Kamis, 13 Oktober 2011

FERDINAND DE SAUSSURE BAPAK LINGUISTIK MODEREN DAN PELOPOR STRUKTURALISME Erick Sila dkk

I. Riwayat Hidup Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli linguistik yang berkebangsaan Swiss. Dia dilahirkan di kota Jenewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Prancis (Huguenot) yang berimigrasi dari Lorrine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Kemampuannya dalam bidang bahasa sudah tampak sejak ia masih kecil. Pada umur 15 tahun ia menulis karangan Essai sur les langues dan pada tahun 1874 mulai belajar bahasa Sansekerta. Pada awalnya ia mengikuti mata pelajaran fisika dan kimia di Universitas Jenewa, kemudian melanjutkannya di Leipzig tahun 1876-1878 dan di Berlin tahun 1878-1879. Di perguruan tinggi ia belajar dari tokoh-tokoh besar linguistik seperti Brugmann dan Hubschman, yang pada saat itu dipandang sebagai ahli linguistik. Ketika mahasiswa ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika , William Dwight Whitney yang berjudul The Life and Growth of langguange: an Outline of Linguistic, yang akan mempengaruhi teorinya dikemudian hari. Pada tahun 1880 ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan mendapat gelar doktor summa cum laude dari Universitas Leipzig. Pada tahun 1978 ketika berusia 21 tahun, Ferdinand menghasilkan sebuah karya yang berjudul Memorie sur le systeme primitif des voylles dans les langues indo-europeennes (Catatan tentang sistem vokal purba dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa), karya ini merupakan buktik kecermelangannya sebagai ahli linguistik historis. Karyanya ini merupakan penerapan metode rekonstruksi untuk menjelaskan hubungan absolut dalam bahasa-bahasa Eropa. Sekalipun ia menghasilkan karya yang bernuansa linguistik historis, Ferdinand lebih dikenal sebagai linguistik umum. Hal ini dikarenakan dua orang muridnya menerbitkan sebuah buku yang berjudul Cours de linguistique generale (kursus tentang linguistik umum) pada tahun 1961, saat mengajar bahasa Sansekerta, Ghotik, dan Jerman tinggi kuno serta linguistik komperatif Indo-Eropa di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris. Pada tahun 1891 ia pindah ke Jenewa untuk mengajarkan bahasa Sansekerta dan lingustik historis komperatif di sebuah Universitas yang ternama. Diantara ahli-ahli linguistik sezaman yang dikenal ialah Baudouin de Courtenay dan Kruszewski, yakni sarjana-sarjana yang dianggap pelopor teori fonologi. Beberapa kali ia menolak untuk mengembangkan pandangan-pandangan teoritisnya, namun pada akhirnya ia terpaksa mengajar linguistik umum karena guru besar yakni Joseph Wertheimer, berhenti sebelum waktunya. Tugas ini dijalankan sampai ia meninggal pada 22 Februari 1913. II. Pembaharuan Linguistik oleh Ferdinand de Saussure Sudah sejak lama Ferdinand merasa bahwa penyelidikan ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakukan secara historis; tetapi karena pengaruh pendidikannya, ia tidak dapat menghindarkannya dan belum mampu untuk mempelajari bahasa secara cermat sampai ia dipengaruh oleh Emile Durkheim (1858-1917). Memang dalam kuliahnya ia tidak pernah menyebut Emil Durkheim, tetapi dari catatan-catatan lain, nyata membuktikan bahwa ia memperhatikan tulisan Emil Durkheim. Perhatiannya yang begitu besar terhadap tulisan-tulisan Durkheim, membuatnya termotivasi untuk menyelidiki bahasa. Dia mulai menganggap bahasa sebagai “benda” yang terlepas dari pemakaian penuturannya karena diwariskan dari penutur lain yang mengajarkannya, dan bukan ciptaan si individu. Bahasa adalah fakta sosial karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi penuturnya. Kendala ini sangat cocok karena bahasa tidak memberi pilihan lain kepada pemakainya, sehingga menjalin komunikasi untuk saling memahami, selain itu karena dipaksakan dalam pendidikan. Bahasa sebagaimana lepas dari perkembangan historisnya karena kalau tidak, bahasa yang ada sekarang secara kualitatif berbeda daripada yang dahulu karena memperoleh unsur-unsur baru dan kehilangan beberapa unsur lain. Bahasa sebagaimana fakta sosial dapat dipelajari secara tepat terpisah dari perilaku penuturnya. 2.1. Signifiant dan Signifie Signifiant dan Signifie merupakan inti pandangan Ferdinand tentang tanda. Dia memberikan pembedaan terhadap setiap kata yang pemakaianya terhadap benda. Hal ini dikarenakan pandangan umum yang menganggap bahwa tanda bahasa hanya menunjuk kepada benda dalam realitas. Akan tetapi Ferdinand menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna bukan karena referensinya kepada benda dalam realitas. Yang ditandakan dalam tanda bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang benda. Menurut Ferdinand konsep itu tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahasa itu sendiri. Kerap kali kita mengartikan kata-kata yang konsep-konsepnya sudah ada dalam pikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Pada hal, makna tidak dapat dilepaskan dari kata. Suatu kata tidak pernah merupakan bunyi saja atau tidak pernah merupakan coretan saja. Suatu kata adalah bunyi atau coretan, ditambah suatu makna. Dari sebab itu menurut Ferdinand tanda bahasa yang dipelajari oleh linguistik, terdiri atas dua unsur: le signifiant (penanda) dan le signifie (yang ditandakan). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna, sehingga signifiant merupakan aspek material dari bahasa. Sedangkan signifie merupakan gambaran mental, pikiran atau konsep dari bahasa. Dalam bahasa signifiant dan signifie tidak dapat dipisahkan, karena tanda tanpa signifiant tidak berarti apa-apa, sebaliknya signifiant tanpa signifie tidak mungkin karena signifiant itu sendiri tanpa tanda tidak memberikan arti. Sehingga signifiant dan signifie merupakan satu kesatuan, seperti sisi dari sehelai kertas. Selain itu menurut Ferdinand antara signifiant dan signifie memiliki hubungan arbiter bukan natural. Pembedaan antara signifiant dan signifie itu mempunyai konsekuensi besar. Itulah suatu langkah pertama untuk menyajikannya kepada ilmu linguistik. Keduanya memiliki objek pada dirinya sendiri. Sehingga bahasa dapat dibersihkan dari segala unsur yang ekstra-lingual (diluar bahasawi) pada bahasa tersebut. Karena penanda termasuk bagian dari tanda bahasa, makna tercantum dalam tanda bahasa sebagai unsur “lingual” dan konsekuensi kedua yaitu tanda termasuk bagian dari tanda bahasa. “Dengan demikian telah dimungkinkan untuk menjadikannya sebagai ilmu bahasa yang otonom, tanpa fenomena bahasa yang dapat dijelaskan tanpa mendasarkan diri atas apapun yang letaknya diluar bahasa.” 2.2. Pembedaan Langage, Parole dan Langue Menurut Ferdinand, agar objek linguistik dapat ditentukan lebih lanjut diperlukan sebuah pembedaan antara Langage, Parole dan Langue. Yang dimaksud dengan parole ialah keseluruhan apa yang dianjurkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas. Secara singkat dapat dipahami bahwa parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Dalam masyarakat parole dan realisasi dari kendala gramatikal suatu bahasa sangat sering ditemui dalam kehidupan sosial masyarakat. Gabungan parole dan kaidah bahasa oleh Ferdinand disebut langage. Walaupun meliputi seluruh masyarakat dan mengandung kendala sebagaimana terdapat kaidah gramatikal, langage bukan berasal dari individu pribadi penutur. Hal ini disebabkan karena langage tidak mempunyai prinsip keutuhan yang memungkinkan untuk menelitinya secara ilmiah. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Jikalau kita sering mendengar parole dari masyarakat lain, kita hanya mendengar bunyi bukan fakta bahasa itu sendiri. Bunyi yang terdengar itu kerap kali akan dihubung-hubungkan dengan fakta bahasa itu sendiri menurut seperangkat kaidah. Kaidah-kaidah ini disebut konvensi yang merupakan kelaziman yang dipaksakan oleh pendidik. Kaidah-kaidah ini membuat semua penutur saling memahami dan memberikan kendala perorangan sehingga mengharuskan kita berkomunikasi. Menurut Ferdinand pada langage tidak ada kesempurnaan, sehingga langage hanya sejenis kode, suatu jenis aljabar, atau gramatikal yang bersifat abstraksi. Beberapa hal perbandingan parole dan langue, yaitu : 1. Parole sebagai perbuatan bertutur selamanya bersifat perorangan, bervariasi, berubah-ubah dan banyak mengandung hal baru. Di dalamnya tidak ada sistem, jadi tidak dapat diteliti secara ilmiah. 2. Parole yang terjadi pada perorangan yang tidak terhitung jumlahnya membuatnya tidak terbatas. 3. Parole bukanlah sesuatu yang kolektif membuatnya memiliki sifat yang heterogen, sehingga memiliki rumusan tersendiri. 4. Parole yang memiliki pola yang kolektif, yang dimiliki bersama oleh semua penutur, sehingga dapat dirumuskan dengan rumusan tersendiri. Sedangkan pada langue, langue berada dalam bentuk “keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap “orang”, sehingga tidak terpengaruh oleh kemauan dari para penyimpannya. Langue merupakan produk sosial dari kemampuan bahasa dan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial yang ingin mempergunakan kemampuan itu. Sehingga langue didasarkan pada benda pasif, sedangkan parole berdasarkan benda aktif. Karena bahasa sangat lambat untuk mengalami perubahan, maka bahasa pantas untuk dipelajari. Karena keabstraksian dan kekongkritan hanya dibedakan oleh suatu sudut pandang maka Ferdinand menyimpulkan bahwa “khayalan kalau langue dan parole dititik dari satu sudut pandang”. Secara keseluruhan parole tidak dapat diselidiki karena bersifat heterogen, sedangkan langue bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa itu dapat diungkapkan menjadi lambang tulisan yang konvensional, sedangkan parole tidak mungkin digambarkan secara terperinci secara jelas. 2.3. Sinkroni dan Diakroni Pada abad ke-19 para Junggrammatiker mengatakan bahwa satu-satunya untuk mempelajari bahasa secara ilmiah adalah dengan menggunakan pendekatan diakronis. Ferdinand menentang pendapat mereka. Menurut Ferdinand Saussure, dalam mempelajari bahasa kita harus memperhatikan sinkroni terlebih dahulu lalu beranjak ke arah pendekatan diakroni. Apakah arti sinkroni dan diakroni? Sinkroni berasal dari kata Yunani khronos yang berarti waktu dan ditambah dengan awalan syn-dan-dia. Kedua awalan itu memiliki arti yaitu “bersama” dan “melalui”. Jadi sinkroni dapat diartikan sebagai “bertepatan menurut waktu” dan diakroni sebagai “menelusuri waktu”. Diakroni lebih menekankan peninjauan historis, sedangkan sinkroni menunjukkan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni lebih menekankan peninjauan ahistoris. 2.4. Hakekat Tanda Bahasa Selama ini bagi Saussure linguistik yang ilmiah sifatnya harus mempelajari pola-pola yang menyesuaikan ucapan masing-masing dengan kekangan sosial yang di paksakan oleh masyarakat bahasa. Berdasarkan penjelasan di atas sinkroni dan diakroni sudah jelas dikatakan bahwa pendekatan diakronis bukan satu-satunya kajian bahasa ilmiah, melainkan dalam arti jabaran karena harus memanfaatkan hasil pendekatan linguistik sinkronis. Menurut Saussure, objek itu ialah langue, namun belum menjelaskan semuanya. Karena langue itu “khazanah tanda”, objek linguistik yang “kongkret dan integral” adalah tanda bahasa. Saussure menyatakan bahwa pada hakekatnya bahasa adalah pranata yang didasarkan pada konvensi sosial dan merupakan perangkat penggunaan yang berlaku dalam masyarakat dan merupakan perbendaharaan kata dan bentuk yang masing-masing adalah tanda yang arbitrer dan konvensional. Saussure memperingatkan bahwa adalah keliru menganggap langue sebagai khazanah tanda berarti bahasa merupakan daftar kata-kata. Saussure berpandangan tanda bahasa “menyatakan konsep dan citra akustis, bukan benda dan nama, jadi merupakan wujud psikis dengan dua muka” seperti dalam diagram di bawah ini: Tanda = = = Bahasa Saussure menegaskan bahwa tanda bahasa adalah wujud psikis karena ia tidak mempertimbangkan wujud dari parole. Alasan lain untuk mendefinisikan tanda bahasa secara demikian ialah bahwa image acoustique ‘citra akustis’ bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan ujaran yang diucapkan. Salah satu manfaat dari konsep citra akustis ialah bahwa komponennya jelas batasnya, sedangkan bunyi yang kita ujarkan tidak demikian; citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak. Kata Saussure “citra bunyi tidak lebih daripada keseluruhan unsur atau fonem yang jumlahnya terbatas, yang dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan.” Bagian lain dari tanda bahasa ialah konsep Saussure menyatakan bahwa konsep itu lebih abstrak dan pada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergabung pada citra bunyi yang berkaitan. Karena itu tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Saussure menyebut konsep itu sebagai signifie ‘yang ditandai; petanda’, dan citra akustis itu signifiant ‘yang menandai ; penanda’. Keduanya merupakan kesatuan dua muka yang tidak dapat diceraikan. Dalam tanda bahasa jika hendak mengubah citra akustis, maka konsep juga akan berubah; dan sebaliknya. Pandangan ini tidak memperhitungkan homonim. Definisi Saussure bahwa tanda bahasa adalah objek linguistik yang konkret dan integral nampaknya merupakan usaha Saussure untuk membuat linguistik ilmiah dengan membuat, penyederhanaan konvensi terhadap data. Tanda bahasa merupakan objek integral dari linguistik: mengkaji salah satu muka tanda bahasa, entah signifie entah signifiant, secara terpisah mengkaji abstraksi dari langue, bukan faktanya. Istilah tanda yang dipakai oleh Saussure bersifat sangat umum, bisa berarti apa yang oleh oranglain disebut kalimat, klausa, frasa, kata atau morfem. Tanda dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tanda tunggal yang tidak dapat dianalisis atas bagian yang lebih kecil, dan tanda sintagmata yang terjadi dari 2 bagian bermakna atau lebih. Semua tanda memiliki 2 sifat utama: arbitrer dan linier. Kelinieran tanda bahasa paling nampak dalam signifiant yang dapat dipecah atas bagian-bagian yang berurutan. Bentuk-bentuk yang berurutan ini disebut rangkaian wicara. Saussure mengatakan bahwa tanda bahasa bersifat tak tertukarkan karena setiap generasi mewarisi bahasa dan tanda-tanda yang menjadi bagiannya, dan baik masyarakat maupun setiap orang bersikap pasif dalam menerimanya. Menurut Saussure bahasa merupakan contoh dari “hukum yang ditolerir oleh masyarakat, bukannya kaidah yang disetujui secara bebas oleh anggota-anggota masyarakat. Saussure mengemukakan 4 alasan mengapa tanda bahasa dan langue bersifat tak tertukarkan: 1. karena tanda bersifat arbitrer, tanda apapun tak ada yang lebih baik daripada yang lain sehingga tak ada pilihan atau perbincangan diantara pemakai bahasa. 2. meskipun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan yang arbitrer sifatnya karena unsur-unsurnya terbatas jumlahnya, namun tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, dan keterbatasan ini menghalangi perubahan bahasa. 3. bahasa merupakan sistem yang rumit, dan ini diakui oleh segelintir ahli bahasa. Namun, mereka tidak berhasil mengubah bahasa secara asasi; 4. bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan oleh semua orang; oleh karena itu diantara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan bahasa. 2.5. Hubungan Asosiatif dan Hubungan Sintagmatis Dalam pembahasan di atas dikatakan bahwa tanda bahasa sebagai objek linguistik memiliki 2 sifat utama, yaitu arbitrer dan linier. Menurut pendapat Saussure kelinieran tanda bahasa akan memberikan akibat yang tak terkirakan bagi linguistik. Pada rangkaian wicara berbagai mata rantai saling berurutan menurut urutan waktu, namun tidak diketahui dengan jelas mengapa satu mata rantai mengikat mata rantai yang lain. Apa yang dimaksud dengan hubungan asosiatif dan sintagmatis? Hubungan asosiatif, yaitu setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satu bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Hubungan asosiatif disebut hubungan in absentia karena beberapa butir yang dihubungkan itu ada yang muncul dan ada yang tidak muncul dalam ujaran. Selanjutnya yang dimaksud dengan hubungan sintagmatis adalah hubungan diantara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut hubungan in praesentia karena beberapa butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. Menurut Saussure bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan asosiatif (paradigmatis) dan hubungan sintagmatis itu. 2.6. Perbedaan antara valensi, isi dan pengertian Saussure memandang bahwa Langue merupakan perangkat penghubung diantara tanda bahasa yang stabil. Ada dua jenis hubungan dalam tanda bahasa, yakni hubungan sintagmatis dan hubungan paradigmatik. Melalui kedua hubungan tersebut tanda bahasa dapat diuraikan, dan hasilnya ialah pemberian tentang valensi. Konsep ini merupakan inti dari pandangan Saussure yang paling dasar tentang organisasi bahasa. Kita dapat menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting, bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda-tanda itu pertama kita kenal dengan mendengarnya, namun ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan adalah gagasan, benda, atau situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Dengan kata lain ciri utama tanda bahasa tidak dapat dicari pada wicara, tetapi dalam hubungannya dengan unsur-unsur luar bahasa, melalui sejenis konvensi sosial. Dari sinilah tampil sifat pertama valensi atau nilai, yakni menyangkut substitusi atau penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan. Uang adalah contoh yang jelas. Untuk menunjukkan bahwa konsep valensi atau nilai dapat diterapkan dalam penyelidikan bahasa, mula-mula harus dibahas identitas linguistis, kemudian realitas linguistis, dan akhirnya valensi linguistis yang mencakup kedua konsep yang pertama. Bagi Saussure identitas linguistis bersangkutan dengan munculnya kembali unsur bahasa yang sama. Untuk menjelaskan bahwa suatu tanda bahasa dalam suatu ujaran itu sama dengan tanda itu dalam ujaran lain. Saussure mengetengahkan kata Perancis pas dalam kalimat Je ne sais pas dan Ne dites pas cela. Kata ini secara etimologis bersangkutan, tetapi etimologi tidak memberikan penyelesaikan karena masalahnya bersangkutan dengan identitas sinkronis. Kesamaan kedua pas itu tidak terletak pada kesamaan fonetis maupun sematis. Ia menjelaskannya dengan contoh berikut. Bagaimana kita menandai kereta api jam 8.15 dari Zurich ke Jenewa pada hari-hari yang berlainan? Apa yang membuat kereta api itu “sama” bukan karena ditarik oleh lokomotif listrik, uap, diesel pada hari-hari yang berlainan, bukan pula karena gerbongnya, melainkan kenyataan bahwa (1) kereta api itu berangkat pukul 8.15, dan (2) berjalan dari Zurich ke Jenewa. Kereta api itu bukanlah kereta api yang “sama” bila berangkat pada waktu yang lain atau dari tempat yang lain atau ke tempat yang lain. Untuk menjelaskan ciri valensi yang lain ia mempergunakan permainan catur sebagai perbandingan. Ia menyatakan bahwa buah catur bukanlah unsur permainan. Nilai buah catur terdapat dalam hubungannya dengan buah catur yang lain dan gerak yang dibuatnya. Bentuk bahannya tidak peting karena kalau buah itu hilang atau pecah, dapat menggantikannya selama benda itu membuat gerak yang menjadi ciri buah catur yang bersangkutan. Realitasnya tidak terletak pada bahannya, yang menggambarkan benda apa itu, melainkan pada perbedaannya dengan buah catur yang lain, yang meggambarkan bukan benda apa itu. Jadi, valensi dapat ditukar dengan suatu yang sifatnya berlainan yang diangap bernilai sama (misalnya uang dengan roti); dan dapat dibagi melalui hal-hal yang serupa (misalnya dolar Amerika dengan sterling Inggris). Pengertian didefinisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Valensi dari suatu unsur bahasa ditentukan dengan menyelidiki unsur lain dalam system bahasa karena unsur-unsur itu beroposisi, baik secara paradigmatik maupun secara sintagmatis. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa langue adalah system unsur-unsur yang saling tergantung dan nilai masing-masingnya semata-mata ditentukan dari keberadaan unsur-unsur lain secara serentak. Isi dari suatu system mencakup pengertian dan valensi. Bagi Saussure pengertian adalah konsep positif sedangkan valensi lebih bersifat negatif atau relatif. Jadi, gagasan tentang valensi tersebut memperlihatkan bahwa sangat keliru jika menggangap unsur bahasa hanya sebagai gabungan bunyi dan konsep. Pendefinisian semacam itu berarti memindahkan unsur bahasa dari sistemnya dan memberi kesan bahwa kita mulai dari unsurnya dan baru kemudian membentuk sistemnya dengan mengumpulkannya, padahal seharusnya kita mulai dari sistem yang utuh dan melalui analisis diperoleh unsur-unsurnya. Konsep valensi ini dipergunakan bukan hanya untuk menyelidiki aspek konseptual dari bahasa, melainkan juga aspek material atau fonetiknya. Sebagaimana contoh kereta api dan buah catur di atas, yang diperlukan satuan-satuan secara material tidak lain hanyalah agar dibedakan dari satuan-satuan lain yang berjenis sama. Secara fonetis tidak peduli jenis bunyi apa yang dipergunakan oleh suatu bahasa selama bunyi-bunyi itu saling berbeda. Demikian pula halnya dengan aksara karena kita dapat membentuk kata yang sama dengan bentuk huruf yang berlainan menurut posisinya dalam kata itu. III. Struktur linguistik Istilah struktur muncul untuk pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Pada dasarnya pengertian struktur tidaklah sulit. Kata struktur mudah dihubungkan dengan apa yang dijelaskan Saussure tentang bahasa sebagai sistem. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja. Dalam bahasa penting diketahui susunan unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain, relasi-relasi, dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu. Bahasa merupakan keseluruhan sistematis yang terdiri dari perbedaan-perbedaan. Saussure juga mengatakan dans la langue il y a seulement des differences ( dalam langue hanya terdapat perbedaan saja). Perbedaan itu tampak bila kita akan menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa yang lain. Tidak dapat dikatakan bahwa kata Prancis mouton mempunyai nilai yang sama seperti kata Inggris sheep. Sebab untuk daging domba yang dihidangkan untuk dimakan, dalam bahasa Prancis juga dipakai kata mouton, sedangkan dalam bahasa Inggris memakai kata mutton. Dengan demikian setiap tanda bahasa mewujudkan suatu nilai yang tercantum di dalam sistem bahasa bersangkutan menurut perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang mewujudkan nilai itu. Menurut seorang ahli psikologi dan pemikir Swiss Jean Piaget, struktur adalah suatu tatanan wujud yang mencakup keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Dikatakan keutuhan, karena tatanan wujud itu bukannya kumpulan semata, melainkan karena tiap-tiap komponen struktur itu tunduk kepada kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Dikatakan transformasi, karena struktur itu tidak statis dan bahan-bahan baru terus-menerus diproses oleh dan melalui struktur itu. Dikatakan pengaturan diri, karena struktur itu tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk melaksanakan