Jumat, 04 Maret 2011

cerpen

PANGGILAN DI UJUNG
CINTA


Sorot mentari yang terik kian melemah, terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Daun-daun berjuntai yang bergoyang ditiup semilir angin meneduhkan suasana. Gerimis yang merenai memboyong kelembaban seakan mengajak orang-orang untuk pulang. Inilah saat paling menyenangkan bagi Rian bersama teman-temanya di taman Sakura Kaban Jahe. Pada waktu itu, Rian cepat-cepat pulang karena teringat akan ulangan Matematika besok.
Setelah mandi Rian mulai membuka-buka catatanya, sejenak sebagai penyegaran kembali. Sementara asyik dengan itu, tiba-tiba terdengar suara letusan yang sangat dasyat. Buuu….uumm…!!!!!, beberapa saat kemudian orang-orang berhamburan keluarrumah. Tangisan dan teriakan para ibu memanggil-manggil anaknya memecah kesunyian malam itu. Beberapa saat kemudian, barulah Rian menyadari bahwa Gunung Sinabung telah meletus. mereka semua panik, ada yang mencari-cari anaknya yang hilang, ada yang menyelamatkan harta bendanya. Rian dan keluarganya harus meninggalkan rumah pada malam itu juga karena kerusakan yang cukup serius. Hanya beberapa barang saja yang mereka selamatkan, yang penting bagi keluarga Rian adalah keselamatan jiwa mereka semua. Tempat perlindungan yang aman bagi kami malam itu adalah jambur terdekat yang tentunya jauh dari jangkauan letusan Gunung Sinabung.
Karena situasi dan kondisi di kampung halaman Rian yakni Suka Ndebi tidak memungkinkan, akihirnya keluarga Rian memutuskan untuk pindah ke kota Medan. Sebagai pendatang baru, Rian dan keluarganya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru pula. Sangat kontras bagi Rian. Mengapa? Lingkungan tempat tinggal Rian dulu aman, tenang, sejuk dan damai kini mereka harus berhadapan denga lingkungan yang bising, sibuk dan kotor. Tapi apa boleh buat, semua ini adalah kehendak dari yang mahakuasa.
Di tempat yang baru, Rian akhirnya mendaftarkan diri pada sebuah sekolah terdekat yang cukup terkenal. Berkat kejeniusannya, akhirnya Rian pun diterima dengan mulus di sana.
Hari ini adalah hari senin. Kehadiran Rian di kelas III IPA SMA St. Thomas I Medan, ternyata telah dinanti-nantikan oleh teman-temanya. Hal ini terjadi berkat informasi dari kepala sekolah hari sabtu yang lalu. Walaupun baru pindah dari kampung, kehadiran Riang di kelas itu ternyata membawa warna khusus. Keramahan dan kerendahan hati yang dimilikinya membuat teman-teman suka kepadanya.
Sebagaimana teman-teman yang lain, Rian akhirnya jatuh cinta kepada Dewi teman sekelasnya. Namun Rian masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. Suatu hari setelah pulang sekolah, Rian memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. Rian mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi menemuinya di Sun Plaza besok setelah pulang sekolah.
Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Mal dimana Rian memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatinya. Namun rupanya Rian belum tiba di Mal ketika Dewi tiba. Rian muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit.
“Dewi…”! seru Rian begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat Rian datang. “Sudah lama menunggu?” tanya Rian. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut Rian sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi.
“kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak Rian. Dewi menurut. Maka keduanya pun melangkah beriringan menuju sebuah cafĂ© di Mal tersebut. Sambil menunggu pesanan datang, keduanya pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri.
“dewi…”
“ya?”
“Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”.
“Kenapa?”
“Karena akhiranya aku bisah mendapatkan bintang yang ku impikan”.
“Aku juga…”
“Kenapa..?”
“Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “Aku juga…” balas Rian denga perasaan senang. Setiap hari mereka lalui bersama penuh canda dan tawa.
Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi mereka untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya mereka laksanakan dengan baik dan kina saatnya bagi mereka untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa Rian dan Dewi harus berpisah.
Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagi Rian maupun Dewi.
“dewi…” Rian memecah kesunyian di antara mereka.
“Ya..”
“Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?”
“Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke AKPER Elisabeth.
“Kalau kamu…??”
Rian terdiam sejenak.
“Dewi..”.
“Ya…”.
“Aku telah memutuskan untuk hidup membiara. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”.
“Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar.
“Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Rian.
“Rian, sesungguhya apa yang menjadi pilihanmu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi”.
Sepuluh tahun berlalu di jogja, rm. Rian tidak pernah mendapatkan kabar sedikitpun tentang keberadaan Dewi. Pada suatu ketika dalam acara pentahbisan ketujuh imam diosesan di katetral Keuskupan Agung Medan, barulah rm. Rian bertemu dengan Dewi. Alangkah terkejutnya rm. Rian ketika berjumpa dengannya. Teryata Tuhan berkehendak lain begi mereke berdua. Dewi teryata telah menjadi suster dan telah mengucapkan kaul kekalnya satu tahun yang lalu. Rencana Tuhan adalah yang terindah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar