Sabtu, 02 Juni 2012

Definisi Lituturgi Menurut Dom Odo Casel (Erick Sila).

I. Pengantar Seperti Gereja sendiri, Liturgi pun senatiasa hidup dan berkembang. Liturgi dibentuk oleh sejarah. Oleh karena itu, banyak usaha-usaha yang dilakukan demi pembaharuan atas Liturgi itu sendiri. Memang kita sadari bahwa dalam Liturgi ada unsur-unsur yang tidak dapat dirubah karena ditetapkan oleh Allah, namun terdapat juga hal-hal atau unsur-unsur yang dapat dirubah. Sehubungan dengan peredaran zaman, Liturgi sendiri dapat atau malah harus mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena peredaran zaman itu sendiri sehingga inti hakikat dari Liturgi itu menjadi tidak cocok lagi (SC 21). Sejak awal munculnya gerakkan Liturgis (1909) hingga Konsili Vatikan II, banyak penulis mencoba mendefenisikan Liturgi. Akan tetapi, tidak seorang pun yang dapat merumuskan dengan baik yang dapat merangkum semua hakikat dan sifat-sifat dasar dari Liturgi itu. Walaupun demikian, usaha untuk merumuskan arti Liturgi merupakan sebuah pekerjaan yang mulia walaupun hasilnya tidak memuaskan. Salah tokoh yang berusaha mendefenisikan Liturgi adalah Dom Odo Casel. Berikut ini, penulis akan menguraikan singkat bagaimana tokoh ini berusaha untuk merumuskan Liturgi itu, yang kiranya berguna bagi kita bersama. II. Definisi Liturgi Menurut Dom Odo Casel Dalam liturgi Latin sering kita jumpai ungkapan-ungkapan yang berasal dari dunia kekafiran seperti: misteri, kegiatan, pengenangan, pencerahan, pemanggilan, (mysterium, actio, memoria, illuminatio, invocatio). Ungkapan-ungkapan ini kemudian diambil alih oleh Gereja dan mendapat makna dan arti baru yang bersifat abstrak dan rohani. Dom Odo Casel menyelidiki kata misteri (mysterium) untuk menemukan makna dan arti Liturgi, ketika kata misteri ini mulai masuk dalam ibadat Kristen kuno. Dari penyelidikan tersebut, Dom Odo Casel menyimpulkan bahwa para penyusun liturgi Romawi memandang perayaan Ekaristi sebagai upacara misteri suci (dalam arti umum seperti dipahami zaman kuno); maksudnya upacara menggunakan simbol-simbol lahiriah, memperbaharui karya keselamatan Allah Yang Kudus secara mistik namun nyata dalam upacara-upacara tersebut. Dalam “doktrin misteri” (mysterienlehre), liturgi diartikan sebagai segala kegiatan liturgis, perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen, tahun Gereja secara keseluruhan, semua pada hakikatnya adalah misteri. Setiap ibadat menurut caranya masing-masing menghadirkan secara nyata karya keselamatan Yesus Kristus yang adalah “misteri pokok”. Dalam upacara tersebut, bukan hanya pribadi Tuhan yang hadir, melainkan bagaimana seluruh karya penebusan-Nya bagi manusia: Penjelmaan, karya, wafat dan kebangkitan-Nya. Maka dapat disimpulkan bahwa Liturgi adalah kehadiran Allah melalui tanda-tanda lahiriah, melaui caranya sendiri, rahmat mengalir dari Tuhan yang dihadirkan bersama dengan keselamatan-Nya, sehingga dengan kehadiran misteri Kristus dimungkinkan pulalah rahmat penebusan bagi umat-Nya. III. Penutup Liturgi terdiri dari tanda-tanda dan secara khusus nampak dalam sakramen sakramen. Maka ilmu tentang bahasa tanda dapat memberikan terang baru bagi Liturgi Gereja. Usaha ini telah dilakukan oleh Dom Odo Casel untuk mengintegrasikan sejarah Liturgi ke dalam konteks religius kebudayaan zaman dahulu, telah menunjukkan buah-buahnya dan keterbatasannya. Walaupun usaha Dom Odo Casel untuk mendefinisikan apa itu Liturgi secara tepat kurang memuaskan, namun usahanya perlu dihargai sebagai suatu sumbangan besar bagi Liturgi Gereja.

Jumat, 01 Juni 2012

Roh Kudus sebagai Pribadi Ketiga Menurut Tertulianus (Oleh: Erick M. Sila, Ferry Nono, Ruben Afeanpah, Yohanes Tando dan Piter Nali)

1. Pengantar Pada tahun-tahun pertama sesudah Konsili Vatikan II, perhataian akan peran Roh Kudus (pneuma) sebagai pribadi ketiga dalam Allah Tritinggal, nampaknya kurang mendapat perhatian. Kesadaran akan peran Roh Kudus sebagai yang melanjutkan komunikasi diri Allah baru nampak pada beberapa dekade terakhir ini dalam semua pernyataan iman Kristiani. Kesadaran ini timbul berkat kontak ekumenis dengan Gereja-gereja Ortodoks dan Gereja-gereja Reformasi, sebab refleksi atas karya Roh Kudus dalam Gereja Katolik lebih condong untuk memasukkannya dalam traktat Trinitas dan Kristologi. [1] Walaupun demikian, tidak berarti peran Roh Kudus diabaikan sama sekali sejak awal. Pada zaman patristik para bapa Gereja telah mencoba melihat apa peran Roh dalam Gereja dan hidup manusia. Tertulianus merupakan salah satu dari para bapak-bapak Gereja Latin yang mencoba melihat apa hakekat dan peran Roh Kudus tersebut dalam hidup manusia. Tertulianus menegaskan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus menyatu dalam substansinya. Namun kesatuan subsantsi ilahi ini terbagi dalam tiga pribadi yakni pribadi Bapa, pribadi Anak dan pribadi Roh Kudus. 2. Riwayat Hidup Tertulianus adalah seorang Afrika Utara yang lahir di Kartago sekitar tahun 160-220 SM. Ia berasal dari keluarga Romawi kafir. Ayahnya seorang perwira tentara Romawi. Ia mendapatkan pendidikan ilmu retorika dan hukum. Orang Kafir ini diduga sempat menjadi ahli hukum selama beberapa tahun di kota Roma. Pada tahun 197 SM, ia bertobat menjadi Kristen dan langsung menjadi seorang Apologet. Di sepanjang hidupnya, ia banyak manghasilkan karya-karya yang bernuansa apologetik melawan kaum kafir dan Yahudi. Pada akhir abad II dan awal abad III ia merintis sastra Kristiani dalam Bahasa Latin. Ia seorang yang sangat pandai, dengan gagasan-gagasannya yang orisinil dan segar. Ia adalah teolog, pujangga Gereja, ahli pidato dan ahli hokum (sipil). Seorang genius, pujangga Gereja terbesar di Barat sebelum Agustinus. Tertulianus adalah seorang yang berkeyakinan kuat dan memiliki kesungguhan moral yang besar. Ia memiliki kemampuan karakteristik dan punya gambaran akan suatu kebenaran yang sempurna. Karena itulah, ia dikenal sebagai pribadi yang benar dan jujur. Ia juga memiliki kemampuan menulis dan karena itulah ia dikenal sebagai salah seorang penulis Kristen awal. Sayangnya, ia kemudian meninggalkan arus utama Gereja Katolik saat itu. Semenjak tahun 207, ia semakin dekat pada gerakan Montanisme [2] dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik pada tahun 213. Ia mencela paham Lassisme mengenai penitensi, ia juga gigih melawan Marcianus dan Valentinianus. Menurut St. Joremo, ia dikatakan telah hidup sampai usia tua. Ia mungkin meninggal di Kartago pada usia 60 tahun. Sesudah tahun 220 tidak ada lagi informasi mengenai dirinya dan bukti bahwa ia kembali ke Gereja Katolik sebelum dia meninggal. 3. Karya-karya Tertulianus adalah salah satu dari para bapak-bapak Gereja Latin yang banyak menyumbangkan tulisan dan sejumlah pemikiran terkait ajaran Gereja. Di sepanjang hidupnya, ia menulis 20 (Dua puluh) karya bernuansa apologetik melawan kaum kafir dan Yahudi. Ia juga banyak menerbitkan karya-karya yang bersifat dogmatis-polemik melawan kaum gnostik dan heresi lain, serta karyanya yang bernuansa etis dan asketis, misalnya tentang doa, penitensi baptisan. Selain itu, ia juga menghasilkan banyak buku, puluhan traktat, berbagai polemik dan pembelaan ajaran Gereja melawan berbagai ajaran sesat. [3] Karya-karya Tertulianus dapat diklasifikasikan sebagai: Apologetik, Kontroversial, dan Risalah pada disiplin Kristen dan Asketisme. Karya-karyanya dalam membela ajaran Gereja dan heresi, antara lain Ad nations, Apologeticum, De anima, De praescriptione haereticorum, Adversus Marcionem, Adversus Praxean. [4] a) Ad nations Karya Ad nations merupakan apologia melawan penganiayaan melawan orang Kristen. Karya ini memuat prosedur untuk menghukum orang Kristen. Dikatakan bahwa seseorang dianiaya karena nonem Christianum. [5] Penganiayaan terhadap orang Kristen dilakukan tanpa suatu penyelidikan atas motif atau tuduhan yang dikenakan. Perlakuan tersebut dianggap atau dituduh sebagai suatu tindakan kekerasan. b) Apologeticum Karya ini ditujukan kepada prokonsul Kartago dan pemerintah provinsi Afrika. Dalam karya ini, dikemukankan bahwa orang Kristen dianiaya karena kekeliruan dan kebencian. Ini merupakan suatu tudahan orang kafir terhadap orang Kristen yang dianggap melakukan incest dan infanticidum. [6] Persoalannya mengenai ateisme yang mengemukakan bahwa dewa-dewi hanyalah manusia atau setan. Maka persembahan atau kurban bukanlah sikap ateisme, melainkan sikap yang tepat. Selain itu, karya ini juga memuat tentang crimen laesae maiestatis dan sikap anti Negara. Dikatakan bahwa para dewa orang kafir tidak menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan negara, sebaliknya agama Kristen dengan sikap bijaksana memberikan sumbangan bagi negara lewat doa-doa dan sikap hidup yang dianggap bersifat keilahian. c) De anima Karya ini dikarang sesudah tahun 203 yang mengetengahkan pertemuan platonis dan agama Kristen. Karya ini dibagi dalam tiga bagian, yakni pengatar, bab satu dan bab dua. Bagian pertama, Tertulianus mengkritik ide Fedone dan filsafat platonis. Bagian pertama didasarkan pada kitab Kejadian 2:7, yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari Allah. Tertulianus menerima pembagian platonis atas jiwa: rasional dan irrasional. Allah telah menciptakan jiwa rasional dan sesudah kejatuhan dalam dosa lahir bagian yang irrasional. Bagian kedua dari karangan ini ditujukan untuk melawan platonis mengenai preeksistensi jiwa. Persoalannya mengenai keberadaan jiwa sebelum dan sesudah kelahiran manusia. dan pada bagian ketiga menjelaskan mengenai keberadaan jiwa sesudah kematian manusia. Di sini, Tertulianus sepaham dengan penafsiran tradisional tentang tidur sebagai mimpi dan juga sebagai simbol kebangkitan. Tertulianus menolak pendapat bahwa jiwa orang yang tidak dikubur, yang bunuh diri dan yang dibunuh masih berkeliaran di atas bumi. d) De praescriptione haereticorum Karya ini bersifat polemik atas kaum heretik, yang berangkat dari iman Kitab Suci dan Tradisi, sebab kaum heretik telah memalsukan Kitab Suci dan keberadaan mereka di luar tradisi Gereja. e) Adversus Marcionem Karya ini dibagi dalam dua bagian, bagian pertama bersifat teologis yang melawan Marcion tentang eksistensi Allah hingga kedatangan Yesus Kristus. Menurut kaum Marcion, Allah tidak ada hubungannya dengan Allah pencipta dan penebus. Mereka menolak bahwa penebus tidak mungkin menjadi manusia untuk membebaskan manusia dari dosa. Dia hanya mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan. Sedangkan bagian kedua bersifat eksegetis yang melawan kitab suci Marcion yang tidak memiliki hubungan dengan Allah Pencipta dalam Perjanjian Lama. f) Adversus Praxean. Karya ini memuat argumennya melawan kaum Monarkhianisme. Penjelasan sederhana berangkat dari konsep monarki, Ia menolak pandangan bahwa konsep Trinitas dan Unitas Allah yang disamakan dengan kaisar Romawi bersama anak-anaknya. Bagian kedua memuat penjelasan rasional, yang berdasar pada Kitab Suci. Ia melawan pandangan bahwa Allah yang dilihat pastilah bukan Bapa, dengan merujuk pada “Akulah Tuhan dan tiada yang lain” (Yes 45: 5), “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30) dan “Siapa yang melahat Aku, melihat Bapa” (Yoh 14:9-11). Hasil dari karya-karyanya sangat menentukan bagi pemahaman Gereja di kemudian hari. Salah satu sumbangannya yang terbesar adalah di bidang teologi Trinitas dan dialah orang pertama yang memakai istilah “Trinitas, Substansi dan Persona”. [7] 4. Latar Belakang Pemikiran Ajaran Tertulianus tentang Roh Kudus tertuang dalam ajarannya tentang Trinitas atau Tritunggal. Pemikirannya tentang Roh Kudus memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan dogma tentang Tritunggal selanjutnya. Kepada kita diperkenalkan istilah satu “substansi” dan tiga “persona”, dalam Bahasa Latin untuk memperkenalkan misteri agung ini. [8] Ia juga berbicara tentang Roh Kudus, dengan menunjukkan ciri pribadi, persona, dan keilahian-Nya. Seluruh ajarannya tertuang dalam makalahnya (31 pasal) melawan Praxeas. Dalam pasal II dan III, ia mulai membahas doktrin Tritunggal dengan menyoroti Unitas kepada Trinitas dan Trinitas dalam Unitas. Tentang Unitas kepada Trinitas, Tertulianus menegaskan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus menyatu dalam substansinya. Namun kesatuan subsantsi ilahi ini terbagi dalam tiga pribadi yakni pribadi Bapa, pribadi Anak dan pribadi Roh Kudus. [9] Tiga pribadi ini bukanlah tiga kondisi, tetapi tiga di dalam tingkatan, bukan dalam substansi tapi dalam bentuk, bukan dalam kuasa, tetapi aspek-aspeknya. Namun, Allah adalah satu dalam substansi, dalam kondisi, dalam kuasa, dan dalam kekuasaan, sampai Ia disebut sebagai Satu Allah. Tertullianus menegaskan bahwa Ketiga Pribadi (dalam pengertian tiga tingkatan, tiga bentuk dan tiga aspek) Allah, tidak berarti tiga, tetapi tetap hanya satu Allah. Allah harus diterima di dalam ekonomi-Nya (pengaturan dalam karya keselamatan di dalam diri-Nya). [10] 5. Roh Kudus 5.1 Hakekat Roh Kudus Tetulianus menuliskan bahwa hakekat dari Roh Kudus adalah (a Patre per Filium) keluar dari Bapa melalui Putra. Roh dilihat sebagai pribadi yang datang dari Allah dan Putra (a Deo et Filio). Roh Kudus dilihat sebagai cinta ilahi yang keluar dan berasal dari Bapa dan Putera. Ia mengunakan analogi seperti buah dari batang pohon dengan berpangkal pada akar; atau sama seperti aliran air dari sungai adalah yang ketiga kalau mulai dari mata air. Atau pun sama seperti titik cahaya dari sinar adalah yang ketiga, dengan bertolak dari mata hari. [11] Roh merupakan komunikasi hikmat Allah, yang mengerjakan keselamatan yang berasal dari Bapa dan Putera. Keberadaan Roh bukanlah keberadaan yang substansif, di mana Roh memiliki substansi sendiri secara terpisah dari Bapa dan Putra, melainkan ketiga pribadi Allah Bapa, Putra dan Allah Roh Kudus tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Mereka tetap memiliki tiga pribadi tetapi satu hakikat, satu Allah. [12] Maka kenyataan ilahi antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus merupakan relasi cinta kasih timbal balik. Cinta kasih Bapa dan Putera berpribadi dalam pribadi ketiga. Allah Bapa dan Putera adalah juga Esa karena Roh Kudus sebagai cinta kasih “antara” mereka meniadakan segala “antara” itu sehingga menjadikan satu kesatuan dan kemahaesaan yang tak terbayangkan. Sebab dalam Roh, Bapa menyerahkan diri seutuhnya kepada Putera dan Putera juga seluruh diri-Nya seutuh-Nya kepada Bapa. [13] 5.2 Peran Roh Kudus Kisah Tertulianus dengan gerakan Montanisme mengingatkan kita akan pentingnya Roh Kudus. Tertulianus melihat peran Roh Kudus sebagai penuntun dan pemimpin ke dalam seluruh kebenaran iman Kristiani. Tertulianus yang bersimpati dengan ajaran montanisme berkeyakinan bahwa interpretasi oleh Roh Kudus tidak menumbangkan regula fidei, rumusan iman yang tidak dapat berubah. Roh Kudus memiliki daya untuk membimbing, menuntun dan mengembangkan kehidupan. Sebagai orang Kristen kita mengimani bahwa Roh Kudus adalah pembawa dan pemberi semangat dalam menghidupkan Gereja. Tanpa kehadiran Roh Kudus Gereja hanya berakhir pada rumusan doktrinal semata. Kehadiran Roh Kudus menjadikan persekutuan Kristen menjadi sebuah persekutuan yang hidup dan senantiasa berkembang terus-menerus. Gerakan Roh Kudus yang begitu kuat dan unik itulah yang memampukan orang untuk menjawab tantangan dan kebutuhan setiap zaman. Pengakuan akan peran Roh Kudus sebagai pemberi semangat dan kerunia tidak bertentangan dengan fondasi atau dasar iman kekristenan, seperti yang tertuang dalam pengakuan iman Rasuli. [14] Kehadiran Roh Kudus merupakan hasil kasih Allah di dalam kaum beriman. Kasih itu merangkum seluruh umat beriman kepada Allah dalam persekutuan dengan Roh Kudus. Persekutuan umat beriman adalah buah dari Roh Kudus, karena mereka semua mengambil bagian dalam roh yang sama. Melalui kehadiran Roh Kudus, Gereja wajib membuahkan benih-benih kasih yang telah ditaburkan Allah dalam dirinya untuk saling berbagi dan menyapa orang lain sebagai saudara-saudari dalam Allah. Persekutuan kaum beriman dan realitas Roh Kudus selalu dihubungkan dengan Bapa dan Putera. Sebab “persekutuan” dalam roh yang sama diterima oleh semua dan hadir dalam semua, dan begitu Roh itu melandaskan persekutuan. Bila dihubungkan dengan Putera, realitas Roh Kudus itu disebut “rahmat”, yaitu pemberian secara cuma-cuma yang menghasilkan “pembenaran” dan pengampunan dosa. Sedangkan, bila dihubungkan dengan Bapa, realitas Roh Kudus itu adalah “kasih”, karena merupakan hasil dari prakarsa Allah. [15] Berdasarkan berbagai sumber, Tertulianus juga mempunyai sumbangan yang sangat berguna berhubungan dengan Kitab Suci terutama dalam hal eksegese. Menurutnya, Roh Kudus berkarya dalam diri para penulis Kitab Suci dan para ekseget, sehingga Kitab Suci mengalami perkembangan. Roh yang memberikan kesanggupan bagi seorang untuk memimpin dan mewartakan Kitab Suci. Dengan demikian, Kitab Suci merupakan karya Allah sendiri. Roh Kudus yang sama jugalah yang menuntun orang untuk mengerti dan memahami seluruh kebenaran yang tertuang dan Kitab Suci sendiri. [16] Roh sebagai saksi Yesus dan sebagai interpretator ekonomi keselamatan (keselamatan yang dikerjakan oleh Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus) yang memimpin dan membimbing kita menuju jalan keselamatan. Roh berkarya bersama Bapa dan Putra dalam aksi penyelamatan umat manusia. Roh memberikan kesatuan dan kekuasaan, serta mengarakan hati manusia kepada kebaikan dan kapada yang kudus. [17] 6. Penutup Tertulianus berbicara tentang Roh Kudus, ketika ia berbicara mengenai Trinitas. Ajarannya pada masa itu termasuk juga untuk membela kebenaran iman Kristen dari berbagai aliran sesat. Bagi dia, Roh adalah pribadi yang berasal dan keluar dari Bapa dan Putera. Dengan demikian, Roh Kudus secara real tampak sebagai penghubung antara Allah dan Kristus Tuhan, dan antara Kristus Tuhan dengan jemaat-Nya. Roh Kudus sebagai pemimpin dan penuntun ke dalam seluruh kebenaran. Roh yang demikian masih sangat relevan dan diharapkan pada zaman sekarang ini yang penuh dengan kejahatan, ketidakbenaran dan ketidakadilan. Roh Kudus yang diterima oleh orang beriman melalui sakramen pembaptisan dan diperkokoh dengan sakramen penguatan hendaknya dihidupi dan diberi kesempatan untuk berkarya dalam hati manusia. Gereja sebagai umat Allah dalam era modern ini hendaknya selalu berseru “datanglah Sang pencipta, Roh Kudus” veni creator Spiritus, ke dalam hati kami. Seruan ini kiranya menjiwai setiap anggota Gereja agar selalu sadar untuk berjalan dalam kebenaran iman dan moral. Maka amat penting bagi umat, agar semangat Roh Kudus jangan sampai dipadamkan. Sebab Gereja lahir, berkembang dan akan terus eksis menuju kepenuhan eskatologis jika semangat Roh Kudus dihidupi dan dihayati oleh umat beriman dalam seluruh hidupnya. Roh Kudus adalah Allah yang aktif, yang hadir dalam diri Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus, Roh Kudus hadir secara aktif dalam jemaat. Iman jemaat tidak bisa hanya terarah pada salah satu pribadi Allah: Bapa, Putera, atau Roh Kudus saja, sebab karya penciptaan dan penebusan merupakan karya Allah Tritunggal Yang Maha Kudus. BUKU SUMBER: [1]Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 243. bdk. Kornelus Sipayung, Pneumatologi (Sinaksak: STFT St. Yohanes [tanpa tahun]), hlm. 2. (diktat). [2]Montanisme adalah suatu gerakkan kebangkitan rohani yang didirikan oleh Montanus (seorang kafir yang bertobat, lalu menjadi pastor) bersama dengan kedua putrinya Priskilla dan Maximilla. Ia mewartakan akhir dunia dan memandang kegiatan para nabi asketik sebagai tanda-tanda akhir zaman. Bisa dikatakan Montanisme adalah sebuah kegerakan Pentakosta pertama dalam sejarah Gereja yang menekankan ekstasi, bahasa roh dan nubuat berdasarkan karunia Roh Kudus. Gerakan ini kemudian dikutuk oleh Gereja. [Lihat. Geraldo Collins dan Edward G. Farugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 208.] [3]New Catholic Encyclopedy, vol XIII (Washington: The Catholic University of America, 1981), hlm. 1019-1020. bdk. Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja …, hlm. 62-63. [4]Sihol Situmorang, Patrologi: Studi Tentang Bapa-bapa Gereja Sebuah Pengantar (Sinaksak, STFT St. Yohanes [tanpa tahun]), hlm. 38-40. (diktat). [5]Sihol Situmorang, Patrologi…, hlm. 38. [6] Sihol Situmorang, Patrologi…, hlm. 38. [7]Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 1…, hlm. 135. bdk. Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja, (Malang: Dioma, 2010), hlm. 62 [8]Paus Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja: Hidup Ajaran dan Relevansi Bagi Manusia di Zaman Kini (Malang: Dioma, 2010), hlm. 65. [9]Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastens, Patrologi volume III, (Washington, DC: Notre Dame in the Catholic University of America), hlm. 284-285. [10]New Catholic Encyclopedy, vol XIII…, hlm. 1021. [11]Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 270. [12]Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja…, hlm. 65. bdk. Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastens, Patrologi …, hlm. 286. [13]A. Heuken, Ensiclopedi Gereja, jilid VII (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 136 [14]Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quasten, Patrologi …, hlm. 286; bdk. juga Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271. [15]C. Groenen, Kitab Suci Tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Anak Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 75. [16]Tertullian, Ancient Cristian Writers, (New York: Newman Press, 1959), hlm. 44. bdk. Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastes, Patrologi …, hlm. 287; bdk juga. Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271. [17]William van Roo, Telling about God. Vol III (Roma: Editrice Pontifician Universita Gregorian, 1989), hlm. 38. bdk. Nico Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271.

Sabtu, 26 Mei 2012

KITAB SUCI: PAULUS MEMBELA KEBENARAN AJARANNYA DI YERUSALEM (Uraian Eksegetis Atas Galatia 2:1-10) Oleh: Erick M. Sila

I. Pengantar Sejak semula Paulus telah dipilih Allah untuk menjadi pewarta Sabda-Nya. Pilihan Allah atas diri Paulus terjadi secara defenitif ketika ia sedang dalam perjalanannya ke Damsyik. Paulus dipanggil Allah dari jalan yang jahat kepada jalan yang benar; dari seorang penganiaya jemaat Allah kepada pewarta Sabda Allah. Menjadi seorang pewarta Injil bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Paulus. Banyak tantangan dan halangan yang ia hadapi. Menghadapi tantangan yang berat, dibutuhkan ketahanan dalam diri Paulus. Ia harus memilih jalan mana yang harus diikuti. Maju dalam pewartaan sabda Allah itu atau menyerah saja kepada keadaan. Paulus menyadari bahwa panggilan untuk mewartakan Injil diberikan oleh Allah dan bukan dari manusia. Allah yang menyatakan diri kepada Paulus. Kesadaaran akan panggilan Allah adalah kunci bagi Paulus untuk terus mewartakan Injil. Di Galatia ada pertentangan di antara kelompok-kelompok. Persoalan ini beasal dari pewartaan Paulus kepada mereka. Paulus dituduh oleh orang-orang Yahudi sebagai penyebar ajaran sesat dan bertentangan dengan hukum taurat. Oleh karena itu, ada “saudara-saudara palsu” yang menuntut umat Galatia agar menyerupai umat di Yerusalem. Tekananya pada hukum taurat yakni tentang sunat. Bagi orang Yahudi, hukum taurat adalah hukum yang harus ditaati secara radikal. Dengan demikian, pewartaan Paulus di tengah-tengah orang tak bersunat atau kaum kafir adalah pelanggaran besar. Orang-orang Yahudi menekankan taurat, menekankan sunat dan adat istiadat, sedangkan Paulus menekankan iman. Bagi Paulus iman akan Yesus Kristus yang bangkit adalah yang menyelamatkan. Tuduhan inilah yang menyebabkan Paulus datang ke Yerusalem untuk membela pewataannya. Untuk memahami secara lebih mendalam tentang perikop ini, penulis akan mebahasnya dalam eksegese berikut. II. Eksegese Perikop Gal 2:1-10 1 Kemudian setelah lewat empat belas tahun, aku pergi pula ke Yerusalem dengan Barnabas dan Titus pun kubawa juga. 2 Aku pergi berdasarkan suatu penyataan. Dan kepada mereka kubentangkan Injil yang kuberitakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi – dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpandang -, supaya jangan dengan percuma aku berusaha atau telah berusaha. 3 Tetapi kendatipun Titus, yang bersama-sama dengan aku, adalah seorang Yunani, namun ia tidak dipaksa untuk menyunatkan dirinya. 4 Memang ada desakan dari saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang menyelundup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Kristus Yesus, supaya dengan jalan itu mereka dapat membebankan kita. 5 Tetapi sesaatpun kami tidak mau mundur dan tunduk kepada mereka, agar kebenaran Injil dapat tinggal tetap pada kamu. 6 Dan mengenai mereka yang dianggap terpandang itu bagaimana kedudukan mereka dahulu, itu tidak penting bagiku, sebab Allah tidak memandang muka – bagaimanapun juga, mereka yang tepandang itu tidak memaksakan sesuatu yang lain kepadaku. 7 Tetapi sebaliknya, setelah mereka lihat bahwa kepadaku telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti kepada Petrus untuk orang-orang bersunat 8 – karena Ia yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, Ia juga yang telah meberikan kekuatan kepadaku untuk orang-orang yang tidak bersunat. 9 Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes yang dipandang sebagai sikoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat; 10 hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya. Eksegese: Ayat 1: Dalam ayat pertama ini, Paulus mengisahkan tentang perjalanannya yang kedua ke Yerusalem. Dikatakan: “Setelah empat belas tahun”, tetapi tidak dikatakan dengan jelas setelah apa. Ada yang mengatakan empat belas tahun setelah pertobatannya, ada yang mengatakan setelah kunjungannya yang pertama kepada Petrus dan ada juga yang mengatakan setelah karyanya di Siria dan Kilikia, seperti yang dikatakan oleh G. Luedemann. Dalam ayat ini, Paulus juga menyebutkan orang-orang yang menyertainya dalam perjalanan itu. Orang-orang itu adalah Barnabas dan Titus. Titus adalah seorang Yunani, seorang yang bukan Yahudi. Maksud Paulus menempatkan sosok Titus di sini kiranya jelas bahwa Paulus ditugaskan oleh Allah untuk memberitakan Injil di tengah orang-orang bukan Yahudi selama itu. Paulus mewartakan Injil di tengah orang-orang kafir dan tidak bersunat. Ayat 2: Di sini Paulus menegaskan: “Aku pergi berdasarkan suatu penyataan”. Yang di maksud di sini bahwa Paulus pergi mewartakan Injil di tengah orang-orang bukan Yahudi atau orang-orang kafir adalah atas penyataan kehendak Allah. Ia pergi bukan atas kehendak sendiri atau atas kehendak orang lain, melainkan atas kehendak Allah. Allahlah yang menyatakan perintah-Nya kepada Paulus untuk mewartakan sabda-Nya di tengah orang-orang kafir, kepada jemaat di Galatia. Kepada jemaat inilah Paulus membentangkan Injil Kristus yang bangkit. Maka atas perintah Allah, Paulus tidak meragukan ajarannya. “Dalam percakapan tersendiri kepada mereka yang terpadang”. Yang dimaksudkan Paulus di sini ialah tokoh-tokoh agama di Yerusalem yakni Kefas, Yakobus dan Yohanes. Dalam sebuah pertemuan pribadi dengan mereka, Paulus menjelaskan ‘kabar gembira’ yang ia sampaikan kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi selama waktu yang telah lewat. Paulus menyadari bahwa hal ini sangat penting dan harus diselesaikan dengan baik. Apalagi hal ini menyangkut ajaran iman Kristen menegenai Kristus yang bangkit. Oleh karena itu, Pulus berusaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa ajaran yang satu dan yang sama tentang Yesus kristus yang bangkit, itu juga yang ia wartakan di tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi. Jadi, bukan ajaran yang lain. Persoalan megenai Sabda Allah adalah masalah serius bagi Paulus. Dengan demikian, ia bekerja keras untuk meyakinkan tokoh-tokoh agama di Yerusalem agar jangan menjadi sia-sia apa yang telah ia lakukan. Paulus menyadari bahwa walaupun ia telah berhasil membuat banyak orang bertobat oleh karena Sabda Allah yang ia wartakan, tetapi kalau tidak ada dukungan dari Petrus, Yakobus dan Yohanes, maka semuanya akan sia-sia. Paulus khawatir akan perpecahan yang akan terjadi di antara jemaat Yahudi (kaum bersunat) dan jemaat bukan Yahudi (kaum tak bersunat). Kenyataan bahwa memang ada perbedaan di antara dua kelompok jemaat Allah ini. Akan tetapi bagi Paulus, jemaat Kristen Yahudi dan jemaat Kristen bukan Yahudi adalah satu di dalam Allah. Namun semuanya ini akan sia-sia jika tidak ada pengakuan dari tokoh-tokoh jemaat di Yerusalem. Ayat 3: Dalam ayat ini, dengan jelas digambarkan bahwa masalahnya ialah tentang bersunat dan tidak bersunat. Persoalan ini dengan jelas merujuk pada Titus, seorang Yunani yang telah menjadi Kristen tetapi tidak bersunat. Menurut pemahaman Yahudi, setiap orang yang masuk dalam kelompok mereka harus mentaati hukum taurat. Hal ini berdampak juga bagi orang-orang Yahudi yang telah menjadi Kristen. Bagi mereka, setiap orang yang menjadi Kristen wajib mentaati hukum taurat, adat-istiadat dan sunat. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa bukan taurat yang meyelamatkan tetapi iman akan Yesus Kristus yang bangkit itu yang menyelamatkan. Fakta bahwa Titus tidak bersunat namun telah menjadi Kristen, merupakan kesempatan yang baik bagi mereka untuk menyerang Paulus. Ayat 4: Paulus mengatakan bahwa ada beberapa saudara yang berusaha membelokan ajaran Paulus. Ia menyebut mereka sebagai “saudara-saudara Palsu”. Paulus menyebut mereka “saudara palsu” karena mereka menyebut diri orang Kristen, Pengikut Kristus, tetapi cara hidup mereka tidak menunjukan identitas tersebut. “Saudara-saudara palsu” ini menghasut para pengikut Paulus untuk menyerang Paulus. Mereka selalu memata-matai Paulus dalam karyanya. Dari itu, mereka berharap dapat menemukan bukti yang cocok untuk memaksa Paulus dan pengikutnya mengikuti tata cara ritual di Yerusalem. Dalam menghadapi mereka, Paulus mengatakan bahwa mereka membatasi kebebasan Paulus. Tekanan Paulus mengenai kebebasan bukan pada dirinya sendiri, melainkan dalam Kristus, sebab hanya dalam Dialah kita bebas (Gal 3:28). Ayat 5: Atas dasar itulah Paulus bertahan terhadap mereka. Paulus bertahan terhadap usaha penghancuran dan pembatalan terhadap Injil. Ia berjuang mati-matian demi kebenaran Injil. Memang, kebenaran itu hanya ada dalam Injil dan tidak ada kebenaran lain selain Injil Kristus itu sendiri. Kebenaran itulah yang dipersolkan oleh beberapa saudara palsu. Oleh karena itulah Paulus mengatakan: “Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum taurat, maka sia-sialah kematian Kristus (bdk Gal 2:21). Ayat 6: Mengenai para pemimpin jemaat di Yerusalem, Paulus sangat menghargai dan menghormati mereka. Akan tetapi Paulus tidak melihat kedudukan di antara mereka itu sebagai sesuatu yang mutlak. Mungkin yang dimaksudkan Paulus tentang “bagaimana kedudukan mereka dahulu” adalah bahwa mereka mengenal Yesus sewaktu Ia masih berada di dunia. Mungkin juga Paulus membandingkan kehidupan mereka dan kehidupannya sendiri sebelum pertobatannya. Akan tetapi, karena kuasa kasih dari Allah, Paulus dipilih dan diangkat menjadi pewarta sabda Allah, sama seperti rasul-rasul yang lain. Atas dasar inilah Paulus berbicara menegenai mereka yang terpandang dan bagaimana kedudukan mereka dahulu, tidak penting bagi Paulus. Paulus menyadari bahwa Allah tidak memandang muka. Allah yang memanggil setiap orang menurut ketetapan-Nya. Yang terpenting adalah bahwa para pemimpin jemaat itu tidak memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan Injil Tuhan kepada Paulus. Ayat 7-8: Para pemimpin Jemaat Yerusalem melihat bahwa Allahlah yang memberikan kepercayaan pemberitaan Injil kepada Paulus. Tugas itu diberikan dari Allah dan diperuntukkan bagi orang-orang tak bersunat, sama seperti kepada Petrus bagi orang-orang bersunat (Yahudi). Di sini ditunjukkan dengan jelas bahwa tugas yang dijalankan oleh Petrus maupun Paulus, berasal dari Allah yang satu dan yang sama. Dari Allah yang satu dan yang sama itu juga Paulus mendapat tugas mewartakan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi (tak bersunat). Demikian juga kepeda Petrus untuk orang-orang Yahudi (bersunat). Ayat 9: Kerja keras Pulus untuk mentobatkan orang-orang kafir dan ketahanan Paulus dalam mewartakan Injil, sangat berkesan bagi para pemimpin jemaat di Yerusalem. Mereka melihat bahwa Allah yang berkarya dalam diri Paulus. Maka mereka berjabat tangan dengan Paulus sebagai tanda persekutuan. Mereka yakin bahwa Allah di pihak mereka. Yakobus, Petrus dan Yohanes yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, menyetujui pendapat mereka (Paulus dan Barnabas) dan menyebut mereka dalam kalangan para rasul. Setelah berjabatan tangan, mereka masing-masing melanjutkan tugas pewartaan yakni Petrus bagi orang-orang bersunat, sedangkan Paulus untuk orang-orang tak bersunat. Di sini juga nampak ada pembagian wilayah antara Petrus dan Paulus. Ayat 10: Hal terakhir yang dikatakan Paulus adalah bahwa ia harus mengingat orang-orang miskin. Di sini jelas bahwa walaupun Paulus mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, ia tetap menjaga dan menjalin hubungan dengan orang-orang Kristen Yahudi. Ia selalu mengingat orang-orang miskin yang tinggal di Yudea. Mengenai orang miskin, Paulus sangat menaruh kasih kepada mereka. Hal ini nampak dari perhatian Paulus yakni dengan mengirimkan persembahan setiap tahun untuk gereja di Yerusalem. III. Penutup dan Refleksi Paulus adalah orang pilihan Allah yang ditugaskan untuk mewartakan sabda-Nya. Paulus menerima panggilan Allah itu dan melaksanakannya dengan setia dan bakti. Ia tidak gentar terhadap tantangan-tantangan yang datang menimpa dirinya. Ia yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah akan selalu bersamanya. Ia tahu bahwa tugas ilahi ada padanya, maka tentu juga ia tahu bahwa kekuatan ilahi akan menyertainya dalam mengemban tugas itu. Persoalan mengenai sunat dan tidak bersunat adalah masalah besar dan berat bagi Paulus. Akan tetapi, Paulus tetap berpegang teguh pada kebenara Injil yakni bahwa keselamatan setiap orang tidak tergantung dari sunat atau tidak bersunat melainkan iman akan Yesus Kristus yang bangkit, itu yang menyelamatkan. Dalam mewartakan sabda Allah, kita juga sering dihadapkan dengan persoalah-persoalan yang menyangkut budaya atau adat istiadat tertentu. Di sini kita dituntut untuk mengambil sikap dan keputusan sesuai dengan kehendak Allah. Jadi bukan atas kehendak sendiri atau atas kehendak orang lain yang memeiliki kepentingan tertentu, melainkan atas kehendak Allah. Dalam mengambil suatu kebijakan atau keputusan, hendaknya kita mengikuti teladan Paulus. Paulus tidak secara gegabah mengambil keputusan pada saat menghadapi tantangan dan halangan dalam pewartaannya. Sekalipun ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat, Paulus merasa perlu berbicara dengan para pemimpin jemaat. Salah satu sikap buruk yang harus diatasi pada manusia sekarang ini adalah kecenderungan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Bagaimanapun juga kekerasan tidak akan menyelesaikan suatu masalah. Sikap lain yang ditunjukkan Paulus adalah sikap kerendahan hati. Sikap ini ditunjukkan Paulus kepada para pemimpin jemaat di Yerusalem. Paulus sangat menghargai dan menaruh hormat kepada mereka. Walaupun demikian, sikap ini tidak mengurangi keteguhan Paulus dalam mepertahankan kebenaran Injil. Sikap hormat yang ditunjukan Paulus ini bukan untuk mendapatkan restu dari manusia melainkan restu Allah.

LITURGI: SIMBOL GARAM DALAM LITURGI GEREJA (Oleh: Erick M. Sila)

I. Pendahuluan Perayaan-perayaan Gereja Katolik syarat dengan simbol-simbol. Melalui simbol, Gereja secara simbolis mengungkapkan makna terdalam dari sebuah perayaan. Simbol merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari perayaan-perayaan liturgi Kristen. Simbol bukan hanya sebuah ekspresi tetapi terutama sebagai lambang sakramental yang menghadirkan Kristus, iman Gereja dan realitas hidup umat Kristen yang baru di dalam Roh Kudus. Orang-orang Kristen memakai simbol dalam liturgi untuk menyatakan relasinya dengan Allah dan komunitasnya. Salah satu simbol yang dikenal dan dipakai dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja Katolik adalah garam. Berbicara tentang garam, semua orang tentu sudah mengenal apa itu garam, bagaimana rasanya, warna, sifat dan manfaatnya dalam kehidupan manusia. Garam adalah salah satu kebutuhan primer dari manusia. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur yang tidak diberi garam. Pasti terasa hambar dan tidak enak untuk dinikmati. Garam sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Selain berguna untuk kebutuhan manusia sehari-hari, garam juga bermanfaat untuk keperluan rohani khususnya digunakan dalam perayaan-perayaan liturgi Kristen. Yang menjadi pertanyaan kita adalah apa sebenarnya manfaat garam itu dalam kehidupan manusia dan apa makna yang terkandung di dalamya, serta bagaimana garam itu digunakan dalam tradisi Kitab Suci, sehingga Gegreja menjadikan garam serbagai salah satu simbol dalam perayaan-peyayaan liturgi. Akan tetapi, ada persoalan bahwa simbol garam ini sangat sedikit dibahas dalam buku-buku liturgi. Hal ini mungkin karena pada zaman sekarang ini, garam hanya digunakan secara fakultatif dalam pembaptisan dan pemberkatan air suci. Walaupun demikian, penulis mencoba membahasnya secara lebih mendalam pada paper ini. II. Garam A. Manfaat dan Sifat-sifat garam Untuk mengetahui manfaat dan sifat-sifat garam, pertama-tama kita harus mengetahui apa itu garam. Menuru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) garam adalah senyawa kristalin (NaCl) yang merupakan clorida dan sodium. Sedangkan menurut Ensiklopedi Umum, garam adalah zat biasa yang banyak dipakai oleh manusia, dan merupakan bagaian terbesar dari pada semua zat padat yang larut dalam air laut dan danau asin; juga didapatkan sebagai endapan besar garam karang. Berbicara tentang garam, semua orang tentu mengenal apa itu garam. Akan tetapi, kalau kita ingin mengetahui apa gunanya garam tanyalah kepada ibu-ibu, pastilah mereka tahu apa gunanya. Karena garam adalah bumbu masak utama di setiap dapur rumah tangga. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur atau makanan yang tidak diberi garam? Bagaimana reaksi kita pada saat memakannya? Pasti kita akan merasa cemberut dan marah-marah. Akan tetapi, jika sayur atau makanan itu diberi garam yang cukup pasti akan menjadi nikmat dan kita pasti merasa senang dan bahagia dalam menikmatinya. Manfaat garam yang kedua adalah mengawetkan. Salah satu contoh nyata dalam kehidupan kita adalah adanya ikan asin, yaitu ikan yang diawetkan dengan garam. Demikian juga dengan daging. Daging yang telah dicampur dengan sedikit garam, bisa disimpan lama tanpa membusuk. Sifat-sifat dari garam adalah berwarna putih, rasa asin dan dapat larut dalam air. B. Pemakaian Garam dalam Kitab Suci Dalam tradisi Kitab Suci, garam sudah biasa dikenal masyarakat dan banyak digunakan dalam berbagai macam keperluan sehari-hari. Orang-orang Fenisia mengumpulkan garam dari hasil penguapan air laut yang berasal dari tambak-tambak yang ada, sedangkan orang-orang Ibrani mengumpulkan garam yang banyak tersedia di tepi laut mati. Di tepi laut mati banyak ditemukan persediaan garam dan tempat ini biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan peristiwa hukuman Allah atas Sodom dan Gomora, di mana istri lot berubah menjadi patung garam ketika ia melawan perintah Allah (Kej 19:26). Garam dipakai baik untuk keperluan jasmani (sebagai bumbu masakan), maupun keperluan rohani atau ritual. Dalam uacara-upacara ritual bangsa Israel, garam digunakan untuk memurnikan persembahan-persembahan yang dikurbankan. Selain itu, garam juga digunakan sebagai pengawet dan sebagai tanda “perjanjian garam” dengan Allah. Dalam Kitab Suci, garam juga digunakan untuk memurnikan air. Nabi Elisa menggunakan garam untuk memurnikan dan menyehatkan air yang tidak baik pada mata air di Yerikho (2 Raj 2:19-22). Bayi-bayi yang baru lahir diolesi dengan garam sebelum dibedunggi (Yeh 16:4). Yesus sendiri mengatakan “Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13). Perkataan Yesus ini bukanlah sebuah perintah “kamu harus menjadi garam dunia”, melainkan: “kamu adalah garam dunia”. Garam pada zaman Yesus adalah sesuatu yang sangat penting dan bahkan sangat mahal. Garam pernah disebut “emas putih” karena digunakan sebagai alat pembayaran. Di bawah pemerintahan Antiokhus Epifanes, Siria menetapkan pajak garam untuk dibayarkan kepada Roma. III. Pemakaian Garam dalam Liturgi Garam merupakan salah satu simbol yang dipakai dalam liturgi Kristen. Garam dalam liturgi dipakai sebagai simbol kerendahan hati dan kebijaksanaan. Pada tahun 1969, garam yang telah dicampurkan dengan air, diberkati oleh imam untuk digunakan dalam upacara pembaptisan. Dalam liturgi kita garam hanya digunakan secara fakultatif bagi persiapan pembaptisan dan pemberkatan air suci. Garam yang telah dicampurkan dengan air pembaptisan menyebabkan pembebasan dari dosa serta mengantar orang masuk ke dalam kehidupan Tritunggal Mahakudus, karena orang yang dibaptis mengambil bagian dalam misteri paskah Kristus. Selain dalam berbagai upacara liturgis, garam juga digunakan dalam upacara pengusiran roh-roh jahat. Dalam salah satu poin yang terdapat dalam Traditio Apostolica-nya, Hipolitus melaporkan bahwa beberapa minggu sebelum malam paskah yakni masa intensif untuk persiapan babtis bagi mereka yang terpilih sebagai orang-orang yang dipanggil Tuhan masuk dalam jemaat keselamatan, mereka juga diikutsertakan dalam ibadat sabda dan aneka kegiatan liturgis lain. Misalnya, mengikuti kegiatan liturgi: eksorsisme, penumpangan tangan, pemberian tanda salib (di dahi), penyerahan credo, doa Bapa Kami dan pemberian garam. Fungsi khusus dari garam ini adalah untuk melindungi tubuh atau tempat-tempat dari gangguan atau kekuatan roh jahat. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1237 dikatakan bahwa: Karena pembaptisan adalah tanda pembebasan dari dosa dan penggodanya, ialah setan, maka diucapkan satu atau beberapa eksorsisme ke atas orang yang dibaptis atau meletakan tangan di atasnya; sesudah itu orang yang dibaptis menyangkal setan. Dikisahkan bahwa seorang ibu mengunakan air suci yang sebelumnya telah dicampur garam untuk menyeduk kopi atau teh yang akan diberikan kepada anak atau suaminya yang diduga terkena roh jahat. Santa Theresia dari avila mengatakan bahwa tidak satupun yang mampu membuat roh jahat lari tunggang-langgang tanpa berpaling kecuali air suci. Garam dalam liturgi kita dipakai sebagai simbol pembersihan (bdk. Im 2:13; 2 Raj 2:20-22), baik pembersihan dari dosa mapun dari kekuatan-kekuatan jahat. Fungsi garam memiliki hubungan yang erat dengan misi Yesus bagi manusia. Yesus pernah bersabda: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apa ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13). “Kamu adalah garam dunia”. Yang ingin dikatakan Yesus terutama adalah kamu sangat berharga dan penting bagi misi kerajaan Allah di dunia. Artinya, kita mempunyai tugas penting di dunia ini untuk menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan yang baik, menyembuhkan segala sesuatu yang sakit, menyelamatkan, dan sebagainya. Garam hanya ada gunanya apabila dipakai. Garam jarang ditemukan dalam bentuk yang murni. Garam semacam ini terjadi dari karang atau fosil. Karena ketidakmurnian dan perubahan-perubahan kimiawi, membuat garam itu cepat rusak dan menjadi tawar apabila disimpan terlalu lama. Garam yang disimpan lama sama saja dengan dibuang dan diinjak-injak orang. Sama dengan Gereja dan kekristenan kita. Hanya ada gunanya kalau melakukan fungsi dan misinya di dunia ini. Itulah yang telah dilakukan Gereja melalui simbol garam ini. IV. Penutup dan Refleksi Garam merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Garam dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai keperluan. Garam dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik, menyembuhkan yang sakit, dan menyelamatkan. Fungsi garam tidak hanya dilihat sebagai salah satu kebutuhan jasmani saja (sebagai pengewet makanan), melainkan juga untuk kebutuhan dan keperluan rohani. Garam digunakan dalam liturgi Gereja Katolik sebagai simbol pemurnian atau pembersihan dari dosa, pengusiran roh jahat dan menyelamatkan. Melalui simbol garam yang diterima bersama dengan air pada waktu pembaptisan, kita diterima menjadi anggota jemaat baru kerajaan Allah. Melalui pembaptisan kita dibebaskan dari dosa dan melestarikan kembali hubugan kita dengan Allah yang telah rusak. Garam dalam perayaan liturgis lain seperti eksorsisme, berfungsi membebaskan dan menyembuhkan manusia dari ikatan roh jahat. Menjadi garam dunia berarti mampu memberikan rasa yang lebih kepada dunia, dengan membahagiakan orang lain, bukan membahagiakan diri sendiri. Kita dipanggil untuk menyaksikan dan mewujudkan cinta kasih Allah di dunia ini. Dengan menjadi alat misi kasih Allah, kita dapat memberikan rasa yang berbeda kepada dunia. Garam mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil dan diutus untuk memelihara ciptaan Allah yang semakin terancam dan rusak. Selain itu, sebagai orang Kristen, kita juga diberi tugas untuk memulihkan kembali hubungan-hubungan yang rusak baik antara sesama manusia, maupun keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan dengan Allah penciptanya. Garam menyelamatkan. Sebagai orang Kristen kita diberi tugas dan tanggungjawab untuk melindungi keluarga dan orang-orang di sekitar kita dari setan dan pengaruh jahat lainnya. Misalnya, judi, pelacuran, minuman keras, narkoba dan tindakan jahat lainnya. Hal terakhir yang harus kita pelajari dari salah satu sifat garam adalah larut dalam masakan, tidak tampak oleh mata tetapi pengaruhnya terasa. Nah, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus berani mengorbankan diri sendiri, berani mentransformasikan diri dalam dunia di mana kita berada. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, Pengikut Kristus, kita harus meneladan sifat-sifat garam itu. Kita harus berusaha menjadi suci, putih seperti garam. Dalam kehidupan berkomunitas dan bermasyarakat, kita larut di dalamnya, tanpa menonjolkan diri tetapi keberadaan kita bisa memberi warna terhadap lingkungan di mana kita berada. BUKU SUMBER: Johanis Sembiring, Liturgi Fundamental (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 17. (diktat). Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Litusrgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 148. Hasan Alwi et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 335. Hasan Shadily, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 353. Bdk. Ayb 6:6; Mat 15:13. Bdk. Bar 6:27; Im 2:13. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 326. George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible (Nashville, United States of America: Abingdon Press, 1986), hlm. 167. Bdk. Mat 5:13; Mrk 9:50; Kol 4:6. Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh stefen Leks – A. S Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 236; bdk juga Im 2:13; Yeh 43:24; Mrk 9:49. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (judul asli: The New Bible Dictionary), diterjemahkan oleh R. Soedarmo et al (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), hlm. 327; bdk juga Bil 18:19; 2 Taw 13:5. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 327. Rev. Jovian – P. Lang, Dictionary of the Liturgi (New York: Catholik Book Publishing Co., 1989), hlm. 572. Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar…, hlm 148. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologi, Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 225. Katekismus Gereja Katolik 1998, edisi resmi bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Percetakan Arnoldus, 1998), no. 1237. Gabriele Amorth, Seorang Eksorsis Menceritakan Kisahnya (Jakarta: Mrian Centre Indonesia, 2010), hlm. 155. Scott Hahn, Tanda-tanda Kehidupan: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya (Malang: Dioma, 2011), hlm. 38. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 237.

Kamis, 24 Mei 2012

Kristus Sang Penyelamat Tunggal: Sebuah Refleksi Atas Teologi Tentang Agama-agama (Oleh: Erick M. Sila)

Setelah mempelajari teologi tentang agama-agama, saya lebih memahami bagaimana konsep tentang Allah dalam agama-agama dan bagaimana agama Kristen berhadapan dengan mereka perihal paham tentang keyakinan akan Allah yang satu dan yang sama. Sebagai agama wahyu, agama yang benar, (Kristus sebagai penyelamat tunggal bagi seluruh umat manusia), agama Kristen harus mengambil sikap yang nertal. Gereja Katolik harus membebaskan diri dari sikap egoisme dengan terbuka terhadap agama lain demi membangun sebuah dialog. Sikap tebuka bukan berarti agama Kristen harus melebur dan membentuk satu agama besar, melainkan mepertanggungjawabkan iman Kristen, bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat Tunggal. Mewartakan Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit. Dengan demikian, Gereja mengambil sikap menerima setiap perbedaan yang dimiliki setiap agama, akan tetapi agama lain diakui belum sempurna. Oleh karena itu, yang belum sempurna itu harus disempurnakan dalam dan melaui Yesus Kristus. Melaui sebuah refleksi yang mendalam, saya menemukan kekuatan dan pengakuan luar biasa, bahwa Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia. Yesus Kristus adalah Sang Penyelamat. Ketika merenungkan hingga titik ini, saya secara pribadi menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak dapat saya pungkiri. Kiranya kebenaran-kebenaran ini juga merupakan pengalaman semua orang. Kebenaran yang saya maksudkan di sini adalah jalan-jalan yang dipakai Yesus untuk keselamatan manusia. Kebenaran-kebenaran ini merupakan hal yang sangat hakiki dan universal terjadi dalam kehidupan manusia. Kebenaran ini tidak bisa kita hindari dalam kehidupan kita sehari-hari. Jalan kebenaran itu ialah jalan salib. Salib adalah kesaksian cinta paling tinggi yang diajarkan Yesus kepada manusia. Di salib ada cinta, pengorbanan, keadilan, kerendahan hati, kemiskinan dan pemberian diri. Di salib terkandung semua yang baik, benar dan positif. Bagaimanapun juga saya dan kita semua tidak bisa menyangkal semua kebenaran ini, sebab semua ini sudah kita alami dalam kehidupan kita setiap hari. Misalnya, pengalaman dicintai, pengalaman menderita, pengelaman keadilan dan ketidakadailan, dan sebagainya. Saya sangat beryukur karena saya adalah seorang katolik, lahir dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan katolik, dan bahkan lebih lagi dipanggil untuk bekerja di lading anggur-Nya. Walaupun demikian, belum tentu saya selamat jika tidak menamalkan dan menghayati iman itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya bersyukur karena boleh mengenal Kristus. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana dengan saudara-saudaraku non-kristen? Mereka tidak atau belum mengenal Kristus. Lalu bagaimana mereka bisa selamat? Jawabannya ialah bahwa mereka juga bisa selamat karena iman implisit. Mereka akan selamat karena agama dan imannya kepada Allah. Agama-agama non-kristen juga mengajarkan hal-hal yang baik seperti Kristus ajarkan yakni: cinta, keadilan, pengorbanan, kejujuran, kebaikan dan sebagainya. Ketulusan hati setiap orang yang terdorong untuk selalu melakukan hal-hal yang baik, benar dan positif itu, mereka akan memperoleh keselamatan. Maka, iman semacam ini dinamakan iman implisit yang selalu mengarahkan hidupnya kepada yang eksplisit itu yakni Yesus Kristus sang penyelamat seluruh umat manusia. Dengan demikian, orang seperti ini akan lebih mendapat jaminan, daripada seorang Kristen yang hidup tidak sesuai dengan ajaran Kristus sendiri. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, penganut Kristus sejati, saya harus harus menyatakan dan mewartakan Kristus kepada setiap orang melalui sikap, tutur kata dan perbuatan saya setiap hari. Inilah tugas seorang pengikut Kristus.

EKOLOGI: PANGGILAN KERJA MANUSIA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Oleh: Erick M. Sila)

I. Pendahuluan Sejak semula manusia dipanggil untuk mengusahkanan alam melalui pekerjaan-pekerjaannya. Ketika Allah menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan - Ia Befirman: “Sungguh amat baik”. Lalu Allah meberkati mereka, dan berfirman: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alam. Hanya melalui dan di dalam alam, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Kerja adalah “bersibuk dengan alam”. Dewasa ini, manusia semakin tergoda untuk meningkatkan prestasinya dalam bidang kerja. Akibatnya, orang berlomba-lomba untuk bekerja, sering juga dengan mengorbankan alam demi kepentingannya sendiri. Alam semakin dieksploitasi sehingga alam sering dipandang hanya sebagai sarana atau alat bagi manusia. Padahal kerja itu akan menjadi bermakna apabila manusia “memanusiakan” dunia sehingga lingkungan alam yang “dimanusiakan” itu pada akhirnya memanusiakan manusia. Manusia melalui kerjanya yang secara tidak terkendali mengeksploitasi alam demi kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan kerusakan alam yang terjadi. Karl Marx mengatakan bahwa ketika manusia pertama kali memetik buah yang terlarang, ia menggunakan tangannya sebagai alat genggam. Manusia jatuh dalm dosa karena tindakannya. Persoalan inilah yang menarik bagi penulis untuk membahasnya secara mendalam pada paper ini. II. Panggilan Kerja Manusia A. Latar Belakang Biblis Manusia adalah mahkluk yang bekerja. Hal ini mau menandaskan bahwa kerja tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia, sebab sejak awal mula manusia telah dipanggil untuk bekerja. Panggilan terhadap manusia untuk bekerja didasarkan pada Kitab Suci khususnya Kitab Kejadian. Di mana Allah pertama-tama menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Ketika Allah menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan - Ia Befirman: “Sungguh amat baik”. Lalu Allah meberkati mereka, dan berfirman: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Memang perintah untuk bekerja tidak secara eksplisit dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Kejadian tersebut. Tetapi, dari ayat-ayat tersebut kita dapat menemukan perintah yang mengacu pada kerja, yakni perintah yang harus dilaksanakan di dunia sebagai Citra Allah. Dengan melaksanakan perintah itu, manusia memerankan Allah yang bekerja. Kerja merupakan pelaksanaan perintah Allah yang dinyatakan dalam alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian, kerja adalah kodrat manusia yang tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Kerja merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk ciptaan yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya, Laborem Exercens. Dalam ensiklik tersebut, ia menegaskan bahwa hanya manusialah yang bekerja dan tidak setiap kegiatan untuk melestarikan hidup disebut kerja. Melalui karyanya, manusia mengisi dan mengembangkan dirinya di dunia. B. Kerja Sebagai Partisipasi dalam Ciptaan Allah Manusia diciptakan oleh Tuhan di dunia ini supaya ia menjadi manusia yang lebih manusiawi. Manusia juga diciptakan untuk mewakili Tuhan pada mahkluk-mahkluk lain. Hal ini bisa diwujudkannya dengan dan dalam pekerjaan. Manusia diberi tugas bersama dengan orang lain untuk membangun dunia secara lebih manusiawi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa, manusia melalui kerja tangan maupun teknologi mengolah alam, harus berusaha agar dapat menghasilkan buah sebagai yang layak bagi umat manusia. Dengan demikian, manusia sadar melaksanakan perintah Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia serta menyempurnakan alam ciptaan alam dan mengembangkan dirinya. Kerja sebagai partisipasi dalam karya ciptaan Allah nyata dalam kebenaran asasi manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kenyataan itu didasarkan pada Kitab Suci, Kitab Kejadian, yang memuat karya ciptaan Allah dalam bentuk “kerja” yang dilakukan Allah selama enam hari, dan pada hari yang ketujuh Ia beristirahat. Pada bab pertama kitab kejadian, kita menemukan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Di mana, dalam kitab tersebut diajarkan, bahwa manusia harus meneladani Allah penciptanya melalui kerja, sebab Allah bermaksud menyatakan kegiatan-Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Oleh karena itu, manusia juga bekerja selama enam hari dan pada hari yang ketujuh beristirahat untuk memuji Allah. Manusia harus memahami bahwa Allah mencipta secara evolutif, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang…” dan masih meneruskan ciptaan dunia. Pengikutsertaan dalam kerja dapat dihayati sebagai suatu keterlibatan diri secara kreatif bersama dengan Allah, untuk melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan umat manusia. Dengan bekerja, manusia ikut ambil bagian dalam ciptaan Allah, ikut memenuhi kebutuhan sesama saudara, menyumbangkan kegiatannya demi terlaksananya rencana Allah. III. Kerja dan Kerusakan Lingkungan Hidup A. Perubahan Cara Pandang dan Perilaku Pada zaman sekarang ini, semua orang tergoda untuk meningkatkan prestasinya di bidang kerja. Bahaya bahwa rang yang terlelu menekankan kerja akan jatuh pada aktifisme. Dengan demikian, manusia akan melakukan segala sesuatu demi kepentingan sendiri, sering juga dengan mengorbankan alam. Dengan itu manusia tidak hanya jatuh dalam bahaya aktifisme saja melainkan juga jatuh dalam bahaya konsumerisme. Manusia dalam kerjanya terlalu menekankan materi. Maka dengan demikian, alam dieksploitasi secara besar-besaran tanpa meperhatikan keseimbangan dan kerusakan alam yang terjadi. Akibatnya lingkungan alam mengalami kehancuran dan kerusakan yang lebih parah. Kesalahan cara pandang manusia atas perintah Allah: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”, melahirkan pola perilaku yang salah terhadap lingkungan hidup. Cara pandang manusia yang salah bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, hanya manusia yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri, sedangkan alam dan segala isinya dipandang hanya sebagai alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dipandang sebagai tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Perilaku eksploitasi dan tidak peduli terhadap alam adalah cara pandang yang keliru. Alam dipandang sebagai tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri, sehingga melahirkan sikap tidak peduli dan bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga alam. Pemahaman manusia yang keliru terhadap dirinya dan alam semesta, lahirlah perilaku kerja yang menyimpang dan bertentangan dengan panggilan Allah untuk bekerja. Dengan demikian manusia kehilangan kesadaran dan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara alam. Cara pandang yang keliru, tanpa sadar manusia telah melanggar kewajiban ontologis alam untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Manusia mementingkan dirinya sendiri yang kebanyakan menyimpang dan tidak sesuai dengan perintah Allah untuk memelihara alam ciptaan-Nya. Padahal kalau dilihat dari konteksnya, yang dimaksudkan Allah dengan ‘berkuasa’ adalah menjaga atau memelihara. B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada abad XVII dan abad XVIII, membawa perubahan besar dalam cara manusia modern. Di dunia barat khususnya memandang alam segabai objek ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan secara nyata menempatkan manusia di atas alam, terpisah dari alam. Manusia lebih diutamakan daripada alam. Dengan demikian, pekerjaan manusia modern yang sekular, mekanistis, memandang dirinya tuan atas alam. Cara pandang semacan ini melahirkan manusia yang eksploitatif, rakus dan tamak terhadap alam. Dengan demikian, alam yang dipertahankan kelestariannya pada akhirnya menjadi rusak karena digunakan sebagai lahan penerapan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan nampak juga dalam penggunaan alat-alat teknologi moder. Melalui alat –alat teknologi modern, manusia memperoleh keuntungan ganda, hidup manusia semakin mudah dan semakin nyaman. Teknologi melipatgandakan hasil kerja manusia. Akan tetapi, perlu disadari bahwa teknologi juga memiliki daya rusak yang besar terhadap lingkungan alam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kerja mnusia, membuat alam semakin “tidak berdaya”. Hutan yang begitu indah, gunung yang menjulang tinggi nan megah, padang rumput yang terhampar luas, menjadikan alam kehilangan nilai mitis dan nilai sakralnya akibat kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada akhirya, bukan saja keuntungan yang diperoleh manusia melainkan juga kehancuran dan bencana yang tidak dapat dihindarkan lagi. Perusakan lingkungan hidup adalah bentuk penghinaan terhadap persaudaraan atau solidaritas planetaris karena orang tidak lagi menghargai ciptaan-ciptaan. IV. Gerakan Cinta Lingkungan Hidup A. Habitus Baru Yang dimaksudkan dengan habitus baru dalam hubungan dengan lingkungan hidup dan kerja manusia adalah cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak yang baru. Manusia harus meninggalkan konsep atau pandangan lama tentang dirinya, jika selama ini manusia melihat dirinya sebagai penguasa atas alam, maka sekarang manusia harus melihat alam sebagai “sahabat” yang harus dijaga dan dipelihara kelestariannya. Manusia harus melihat bahwa alam dan lingkungan hidup juga mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Dengan merubah cara pandang terhadap alam, manusia berperanserta dan bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup. Manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap alam, terlepas dari kegunaanya bagi kepentingan manusia. Perubahan cara pandang manusia juga harus sampai kepada inti terdalam alam semesta yakni sebagai ciptaan Tuhan. Manusia harus sampai pada kesadaran bahwa ada yang keliru selama ini, dan perlu membuat perubahan. Singkatnya, pekerjaan manusia mengolah alam harus sampai pada tataran teologis. Pada tataran teologis, manusia harus menyadari bahwa rusaknya alam akibat tindakan manusia harus dipandang sebagai dosa. Di sini, dosa tidak lagi dipandang sebagai rusaknya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga manusia dengan lingkungan alam. Maka, tidak salah kalau orang memandang bencana itu sebagai hukuman dari Tuhan. Pada bagian ini, harus dipahami bahwa Kitab Kejadian dan kitab-kitab lain dalam Kitab Suci memberikan pemahaman bahwa bencana yang terjadi memiliki hubungan yang erat dengan keserakahan manusia. Oleh karena itu, pertobatan ekologis harus menyertai setiap upaya dan kerja manusia untuk berdamai dengan alam ciptaan. B. Gerakan Menanam Pohon Perubahan cara pandang dan pertobatan ekologis yang telah dilakukan menusia, harus dinyatakan melaui pekerjaan-pekerjaan yang nyata. Aksi nyata ini bisa direalisasikan lewat menanam pohon di pekarangan rumah atau di tempat lain yang memungkinkan untuk itu. Dalam hal ini, “Hutan adalah paru-paru bumi”. Unkapan ini mau menunjukkan bahwa pohon dan tumbuh-tumbuhan hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Coba kita bayangkan bagaimana manusia hidup tanpa paru-paru. Tentulah tidak mungkin. Sebagaimana paru-paru sangat penting bagi manusia, demikian juga hutan dan pepohonan hijau bagi bumi dan segala isinya. Manusia hidup dari oksigen yang diberikan oleh pepohonan hijau di sekitar kita. Tumbuhan hijau menyerap karbon dioksida dan memberikan oksigen untuk kelangsungan hidup manusia. Apabila kekurangan pohon, jumlah karbon dioksida (CO2) di udara meningkat sebagai efek dari rumah kaca. Sangat disayangkan bahwa pepohonan hutan yang sangat bernilai bagi manusia, ditebang secara tidak bertanggungjawab. Dikatakan bahwa, konsumsi pohon dunia antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin kurang lebih hampir sama: negara-negara miskin menggunakannya untuk mempertahankan hidup, sedangkan negara-negara kaya menggunakannya terutama untuk barang-barang mewah (untuk konstruksi 75% dan untuk kertas 87, 5%). Jumlah pemakaian pohon seperti itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kiranya dengan melihat perbadingan ini, kita semakin tergerak hati untuk lebih banyak menanam pohon. Dalam hal ini, kita patut berterima kasih kepada organisasi-organisasi, sekolah, universitas atau kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap lingkungan hidup, mengadakan reboisasi dan merawatnya hingga bertumbuh besar. Oleh karena itu, marilah kita bertindak bersama dengan memanam lebih banyak pohon. V. Penutup Lingkungan hidup yang asri adalah tempat yang indah dan nyaman untuk didiami manusia seturut rencana Allah. Manusia melalui pekerjaan-pekerjaannya, harus memandang alalm sebagai ‘sahabat’ dan bukan senagai ‘musuh’. Manusia harus merubah cara pandang yang lama tentang dirinya dan tentang alam. Alam juga memiliki nilai dalam dirinya sendiri seperti manusia. Manusia menggunakan alam untuk kelangsungan hidupnya seharusnya juga menjaga dan memeliharanya. Dalam mengusahakan alam, kita tidak boleh serakah. Inilah tuga bagi manusia seluruhnya. Manusia dalam mengolah alam, harus memikirkan juga generasi manusia yang akan datang. Masalah lingkungan hidup adalah juga menyangkut nasib hidup seluruh kehidupan di planet bumi ini. Lingkungan hidup adalah masalah hidup kita bersama kelak di kemudian hari. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan kembali rasa cinta terhadap lingkunga hidup, terhadap alam dengan tindakan nyata. Marilah kita bertindak sekarang atau memilih musnah bersama.

Kamis, 03 Mei 2012

CERPEN: CINTA BERUJUNG LUKA (Oleh: Erick Sila).

Pagi itu, langit tampak biru dengan sedikit awan putih di langit. Hari ini adalah awal tahun ajaran baru. Seperti biasanya, untuk membuka tahun ajaran baru setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) mengadakan Masa Orientasi Siswa (MOS). Demikian juga di sekolahku. MOS kali ini adalah suatu kesempatan yang sangat berharga bagiku. Ini merupakan kesempatan yang sangat langka. Ya, sebagai ketua kepribadian dan budi pekerti luhur dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), aku memiliki kesempatan sebagai salah satu anggota panitia MOS kali ini. Menjadi panitia MOS adalah kesempatan yang sangat berharga bagiku. Mungkin dan dan memang pasti demikian bahwa ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagiku menjadi paniatia MOS. Sebentar lagi aku akan tamat dan meninggalkan sekolah ini. Hari ini aku mendapat giliran menangani para murid baru yang ganteng dan cantik-cantik. Aku diberi kesempatan untuk membawakan program bina mental serta menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada siswa-siswi baru. Dalam pemaparan tersebut, entah mengapa tiba-tiba mataku berpapasan dengan sesosok tubuh indah dengan paras cantik yang menempati salah satu kursi di barisan paling belakang. Jujur, saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. “Apakah aku jatuh cinta?” aku bertanya demikian dalam hatiku. Mmm…, entahlah. Seminggu telah berlalu dan MOS pun telah berakhir. Kegiatan belajar mengajar di kelaspun sudah berjalan normal sebagaimana biasanya. Tidak sedikitpun aku melupakan tatapan matanya waktu itu. Setiap hari aku berusaha mencari tahuu dimana kelas gadis itu dan siapa namanya. Setelah bertanya-tanya, tenyata gadis manis itu adalah Dewi murid kelas 10 A. Dewi memang cantik dan mengagumkan bagiku. Aku telah jatuh hati kepadanya. Aku berusaha bagaimana cara mendapatkan cintanya. Cinta memang aneh, datang tak kenal waktu. Aku hanya bisa merasakan kapan cinta itu datang dan kapan pula perginya. Saat cinta bersemi, semuanya akan menjadi indah dan merubah segalanya menjadi rindu. Ya, aku merindukannya saat ini. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan cintanya. Dewi…, Oh, kenapa aku jadi terus teringat kepadanya? Akhirnya aku mengambil secarik kertas dan mulai menuluskan segala perasaan hatiku pada Dewi sang kekasih impian hatiku: Dear Dewi: Dewi, pertama sekali maafkanlah aku jika kedatangan suratku ini mengganggu konsentrasi belajar kamu. Aku harus jujur padamu bahwa selama ini aku telah berusaha untuk tidak mengatakan apa yang aku rasakan. Jujur, memendam perasaan itu adalah siksaan bagiku. Namun semakin lama perasaan itu tak sanggup aku bendung lagi. Sehingga dengan berani aku menulis surat ini… Semenjak hari pertama MOS, wajahmu yang cantik menawan hati itu tak sekejap pun hilang dari ingatanku. Aku telah terlanjur jatuh cinta padamu Dewi. Kamu adalah pilihan hatiku dan tidak ada yang lain lagi selain kamu seorang. Di mana aku memandang, seakan kamu ada di sana. Inikah yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu Dewi. Yang ku rasakan hanyalah bahwa aku selalu merindukanmu dan ingin sekali bertemu dan berbagi cerita bersamamu selalu. Bagiku, kamu adalah bintang kejora yang ku impikan selama ini. Di mana saat aku bertemu denganmu, di sekolah atau di manapun itu yang ku rasakan hanyalah bahagia. Tetapi aku tidak tahu harus dengan cara apa aku mengungkapkan perasaanku ini padamu. Namun aaku tidak tahu apakah bintang kejora yang kuimpikan itu masih bebas di langit malam nan biru? Belum ada yang memiliki? Jika memang sudah ada yang memiliki hatimu, aku mohon maaf karena sudah dengan lancang menulis surat ini. Semoga kamu mengerti akan perasaan hatiku. Rian. Beberapa hari berlalu, surat yang kutuliskan telah dibaca oleh Dewi. Ternyata Dewi menerima cintaku. Namu aku belum puas dengan jawaban itu. Aku ingin memastikannya sendiri bahwa Dewi benar-benar mencintai aku. Maka aku memutuskan untuk menemui Dewi secara langsung. Suatu hari setelah pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. aku mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi ‘ketemuan’ di Kebun Binatang besok setelah pulang sekolah. Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Kebun Binatang dimana aku memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatiku. Namun rupanya Dewi sudah tiba lebih dahulu di sana sebelum aku datang. Aku baru muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit. “Dewi…”! seru ku begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat aku datang. “Sudah lama menunggu?” tanya ku. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut ku sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi. “kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak ku. Dewi menurut. Maka kami pun melangkah beriringan menuju sebuah café di tengah-tengah taman itu. Sambil menunggu pesanan datang, kami pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri. “dewi…” “ya?” “Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”. “Kenapa?” “Karena akhiranya aku bisa mendapatkan bintang kejora yang ku impikan selama ini”. “Aku juga…” “Kenapa..?” “Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “O, ya? aku juga…” balas ku denga perasaan senang. Setiap aku dan Dewi lalui bersama penuh canda dan tawa. Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi kami untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya kami laksanakan dengan baik dan kini saatnya bagi aku dan Dewi untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa aku dan Dewi harus berpisah. Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagiku maupun Dewi. “dewi…” Aku memecah kesunyian di antara mereka. “Ya..” “Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?” “Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke Semarang. “Kalau kamu…??” aku terdiam sejenak. “Dewi..”. “Ya…”. “Aku telah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di sini saja. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”. “Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar. “Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Dewi kepadaku. “Dewi, kemanapun kamu melanjut itu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi. Jangan lupa SMS atau menelepon aku”, lanjut Dewi. “sayang, nomorku tidak akan pernah aku ganti, sebab nomor itu memiliki kenagan tersendiri bersamamu. Percayalah, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu namun hati kita selalu dekat”. Balasku meyakinkan Dewi. Dengan berlalunya waktu akhirnya saat yang tak aku sangka-sangka datang juga. Siang itu aku sangat lelah sehingga aku ketiduran sehingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul 14.04. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar hand phone ku berdering. Dengan cepat aku mengambilnya dari meja di samping tempat tidurku dan mulai membukanya. Aku kaget dan tidak percaya ketika membaca pesan itu. Dalam pesan tersebut Dewi memintaku menjemputmu di pintu gerbag rumahku. “Ah…, kamu hanya bercanda saja” demikian pikirku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti perintah Dewi. Aku keluar dan mengambil sepeda kecilku dari gudang, lalu dengan segera aku menuju ke gerbang untuk membuktikan apakah yang Dewi katakan itu benar atau hanya sebuah kebohongan belaka. Waktu itu ada dua pikiran dalam benakku. Pertama, jika itu hannya canda belaka, tidak mengapa. Sebab, aku telah berencana akan pergi dengan sepeda kecilku ke mana saja aku mau. Dan itu telah aku beritahukan kepada Dea adikku. Yang kedua, jika itu benar maka aku akan memeluknya dan mengatan betapa aku merindukan kehadirannya. Dengan sepeda kecilku aku melaju dari atas. Aku menghentikan sepedaku dengan tiba-tiba sehingga ban belakangnya terseret panjang. Aku tersentak kaget ketika melihat seseorang dengan sosok tubuh begitu indah berdiri mebelakangi arah dimana aku datang. Aku tidak percaya. Aku tidak tahu dengan kata apa harus ku ungkapkan kebahagiaanku saat itu ketika aku mengetahui dan melihat dengan jelas bahwa itu adalah Dewi. Karena perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat itu, aku kehilangan kata-kata. Aku tidak tahu mau mengatakan apa kepadanya saat itu. Yang aku rasakan hanyalah kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya dengan langkah santai aku menuntun Dewi menuju ke rumahku. Ya, rumah dimana kami berbagi cerita di saat Dewi masih di sini. Jujur, saat itu aku sangat bahagia karena Dewi masih mengingatku dan mengunjungi aku. Aku juga tahu bahwa masih banyak keluarga yang harus Dewi kunjungi selama liburanmu kali ini. aku juga tahu bahwa waktu liburan Dewi sangat singkat, namun aku bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena Dewi masih mengingat aku. Dewi telah berkorban banyak untukku. Korban waktu, korban tenaga dan segalanya demi aku. Lebih lagi, semua itu karena Dewi masih mencintai dan menyayangiku seperti yang dulu. Jika tidak, Dewi tidak akan datang melihat aku di sini. ”Sayang, aku tidak tahu dengan apa aku harus mebalasnya kepadamu. Yang aku miliki hanyalah cinta dan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih daripadaku selain kedua hal itu. Maka sebelum kamu pergi, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku sayang padamu. Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun. Walau dari tempat yang jauh ini. Bahkan bila aku mati, ku kan berdoa pada yang ilahi, agar kita bisa bersama lagi di surga nanti. Aku akan mengingat dan merindukanmu setiap saat”. Inilah kata terakhir dariku sebelum Dewi kembali lagi ke Semarang. Hari berlalu, tahunpun berganti. Setiap hari aku dan Dewi saling bertanya tentang kabar masing-masing. Kisah itu masih aku ingat dengan jelas. Aku ingat saat itu Dewi mengatakan kepadaku untuk tetap dan selalu menjadi sahabat terbaiknya selamanya. Aku juga ingat ketika Dewi bertanya apakah aku selalu kangen dengannya. Aku mengatakan bahwa itu benar. Aku selalu merindukanmu di setiap langkah hidupku. Tahukah kamu apa yang ku minta di setiap doa sepanjang hariku? Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu dilindungi. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintai dan menyayangimu sampai kapan pun. Aku tidak akan menuntut lebih dari kamu. Aku hanya ingin agar kamu tetap menjadi sahabat terbaikku selamanya. Engkaulah sang Dewi ku. Tinggallah bersamaku selamanya. Namun sayang…, semua tidak seperti yang aku bayangkan. Ya…, ia telah berubah. Ia tidak seperti Dewi yang aku kenal dulu. Semenjak Dewi berkenalan dengan kekasihnya yang baru itu, aku semakin di lupakan. Memang aku sadar bahwa aku bukan pilihan hatimu dan aku juga tidak pantas untukmu. Maka aku harus pergi…, Ya. Mungkin inilah waktunya. Namun sebelum aku berlalu… aku ingin mengatakan bahwa apa yang pernah aku katakan kepadamu dulu, akan selalu hidup di hatiku. Semoga kamu bahagia bersamannya… lebih bahagia dari yang pernah aku berikan untukmu. Akhir kata: “HASTA LA VISTA, BABY….”.

Sabtu, 17 Maret 2012

KUMPULAN PAPER KHK TINGKAT III (Oleh: Eric Sila, dkk)

1. VIKARIS JENDERAL & VIKARIS EFISKOPAL
2. DEWAN IMAM
3. DEWAN KEUANGAN DAN EKONOMI
4. DEWAN PASTORAL
5. KOLEGIUM KONSULTOR
6. VIKARIS YUDISIAL

1.Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal

A. Pengantar
`Il Vicario Generale é l’ombra del Vescovo demikianlah orang Italia mengatakan. Peran dan tugas Vikaris Jenderal dalam keuskupan seperti dalam bayang-bayang kuasa Uskup diosesan. Jadi kerap disebutkan bahwa Vikaris Jendral merupakan bayang-bayang dari potestas ordinaria Uskup diosesan dalam memimpin Gereja partikular yang dipercayakan oleh Takhta Apostolik kepadanya. Vikaris Episkopal juga memiliki fungsi tersendiri dalam Gereja partikular. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, perihal Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal tercantum dalam kanon 475 sampai dengan kanon 481.

B. Latar Belakang Diadakannya Vikjen dan Vikep
a. Vikaris Jenderal
Jabatan Vikaris Jendral muncul pada abad ke-XIII, sesudah konsili Lateran IV (1215). Pada masa itu diputuskan bahwa Uskup diosesan berwenang memilih seseorang yang terpercaya dan penuh kasih untuk membantunya dalam kepemimpinannya. Jabatan Vikjen ini ditetapkan secara definitif pada abad ke XVI pada masa konsili Trente 1545.
Dalam KHK 1917, Vikjen ditetapkan sebagai sebuah jabatan di bawah Uskup diosesan, dengan kuasa jabatan ordinaria, sedangkan pada kitab KHK 1983, jabatan Vikjen menjadi ‘wajib’ ada di setiap keuskupan (bdk Kan.475 §1): “Di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa jabatan untuk membantu Uskup memimpin seluruh keuskupan, menurut norma-norma kanon berikut.” Jabatan Vikjen diadakan untuk membantu Uskup diosesan dalam memimpin keuskupan.
b. Vikaris Episkopal
Jabatan Vikep muncul dari Konsili Vatikan II (bdk Christus Dominus no.27). Jabatan Vikep tidak wajib ada (bdk Kan 476): “Jika diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan baik, dapat juga diangkat oleh Uskup diosesan seorang atau beberapa Vikaris Episkopal, yang mempunyai kuasa jabatan yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris Jenderal di bagian tertentu keuskupan atau dalam bidang tertentu atau untuk kaum beriman ritus tertentu atau kelompok orang-orang tertentu, menurut norma kanon-kanon berikut ini”.
Uskup diosesan dapat mengangkat seorang vikep menurut kepentingan keuskupan (seturut ketentuan Kanon 476) menurut perlunya dan bilamana keuskupan membutuhkannya. Uskup diosesan dapat mengangkat beberapa Vikep dalam kepemimpinan pastoral. Vikep diangkat untuk membantu Uskup diosesan dalam memimpin keuskupan dengan wilayah tertentu atau kelompok umat tertentu.

C. Pengertian Vikjen dan Vikep
a. Pengertian Vikaris Jendral
Secara etimologi, kata “vikaris jenderal” berasal dari bahasa Latin, vikarius: pengganti, wakil, pejabat dan pembantu, dan jenderal : umum, semuanya, seluruhnya, seluruh jenis dan keseluruhan. Dalam terminologi hukum Gereja, Vikaris Jenderal diartikan sebagai wakil uskup dalam kepemimpinan pastoral di suatu keuskupan. Perbedaan yang paling mendasar dengan Vikaris Episkopal adalah tugas mereka. Vikaris Episkopal membantu Uskup diosesan untuk memimpin satu wilayah atau satu bidang tertentu. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 475 § 1, menetapkan bahwa Uskup diosesan wajib mengangkat seorang Vikaris. Hal ini berbeda dengan Vikaris Episkopal. Vikaris Episkopal tidak harus ada, tetapi jika diperlukan uskup boleh memilih dan mengangkat satu atau beberapa Vikaris Episkopal (kan. 476).
Sejak Konsili Vatikan II, nama Vikaris Episkopal diwajibkan dalam suatu daerah keuskupan. Vikaris Jenderal bertugas atas nama uskup diosesan yang mengutusnya. Vikaris Jenderal adalah sebuah organisasi yang diinkardinasikan pada kuria diosesan di tempat ia tinggal. Setiap Vikaris Jenderal diangkat secara bebas oleh Uskup diosesan yang berkuasa penuh di daerah dioses yang ia tangani. Uskup diosesan memilih dan mengangkat seorang imam yang terpercaya dan penuh kasih untuk membantunya dalam kepemimpinannya. Figur vikaris jenderal ditetapkan secara defenitif pada abad ke XVI pada masa Konsili Trente (1945).
b. Pengertian Vikaris Episkopal
Demi kelancaraan kegembalan yang baik, uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa vikep (Kan.476). Pengangkatan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dan efektifitas pelayanan misalnya luasnya keuskupan, jumlah umat atau pertimbangan pastoral lain yang sungguh mendasar. Para Vikep bekerja dengan kuasa jabatan yang diaplikasikan secara terbatas hanya untuk wilayah kevikepannya (Kan. 479 §2). Vikaris Episkopalis (Vikep) adalah jabatan yang diberikan kepada seorang pastor atau uskup auksiliari/koajutor dalam suatu keuskupan untuk mewakili sebagian tugas-tugas dan wewenang uskup dalam suatu wilayah yang lebih sempit atau untuk kelompok yang spesifik. Seperti halnya seorang vikaris jendral (vikjen), jabatan vikaris episkopal bersifat bukan seumur hidup dan akan kehilangan jabatannya begitu uskup yang melantiknya meninggal dunia atau mengundurkan diri.

D. Penunjukan dan Syarat-Syarat sebagai Vikjen dan Vikep
Vikaris Jendral wajib diangkat oleh Uskup diosesan dalam keuskupannya guna membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Sebagai pedoman umum hendaknya juga diangkat satu Vikjen saja, kecuali jika luasnya keuskupan atau besarnya jumlah penduduk ataupun alasan pastoral lain menganjurkan lain (kan. 475 § 2). Jika diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan baik, dapat juga diangkat oleh Uskup diosesan seorang atau beberapa Vikaris Episkopal, yang mempunyai kuasa jabatan yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris Jendral di bagian tertentu keuskupan (kan. 476).
Vikjen dan Vikep diangkat dengan bebas oleh Uskup diosesan dan dapat diberhentikan dengan bebas olehnya namun dengan tetap berlaku ketentuan kan. 406. Jabatan Vikjen dan Vikep bersifat bukan seumur hidup dan akan kehilangan jabatannya begitu Uskup yang melantiknya meninggal dunia atau mengundurkan diri (tahta lowong). Vikaris Episkopal yang bukan Uskup auxilier menurut kan. 477 § 1 hendaknya diangkat hanya waktu yang harus ditetapkan dalam pengangkatan itu sendiri.
Adapun syarat-syarat untuk jabatan Vikjen dan Vikep menurut kan. 478 adalah sebagai berikut:
• Imam yang berusia tak kurang dari tiga puluh tahun
• Mempunyai gelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi atau sekurang-kurangnya ahli dalam ilmu-ilmu itu
• Layak karena ajaran yang sehat
• Peri kehidupannya baik
• Arif dan berpengalaman kerja
• Jabatan Vikjen dan Vikep tidak dapat dipadukan dengan jabatan kanonik penitensiaris
• Juga tidak dapat diserahkan kepada sanak-saudara Uskup sampai tingkat keempat

E. Tugas dan Fungsi Vikjen dan Vikep
Berdasarkan jabatannya Vikaris Jenderal mempunyai kuasa untuk membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Vikaris Jenderal memiliki kuasa eksekutif (jabatan Vikaris Jenderal bersifat pastoral dalam bidang kuasa eksekutif menurut norma hukum) dalam seluruh keuskupan , tetapi bukan kuasa legislatif atau yudikatif. Menurut KHK, kuasa Vikaris Jenderal (wakil umum) sama seperti dimiliki Uskup sebagai pemimpin Gereja partikular (Kan. 134), yakni boleh melakukan semua tindakan administrasi selain yang direservasikan uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus daru uskup (misalnya: memberi dispensasi dari hukum displiner yang berlaku bagi seluruh umat).
Dalam lingkup kewenangannya Vikaris Jenderal mempunyai kewenangan habitual (facultates habituales) yang diberikan Tahta Apostolik kepada Uskup: demikian juga pelaksanaan reskrip, kecuali dengan jelas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya. Tugas Vikaris Jenderal biasanya memimpin administrasi keuskupan. Selain itu Vikaris Jenderal harus melaporkan kepada Uskup diosesan urusan-urusan yang utama, baik yang akan maupun yang telah dilakukan, dan janganlah pernah mereka bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup Diosesan.
Demi alasan pelayanan pastoral, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa Vikep (Kan. 476), selain Vikjen. Pengangkatan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dan efektifitas pelayanan misalnya luasnya keuskupan, jumlahnya umat atau pertimbangan pastoral lain yang sungguh mendasar. Para Vikep bekerja dengan kuasa jabatan yang persis sama dengan kuasa jabatan seorang Vikjen namun diaplikasikan secara terbatas hanya untuk wilayah kevikepannya (Kan. 479 § 2).
Uskup memimpin Gereja lokal yang dipercayakan kepadanya dengan kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kuasa legislatif dijalankan Uskup sendiri tidak pernah didelegasikan; sedangkan dua kuasa lainnya dijalankan baik oleh Uskup sendiri maupun lewat orang lain (kan.391). Vikaris Episkopal menjalankan kuasa eksekutif dari Uskup; mereka termasuk dalam sebutan Ordinaris wilayah (kan. 134 §2). Kuasa eksekutif tersebut meliputi semua tindakan administratif kecuali hal yang direservir dan khusus mandat khusus (bdk. MP ES 1, 14§2). Vikep juga mempunyai kewenangan-kewenangan habitual yang diberikan Tahta Apostolik kepada Uskup; demikian juga pelaksaaan reskrip (kemurahan). Dalam hal perkawinan kanonik, Vikep memiliki kewenangan memberikan dispensasi atas halangan dan izin menyangkut larangan. Vikep bisa memberikan Sakramen Krisma kepada umat beriman sesudah menerima penugasan khusus dari Uskup (bdk. Kan. 882).
Koordinasi dari pengembangan semua karya pastoral di dalam kevikepan berada di bawah kendali dan di tangan Vikep. Vikep di satu pihak berupaya sedemikian rupa memotivasi dan mendorong kreatifitas masing-masing unit karya, namun di lain pihak semuanya dibingkai secara terpadu dalam sebuah strategi pastoral. Strategi tersebut harus dijabarkan dan diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan lapangan yang menuntut komitmen bersama dari semua komponen yang ada dalam kevikepan. Proses dan dinamika ini terus berjalan dan secara terprogram (berkala namun teratur) dievaluasi lalu dipertajam lagi implementasinya. Di dalam kevikepan, keterpaduan mutlak perlu menyangkut dua bidang kategori pelayanan yakni ad intra dan ad extra. Bidang pelayanan ad intra khususnya pelayanan perkawinan dan kematian, sedangkan ad extra khususnya gerakan dialog dan ekumenis merupakan bidang pelayanan yang sungguh strategis.
Vikep memiliki kewenangan sebagaimana yang dimiliki oleh Vikjen tetapi hanya terbatas di wilayah Vikariat Episkopal yang dipimpinnya dengan pengecualian hal-hal yang direservasi bagi Uskup. Kewenangan-kewenangan Vikep digolongkan dalam fungsi ordinariat, fungsi koordinatif dan fungsi kolaboratif.
Fungsi ordinariat Vikaris Episkopal antara lain:
• Mewakili/melaksanakan delegasi Uskup dalam kegiatan-kegiatan seremonial gerejawi seperti peletakan batu pertama dan pemberkatan gereja di wilayahnya.
• Sebagai perwakilan KWI wilayah, mewakili Gereja di hadapan Pemerintah setempat dalam upacara kenegaraan dan pelantikan pejabat di wilayahnya dan memelihara hubungan antaragama dan antartokoh masyarakat lainnya.
• Memberikan dispensasi atas halangan-halangan nikah atau ijin atas larangan nikah di wilayahnya.
• Melantik Dewan Pastoral Paroki dan menjadi saksi serah-terima tugas pastor paroki di wilayahnya.
• Memastikan bahwa kebijakan keuskupan disosialisasikan dan diwujudkan dalam program kerja di paroki-paroki wilayah Vikariat Episkopal yang dipercayakan kepadanya.
Fungsi koordinatif Vikaris Episkopal antara lain:
• Mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan karya pastoral di wilayah Vikariat Episkopalis yang dipercayakan kepadanya.
• Mendampingi Pastor Paroki/Pastor Rekan dan Dewan Pastoral Paroki dalam pengelolaan paroki di wilayahnya.
• Mempersiapkan dan mendampingi Uskup dalam kujungan pastoral ke paroki-paroki di wilayahnya.

Fungsi kolaboratif Vikaris Episkopal antara lain:
• Dalam kesatuan dengan Uskup diosesan, terlibat dalam menjalankan dan membina Kuria Keuskupan
• Terlibat dan ambil-bagian dalam Dewan Pastoral Keuskupan
• Terlibat dalam pembinaan komisi-komisi, pengurus Gereja, lembaga pelayanan gerejawi, para Pastor, anggota Hidup Bakti, umat beriman di wilayahnya.
• Memberi masukan dan pertimbangan kepada Uskup diosesan dan/atau Dewan Iman Keuskupan dan Dewan Pastoral Keuskupan mengenai berbagai situasi dan kebutuhan pastoral.

F. Kewajiban Vikjen dan Vikep
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, dijelaskan: “Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang dijalankan maupun yang telah dilakukan kepada Uskup diosesan, dan janganlah mereka pernah bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan” (Kan. 480)
Karena kedekatan hubungan mereka dengan Uskup Diosesan, Vikaris Jenderal harus tetap memelihara hubungan baik itu dengan setia. Hubungan baik itu meliputi; terjalinnya komunikasi yang tetap di antara mereka berdua dan tindakan yang harmonis secara terus-menerus. Vikaris Jenderal dan Uskup Diosesan hendaknya memikirkan secara serius dalam menentukan harta benda dan tingkat komunikasi , ukuran dan kompleksitas keuskupan.
Di pihak lain,Vikaris Jenderal memfasilitasi para Vikaris Episkopal dalam membentuk Dewan Pastoral Vikariat di wilayahnya masing-masing. Kemudian karena hubungannya yang sangat dekat dengan Uskup diosesan, Vikaris Jenderal harus yakin bahwa segala tindakannya tidak bertentangan dengan maksud dan kehendak Uskup diosesan.
Vikaris Episkopal ex officio menjadi anggota Dewan Imam Keuskupan. Sebagai anggota Dewan Imam Keuskupan, Vikep bekewajiban:
• Menghadiri sidang-sidang Dewan Imam Keuskupan
• Menyampaikan aspirasi dari wilayahnya kepada sidang Dewan Imam Keuskupan
• Menyosialisasikan hasil sidang Dewan Iman Keuskupan di wilayahnya
Sebagai pemimpin di Vikariat Episkopal yang dipercayakan kepadanya, seorang Vikep diharapkan segera membentuk dewan pastoral di wilayahnya sekaligus mengetuai dewan pastoral yang dibentuknya itu. Dalam pelayanannya terhadap umat beriman, seorang Vikep harus memperhatikan dua jenis pelayanan kategorial yaitu: ad intra (pelayanan ke dalam gereja) dan ad extra (pelayanan keluar Gereja). Adapun yang harus diperhatikan oleh seorang Vikep dalam pelayanannya ke dalam Gereja ini antara lain:
1. Mengoordinir secara terpadu pengembangan karya pelayanan pastoral dalam wilayah vikariat yang dipimpinnya baik itu yang berjangka panjang atau yang berjangka pendek.
2. Membina dan mengawasi agar upacara-upacara keagamaan dirayakan sesuai dengan tuntutan-tuntutan liturgi suci.
3. memperhatikan perlengkapan-perlengkapan gereja supaya diletakkan di tempat yang cocok, dan memperhatikan supaya peralatan-peralatan liturgi (benda-benda suci) dihormati dengan pantas.
4. memperhatikan para klerus yang berkarya di wilayah vikariatnya agar menghayati hidup yang pantas sesuai dengan statusnya, dan memenuhi kewajibannya dengan cermat, memperhatikan kehidupan rohaninya dengan melakukan ofisi, doa dan rekoleksi berkala.
5. melayani permohonan dispensasi dalam vikariat selaku Ordinaris wilayah sesuai dengan norma-norma dasar untuk dispensasi dalam KHK, kanon 85-93 perihal dispensasi dan kanon 1078 perihal dispensasi perkawinan.
6. memimpin pemberkatan gereja di wilayahnya, atau meminta Uskup bila diperlukan.
Sedangkan pelayanan keluar gereja (ad extra) yang juga mesti diperhatikan seorang Vikep yaitu: membina kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga-lembaga lain, dan masyarakat di wilayahnya pada umumnya.

G. Penutup
Pembentukan Vikariat Episkopal dan pengangkatan Vikaris Episkopal merupakan salah satu dari pola gerakan pastoral yang berusaha untuk memperoleh keefektifan dalam pelayanan. Dengan pola gerakan ini diharapkan Gereja semakin mendekatkan pelayanan pastoral kepada umat. Jika berbicara dari segi fungsi, Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal mempunyai fungsi yang sama, tetapi dalam lingkup yang berbeda. Vikaris jenderal mempunyai kuasa jabatan di seluruh keuskupan, sedangkan vikaris episkopal mempunyai kuasa jabatan untuk wilayah tertentu dari keuskupan atau untuk kategori tertentu di keuskupan. Jabatan vikaris jenderal dan vikaris episkopal bersifat pastoral dalam bidang kuasa kepemimpinan eksekutif saja. Dan jabatan itu tidak mengandung kepemimpinan legislatif maupun yudikatif. Di atas segalanya itu, kehadiran Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal ialah guna membantu reksa pastoral yang diemban oleh gembala Gereja Partikular yakni uskup diosesan.




2. DEWAN IMAM

1. Pengantar
Semua imam baik diosesan maupun religius bersama dengan Uskup ikut menerima dan melaksanakan imamat Kristus yang satu. Maka mereka diangkat menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi Uskup. Mereka juga berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentahbisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis dengan dewan para Uskup. Oleh karena itu, demi tanggung jawab dan kebaikan kehidupan rohani seluruh umat beriman di keuskupan, dibutuhkan Dewan Imam yang berperan seperti senat Uskup dalam memimpin umat beriman. Dewan Imam merupakan himpunan para imam, yang bertugas membantu Uskup dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum agar kesejahteraan pastoral dapat berkembang sebaik-baiknya.

2. Definisi Dewan Imam (Kan. 495-501)
Dalam kehidupan menggereja di keuskupan, kita mengenal istilah Dewan Imam dan kolegium konsultor. Melalui Dewan Imam dan kolegium konsultor, Uskup diosesan bekerjasama dengan imam-imam (diosesan ataupun religius) melaksanakan tugas kegembalaan di keuskupannya.
Secara yuridis, kerjasama antara para imam dengan Uskup diosesan dalam tugas kegembalaan di suatu keuskupan di laksanakan melalui suatu wadah organisasi yang disebut dewan para imam dan kolegium konsultor. Kodeks mengatakan Dewan Imam hendaknya menjadi seperti senat Uskup. Roh yang menjiwai organisasi ini adalah roh persaudaraan dalam kesatuannya dengan sesama para imam.
Dewan Imam adalah suatu badan kepengurusan dalam satu keuskupan yang terhimpun oleh Uskup diosesan dan para imam (baik imam diosesan maupun imam religius). Dalam kepengurusan ini, Uskup diosesan dan anggota Dewan Imam dan kolegium konsultor bersama-sama melaksanakan, mengkoordinir dan mengembangkan kegiatan-kegiatan pastoral terutama yang menyangkut reksa pastoral dan keselamatan bagi jiwa-jiwa.
Organisasi Dewan Imam mempunyai tujuan untuk membantu Uskup diosesan dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraaan pastoral bagian dari umat Allah dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Ketua dari Dewan Imam dan kolegium konsultor adalah Uskup diosesan. Artinya, Uskup diosesan ada bersama dengan anggota Dewan Imam dan kolegium konsultor. Tugas khas Dewan Imam dan kolegium konsultor adalah konsultan atau memberi sumbangan saran dan pelaksana kegiatan-kegiatan pastoran bersama dengan rekan imam lainya.
Hakekat dari Dewan Imam dan kolegium konsultor dalam tugas kegembalaan tentulah didasarkan pada penghayatan akan satu imamat dan satu pelayanan Kristus sehingga kesatuan penahbisan dan perutusan itu menuntut persekutuan hirarki dengan dewan para Uskup. Maka, para Uskup berdasarkan karunia Roh Kudus yang dalam tahbisan suci dianugrahkan kepada para imam, memandang mereka sebagai pembantu dan penasihat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan mengembalakan umat Allah.

3. Statuta Dewan Imam (Kan. 496)
Kanon ini menganjurkan bahwa setiap dewan iman dalam Gereja partikular hendaknya memiliki statutanya sendiri yang mendapat persetujuan Uskup diosesan dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan konferensi para Uskup. Konferensi para Uskup memang tidak mendiktekan secara spesifik ketentuan-ketentuannya. Namun berkenaan dengan hal-hal, seperti keanggotaan berdasarkan hukum dll, secara umum diserahkan pada pemegang aturan partikular. Hal itu dilakukan karena keterbatasan kodek dan demi menghargai perbedaan yang ada dari masing-masing dioses.
Sesuai dengan apa yang diberikan dalam kesimpulan surat edaran Presbitery sacra, statuta harus berisi: “hal-hal penting yang dapat mengatasi dewan ... cara kerja, pertemuan/rapat berkala, kerja sama dengan organisasi konsultatif lainnya, memupuk hubungan antara dewan dengan semua imam yang ada dalam dioses itu.”

4. Asas dan Tujuan Dewan Imam
Dewan Imam berasaskan kolegialitas imamat, persekutuan (communio), dialog dan musyawarah yang dinamis demi pengembangan kehidupan rohani umat beriman dan kebaikan umum. Adapun tujuan Dewan Imam adalah sebagai berikut:
a. Membantu Uskup dalam kepemimpinannya sesuai dengan norma hukum demi tercapainya kesejahteraan umum umat beriman kristiani
b. Membangun forum kerja sama yang dinamis dan efektif antara Uskup dan imam
c. Memberi masukan kepada Uskup dan mengajukan cara dan strategi pastoral yang tepat guna bagi keuskupan
d. Menjadi lambang kesatuan dan persaudaraan imamat antara Uskup dan imamnya.

5. Fungsi Dewan Imam
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Imam mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi pelayanan, fungsi kepemimpinan dan fungsi representasi (perwakilan). Fungsi pelayanan dijalankan dengan melaksanakan, mengkoordinir dan mengembangkan kegiatan-kegiatan pastoral terutama yang menyangkut reksa pastoral dan keselamatan bagi jiwa-jiwa. Fungsi kepemimpinan ditunjukkan lewat membantu Uskup diosesan dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraaan pastoral bagian dari umat Allah dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

6. Keanggotaaan Dewan Imam (Kan. 497)
Tahbisan Imamat merupakan syarat dasar agar bisa menjadi seorang anggota Dewan Imam. Inkardinasi di suatu diosesan diwajibkan untuk seorang imam diosesan. Inkardinasi di diosesan sangat dibutuhkan agar mereka memperoleh pemeliharaan jiwa dan karya kerasulan.
Imam diosesan yang dipilih haruslah imam diosesan yang diinkardinasikan atau berkarya di keuskupan tersebut. Sementara itu, yang dipilih dari imam religius haruslah imam yang berkarya di keuskupan yang bersangkutan. Ia dipilih secara sah untuk lima tahun dan sesudahnya bisa dipilih kembali. Jika ada anggota yang berhalangan tetap (karena mati atau tidak mampu melaksanakan tugas) maka penggantinya harus dipilih dengan berlaku prinsip keadilan dalam perwakilan.
Anggota Dewan Imam sekitar separuhnya dipilih secara bebas oleh para imam sendiri, menurut norma-norma kanon dan statua. Perlu juga diketahui bahwa menurut statuta beberapa imam harus menjadi anggota ex officio, yakni mereka yang masuk dewan imam berdasarkan jabatan yang diserahkan kepadanya. Uskup diosesan juga berhak sepenuhnya untuk mengangkat beberapa anggota dewan imam dengan bebas.
Adapun yang dimaksud dengan anggota ex officio adalah Vikjen, Vikep/Deken, Vikaris Yudisial, Direktur Puspas, Ketua Unio, Provinsial/Rektor Distrik tarekat religius klerus. Selain itu, anggota Dewan Imam juga berasal dari pengangkatan Uskup. Anggota yang diangkat langsung oleh Uskup berlaku untuk waktu lima tahun. Jika ada anggota yang berhalangan tetap maka penggantinya ditunjuk oleh Uskup.
Anggota yang mengundurkan diri haruslah memperoleh persetujuan Uskup dan anggota lainnya. Sebelum menjalankan tugas, anggota Dewan Imam yang terpilih harus mengangkat sumpah jabatan menurut aturan liturgi sederhana dan resmi dilantik oleh Uskup atau wakilnya.
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada kriteria umum mengenai ukuran/jumlah anggota Dewan Imam. Ada kecenderungan bahwa diosesan yang wilayahnya luas mempunyai jumlah perwakilan yang besar. Sangat penting untuk mengamati bahwa kecenderungan menaikkan atau memperbesar jumlah anggota Dewan Imam merupakan suatu kesalahan. Sebuah organisasi pemerintahan atau pun lembaga tidak dapat bekerja tepat dan efisien jika mempunyai banyak anggota. Hal itu dibenarkan atau mudah diterima dalam sebuah organisasi untuk kegiatan studi, diskusi, penilaian atau pemecahan masalah, tapi bukan dalam sebuah organisasi yang harus bekerjasama dalam lembaga. Berdasarkan beberapa pengalaman, barangkali dapat ditegaskan bahwa kecenderungan untuk menambah/memperbesar jumlah anggota Dewan Imam terjadi di mana tidak ada dewan pastoral atau di mana Dewan Imam keliru menjalankan tugas dengan dewan pastoral.
Ketika seorang imam dipilih, dapat ditetapkan bahwa dalam kasus ini ia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam Dewan Imam. Tetapi, karena alasan yang serius Uskup dapat menolak keanggotaannya. Penggunaan efisien akan jabatan dari Dewan Imam bergantung pada hukum. Demikian juga, Dewan Imam memerlukan konstitusinya untuk efektivitas fungsinya. Imam yang terpilih dengan sendirinya belum menjadi anggota Dewan Imam, sebelum ada dekrit Uskup yang menyatakan bahwa ia secara formal diangkat.

7. Hak Pemilihan Baik Aktif Maupun Pasif
Dewan Imam merupakan perwakilan, hal itu dapat ditunjukkan bahwa prinsip untuk memutuskan jika seorang imam merupakan anggota atau tidak dari presbiterium diosesan mempunyai ikatan kesatuan dengan Uskup diosesan. Oleh karena itu, dalam CIC, presbiterium diosesan itu dihubungkan dengan relasi dengan Uskup diosesan.
Kanon ini menetapkan hak pemilihan secara aktif dan pasif: untuk imam sekular, yang diinkardinasikan di dalam suatu dioses; untuk imam yang tidak diinkardinasikan, dan untuk imam religius yang bertugas di suatu dioses. Hak yang sama juga dapat diberikan kepada imam lain yang mempunyai domisili dan kuasi-domisili di suatu dioses.
Perumusan atas kanon ini membuat satu pemikiran bahwa hal memutuskan untuk seorang imam yang mempunyai suara aktif dan pasif dalam pemilihan adalah imam yang mempunyai tugas untuk kesejahteraan diosesan. Hal-hal lain adalah tempat tinggal, domisili, kuasi domisili, ikardinasi, hidup kudus, adalah hal-hal yang saling melengkapi atau yang menentukan.
Perumusan kanon secara literal menunjukkan pemikiran bahwa, bagi imam yang berinkardinasi di dioses. Namun, kehilangan hak pemilihan yang aktif dan pasif, harus ada surat keterangan dari Uskup diosesan yang menyatakan bahwa imam yang bersangkutan tidak lagi memiliki hak itu beserta dengan alasan yang tepat; mengenai penolakannya untuk menerima tugas imam sebagai pelayan di suatu dioses.
Yang utama dalam pemilihan anggota Dewan Imam bukan segi fisiknya tetapi kecakapannya dalam hal spiritual dan intelektual. Kecakapan tersebut akan membuatnya mampu memberikan nasehat bagi pemerintahan.
8. Kepengurusan dan Tugas Dewan Imam
Kepengurusan Dewan Imam terdiri dari Uskup sebagai ketua umum ex officio, ketua pelaksana, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dalam hal itu, Uskup bertugas memanggil dan memimpin rapat, menentukan agenda pertemuan, menerima atau menolak hasil pertemuan dan mengumumkan secara resmi hasil Pertemuan. Jika Uskup berhalangan hadir maka ketua pelaksana bertugas memimpin rapat, menampung dan mengumpulkan bahan pembicaraan, laporan dan anjuran dari anggota Dewan Imam dan para imam seluruh keuskupan, lalu menyerahkannya kepada Uskup sebagai bahan agenda pertemuan. Wakil ketua bertugas membantu ketua dan melaksanakan tugas ketua jika ia berhalangan, Sekretaris bertugas mencatat hasil sidang dan menyerahkan kepada ketua/wakil ketua dan para anggota, serta menangani urusan administrasi dan kearsipan Dewan Imam. Sementara itu, Bendahara bertugas mengurus segala kebutuhan Dewan Imam dan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan kepada ketua pelaksana dan Uskup.

9. Tata Cara Pemilihan Anggota Dewan Imam
Mengenai tata cara pemilihan anggota, ditetapkan sebagai berikut:
1. Pemilihan anggota Dewan dan pengurus Dewan Imam hendaknya bersifat rahasia, mutlak dan jujur
2. Seseorang tidak diperkenankan untuk memilih dirinya sendiri
3. Seseorang terpilih sah menjadi anggota Dewan Imam apabila memperoleh setengah jumlah suara dari rapat pleno para imam di keuskupan. Apabila dalam dua kali pemungutan suara tidak berhasil, maka dilakukan pemungutan suara atas calon yang mendapat suara terbanyak
4. Ketua pelaksana dan wakilnya dipilih oleh anggota Dewan Imam dengan memperoleh dua pertiga jumlah suara.

10. Kewenangan Dewan Imam
Ada beberapa kewenagan Dewan Imam, antara lain sebagai berikut:
1. Dewan Imam berwenang membahas tentang personalia (imam), pastoral dan kerasulan, pembangunan dan kesejahteraan, kehidupan rohani para imam, pendidikan dan pembinaannya, dan hal-hal lain yang menyangkut kesejahteraan para imam dan umat beriman
2. Dewan Imam merupakan badan yang bersifat konsultatif dari Uskup dalam memimpin Gereja lokal (bdk. kan. 500 § 2). Namun dalam kasus tertentu konsultasi kepada dewan ini merupakan keharusan untuk sahnya suatu tindakan dari Uskup, bahkan dalam beberapa kasus Uskup membutuhkan persetujuan dari Dewan Imam
3. Uskup wajib berkonsultasi dengan Dewan Imam dalam hal menyelenggarakan Sinode Keuskupan , mendirikan atau meniadakan ataupun mengubah Paroki , mengatur sumbangan dari umat beriman , mendirikan dewan pastoral , mendirikan Gereja , mengubah gereja menjadi tempat profan , menentukan pajak untuk keuskupan dan mengangkat ekonom keuskupan
4. Persetujuan Dewan Imam dibutuhkan oleh Uskup dalam pengelolaan luar biasa dari kekayaan keuskupan dan pengalih-milikan harta benda Gereja . Persetujuan dari Dewan Imam juga dibutuhkan Administrator Diosesan dalam memberi surat izin tahbisan imam .

11. Tata Tertib dan Rapat Dewan Imam
Tata tertib dan rapat Dewan Imam dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Dewan Imam mengadakan rapat biasa sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
2. Rapat luar biasa diadakan atas (1) permintaan Uskup, (2) permintaan ketua pelaksana, setelah berunding dengan Uskup tentang masalah yang mendesak dan penting, (3) anjuran setengah anggota Dewan Imam.
3. Rapat Dewan Imam sah kalau dihadiri dua pertiga dari jumlah anggota Dewan Imam yang hadir.
4. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah, Jika ada perbedaan pendapat maka diadakan pemungutan suara, dan keputusan harus disetujui oleh lebih dari setengah anggota Dewan.
5. Jika dalam hal yang penting tidak dicapai keputusan baik melalui musyawarah maupun pemungutan suara maka keputusan akhir ini diserahkan kepada Uskup.
6. Atas anjuran Dewan dan dengan persetujuan Uskup, orang lain dapat diundang menghadiri pembahasan tentang materi tertentu dan dimintakan pertimbangan/pendapatnya.
7. Hanya Uskup yang berhak mengumumkan hasil rapat Dewan Imam .
8. Anggota Dewan Imam diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan dari hal yang dibicarakan dalam rapat atau hal yang dinyatakan rahasia oleh rapat Dewan.
9. Seorang anggota Dewan tidak diperkenankan memberi suara untuk dirinya sendiri. Jika pembicaraan rapat menyangkut seorang anggota maka yang bersangkutan diminta meninggalkan ruang rapat selama pembicaraan berlangsung.
10. Seluruh peserta rapat Dewan Imam terikat pada tata tertib ini.

12. Keuangan
Anggaran biaya dari rapat dan kegiatan Dewan Imam disiapkan oleh Bendahara dan disetujui oleh rapat. Anggaran tersebut harus disetuji oleh uskup karena termasuk dalam anggaran biaya keuskupan. Seluruh anggaran belanja tahunan dari Dewan Imam tersebut ditanggung seluruhnya oleh keuskupan.

13. Pembubaran Dewan Imam
Pembubaran Dewan Imam adalah wewenang Uskup sesudah berkonsultasi dengan Uskup Metropolit. Pembubaran Dewan Imam dapat juga dianjurkan oleh rapat Dewan Imam sendiri jika berdasarkan alasan tertentu lembaga ini tidak berfungsi dan bekerja semestinya. Pembubaran juga dapat terjadi apabila takhta keuskupan lowong. Jika Uskup meninggal, mengundurkan diri, dipindahkan atau diberhentikan , maka Dewan ini tidak berfungsi.


14. Masa Jabatan Dewan Imam (Kan. 501)
Masa jabatan dalam sebuah organisasi merupakan unsur penting dalam membangun relasi yang efektif dan efiseen. Mandat yang diberikan hendaknya tidak terlalu singkat sehingga anggota tidak dapat bekerja secara maksimal. Sementara itu, sebuah mandat yang terlalu lama adalah berbahaya, yang mana pada tahap setelah pengajuan awal, mandat itu justru memperlambat atau mengalami staknasi (mati atau kadaluarsa; selesai masa berlakunya).
Kanon 501 § 1 menetapkan sebuah pembaharuan mengenai lamanya waktu setiap lima tahun, baik secara total maupun sebagian. Anggota-anggota Dewan Imam ditunjuk berdasarkan jangka waktu yang sudah ditetapkan dalam statuta, di mana dalam jangka waktu lima tahun seluruh Dewan Imam atau pun sebagiannya diperbaharui.
Selain bertitik tolak pada waktu yang telah ditetapkan dalam satuta, para Dewan Imam dinyatakan berhenti dari jabatannya ketika takhta lowong, atau ketika para dewan dibubarkan oleh Uskup sebagai pemegang dan penangung jawab hukum.
Dekrit Ecclesiae Sanctae menetapkan dan menggagaskan bahwa dewan-Dewan Imam dapat berhenti dari jabatannya jika takhta lowong . Ketentuan ini (norma) telah dikonfirmasi oleh CIC , melalui suatu pembaharuan. Adapun pembaharuan tersebut adalah bahwa tugas-tugas Dewan Imam sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh kolegium konsultor selama tahta lowong. Sementara itu, bila Uskup baru telah terpilih, maka Uskup yang baru harus membentuk dan menetapkan para Dewan Imamnya dalam waktu satu tahun setelah ia menduduki jabatannya.
Uskup diosesan dapat membubarkan para Dewan Imamnya jika mereka tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah dipercayakan demi kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah keuskupan atau dioses. Uskup diosesan juga dapat membubarkan para Dewan Imamnya jika mereka terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang secara berat dan serius. Walaupun demikian, sudah menjadi ketentuan wajib bagi Uskup sebelum membubarkan para Dewan Imam; pertama-tama harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Uskup Metropolit, dalam hal menyangkut Takhta metropolit. Di samping itu, Uskup diosesan juga harus berkonsultasi dengan Uskup sufragan yang tertua dalam pengangkatannya. Dalam jangka waktu satu tahun, Uskup diosesan harus membentuk kembali para Dewan Imam yang baru.


15. Penutup
Dewan Imam adalah bertugas membantu Uskup di suatu keuskupan. Uskup diosesanlah yang menjadi ketua Dewan Imam. Dewan Imam tidak pernah dapat bertindak tanpa Uskup Diosesan. Dewan Imam juga dapat bubar atau berhenti. Oleh karena itu, hendaknya Dewan Imam senatiasa bekerjasama dan bersatu dengan Uskup Diosesan. Dewan Imam juga hendaknya menjalankan tugas dengan baik demi tercapainya kesejahteraan pastoral.


3. DEWAN KEUANGAN DAN EKONOM

I. Pengantar
Dewasa ini Gereja semakin terpanggil untuk melayani sesama manusia. Gereja dituntut untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus demi kebaikan manusia agar manusia dapat meyakini arti hidup di dunia secara lebih utuh. Panggilan Gereja dewasa ini selalu terkait dengan pelayanan yang menanggapi kebutuhan mendesak manusiawi karena hidup setiap manusia sangat bernilai di hadapan Allah. Pelayanan Gereja melalui kerasulan sosial ekonami berarti menghadirkan secara nyata kasih Allah di dunia.
Gereja sangat membutuhkan harta benda sejak berdirinya di dunia ini. Sejarah membuktikan bahwa harta benda berperan penting dalam melaksanakan karya misi. Di samping itu, sejarah Gereja juga mengalami dan membuktikan bahwa penyalahgunaan harta benda serta administrasi yang buruk atas menjerumuskan Gereja dalam krisis kepercayaan, krisis identitas, dan misi.
Gereja katolik memiliki hak untuk memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalihkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang khas. Adapun tujuan-tujuan yang khas itu adalah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustensi yang layak kepada para klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan. Gereja mempunyai hak untuk menuntut dari umat beriman kristiani untuk memberikan harta benda demi kepentingan Gereja. Umat beriman kristiani juga memiliki kewajiban untuk memberikan harta benda demi kepentingan Gereja.
Keuskupan dan paroki memiliki tanggung jawab untuk memperoleh dan mrngelola harta benda. Berkaitan dengan itu, pihak Gereja hendaknya membentuk Dewan Keuangan untuk mengatur dan mengelola semua harta benda untuk tujuan yang baik. Dalam pembahasan ini, kami akan menjelaskan tentang Dewan Keuangan Keuskupan dan Dewan Keuangan Paroki. Selain Dewan Keuangan, Keuskupan maupun Paroki perlu juga memiliki seorang ekonom yang mampu bekerjasama dengan Dewan Keuangan untuk mengatur harta benda Gereja. Harta benda gerejawi hendaknya dikelola sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuannya dan selaras dengan citra dan nama baik Gereja.

II. Dewan Keuangan
A. Dewan Keuangan Keuskupan (Kanon 492)
Setiap Keuskupan hendaknya memiliki Dewan Keuangan. Uskup diosesan atau delegatusnya memiliki kewajiban untuk membentuk Dewan Keuangan di Keuskupannya. Anggota Dewan Keuangan Keuskupan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang beriman Kristiani yang memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, hukum sipil, serta memiliki keutamaan-keutamaan seperti kejujuran dan keadilan (bdk. Kan. 492 § 1).
Subyek anggota Dewan Keuangan Keuskupan adalah umat beriman Kristiani. Umat Kristiani yang dapat menduduki jabatan sebagai adalah mereka memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, hukum sipil, serta memiliki keutamaan dalam hal kejujuran dan keadilan. Umat beriman Kristiani yang memiliki keutamaan-keutamaan tersebut dapat diangkat oleh Uskup diosesan untuk menjabat sebagai anggota Dewan Keuangan Keuskupan.
Anggota Dewan Keuangan Keuskupan harus dipilih atas dasar kompetensi khusus di bidang ekonomi. Selain memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, Anggota Dewan Keuangan Keuskupan juga harus memiliki kearifan, adil, serta jujur dalam mengelola harta benda Keuskupan.
Kanon 492 § 2 menegaskan bahwa dewan keuangan hendaknya diangkat untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya selama lima tahun. Dewan keuangan yang dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik dapat diangkat untuk lima tahun lagi. Anggota Dewan Keuangan Keuskupan harus dipilih dan diangkat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Kanon 492 § 3 mengungkapkan bahwa: orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke empat atau semenda dengan Uskup, tidak diperkenankan menjadi dewan keuangan. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari adanya skandal keuangan antara Uskup dan keluarganya.
Dewan Keuangan Keuskupan memiliki tugas untuk mengatur Harta Benda Gereja. Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Uskup Diosesan, Dewan Keuangan keuskupan harus mempersiapkan anggaran pendapatan dan pengeluaran yang direncanakan untuk seluruh kepemimpinan Keuskupan di tahun yang akan datang. Dewan Keuangan Keuskupan juga memiliki tugas untuk memeriksa pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran setiap tahun.

B. Dewan Keuangan Paroki
Dewan keuangan paroki merupakan suatu dewan yang menurut hukum universal ada untuk menangani kebijakan pengelolaan harta benda suatu paroki . Definisi Dewan Keuangan Paroki dalam Kan 537 adalah sebuah badan konsultatif yang dibentuk oleh pastor Paroki dan disahkan oleh Uskup Diosesan untuk membantu Pastor Paroki dalam urusan pengelolaan harta benda Gereja.

1. Subyek anggota Dewan Keuangan Paroki
Meskipun pastor paroki adalah administrator dan penanggungjawab legal atas pengelolaan harta benda paroki, ia tidak dapat menjalankan tugasnya seorang diri saja. Kitab Hukum Kanonik menetapkan bahwa setiap badan hukum publik Gereja (termasuk Paroki) hendaknya memiliki Dewan Keuangan (Kan. 537, 1280). Dewan ini merupakan organ partisipatif umat paroki dalam menjalankan tanggungjawab bersama atas pengelolaan harta benda paroki. Tidak semua umat beriman mengambil bagian dalam dewan tersebut, hanya beberapa wakilnya saja. Anggota Dewan Keuangan Paroki terdiri dari kaum beriman kristiani bersama dengan mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian dalam reksa pastoral. Ada tiga subyek yang berperan dalam Dewan Keuangan Paroki yakni: pastor paroki, mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian karya pastoral dan kaum beriman kristiani.
Dalam Kan 1263 dijelaskan bahwa Uskup diosesan setelah mendengarkan dewan keuangan, dan dewan imam memiliki hak untuk mewajibkan umat beriman kristiani membayar pajak yang tidak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan Keuskupan.
Menurut KHK 1983 setiap badan hukum dalam Gereja hendaknya mempunyai dewan keuangan (Kan.1280). Salah satu badan hukum dalam Gereja adalah paroki (Kan. 515 § 3). Paroki sebagai badan hukum hendaknya mempunyai Dewan Keunagan Paroki yang bertujuan membantu pastor paroki dalam mengurus keuangan atau pun harta benda paroki sehingga tujuan pengelolaan harta benda paroki dapat tercapai dengan baik.

2. Syarat-Syarat Dewan Keuangan Paroki
•Beriman dan ada dalam persekutuan Gereja
Mereka yang menjadi Dewan Keuangan Paroki haruslah umat beriman Kristiani. Kanon 205 menunjuk pada subyek yang berada dalam persekutuan anggota Dewan Keungan Paroki analog dengan Dewan Keuangan Keuskupan (Kan 492 § 1).
Mereka yang menjadi anggota Dewan Keuangan Paroki haruslah umat beriman Kristiani. Kanon 205 menunjuk pada subyek yang berada dalam Gereja. Anggota Dewan Keuangan paroki dianalogikan dengan Dewan Keuangan Keuskupan (Kanon 492 § 1).

•Memiliki kemampuan Disiplin ilmu di Bidang Ekonomi dan Hukum Sipil serta mempunyai Kejujuran.
Anggota Dewan Keuangan Paroki dipilih atas dasar kompetensi khusus. Umat beriman Kristiani yang diangkat menjadi Dewan Keuangan Paroki bukan hanya orang yang tahu melaksanakan tugas berdasarkan kriteria teknis dan ekonomis saja, melainkan juga mampu bekerja menurut prinsip-prinsip pengelolaan harta benda paroki dengan tujuan mengatur ibadat ilahi, memberikan penghidupan yang layak bagi klerikus dan pelayan-pelayan lain, melaksanakan kerasulan dan amal kasih, khususnya bagi kaum miskin (kan 1254 § 2).
Orang beriman Kristiani haruslah cakap, unggul dalam pengetahuan yang kearifan dan peri hidupnya baik dapat diangkat untuk mengemban tugas-tugas itu. Di samping itu, harus memiliki sikap jujur dan adil dalam mengelola harta benda Gereja agar tidak terjadi skandal dalam hubungan dengan harta benda Gereja tersebut.

•Tidak Memiliki Hubungan Darah dengan Pastor Paroki
Ketentuan tentang keanggotaan Dewan Keuangan Paroki (Kan. 492 § 3), mengatakan bahwa: orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke empat atau semenda dengan Uskup, tidak diperkenankan menjadi Dewan Keuangan. Ketentuan ini juga berlaku bagi Pastor paroki. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya skandal antara anggota dewan keuangan dengan pastor paroki. Yang termasuk hubungan darah sampai tingkat keempat adalah saudara dan saudari sendiri, kemanakan laki-laki dan perempuan, paman dan bibi.

3. Tugas Dewan Keuangan Paroki
Tugas Dewan Keuangan Paroki adalah membantu pastor paroki dalam mengurus harta benda paroki. Tugas-tugas Dewan Keuangan Paroki berdasarkan ketentuan Kan 532 yang mengacu pada Kan1281-1288 adalah:
1. Membuat anggaran pendapatan dan belanja paroki
2. Memberikan nasihat, saran dan pertimbangan menyangkut pengelolaan harta benda Gereja kepada Pastor Paroki.
3. Mengambil kebijakkan pengelolaan menyangkut pengelolaan biasa dan luar biasa
4. Menginventarisasi dengan teliti dan terinci semua harta benda. Setelah diinventaris hendaknya disahkan dan dilaporkan kepada Uskup Diosesan.

III. Kanon 494 Mengenai Ekonom atau Bendahara
Dalam rangka mengelola harta benda atau keuangan Keuskupan, Uskup diosesan dan dewan keuangan perlu mengangkat seorang ekonom yang sungguh ahli di bidang ekonomi serta memiliki kejujuran (Kan 494 § 1). Ekonom yang dipilih, bertugas untuk mengelola harta benda keuskupan menurut cara yang ditentukan oleh dewan keuangan. Dalam menjalankan tugasnya, ekonom harus mampu bekerja sama dengan Dewan Keungan Keuskupan untuk mengatur segala pengeluaran yang diperintahkan oleh Uskup atau orang-orang lain yang ditugaskan dengan legitim olehnya (Kan 494 § 2).
Seorang ekonom itu diangkat menurut norma hukum yang berlaku. Kanon 494 § 2) menegaskan bahwa: Uskup diosesan beserta Dewan Keuangan Keuskupan hendaknya mengangkat seorang ekonom untuk lima tahun ke depan. Ekonom yang telah menjalankan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab, dapat diangkat untuk lima tahun lagi. Kanon yang sama juga menjelaskan bahwa, seorang ekonom yang sementara menjalankan tugasnya, tidak boleh diberhentikan selama jabatannya. Seorang ekonom dapat diberhentikan dari tugas yang diembannya, kecuali menurut pandangan Uskup ada alasan yang berat, setelah mendengarkan dewan penasihat dan dewan keuangan.
Pada setiap akhir tahun, seorang ekonom yang telah dipercayakan untuk mengelola harta benda Keuskupan, harus mempertanggung jawabkan segala pengeluaran dan pendapatan kepada dewan keuangan.
Ekonom bertugas untuk mengelola harta benda keuskupan di bawah kuasa Uskup. Ekonom juga berhak mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang diperintahkan Uskup menurut cara yang ditentukan Dewan Keuangan Keuskupan. Pada setiap peralihan tahun Ekonom harus memberikan pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran Keuskupan kepada Dewan Keuangan Keuskupan.
Ekonom seturut perintah Uskup dapat mengeluarkan uang serta mengadministrasikannya dengan teliti. Ekonom Keuskupan juga dapat memeriksa dan memberi tanggapan atas laporan keuangan Paroki baik dengan pujian maupun teguran. Ekonom bekerjasama dengan Dewan Keuangan Keuskupan dapat menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keuskupan. Dewan Keuangan Keuskupan dan Dewan Keuangan Paroki beserta ekonomnya masing-masing, saling membantu dan melengkapi satu sama lain dalam hal mengelola harta benda Gereja demi kesejahteraan umat beriman.


IV. Penutup
Gereja Katolik hadir dan berkembang di dunia dan memiliki hak untuk memperoleh, memiliki, serta mengelola harta benda. Harta benda sangat membantu Gereja untuk menjalankan tugas-tugasnya yang khas seperti mengatur ibadat ilahi, memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain. Harta benda juga dapat digunakan Gereja untuk melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta kegiatan amal kasih. Gereja memiliki kewajiban untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia dengan membantu orang-orang kecil yang menderita dan berkekurangan.
Gereja selalu memiliki hubungan yang erat dengan Keuskupan dan Paroki. Keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam untuk mewujudkan Gereja Kristus yang satu, kudus dan apostolik. Paroki adalah kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular yang reksa pastoralnya di bawah otoritas Uskup diosesan, diserahkan kepada pastor paroki sebagai gembalanya sendiri. Keuskupan dan paroki dapat disebut sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Kristus Sang Gembala Baik.
Keuskupan dan paroki memiliki tanggungjawab untuk mengelola harta benda. Berkaitan dengan itu, setiap Keuskupan maupun paroki wajib membentuk dewan keuangan dan memilih seorang ekonom berdasarkan ketentuan kanon untuk mengatur serta mengelola harta benda Gereja sebaik mungkin. Dewan keuangan dan ekonom perlu membangun kerjasama dengan Uskup maupun Pastor paroki untuk mengembangkan cinta kasih Allah dan keadilan di dunia ini.



4. DEWAN PASTORAL KEUSKUPAN
Kanon 511-514

A. Pengertian
Pastoral merupakan aktivitas pelayanan Gereja yang bertujuan memajukan perkembangan hidup Gereja, sehingga semakin berkembang dalam iman dan persekutuan. Pastoral ambil bagian dalam pelayanan pokok Gereja yang dirinci dalam beberapa bidang, yakni: Koinonia (persekutuan), Kerygma (pewartaan), Leiturgia (perayaan), dan Diakonia (pelayanan), khususnya bagi orang kecil, lemah, menderita dan tersingkir. Terkait dengan Gereja dan pelayanannya, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, Gereja merupakan persekutuan umat Allah dalam Kristus yang dipersatukan oleh Roh Kudus. Umat Allah di dunia ini dipanggil untuk menjadi sakramen, yakni: menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia dalam Kristus. Dengan demikian reksa pastoral menjadi salah satu sarana perwujudan sakramen tersebut. Itu berarti pastoral dan dewannya merupakan kriteria yang efektif untuk kelangsungan perjalanan Gereja dan panggilannya.
B. Keanggotaan Dewan Pastoral
Dewan Pastoral Keuskupan ditetapkan dan dibentuk oleh otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah Uskup Diosesan (kanon 511) sebagai penguasa Gereja partikular. Penetapan dan pembentukan Dewan Pastoral ini merujuk pada Dokumen Konsili Vatikan II yakni Christus Dominus art. 27, “Sangat dianjurkan, supaya di setiap keuskupan dibentuk Dewan Pastoral yang khas, yang diketuai oleh Uskup diosesan sendiri. Dalam dewan itu hendaknya berperan serta imam-imam, para religius dan kaum awam, yang terpilih secara khusus”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh dekrit tentang kegiatan missioner Gereja yakni Ad Gentes art. 30, supaya terjadi koordinasi yang lebih baik (Gereja dan misinya), hendaklah uskup sedapat mungkin mendirikan Dewan Pastoral. Dalam dewan itu, hendaknya para imam, religius dan awam berperan serta melalui wakil-wakil yang terpilih.


1. Persyaratan Keanggotaan Dewan Pastoral
Dalam ketiga paragraf tersebut, kanon memperlihatkan ketentuan yang beragam akan anggota Dewan pastoral keuskupan. Keanggotaan dewan pastoral berasal dari kaum beriman kristiani, baik itu klerus, anggota lembaga hidup bakti maupun kaum awam secara khusus. Mereka sudah tercatat dan diterima secara penuh dalam persekutuan dengan Gereja Katolik melalui pembaptisan dan organisasi yang kelihatan dihubungkan dengan Kristus, yakni dengan ikatan-ikatan pengakuan iman, sakramen-sakramen dan pimpinan Gerejawi (kanon 205). Di luar ketentuan-ketentuan umum ini, kanon 512 § 1 menetapkan tentang wewenang Uskup diosesan untuk memilih anggota secara luas serta memperjelas bagaimana keanggotaan ditentukan, dari pemilihan, pengangkatan atau penunjukan.
Kaum awam mendapat kriteria yang istimewa (disebut terutama). Mereka merupakan bagian dari umat beriman yang sangat luas dari populasi keuskupan dan diperhitungkan sebagai mayoritas yang harus berperan dengan aktif. Berperan aktif menunjukkan kerasulan kaum awam yang seharusnya tidak pernah absen dalam kehidupan seluruh umat beriman. Awam yang merupakan Tubuh Mistik Kristus, bukanlah objek dari kerasulan (hierarki) Gereja tetapi sebagai subjek (pelaku) yang aktif. Kondisi ini terkait dengan daya baptis, martabat dan keikutsertaannya dalam tri tugas Kristus dengan caranya yang khas dalam membawa persatuan dengan seluruh Gereja (Lumen Gentium art. 34-36).
Kanon 512 § 2 hendak menunjukkan Dewan pastoral yang menggambarkan wajah keuskupan. Kondisi ini menuntut Dewan pastoral untuk hadir dan bertindak sebagai mikrokosmos dari keseluruhan keuskupan yang mencakup beragamnya daerah di keuskupan; kondisi-kondisi sosial, profesi dan peranan-peranan kelompok atau perorangan dalam kerasulan. Dewan pastoral hendaknya menjalin relasi dan komunikasi serta kerja sama yang efektif dengan komponen-komponen keuskupan lain. Relasi ini memungkinkan interaksi dan jangkauan yang lebih luas dan penyelesaian dan pembahasan tugas-tugas sulit yang ada atau sedang terjadi.
Di samping tercatat sebagai anggota penuh dalam Gereja Katolik, anggota Dewan pastoral juga harus memiliki kualitas tertentu misalnya, beriman teguh, memiliki moral yang baik dan berlaku arif dalam kehidupannya. Kualitas demikian senada dengan apa yang tercatat dalam syarat-syarat menjadi anggota kelompok atau jabatan khusus dalam keuskupan. Ketentuan ini kiranya berkaitan dengan penetapan jabatan gerejawi sebagai tugas yang diadakan secara tetap oleh penetapan ilahi ataupun gerejawi dan harus dilaksanakan untuk tujuan rohani (kanon 145 §1).
Dewan pastoral sangat efektif bagi perkembangan komunikasi yang berkelanjutan terhadap perjalanan umat beriman di keuskupan dengan mengusulkan, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan konkret yang diperlukan oleh umat beriman kristiani. Dengan demikian diharapkan bahwa Dewan pastoral melaksanakan tugasnya seefektif mungkin, misalnya merumuskan rencana pastoral untuk komunikasi sosial dan mengidentifikasi strategi komunikasi untuk semua pelayan Gereja sesuai dengan situasi-situasi konkret dunia modern dan kondisi yang ada. Ketiga tugas utama Dewan pastoral itu adalah untuk membantu Uskup diosesan dalam mendukung evangelisasi, katekese dan pendidikan, pelayanan dan kerjasama ekumenis, sehingga hakikat Gereja partikular (keuskupan) yang intinya adalah komunikasi iman jemaat se-keuskupan yang dipersatukan oleh Uskup sebagai gembala utama semakin dihayati dan direalisir.

C. Fungsi dan Tujuan Dewan Pastoral
Dewan Pastoral yang dibentuk oleh Uskup diosesan bertugas menyelidiki dan mempertimbangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan karya pastoral serta menyusun kesimpulan-kesimpulan praktis terkait karya pastoral tersebut (bdk. Christus Dominus art. 27). Ketiga tugas tersebut dimaksudkan untuk membantu Uskup dalam pelayanannya, misalnya berupa anjuran dan gagasan yang berkenaan dengan tugas misioner, kateketik, dan kerasulan. Dewan pastoral juga bertindak dalam menimbang berbagai format doktrinal (ajaran) dan kehidupan sakramental kaum beriman, meninjau kegiatan pastoral dalam membantu para imam di berbagai reksa sosial keuskupan. Dewan pastoral juga bertujuan untuk mencermati tanggapan publik terhadap Gereja, baik mengenai ajaran moral dan iman serta berusaha menjaga keutuhan dan perkembangan Gereja ke masa yang akan datang.
D. Otoritas Dewan Pastoral.
Dewan pastoral hanya memiliki suara konsultatif. Namun sifat konsultatif tersebut tidak mengurangi potensi Dewan pastoral untuk bertindak melayani keuskupan dan membantu Uskup diosesan dalam reksa pastoral. Uskup diosesan berhak dan berwenang untuk memanggil dan memimpin rapat dewan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Uskup juga berhak mengangkat hal-hal atau permasalahan-permasalahan yang hendak dibahas dalam rapat dewan. Dewan pastoral atas ketetapan Uskup diosesan bisa memilih orang-orang beriman Kristiani awam dan anggota tarekat hidup bakti untuk diutus ke sinode Keuskupan. Dewan pastoral bertugas dalam menetapkan dan mendiskusikan aturan-aturan tentang keterlibatan orang Katolik terkait dalam perpolitikan, kehidupan spiritual paroki, partisipasi aktif umat beriman dalam liturgi, pendidikan agama anak-anak, evangelisasi, perencanaan-perencanaan industri ekonomi sederhana, penanganan pengangguran, juga hubungan antara klerus dan awam. Namun berkaitan dengan permasalahan iman, ortodoksi (ajaran) Gereja, moral dan hukum Gereja universal, Dewan pastoral tidak memiliki kompetensi dan otoritas.








5. Kolegium Konsultor
dalam Kanon 502

1. Sekilas Pandang tentang Kolegium Konsultor
Kolegium konsultor atau dewan penasihat merupakan hasil kesepakatan atas suatu pembaharuan di dalam kanon. Mereka dipilih dari dewan para imam. Meskipun demikian, kolegium konsultor penting untuk menjaga gagasan bahwa dalam kanon 423 – 428 Kodeks 1917, sebuah kolegium yang sama diangkat bagi diosesan-diosesan yang tak mungkin mengangkat suatu kapitel katedaral.
Komisi revisi CIC memperhatikan konstitusi bagi kolegium ini. Komisi revisi CIC ini lebih memungkinkan untuk mengadakan perundingan mengenai kolegium ini. Dalam pleno, pokok-pokok pembicaraan yang mengarah pada kolegium konsultor dibahas lebih mendalam. Seorang anggota kurang menyetujui pembaharuan ini karena menganggap kolegium ini merupakan duplikat dari kolegium para imam. Maka, anggota-anggota dari kolegium konsultor semestinya tidak dipilih dari antara dewan imam, sehingga secara jelas dapat dibedakan dari dewan imam. Ia juga menyarankan bahwa kolegium konsultor menjalankan tugas-tugas yang ditentukan hukum dalam jangka waktu lima tahun. Namun meskipun telah lewat lima tahun, kolegium konsultor tetap menjalankan tugas-tugasnya sampai terbentuk kolegium yang baru.
Kolegium konsultor adalah suatu kolegium para imam yang dipilih dengan bebas oleh uskup dari antara dewan para imam. Jumlah mereka tidak kurang dari enam dan tidak lebih dari dua belas orang. Pembentukan kolegium konsultor dimaksudkan untuk membantu uskup dalam kepemimpinnya menurut hukum dan ketetapan yang telah disepakati dalam kepengurusan diosesan, selama tahta tidak terhalang atau tahta lowong. Seorang anggota kelompok konsultor berhenti menjadi sebagai anggota dewan imam sejak waktu dikeluarkannya perintah. Konsultor berhenti dari jabatannya dalam batas waktu 5 tahun. Uskup diosesan tidak wajib menunjuk yang lain menurut kanon ketika hanya tinggal sedikit anggota. Lamanya jangka waktu kolegium ini adalah lima tahun dengan tugas-tugas yang ditentukan hukum. Namun, Konferensi para uskup dapat menetapkan bahwa tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada mereka dapat dijalankan hingga dipenuhi oleh kapitel katedral.
Kan. 502, § 3 menetapkan kebijakan yang diputuskan dalam Konferensi para uskup bahwa tugas-tugas kolegium konsultor diserahkan kepada kapitel katedral. Tugas-tugas yang diserahkan berhubungan dengan perayaan liturgi meriah di gereja katedral atau gereja kolegial. Selain itu, kapitel katedral menunaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka oleh hukum atau Uskup diosesan. Maka, dalam organisasi Gerejawi, ada dua bentuk kolegium yang sangat berbeda mengenai maksud pembentuk kolegium.
Kan. 502, § 4 menjelaskan struktur khusus dalam vikariat dan prefektur postolik. Di vikariat dan perefektur apostolic, tugas-tugas kolegium konsultor dipegang dewan misi. Dewan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang misionaris yang pendapatnya didengarkan dalam urusan-urusan yang sungguh penting (Kan. 495, § 2).

2. Tugas-tugas Kolegium Konsultor
Tugas-tugas khusus kolegium konsultor yang ditetapkan menurut Kitab Hukum Kanonik adalah sebagai berikut;
- Administrator diosesan membutuhkan persetujuan kolegium konsultor untuk dapat melaksanakan inkardinasi dan ekskardinasi, dan memberi ijin untuk pindah ke keuskupan lain setelah keuskupan lowong satu tahun (Kan. 272).
- Dalam kasus khusus menurut Kan. 377, § 3, dewan konsultor menyatakan pendapat kepada duta kepausan atas proses penyelidikan calon Uskup diosesan atau Uskup kuajutor;
- Dewan konsultor menerima penunjukan surat apostolik untuk uskup diosesan yang menduduki tugas jabatannya, dan demikian juga mengenai uskup kuajutor yang menduduki jabatannya (Kann. 382, § 3 dan 404, §§ 1 dan 3);
- Bila tidak ada Uskup kuajutor atau ia terhalang dan daftar yang disebut dalam Kan. 413, § 1 juga tidak tersedia, kolegium konsultor bertanggungjawab memilih seorang imam untuk memimpin diosesan (Kan. 413, § 2);
- Ketika keuskupan lowong dan bila tidak ada Uskup auksilier, dan bila Tahta Suci belum menentukan lain, dewan konsultor mengambil alih kepemimpinan keuskupan untuk sementara waktu sampai terpilih administrator diosesan (Kan. 419) dan kolegium konsultor harus memilih administrator diosesan dalam jangka waktu 8 hari sejak pengumuman atas keuskupan yang lowong (Kan. 421, § 1).
- Kolegium konsultor memberitahukan kepada Tahta Suci atas kematian Uskup diosesan ketika tidak ada Uskup auksilier (Kan. 422).
- Jika administrator diosesan diberhentikan, mengundurkan diri atau meninggal (Kan. 430, § 2), kolegium konsultor harus memilih imam lain menurut Kan. 421.
- Administrator diosesan (bukan seorang uskup) harus memperoleh persetujuan kolegium konsultor untuk memberhentikan kanselir dan notarius lainnya ( Kan. 485).
- Di setiap keuskupan, hendaknya Uskup, setelah mendengar kolegium konsultor dan juga dewan keuangan mengangkat seorang ekonom keuskupan ( Kan. 494, § 1), dan atas pemberhentiannya karena habis masa atau waktu jabatan (Kan. § 2).
- Kolegium konsultor menerima pengakuan iman dari administrator diosesan ( Kan. 833, 4°).
- Administrator diosesan dengan persetujuan kolegium konsultor memberikan surat dimisoria bagi para calon sekular (Kan. 1018, § 1, 2°).
- Kolegium konsultor harus didengar uskup atas tindakan-tindakan pengelolaan harta benda yang menurut keadaan ekonomi keuskupan termasuk lebih penting. Uskup membutuhkan persetujuan kolegium konsultor atas tindakan-tindakan pengelolaan harta benda luar biasa, kecuali dalam kasus-kasus yang secara khusus ditegaskan dalam humum umum atau dalam piagam fundasi (Kan. 1277)
- Uskup diosesan membutuhkan persetujuan kolegium konsultor mengenai pengalih-milikan harta benda di antara jumlah minimum dan maksimum yang harus ditetapkan oleh konfrensi para uskup jika tidak ditentukan oleh statuta badan hukum itu sendiri. Persetujuan kolegium konsultor juga dibutuhkan atas pengalih-milikan harta benda keuskupan (Kann. 1292, § 2 ; 1295).



6.VIKARIS YUDISIAL

1. Pengantar
Di setiap keuskupan dan untuk semua perkara dalam hukum kanonik tidak dikecualikan secara tegas, hakim tingkat pertama adalah Uskup diosesan, yang dapat melaksanakan kuasa yudisialnya secara pribadi atau lewat orang lain. Hal ini dibahas dalam kanon 1419-1437; sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak atau harta benda badan hukum yang diwakili oleh Uskup, pengadilan-banding mengadilinya pada tingkat pertama (1419 §2).

A. Vikaris Yudisial Menurut Kanon 1420
B. Pengertian Vikaris Yudisial
Vikaris yudisial atau ofisial adalah seorang imam yang dipilih oleh Uskup diosesan, berdasarkan kompetensi dalam bidang hukum kanonik yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah kepada pengadilan atas kasus-kasus dengan kewenangan biasa yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan.
Meskipun kewenangannya sebatas kewenangan yang bersifat biasa, kewenangan tersebut tidak dapat diwakilkan atau didelegasikan. Seorang Vikaris yudisial, di dalam dirinya sendiri mempunyai kuasa atau kewenangan atas pendelegasian berdasarkan pemilihan dan pengangkatan yang ia terima sendiri dari Uskup diosesan. Kuasa atau kewenangan yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial disebut potestas delegata, karena kuasa yang ia terima bukan berdasarkan jabatan (Kan.131). Kuasa yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial berbeda dengan kuasa yang dimiliki oleh seorang Vikaris episkopal seperti yang dibahas di dalam kanon 476-481. Kanon 463, § 1, 2° dan kanon 833, 5° menjelaskan perihal Vikaris episkopal dan Vikaris yudisial, yang dengan sangat jelas menyatakan bahwa Vikaris yudisial tidak termasuk atau tidak berada di bawah otoritas Vikaris episkopal.
Kanon 472 menyatakan bahwa perkara-perkara dan orang-orang yang dalam Kuria Keuskupan berhubungan dengan kuasa yudisial, memiliki norma-norma yang berbeda dengan perkara-perkara dan orang-orang yang dalam Kuria Keuskupan berhubungan dengan kuasa administratif.
Kanon 479 menyatakan bahwa Vikaris episkopal mempunyai kuasa eksekutif untuk melaksanakan tindakan-tindakan administrative, dan kanon 481, § 1 menyatakan bahwa Vikaris episkopal kehilangan kewenangan atau otoritas mereka ketika tahta lowong (Kan. 418 § 2, 1°), sementara Vikaris yudisial tidak berhenti ketika tahta lowong (Kan. 1420, § 5).
Vikaris yudisial, para Vikaris-yudisial-pembantu dan para hakim lain diangkat untuk jangka waktu tertentu, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1420, § 5, dan tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang legitim dan berat.
Kanon 1422, § 2, menyatakan bahwa “Vikaris yudisial mendirikan satu tribunal bersama dengan Uskup diosesan”. Pernyataan tersebut mengimplikasikan bahwa permohonan-permohonan (pengajuan kasus) yang bertentangan dengan suatu keputusan tribunal keuskupan, tidak dapat diajukan banding (rekursus) kepada Uskup diosesan, dan Uskup diosesan tidak bebas (seenaknya) mengubah atau memodifikasi suatu keputusan yang telah disampaikan oleh Vikaris yudisial (atas nama tribunal keuskupan). Karena di dalam tribunal keuskupan, Uskup diosesan bersama Vikaris yudisial bertugas secara bersama-sama.
Perlu diperhatikan dengan seksama bahwa menurut kanon 135, § 3, kuasa yudikatif tidak dapat didelegasikan oleh seorang Vikaris yudisial kepada wakilnya atau kepada para hakim Gereja yang lain, kecuali untuk melaksanakan suatu tindakan, atau persiapan dalam merumuskan suatu dekrit atau suatu keputusan penting.


C. Syarat-Syarat sebagai Vikaris Yudisial
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat syarat-syarat untuk menjadi seorang Vikaris yudisial:
1) Imam yang dipilih oleh Uskup Diosesan berdasarkan kompetensi dalam bidang hukum kanonik. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah kepada pengadilan atas kasus-kasus dengan kewenangan biasa yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan.
2) Vikaris yudisial maupun para Vikaris-yudisial-pembantu haruslah imam, mempunyai nama baik, doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat, berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun” (Kan. 1420, § 4).
3) Seorang Vikaris yudisial, di dalam dirinya sendiri mempunyai kuasa atau kewenangan atas pendelegasian berdasarkan pemilihan dan pengangkatan yang ia terima sendiri dari Uskup diosesan. Kuasa atau kewenangan yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial disebut potestas delegata, karena kuasa yang ia terima bukan berdasarkan jabatan (Kan.131).
4) Vikaris yudisial tidak termasuk atau tidak berada di bawah otoritas Vikaris episkopal (Kan. 463, § 1, 2° dan 833, 5°).
5) Vikaris yudisial, para Vikaris-yudisial-pembantu dan para hakim lain diangkat untuk jangka waktu tertentu, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1420, § 5, dan tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang legitim dan berat.
6) Kuasa yudikatif tidak dapat didelegasikan oleh seorang Vikaris yudisial kepada wakilnya atau kepada para hakim Gereja yang lain, kecuali untuk melaksanakan suatu tindakan, atau persiapan dalam merumuskan suatu dekrit atau suatu keputusan penting (Kan. 135, § 3).



Konstitusi tentang Vikaris Yudisial
A. Kanon 1422
Kitab Hukum Kanonik 1917 (CIC 1574) tidak memberikan ijin kepada kaum awam, baik pria maupun wanita untuk bertugas sebagai Vikaris yudisial di suatu keuskupan. Pemahaman ini berdasarkan asumsi serta pandangan umum bahwa dalam Gereja Katolik, kuasa yudikatif hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang yang telah menerima tahbisan suci.
Setelah Konsili Vatikan II, kaum awam diijinkan untuk bertugas sebagai hakim Gereja seperti halnya kaum klerus. Pada tahun 1971, Causas matrimoniales mengijinkan kaum awam pria menjadi hakim Gereja. Perijinan tersebut tidak diberikan kepada kaum awam wanita. Peraturan ini kemudian dibakukan menjadi draft pernyataan pada tahun 1976 dan 1980 sebagai suatu prosedur hukum. Akhirnya KHK 1983, berdasarkan voting pada bulan Oktober 1981, yang dilaksanakan oleh para anggota komisi yudisial Kuria Kepausan menghapuskan diskriminasi atau pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan kualitas diri dan kompetensi dari pribadi yang bersangkutan. Pria maupun wanita mempunyai hak yang sama untuk menjadi hakim Gereja, dengan memperhatikan kompetensinya.
Kanon 1574 (KHK 1917) menyatakan bahwa Vikaris yudisial (hakim Gereja tingkat keuskupan) menerima kuasa delegasi. KHK 1983 menghapuskan pemahaman tersebut, dan menyatakan bahwa seorang Vikaris yudisial menerima kuasa bukan berdasarkan jabatan yang ia emban (Kan. 131 §1).
Kodek 1983 sangat memberikan perhatian perihal pembekalan akademis yang sesuai dengan kebutuhan jaman bagi para anggota pengadilan Gerejawi (Kan. 1420, §4; 1421, §3 dan 1435). Jika dalam suatu keuskupan staf pengadilan Gerejawinya tidak mencukupi, Nuntiatura (Kedutaan Besar Takhta Suci), berhak memberikan dispensasi demi keperluan ini, untuk menjadi anggota Tribunal yang tidak mempunyai kompetensi atau keahlian khusus dalam bidang hukum Gereja, namun mempunyai pengetahuan yang mencukupi perihal hukum Gereja. Anggota yang hendak diangkat tersebut hendaknya mempunyai kecakapan lain, tidak harus menjadi ahli (setingkat doktorat), sampai keuskupan yang bersangkutan mampu menyusun dan mempunyai anggota pengadilan Gerejawi yang mempunyai kecakapan penuh.
Kanon 1421, § 2 menyatakan bahwa Konferensi Waligereja sebagai pemegang otoritas dapat memberi ijin bagi kaum awam untuk diangkat menjadi hakim Gereja.

B. Kanon 1424
Kanon ini memberikan catatan bahwa seorang hakim Gereja dapat mempergunakan jasa seorang atau lebih dari dua orang assessor yang bertugas menjadi konsultor atau advisor (penasehat). Yang dimaksudkan disini adalah bahwa seorang hakim Gereja tunggal seperti halnya kolegium tribunal, seturut kanon 1428, berhak mengangkat orang tertentu dengan spesialisasi tertentu, khususnya dalam bidang hukum sebagai auditor yang membawa perintah untuk menangani suatu kasus. “Hakim atau ketua pengadilan kolegial dapat menunjuk seorang auditor untuk melaksanakan proses perkara, dengan memilih seorang entah dari antara para hakim pengadilan entah dari orang-orang yang telah disetujui oleh Uskup diosesan untuk tugas itu” (Kan. 1428).
“Dalam peradilan tingkat pertama, jika barangkali tidak dapat dibentuk suatu kolegium, Konferensi Para Uskup, selama ketidakmungkinan itu masih ada, dapat mengijinkan agar Uskup diosesan menyerahkan perkara-perkara kepada seorang klerikus sebagai hakim tunggal, yang jika mungkin, hendaknya menyertakan seorang assessor dan seorang auditor” (Kanon 1425, § 4). Termasuk dalam kasus-kasus perkawinan, khususnya mengenai validitasnya.


C. Kanon 1425
Uskup diosesan merupakan hakim Gereja di wilayah keuskupannya. Uskup diosesan mempunyai wewenang untuk memilih serta mengangkat tiga orang hakim Gereja di wilayah keuskupannya. Kolegium tiga orang hakim tersebut berhak mengurusi: perkara-perkara perdata yang meliputi tahbisan suci, ikatan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1686 dan 1688. Selain perkara-perkara perdata, kolegium tiga orang hakim berhak mengurusi perkara-perkara pidana, yang meliputi tindak pidana yang dapat membawa serta hukuman dikeluarkan dari status klerikal, dan ekskomunikasi yang harus dijatuhkan atau dinyatakan.
Uskup diosesan dapat menyerahkan perkara-perkara yang sangat sulit atau sangat penting kepada peradilan tiga atau lima orang hakim. Vikaris yudisial hendaknya menunjuk hakim-hakim menurut urutan bergilir untuk memeriksa setiap perkara, kecuali ditentukan lain oleh Uskup diosesan untuk setiap kasus.
Dalam peradilan tingkat pertama yaitu tingkat keuskupan, jika tidak mungkin dibentuk suatu kolegium, Konferensi Para Uskup, selama ketidakmungkinan itu masih ada, dapat mengijinkan Uskup diosesan menyerahkan perkara-perkara kepada seorang klerikus sebagai hakim tunggal, dan jika dimungkinkan hendaknya disertakan seorang assessor dan seorang auditor.
Vikaris yudisial hendaknya jangan mengganti para hakim yang telah ditunjuknya, kecuali atas dasar alas an yang sangat berat, yang harus dinyatakan dalam dekrit.



Tugas dan Kewajiban Vikaris Yudisial
A. Vikaris Yudisial atau Ofisial dan Rekan Vikaris Yudisial
“Uskup diosesan manapun wajib mengangkat seorang vikaris yudisial atau ofisial, dengan kuasa jabatan untuk mengadili. Vikaris Yudisial adalah sebuah pribadi yang berbeda dengan Vikaris Jenderal, kecuali keuskupan itu kecil atau jumlah kasus terbatas menganjurkan lain” (Kan. 1420, § 1).
“Vikaris yudisial bersama Uskup membentuk satu pengadilan, tetapi tidak dapat mengadili perkara-perkara yang direservasi oleh Uskup bagi dirinya sendiri” (Kan. 1420, § 2).
“Vikaris yudisial dapat diberi pembantu-pembantu, yang namanya Vikaris-yudisial-pembantu atau wakil-ofisial” (Kan. 1420, § 3).
“Vikaris yudisial maupun para Vikaris-yudisial-pembantu haruslah imam, mempunyai nama baik, doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat, berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun” (Kan. 1420, § 4).
Pengadilan hadir untuk mengadili dengan cepat bentuk ketidakadilan. Hal ini membutuhkan pengabdian yang sungguh-sungguh dalam tugas dan memusatkan perhatian pada semua laporan rapat, cepat dalam memahami laporan pengaduan, teguh dalam menghentikan kasus-kasus yang tidak bermakna, dan seterusnya. Khususnya dalam Gereja, tidak dapat mentolerir bentuk ketidakadilan, oleh karena itu pengadilan memiliki ekonom jika berhadapan dengan kasus yang berat.
Vikaris yudisial dan Vikaris-yudisial-pembantu ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, dan tidak dapat diberhentikan tanpa alasan yang legitim dan berat (Kan. 1420).
Apabila tahta lowong, mereka tidak berhenti dari jabatannya dan mereka tidak dapat diberhentikan oleh Administrator diosesan (Kan. 1420, § 5). Apabila sudah ada Uskup yang baru, mereka perlu pengukuhan dari Uskup yang baru tersebut (Kan. 1420, § 5).
Sejauh mungkin, Vikaris yudisial atau Vikaris-yudisial-pembantu harus mengetuai pengadilan kolegial (Kan. 1426, § 2).
Dihadapan Uskup diosesan dan utusannya, Vikaris yudisial secara personal wajib menyatakan pengakuan iman menurut rumusan yang disahkan oleh Tahta Apostolik (Kan. 833, 5º).
Vikaris yudisial dipanggil untuk mengambil bagian dalam sinode keuskupan (Kan. 463, § 1, 2º).

B. Hakim Keuskupan dan Hakim-Hakim Lainnya.
Di setiap keuskupan hendaknya uskup menunjuk hakim-hakim keuskupan, yang hendaknya dari kalangan klerus (diakon atau imam) (Kan. 1421, § 1).
Konferensi para uskup dapat mengizinkan juga kaum awam (laki-laki atau perempuan) untuk menjadi hakim. Di mana diantara mereka, salah satunya dapat dipilih untuk membentuk kolegium ( Kan. 1421, § 2).
Hakim-hakim tersebut harus memiliki reputasi baik, dan bergelar doktor atau sekurang-kurangnya bergelar lisensiat dalam hukum kanonik (Kan.1421, § 3). Mereka diangkat dalam jangkah waktu tertentu. Mereka tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang sah dan berat (Kan. 1422 ). Apabila terjadi tahta lowong, mereka tidak diberhentikan dari jabatan. Pada saat ada uskup baru, mereka perlu mendapat pengukuhan. Mereka juga tidak diberhentikan oleh administrator (Kan. 1420, § 5).

C. Tribunal Kolegial
Dalam kasus perkawinan, ketika kasus tersebut dicoba menurut proses pengadilan formal, tribunal harus sebagai tribunal kolegial dengan tiga hakim, yang satu dapat seorang awam baik pria maupun wanita. Dalam kanon 1425, § 1, 1° dikatakan bahwa dalam perkara-perkara perdata ikatan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1686 dan 1688.
Pada pengadilan tingkat pertama, bisa dimungkinkan membentuk majelis hakim. Selama tak ada kemungkinan masih ada, Konferensi Episkopal dapat mempercayakan seorang hakim tunggal dari golongan klerikus. Di mana memungkinkan hakim tunggal tersebut ditemani asesor dan auditor (Kan. 1425, § 4).
Dalam pengadilan tingkat kedua, tribunal haruslah kolegial dari tiga hakim (Kan. 1441).



D. Accesor
Dalam beberapa pengadilan seorang hakim tunggal dapat dibantu oleh dua pendakwa sebagai penasihat; mereka boleh saja klerikus atau seseorang yang mempunyai reputasi dan nama baik (Kan.1224). Dalam pengadilan pada instansi pertama, dimana dimungkinkan seorang hakim tunggal, ia dapat dibantu oleh seorang accesor (Kan.1425, § 4).

E. Penutup
Di setiap keuskupan, tenaga Vikaris yudisial sangat dibutuhkan. Pertama-tama untuk membantu reksa kegembalaan Uskup diosesan. Vikaris yudisial secara khusus membantu Uskup untuk menjalankan tribunal keuskupan. Pada dasarnya Uskup diosesan menjadi hakim pertama dalam setiap perkara yudikatif di keuskupannya. Uskup dapat mendelegasikan kuasa yudikatif pada seorang imam yang cakap untuk melaksanakan kuasa yudikatif. Vikaris yudisial bersama Uskup diosesan merupakan satu pengadilan, namun Vikaris yudisial tidak dapat mengadili perkara-perkara yang direservasi olah Uskup diosesan bagi dirinya sendiri.