prosedur transformasional tersebut. Jadi struktur ini bersifat tertutup. Pada hakikatnya strukturalisme adalah suatu cara pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struktur seperti diuraikan oleh Jean Piaget. Persepsi itu melibatkan kesadaran bahwa alam semesta tidak terjadi dari objek-objek yang keberadaannya bebas. Cara pandang setiap pengamat tidak pernah seratus persen objektif. Bahkan setiap pengamat tidak dapat menghindarkan diri untuk menciptakan sesuatu dari apa yang diamatinya. IV. Linguistik menjadi model Pada awal abad ke-20 di Rusia, ada sejumlah sarjana yang menempuh jalan-jalan baru dalam menganalisa karya-karya sastra. Para sarjana itu, menganggap karya sastra otonom, dan hanya memperhatikan relasi-relasi internnya, terlepas dari riwayat hidup pengarang atau lingkungan sosial. Anggapan itu hampir sama dengan metode Saussure. Salah satu semboyan aliran ini, adalah bahwa dalam karya sastra, segala sesuatu adalah bentuk. Roman Jacobson (1896-1982) menerapkan mereka atas puisi dan Vladimir Propp (1895-1970) atas dongeng. Beberapa tahun sesudah revolusi komunis (1917), Jacobson dan beberapa temannya berpindah ke Praha dan di sinilah terbentuk apa yang dikenal dengan Mazhab Praha. Seorang anggota yang terkemuka adalah orang Rusia yang bernama N. Trubetzkoy (1890-1938). Atas desakan Jacobson, Trubetzkoy menerapkan prinsip-prinsip Saussure atau fonologi. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari fonem-fonem dalam bahasa. Dengan demikian mereka berdua menerapkan dasar bagi fonologi modern. Berkat pekerjaan Trubetzkoy dan Jacobson, linguistik memperoleh kedudukan istimewa dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan. Dengan timbulnya ilmu itu kemungkinan besar terbuka kesempatan untuk mempelajari sebagian dari realitas manusiawi dengan cara yang sama sekali obyektif. Dalam hal ini ilmu pengetahuan kemanusiaan tidak kalah lagi terhadap ilmu pengetahuan alam. Bahasa dianggap sebagai suatu sistem terlepas dari segala evolusi atau sejarah. Dalam sistem itu dipelajari relasi-relasi. Maka linguistik telah mendapat obyek yang secara serta metode yang serasi dengan obyek itu. Setelah lama berada dalam naungan ilmu-ilmu manusia lain, linguistik tampil ke muka sebagai ilmu manusia yang paling maju. Jika mencari sebab-sebab keunggulan linguistik, antara faktor-faktor lain juga mempunyai peranan. Dari semua ilmu manusia hanya ilmu bahasalah yang mempunyai obyek yang sungguh-sungguh umum. Obyeknya meliputi semua kebudayaan yang ada. Metode-metode yang sama dipakai untuk melukiskan dan menganalisa bahasa Tionghoa, bahasa-bahasa Indian di benua Amerika dan bahasa lainnya. Sebaliknya kalau kita memandang misalnya ekonomi suatu ilmu yang juga mencapai hasil yang cukup mencolok, maka ilmu tersebut terbatas pada masyarakat modern. Sehingga tidak bisa dipergunakan untuk mempelajari masyarakat tradisional dari masa lampau. Ilmu seperti antropologi budaya hanya menyelidiki kebudayaan-kebudayaan yang disebut primitif atau kebudayaan yang tidak mengenal tulisan. Linguistik menjadi kunci untuk mempelajari wilayah manusia pada umumnya. Hal itu dimungkinkan, karena manusia berbeda dengan hewan. Kultur terdiri dari sistem-sistem simbolis. Tidak dapat disangkal bahwa sistem simbolis yang paling penting ada yang menjadi dasar untuk semua sistem simbolis yang lain adalah bahasa. Karena itu sistem-sistem semacam itu dapat dipelajari dengan metode yang sama seperti metode yang dipergunakan dalam studi strukturalisme tentang bahasa. Metode strukturalisme di bidang bahasa ternyata dapat diterapkan pada bidang-bidang lain. Dengan demikian, strukturalisme telah menjadi gerakan yang jauh lebih luas daripada studi bahasa. Bahasa adalah suatu sistem tanda-tanda yang mengekspresikan ide-ide. Maka dari itu bahasa menyerupai tulisan, abjad untuk orang bisu tuli, ritus-ritus simbolis, etiket, sinyal-sinyal militer, hanya harus ditambah bahasa adalah yang paling penting di antara sistem-sistem semacam itu. Karena itu orang dapat membayangkan suatu ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam rangka kehidupan sosial. 