tugas dan tanggungjawab untuk melindungi keluarga dan orang-orang di sekitar kita dari setan dan pengaruh jahat lainnya. Misalnya, judi, pelacuran, minuman keras, narkoba dan tindakan jahat lainnya. Hal terakhir yang harus kita pelajari dari salah satu sifat garam adalah larut dalam masakan, tidak tampak oleh mata tetapi pengaruhnya terasa. Nah, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus berani mengorbankan diri sendiri, berani mentransformasikan diri dalam dunia di mana kita berada. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, Pengikut Kristus, kita harus meneladan sifat-sifat garam itu. Kita harus berusaha menjadi suci, putih seperti garam. Dalam kehidupan berkomunitas dan bermasyarakat, kita larut di dalamnya, tanpa menonjolkan diri tetapi keberadaan kita bisa memberi warna terhadap lingkungan di mana kita berada. BUKU SUMBER: Johanis Sembiring, Liturgi Fundamental (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 17. (diktat). Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Litusrgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 148. Hasan Alwi et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 335. Hasan Shadily, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 353. Bdk. Ayb 6:6; Mat 15:13. Bdk. Bar 6:27; Im 2:13. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 326. George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible (Nashville, United States of America: Abingdon Press, 1986), hlm. 167. Bdk. Mat 5:13; Mrk 9:50; Kol 4:6. Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh stefen Leks – A. S Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 236; bdk juga Im 2:13; Yeh 43:24; Mrk 9:49. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (judul asli: The New Bible Dictionary), diterjemahkan oleh R. Soedarmo et al (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), hlm. 327; bdk juga Bil 18:19; 2 Taw 13:5. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 327. Rev. Jovian – P. Lang, Dictionary of the Liturgi (New York: Catholik Book Publishing Co., 1989), hlm. 572. Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar…, hlm 148. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologi, Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 225. Katekismus Gereja Katolik 1998, edisi resmi bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Percetakan Arnoldus, 1998), no. 1237. Gabriele Amorth, Seorang Eksorsis Menceritakan Kisahnya (Jakarta: Mrian Centre Indonesia, 2010), hlm. 155. Scott Hahn, Tanda-tanda Kehidupan: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya (Malang: Dioma, 2011), hlm. 38. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 237.

Kamis, 24 Mei 2012

Kristus Sang Penyelamat Tunggal: Sebuah Refleksi Atas Teologi Tentang Agama-agama (Oleh: Erick M. Sila)

Setelah mempelajari teologi tentang agama-agama, saya lebih memahami bagaimana konsep tentang Allah dalam agama-agama dan bagaimana agama Kristen berhadapan dengan mereka perihal paham tentang keyakinan akan Allah yang satu dan yang sama. Sebagai agama wahyu, agama yang benar, (Kristus sebagai penyelamat tunggal bagi seluruh umat manusia), agama Kristen harus mengambil sikap yang nertal. Gereja Katolik harus membebaskan diri dari sikap egoisme dengan terbuka terhadap agama lain demi membangun sebuah dialog. Sikap tebuka bukan berarti agama Kristen harus melebur dan membentuk satu agama besar, melainkan mepertanggungjawabkan iman Kristen, bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat Tunggal. Mewartakan Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit. Dengan demikian, Gereja mengambil sikap menerima setiap perbedaan yang dimiliki setiap agama, akan tetapi agama lain diakui belum sempurna. Oleh karena itu, yang belum sempurna itu harus disempurnakan dalam dan melaui Yesus Kristus. Melaui sebuah refleksi yang mendalam, saya menemukan kekuatan dan pengakuan luar biasa, bahwa Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia. Yesus Kristus adalah Sang Penyelamat. Ketika merenungkan hingga titik ini, saya secara pribadi menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak dapat saya pungkiri. Kiranya kebenaran-kebenaran ini juga merupakan pengalaman semua orang. Kebenaran yang saya maksudkan di sini adalah jalan-jalan yang dipakai Yesus untuk keselamatan manusia. Kebenaran-kebenaran ini merupakan hal yang sangat hakiki dan universal terjadi dalam kehidupan manusia. Kebenaran ini tidak bisa kita hindari dalam kehidupan kita sehari-hari. Jalan kebenaran itu ialah jalan salib. Salib adalah kesaksian cinta paling tinggi yang diajarkan Yesus kepada manusia. Di salib ada cinta, pengorbanan, keadilan, kerendahan hati, kemiskinan dan pemberian diri. Di salib terkandung semua yang baik, benar dan positif. Bagaimanapun juga saya dan kita semua tidak bisa menyangkal semua kebenaran ini, sebab semua ini sudah kita alami dalam kehidupan kita setiap hari. Misalnya, pengalaman dicintai, pengalaman menderita, pengelaman keadilan dan ketidakadailan, dan sebagainya. Saya sangat beryukur karena saya adalah seorang katolik, lahir dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan katolik, dan bahkan lebih lagi dipanggil untuk bekerja di lading anggur-Nya. Walaupun demikian, belum tentu saya selamat jika tidak menamalkan dan menghayati iman itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya bersyukur karena boleh mengenal Kristus. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana dengan saudara-saudaraku non-kristen? Mereka tidak atau belum mengenal Kristus. Lalu bagaimana mereka bisa selamat? Jawabannya ialah bahwa mereka juga bisa selamat karena iman implisit. Mereka akan selamat karena agama dan imannya kepada Allah. Agama-agama non-kristen juga mengajarkan hal-hal yang baik seperti Kristus ajarkan yakni: cinta, keadilan, pengorbanan, kejujuran, kebaikan dan sebagainya. Ketulusan hati setiap orang yang terdorong untuk selalu melakukan hal-hal yang baik, benar dan positif itu, mereka akan memperoleh keselamatan. Maka, iman semacam ini dinamakan iman implisit yang selalu mengarahkan hidupnya kepada yang eksplisit itu yakni Yesus Kristus sang penyelamat seluruh umat manusia. Dengan demikian, orang seperti ini akan lebih mendapat jaminan, daripada seorang Kristen yang hidup tidak sesuai dengan ajaran Kristus sendiri. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, penganut Kristus sejati, saya harus harus menyatakan dan mewartakan Kristus kepada setiap orang melalui sikap, tutur kata dan perbuatan saya setiap hari. Inilah tugas seorang pengikut Kristus.

EKOLOGI: PANGGILAN KERJA MANUSIA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Oleh: Erick M. Sila)

I. Pendahuluan Sejak semula manusia dipanggil untuk mengusahkanan alam melalui pekerjaan-pekerjaannya. Ketika Allah menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan - Ia Befirman: “Sungguh amat baik”. Lalu Allah meberkati mereka, dan berfirman: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alam. Hanya melalui dan di dalam alam, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Kerja adalah “bersibuk dengan alam”. Dewasa ini, manusia semakin tergoda untuk meningkatkan prestasinya dalam bidang kerja. Akibatnya, orang berlomba-lomba untuk bekerja, sering juga dengan mengorbankan alam demi kepentingannya sendiri. Alam semakin dieksploitasi sehingga alam sering dipandang hanya sebagai sarana atau alat bagi manusia. Padahal kerja itu akan menjadi bermakna apabila manusia “memanusiakan” dunia sehingga lingkungan alam yang “dimanusiakan” itu pada akhirnya memanusiakan manusia. Manusia melalui kerjanya yang secara tidak terkendali mengeksploitasi alam demi kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan kerusakan alam yang terjadi. Karl Marx mengatakan bahwa ketika manusia pertama kali memetik buah yang terlarang, ia menggunakan tangannya sebagai alat genggam. Manusia jatuh dalm dosa karena tindakannya. Persoalan inilah yang menarik bagi penulis untuk membahasnya secara mendalam pada paper ini. II. Panggilan Kerja Manusia A. Latar Belakang Biblis Manusia adalah mahkluk yang bekerja. Hal ini mau menandaskan bahwa kerja tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia, sebab sejak awal mula manusia telah dipanggil untuk bekerja. Panggilan terhadap manusia untuk bekerja didasarkan pada Kitab Suci khususnya Kitab Kejadian. Di mana Allah pertama-tama menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Ketika Allah menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan - Ia Befirman: “Sungguh amat baik”. Lalu Allah meberkati mereka, dan berfirman: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Memang perintah untuk bekerja tidak secara eksplisit dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Kejadian tersebut. Tetapi, dari ayat-ayat tersebut kita dapat menemukan perintah yang mengacu pada kerja, yakni perintah yang harus dilaksanakan di dunia sebagai Citra Allah. Dengan melaksanakan perintah itu, manusia memerankan Allah yang bekerja. Kerja merupakan pelaksanaan perintah Allah yang dinyatakan dalam alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian, kerja adalah kodrat manusia yang tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Kerja merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk ciptaan yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya, Laborem Exercens. Dalam ensiklik tersebut, ia menegaskan bahwa hanya manusialah yang bekerja dan tidak setiap kegiatan untuk melestarikan hidup disebut kerja. Melalui karyanya, manusia mengisi dan mengembangkan dirinya di dunia. B. Kerja Sebagai Partisipasi dalam Ciptaan Allah Manusia diciptakan oleh Tuhan di dunia ini supaya ia menjadi manusia yang lebih manusiawi. Manusia juga diciptakan untuk mewakili Tuhan pada mahkluk-mahkluk lain. Hal ini bisa diwujudkannya dengan dan dalam pekerjaan. Manusia diberi tugas bersama dengan orang lain untuk membangun dunia secara lebih manusiawi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa, manusia melalui kerja tangan maupun teknologi mengolah alam, harus berusaha agar dapat menghasilkan buah sebagai yang layak bagi umat manusia. Dengan demikian, manusia sadar melaksanakan perintah Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia serta menyempurnakan alam ciptaan alam dan mengembangkan dirinya. Kerja sebagai partisipasi dalam karya ciptaan Allah nyata dalam kebenaran asasi manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kenyataan itu didasarkan pada Kitab Suci, Kitab Kejadian, yang memuat karya ciptaan Allah dalam bentuk “kerja” yang dilakukan Allah selama enam hari, dan pada hari yang ketujuh Ia beristirahat. Pada bab pertama kitab kejadian, kita menemukan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Di mana, dalam kitab tersebut diajarkan, bahwa manusia harus meneladani Allah penciptanya melalui kerja, sebab Allah bermaksud menyatakan kegiatan-Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Oleh karena itu, manusia juga bekerja selama enam hari dan pada hari yang ketujuh beristirahat untuk memuji Allah. Manusia harus memahami bahwa Allah mencipta secara evolutif, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang…” dan masih meneruskan ciptaan dunia. Pengikutsertaan dalam kerja dapat dihayati sebagai suatu keterlibatan diri secara kreatif bersama dengan Allah, untuk melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan umat manusia. Dengan bekerja, manusia ikut ambil bagian dalam ciptaan Allah, ikut memenuhi kebutuhan sesama saudara, menyumbangkan kegiatannya demi terlaksananya rencana Allah. III. Kerja dan Kerusakan Lingkungan Hidup A. Perubahan Cara Pandang dan Perilaku Pada zaman sekarang ini, semua orang tergoda untuk meningkatkan prestasinya di bidang kerja. Bahaya bahwa rang yang terlelu menekankan kerja akan jatuh pada aktifisme. Dengan demikian, manusia akan melakukan segala sesuatu demi kepentingan sendiri, sering juga dengan mengorbankan alam. Dengan itu manusia tidak hanya jatuh dalam bahaya aktifisme saja melainkan juga jatuh dalam bahaya konsumerisme. Manusia dalam kerjanya terlalu menekankan materi. Maka dengan demikian, alam dieksploitasi secara besar-besaran tanpa meperhatikan keseimbangan dan kerusakan alam yang terjadi. Akibatnya lingkungan alam mengalami kehancuran dan kerusakan yang lebih parah. Kesalahan cara pandang manusia atas perintah Allah: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”, melahirkan pola perilaku yang salah terhadap lingkungan hidup. Cara pandang manusia yang salah bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, hanya manusia yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri, sedangkan alam dan segala isinya dipandang hanya sebagai alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dipandang sebagai tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Perilaku eksploitasi dan tidak peduli terhadap alam adalah cara pandang yang keliru. Alam dipandang sebagai tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri, sehingga melahirkan sikap tidak peduli dan bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga alam. Pemahaman manusia yang keliru terhadap dirinya dan alam semesta, lahirlah perilaku kerja yang menyimpang dan bertentangan dengan panggilan Allah untuk bekerja. Dengan demikian manusia kehilangan kesadaran dan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara alam. Cara pandang yang keliru, tanpa sadar manusia telah melanggar kewajiban ontologis alam untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Manusia mementingkan dirinya sendiri yang kebanyakan menyimpang dan tidak sesuai dengan perintah Allah untuk memelihara alam ciptaan-Nya. Padahal kalau dilihat dari konteksnya, yang dimaksudkan Allah dengan ‘berkuasa’ adalah menjaga atau memelihara. B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada abad XVII dan abad XVIII, membawa perubahan besar dalam cara manusia modern. Di dunia barat khususnya memandang alam segabai objek ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan secara nyata menempatkan manusia di atas alam, terpisah dari alam. Manusia lebih diutamakan daripada alam. Dengan demikian, pekerjaan manusia modern yang sekular, mekanistis, memandang dirinya tuan atas alam. Cara pandang semacan ini melahirkan manusia yang eksploitatif, rakus dan tamak terhadap alam. Dengan demikian, alam yang dipertahankan kelestariannya pada akhirnya menjadi rusak karena digunakan sebagai lahan penerapan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan nampak juga dalam penggunaan alat-alat teknologi moder. Melalui alat –alat teknologi modern, manusia memperoleh keuntungan ganda, hidup manusia semakin mudah dan semakin nyaman. Teknologi melipatgandakan hasil kerja manusia. Akan tetapi, perlu disadari bahwa teknologi juga memiliki daya rusak yang besar terhadap lingkungan alam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kerja mnusia, membuat alam semakin “tidak berdaya”. Hutan yang begitu indah, gunung yang menjulang tinggi nan megah, padang rumput yang terhampar luas, menjadikan alam kehilangan nilai mitis dan nilai sakralnya akibat kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada akhirya, bukan saja keuntungan yang diperoleh manusia melainkan juga kehancuran dan bencana yang tidak dapat dihindarkan lagi. Perusakan lingkungan hidup adalah bentuk penghinaan terhadap persaudaraan atau solidaritas planetaris karena orang tidak lagi menghargai ciptaan-ciptaan. IV. Gerakan Cinta Lingkungan Hidup A. Habitus Baru Yang dimaksudkan dengan habitus baru dalam hubungan dengan lingkungan hidup dan kerja manusia adalah cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak yang baru. Manusia harus meninggalkan konsep atau pandangan lama tentang dirinya, jika selama ini manusia melihat dirinya sebagai penguasa atas alam, maka sekarang manusia harus melihat alam sebagai “sahabat” yang harus dijaga dan dipelihara kelestariannya. Manusia harus melihat bahwa alam dan lingkungan hidup juga mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Dengan merubah cara pandang terhadap alam, manusia berperanserta dan bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup. Manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap alam, terlepas dari kegunaanya bagi kepentingan manusia. Perubahan cara pandang manusia juga harus sampai kepada inti terdalam alam semesta yakni sebagai ciptaan Tuhan. Manusia harus sampai pada kesadaran bahwa ada yang keliru selama ini, dan perlu membuat perubahan. Singkatnya, pekerjaan manusia mengolah alam harus sampai pada tataran teologis. Pada tataran teologis, manusia harus menyadari bahwa rusaknya alam akibat tindakan manusia harus dipandang sebagai dosa. Di sini, dosa tidak lagi dipandang sebagai rusaknya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga manusia dengan lingkungan alam. Maka, tidak salah kalau orang memandang bencana itu sebagai hukuman dari Tuhan. Pada bagian ini, harus dipahami bahwa Kitab Kejadian dan kitab-kitab lain dalam Kitab Suci memberikan pemahaman bahwa bencana yang terjadi memiliki hubungan yang erat dengan keserakahan manusia. Oleh karena itu, pertobatan ekologis harus menyertai setiap upaya dan kerja manusia untuk berdamai dengan alam ciptaan. B. Gerakan Menanam Pohon Perubahan cara pandang dan pertobatan ekologis yang telah dilakukan menusia, harus dinyatakan melaui pekerjaan-pekerjaan yang nyata. Aksi nyata ini bisa direalisasikan lewat menanam pohon di pekarangan rumah atau di tempat lain yang memungkinkan untuk itu. Dalam hal ini, “Hutan adalah paru-paru bumi”. Unkapan ini mau menunjukkan bahwa pohon dan tumbuh-tumbuhan hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Coba kita bayangkan bagaimana manusia hidup tanpa paru-paru. Tentulah tidak mungkin. Sebagaimana paru-paru sangat penting bagi manusia, demikian juga hutan dan pepohonan hijau bagi bumi dan segala isinya. Manusia hidup dari oksigen yang diberikan oleh pepohonan hijau di sekitar kita. Tumbuhan hijau menyerap karbon dioksida dan memberikan oksigen untuk kelangsungan hidup manusia. Apabila kekurangan pohon, jumlah karbon dioksida (CO2) di udara meningkat sebagai efek dari rumah kaca. Sangat disayangkan bahwa pepohonan hutan yang sangat bernilai bagi manusia, ditebang secara tidak bertanggungjawab. Dikatakan bahwa, konsumsi pohon dunia antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin kurang lebih hampir sama: negara-negara miskin menggunakannya untuk mempertahankan hidup, sedangkan negara-negara kaya menggunakannya terutama untuk barang-barang mewah (untuk konstruksi 75% dan untuk kertas 87, 5%). Jumlah pemakaian pohon seperti itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kiranya dengan melihat perbadingan ini, kita semakin tergerak hati untuk lebih banyak menanam pohon. Dalam hal ini, kita patut berterima kasih kepada organisasi-organisasi, sekolah, universitas atau kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap lingkungan hidup, mengadakan reboisasi dan merawatnya hingga bertumbuh besar. Oleh karena itu, marilah kita bertindak bersama dengan memanam lebih banyak pohon. V. Penutup Lingkungan hidup yang asri adalah tempat yang indah dan nyaman untuk didiami manusia seturut rencana Allah. Manusia melalui pekerjaan-pekerjaannya, harus memandang alalm sebagai ‘sahabat’ dan bukan senagai ‘musuh’. Manusia harus merubah cara pandang yang lama tentang dirinya dan tentang alam. Alam juga memiliki nilai dalam dirinya sendiri seperti manusia. Manusia menggunakan alam untuk kelangsungan hidupnya seharusnya juga menjaga dan memeliharanya. Dalam mengusahakan alam, kita tidak boleh serakah. Inilah tuga bagi manusia seluruhnya. Manusia dalam mengolah alam, harus memikirkan juga generasi manusia yang akan datang. Masalah lingkungan hidup adalah juga menyangkut nasib hidup seluruh kehidupan di planet bumi ini. Lingkungan hidup adalah masalah hidup kita bersama kelak di kemudian hari. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan kembali rasa cinta terhadap lingkunga hidup, terhadap alam dengan tindakan nyata. Marilah kita bertindak sekarang atau memilih musnah bersama.

Kamis, 03 Mei 2012

CERPEN: CINTA BERUJUNG LUKA (Oleh: Erick Sila).

Pagi itu, langit tampak biru dengan sedikit awan putih di langit. Hari ini adalah awal tahun ajaran baru. Seperti biasanya, untuk membuka tahun ajaran baru setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) mengadakan Masa Orientasi Siswa (MOS). Demikian juga di sekolahku. MOS kali ini adalah suatu kesempatan yang sangat berharga bagiku. Ini merupakan kesempatan yang sangat langka. Ya, sebagai ketua kepribadian dan budi pekerti luhur dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), aku memiliki kesempatan sebagai salah satu anggota panitia MOS kali ini. Menjadi panitia MOS adalah kesempatan yang sangat berharga bagiku. Mungkin dan dan memang pasti demikian bahwa ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagiku menjadi paniatia MOS. Sebentar lagi aku akan tamat dan meninggalkan sekolah ini. Hari ini aku mendapat giliran menangani para murid baru yang ganteng dan cantik-cantik. Aku diberi kesempatan untuk membawakan program bina mental serta menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada siswa-siswi baru. Dalam pemaparan tersebut, entah mengapa tiba-tiba mataku berpapasan dengan sesosok tubuh indah dengan paras cantik yang menempati salah satu kursi di barisan paling belakang. Jujur, saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. “Apakah aku jatuh cinta?” aku bertanya demikian dalam hatiku. Mmm…, entahlah. Seminggu telah berlalu dan MOS pun telah berakhir. Kegiatan belajar mengajar di kelaspun sudah berjalan normal sebagaimana biasanya. Tidak sedikitpun aku melupakan tatapan matanya waktu itu. Setiap hari aku berusaha mencari tahuu dimana kelas gadis itu dan siapa namanya. Setelah bertanya-tanya, tenyata gadis manis itu adalah Dewi murid kelas 10 A. Dewi memang cantik dan mengagumkan bagiku. Aku telah jatuh hati kepadanya. Aku berusaha bagaimana cara mendapatkan cintanya. Cinta memang aneh, datang tak kenal waktu. Aku hanya bisa merasakan kapan cinta itu datang dan kapan pula perginya. Saat cinta bersemi, semuanya akan menjadi indah dan merubah segalanya menjadi rindu. Ya, aku merindukannya saat ini. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan cintanya. Dewi…, Oh, kenapa aku jadi terus teringat kepadanya? Akhirnya aku mengambil secarik kertas dan mulai menuluskan segala perasaan hatiku pada Dewi sang kekasih impian hatiku: Dear Dewi: Dewi, pertama sekali maafkanlah aku jika kedatangan suratku ini mengganggu konsentrasi belajar kamu. Aku harus jujur padamu bahwa selama ini aku telah berusaha untuk tidak mengatakan apa yang aku rasakan. Jujur, memendam perasaan itu adalah siksaan bagiku. Namun semakin lama perasaan itu tak sanggup aku bendung lagi. Sehingga dengan berani aku menulis surat ini… Semenjak hari pertama MOS, wajahmu yang cantik menawan hati itu tak sekejap pun hilang dari ingatanku. Aku telah terlanjur jatuh cinta padamu Dewi. Kamu adalah pilihan hatiku dan tidak ada yang lain lagi selain kamu seorang. Di mana aku memandang, seakan kamu ada di sana. Inikah yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu Dewi. Yang ku rasakan hanyalah bahwa aku selalu merindukanmu dan ingin sekali bertemu dan berbagi cerita bersamamu selalu. Bagiku, kamu adalah bintang kejora yang ku impikan selama ini. Di mana saat aku bertemu denganmu, di sekolah atau di manapun itu yang ku rasakan hanyalah bahagia. Tetapi aku tidak tahu harus dengan cara apa aku mengungkapkan perasaanku ini padamu. Namun aaku tidak tahu apakah bintang kejora yang kuimpikan itu masih bebas di langit malam nan biru? Belum ada yang memiliki? Jika memang sudah ada yang memiliki hatimu, aku mohon maaf karena sudah dengan lancang menulis surat ini. Semoga kamu mengerti akan perasaan hatiku. Rian. Beberapa hari berlalu, surat yang kutuliskan telah dibaca oleh Dewi. Ternyata Dewi menerima cintaku. Namu aku belum puas dengan jawaban itu. Aku ingin memastikannya sendiri bahwa Dewi benar-benar mencintai aku. Maka aku memutuskan untuk menemui Dewi secara langsung. Suatu hari setelah pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. aku mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi ‘ketemuan’ di Kebun Binatang besok setelah pulang sekolah. Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Kebun Binatang dimana aku memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatiku. Namun rupanya Dewi sudah tiba lebih dahulu di sana sebelum aku datang. Aku baru muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit. “Dewi…”! seru ku begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat aku datang. “Sudah lama menunggu?” tanya ku. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut ku sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi. “kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak ku. Dewi menurut. Maka kami pun melangkah beriringan menuju sebuah cafĂ© di tengah-tengah taman itu. Sambil menunggu pesanan datang, kami pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri. “dewi…” “ya?” “Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”. “Kenapa?” “Karena akhiranya aku bisa mendapatkan bintang kejora yang ku impikan selama ini”. “Aku juga…” “Kenapa..?” “Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “O, ya? aku juga…” balas ku denga perasaan senang. Setiap aku dan Dewi lalui bersama penuh canda dan tawa. Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi kami untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya kami laksanakan dengan baik dan kini saatnya bagi aku dan Dewi untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa aku dan Dewi harus berpisah. Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagiku maupun Dewi. “dewi…” Aku memecah kesunyian di antara mereka. “Ya..” “Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?” “Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke Semarang. “Kalau kamu…??” aku terdiam sejenak. “Dewi..”. “Ya…”. “Aku telah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di sini saja. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”. “Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar. “Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Dewi kepadaku. “Dewi, kemanapun kamu melanjut itu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi. Jangan lupa SMS atau menelepon aku”, lanjut Dewi. “sayang, nomorku tidak akan pernah aku ganti, sebab nomor itu memiliki kenagan tersendiri bersamamu. Percayalah, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu namun hati kita selalu dekat”. Balasku meyakinkan Dewi. Dengan berlalunya waktu akhirnya saat yang tak aku sangka-sangka datang juga. Siang itu aku sangat lelah sehingga aku ketiduran sehingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul 14.04. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar hand phone ku berdering. Dengan cepat aku mengambilnya dari meja di samping tempat tidurku dan mulai membukanya. Aku kaget dan tidak percaya ketika membaca pesan itu. Dalam pesan tersebut Dewi memintaku menjemputmu di pintu gerbag rumahku. “Ah…, kamu hanya bercanda saja” demikian pikirku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti perintah Dewi. Aku keluar dan mengambil sepeda kecilku dari gudang, lalu dengan segera aku menuju ke gerbang untuk membuktikan apakah yang Dewi katakan itu benar atau hanya sebuah kebohongan belaka. Waktu itu ada dua pikiran dalam benakku. Pertama, jika itu hannya canda belaka, tidak mengapa. Sebab, aku telah berencana akan pergi dengan sepeda kecilku ke mana saja aku mau. Dan itu telah aku beritahukan kepada Dea adikku. Yang kedua, jika itu benar maka aku akan memeluknya dan mengatan betapa aku merindukan kehadirannya. Dengan sepeda kecilku aku melaju dari atas. Aku menghentikan sepedaku dengan tiba-tiba sehingga ban belakangnya terseret panjang. Aku tersentak kaget ketika melihat seseorang dengan sosok tubuh begitu indah berdiri mebelakangi arah dimana aku datang. Aku tidak percaya. Aku tidak tahu dengan kata apa harus ku ungkapkan kebahagiaanku saat itu ketika aku mengetahui dan melihat dengan jelas bahwa itu adalah Dewi. Karena perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat itu, aku kehilangan kata-kata. Aku tidak tahu mau mengatakan apa kepadanya saat itu. Yang aku rasakan hanyalah kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya dengan langkah santai aku menuntun Dewi menuju ke rumahku. Ya, rumah dimana kami berbagi cerita di saat Dewi masih di sini. Jujur, saat itu aku sangat bahagia karena Dewi masih mengingatku dan mengunjungi aku. Aku juga tahu bahwa masih banyak keluarga yang harus Dewi kunjungi selama liburanmu kali ini. aku juga tahu bahwa waktu liburan Dewi sangat singkat, namun aku bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena Dewi masih mengingat aku. Dewi telah berkorban banyak untukku. Korban waktu, korban tenaga dan segalanya demi aku. Lebih lagi, semua itu karena Dewi masih mencintai dan menyayangiku seperti yang dulu. Jika tidak, Dewi tidak akan datang melihat aku di sini. ”Sayang, aku tidak tahu dengan apa aku harus mebalasnya kepadamu. Yang aku miliki hanyalah cinta dan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih daripadaku selain kedua hal itu. Maka sebelum kamu pergi, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku sayang padamu. Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun. Walau dari tempat yang jauh ini. Bahkan bila aku mati, ku kan berdoa pada yang ilahi, agar kita bisa bersama lagi di surga nanti. Aku akan mengingat dan merindukanmu setiap saat”. Inilah kata terakhir dariku sebelum Dewi kembali lagi ke Semarang. Hari berlalu, tahunpun berganti. Setiap hari aku dan Dewi saling bertanya tentang kabar masing-masing. Kisah itu masih aku ingat dengan jelas. Aku ingat saat itu Dewi mengatakan kepadaku untuk tetap dan selalu menjadi sahabat terbaiknya selamanya. Aku juga ingat ketika Dewi bertanya apakah aku selalu kangen dengannya. Aku mengatakan bahwa itu benar. Aku selalu merindukanmu di setiap langkah hidupku. Tahukah kamu apa yang ku minta di setiap doa sepanjang hariku? Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu dilindungi. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintai dan menyayangimu sampai kapan pun. Aku tidak akan menuntut lebih dari kamu. Aku hanya ingin agar kamu tetap menjadi sahabat terbaikku selamanya. Engkaulah sang Dewi ku. Tinggallah bersamaku selamanya. Namun sayang…, semua tidak seperti yang aku bayangkan. Ya…, ia telah berubah. Ia tidak seperti Dewi yang aku kenal dulu. Semenjak Dewi berkenalan dengan kekasihnya yang baru itu, aku semakin di lupakan. Memang aku sadar bahwa aku bukan pilihan hatimu dan aku juga tidak pantas untukmu. Maka aku harus pergi…, Ya. Mungkin inilah waktunya. Namun sebelum aku berlalu… aku ingin mengatakan bahwa apa yang pernah aku katakan kepadamu dulu, akan selalu hidup di hatiku. Semoga kamu bahagia bersamannya… lebih bahagia dari yang pernah aku berikan untukmu. Akhir kata: “HASTA LA VISTA, BABY….”.