4.1. Pengaruh Saussure dalam linguistik abad XX Dalam bidang linguistik tidak perlu diragukan lagi bahwa konsep-konsep dasarnya diterima orang, entah secara eksplisit, entah secara implisit. Perbedaan diantara langue, parole, langage, dan di antara diakroni dan sinkroni, serta diantara hubungan paradigmatik dan sintagmatis jelas mempengaruhi pemikiran linguistik sampai sekarang. Namun, harus dicatat bahwa dalam perinciannya tidak semua konsep tersebut diterima orang mentah-mentah. Bagi Saussure sasaran akhir linguistik hanyalah langue, namun tahun-tahun kemudian orang mempertanyakannya dan menjawab bahwa parole pun pantas diteliti. Kritik terhadap Saussure inilah yang menjadi landasan bagi penyelidikan sosiolinguistik dewasa ini. Pemisahannya yang tegas antara sinkroni dan diakroni pada tahun 1928 dalam Kongres Linguistik Internasional pertama di Den Haag oleh tiga orang sarjana yang sebenarnya pengikut Saussure, telah ditentang habis-habisan. Ketiga penganut aliran praha itu menyatakan bahwa diakroni bukannya terpisah dari sinkroni, melainkan saling melengkapi. Teori Saussure bahwa bahasa adalah forma dan bukan substansi diikuti secara konsisten oleh penegak aliran glosematik, yaitu aliran yang secara langsung mewarisi semua pandangan Saussure. Pandangan ini kemudian dijadikan landasan teori aliran stratifikasi yang dirumuskan dan diteruskan oleh Sydney lamb. Usaha Saussure untuk memperhatikan perbedaan di antara valensi, isi, dan pengertian menjadi dasar penyelidikan apa yang disebut medan makna dalam semantik sehingga pelbagai aspek semantik dan leksikologi dapat lebih dijelaskan. Sesungguhnya jasa Saussure tidak terletak pada segi-segi yang terinci seperti dikemukakan di atas melainkan pada dasar-dasar filosofis ilmu linguistik. Kuliah-kuliahnya itu telah meletakkan prinsip-prinsip teori tentang bahasa dan menyediakan kerangka linguistik modern. Cara penyajiannya yang sugestif, merangsang, dan tidak dogmatis membuka kesempatan bagi ahli-ahli linguistik kemudian untuk menjelajahi medan bahasa yang sangat luas dan menjadikan lunguistik ilmu yang sangat kaya akan wawasan tentang milik manusia yang sangat kompleks itu. 4.2. Warisan Saussure: Semiotik Dalam salah satu bagian dari PLU Saussure menyatakan bahwa ia membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Di dalamnya dipelajari terjadi dari apa saja tanda-tanda itu dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya. Ilmu itu disebutnya semiologi. Linguistik hanyalah sebagian kecil dari ilmu umum itu. Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Sebabnya terletak pada sisi arbitrer dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomen yang arbitrer dan konvensional, misalnya upacara, mode, kepercayaan, dan lain-lain. Dalam perkembangannya yang terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi oleh karya filsuf Amerika, Charles S. Peirce (1839-1914), yang ajarannya jauh lebih terperinci daripada tulisan Saussure yang lebih programatis itu; oleh sebab itu istilah semiotika yang lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan bukannya istilah semiologi yang terkenal di Eropa Kontinental, lebih banyak dipakai orang. Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori Saussure ialah Roland Barthes. Ia menerapkan model Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bibliografi Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX . jilid II. Jakarta: Gramedia, 1985. Saussure, De Ferdinand, Pengantar Linguistik Umum (judul asli: Cours De Linguistique Generale). Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar