Sabtu, 26 Mei 2012

LITURGI: SIMBOL GARAM DALAM LITURGI GEREJA (Oleh: Erick M. Sila)

I. Pendahuluan Perayaan-perayaan Gereja Katolik syarat dengan simbol-simbol. Melalui simbol, Gereja secara simbolis mengungkapkan makna terdalam dari sebuah perayaan. Simbol merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari perayaan-perayaan liturgi Kristen. Simbol bukan hanya sebuah ekspresi tetapi terutama sebagai lambang sakramental yang menghadirkan Kristus, iman Gereja dan realitas hidup umat Kristen yang baru di dalam Roh Kudus. Orang-orang Kristen memakai simbol dalam liturgi untuk menyatakan relasinya dengan Allah dan komunitasnya. Salah satu simbol yang dikenal dan dipakai dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja Katolik adalah garam. Berbicara tentang garam, semua orang tentu sudah mengenal apa itu garam, bagaimana rasanya, warna, sifat dan manfaatnya dalam kehidupan manusia. Garam adalah salah satu kebutuhan primer dari manusia. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur yang tidak diberi garam. Pasti terasa hambar dan tidak enak untuk dinikmati. Garam sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Selain berguna untuk kebutuhan manusia sehari-hari, garam juga bermanfaat untuk keperluan rohani khususnya digunakan dalam perayaan-perayaan liturgi Kristen. Yang menjadi pertanyaan kita adalah apa sebenarnya manfaat garam itu dalam kehidupan manusia dan apa makna yang terkandung di dalamya, serta bagaimana garam itu digunakan dalam tradisi Kitab Suci, sehingga Gegreja menjadikan garam serbagai salah satu simbol dalam perayaan-peyayaan liturgi. Akan tetapi, ada persoalan bahwa simbol garam ini sangat sedikit dibahas dalam buku-buku liturgi. Hal ini mungkin karena pada zaman sekarang ini, garam hanya digunakan secara fakultatif dalam pembaptisan dan pemberkatan air suci. Walaupun demikian, penulis mencoba membahasnya secara lebih mendalam pada paper ini. II. Garam A. Manfaat dan Sifat-sifat garam Untuk mengetahui manfaat dan sifat-sifat garam, pertama-tama kita harus mengetahui apa itu garam. Menuru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) garam adalah senyawa kristalin (NaCl) yang merupakan clorida dan sodium. Sedangkan menurut Ensiklopedi Umum, garam adalah zat biasa yang banyak dipakai oleh manusia, dan merupakan bagaian terbesar dari pada semua zat padat yang larut dalam air laut dan danau asin; juga didapatkan sebagai endapan besar garam karang. Berbicara tentang garam, semua orang tentu mengenal apa itu garam. Akan tetapi, kalau kita ingin mengetahui apa gunanya garam tanyalah kepada ibu-ibu, pastilah mereka tahu apa gunanya. Karena garam adalah bumbu masak utama di setiap dapur rumah tangga. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya sayur atau makanan yang tidak diberi garam? Bagaimana reaksi kita pada saat memakannya? Pasti kita akan merasa cemberut dan marah-marah. Akan tetapi, jika sayur atau makanan itu diberi garam yang cukup pasti akan menjadi nikmat dan kita pasti merasa senang dan bahagia dalam menikmatinya. Manfaat garam yang kedua adalah mengawetkan. Salah satu contoh nyata dalam kehidupan kita adalah adanya ikan asin, yaitu ikan yang diawetkan dengan garam. Demikian juga dengan daging. Daging yang telah dicampur dengan sedikit garam, bisa disimpan lama tanpa membusuk. Sifat-sifat dari garam adalah berwarna putih, rasa asin dan dapat larut dalam air. B. Pemakaian Garam dalam Kitab Suci Dalam tradisi Kitab Suci, garam sudah biasa dikenal masyarakat dan banyak digunakan dalam berbagai macam keperluan sehari-hari. Orang-orang Fenisia mengumpulkan garam dari hasil penguapan air laut yang berasal dari tambak-tambak yang ada, sedangkan orang-orang Ibrani mengumpulkan garam yang banyak tersedia di tepi laut mati. Di tepi laut mati banyak ditemukan persediaan garam dan tempat ini biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan peristiwa hukuman Allah atas Sodom dan Gomora, di mana istri lot berubah menjadi patung garam ketika ia melawan perintah Allah (Kej 19:26). Garam dipakai baik untuk keperluan jasmani (sebagai bumbu masakan), maupun keperluan rohani atau ritual. Dalam uacara-upacara ritual bangsa Israel, garam digunakan untuk memurnikan persembahan-persembahan yang dikurbankan. Selain itu, garam juga digunakan sebagai pengawet dan sebagai tanda “perjanjian garam” dengan Allah. Dalam Kitab Suci, garam juga digunakan untuk memurnikan air. Nabi Elisa menggunakan garam untuk memurnikan dan menyehatkan air yang tidak baik pada mata air di Yerikho (2 Raj 2:19-22). Bayi-bayi yang baru lahir diolesi dengan garam sebelum dibedunggi (Yeh 16:4). Yesus sendiri mengatakan “Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13). Perkataan Yesus ini bukanlah sebuah perintah “kamu harus menjadi garam dunia”, melainkan: “kamu adalah garam dunia”. Garam pada zaman Yesus adalah sesuatu yang sangat penting dan bahkan sangat mahal. Garam pernah disebut “emas putih” karena digunakan sebagai alat pembayaran. Di bawah pemerintahan Antiokhus Epifanes, Siria menetapkan pajak garam untuk dibayarkan kepada Roma. III. Pemakaian Garam dalam Liturgi Garam merupakan salah satu simbol yang dipakai dalam liturgi Kristen. Garam dalam liturgi dipakai sebagai simbol kerendahan hati dan kebijaksanaan. Pada tahun 1969, garam yang telah dicampurkan dengan air, diberkati oleh imam untuk digunakan dalam upacara pembaptisan. Dalam liturgi kita garam hanya digunakan secara fakultatif bagi persiapan pembaptisan dan pemberkatan air suci. Garam yang telah dicampurkan dengan air pembaptisan menyebabkan pembebasan dari dosa serta mengantar orang masuk ke dalam kehidupan Tritunggal Mahakudus, karena orang yang dibaptis mengambil bagian dalam misteri paskah Kristus. Selain dalam berbagai upacara liturgis, garam juga digunakan dalam upacara pengusiran roh-roh jahat. Dalam salah satu poin yang terdapat dalam Traditio Apostolica-nya, Hipolitus melaporkan bahwa beberapa minggu sebelum malam paskah yakni masa intensif untuk persiapan babtis bagi mereka yang terpilih sebagai orang-orang yang dipanggil Tuhan masuk dalam jemaat keselamatan, mereka juga diikutsertakan dalam ibadat sabda dan aneka kegiatan liturgis lain. Misalnya, mengikuti kegiatan liturgi: eksorsisme, penumpangan tangan, pemberian tanda salib (di dahi), penyerahan credo, doa Bapa Kami dan pemberian garam. Fungsi khusus dari garam ini adalah untuk melindungi tubuh atau tempat-tempat dari gangguan atau kekuatan roh jahat. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1237 dikatakan bahwa: Karena pembaptisan adalah tanda pembebasan dari dosa dan penggodanya, ialah setan, maka diucapkan satu atau beberapa eksorsisme ke atas orang yang dibaptis atau meletakan tangan di atasnya; sesudah itu orang yang dibaptis menyangkal setan. Dikisahkan bahwa seorang ibu mengunakan air suci yang sebelumnya telah dicampur garam untuk menyeduk kopi atau teh yang akan diberikan kepada anak atau suaminya yang diduga terkena roh jahat. Santa Theresia dari avila mengatakan bahwa tidak satupun yang mampu membuat roh jahat lari tunggang-langgang tanpa berpaling kecuali air suci. Garam dalam liturgi kita dipakai sebagai simbol pembersihan (bdk. Im 2:13; 2 Raj 2:20-22), baik pembersihan dari dosa mapun dari kekuatan-kekuatan jahat. Fungsi garam memiliki hubungan yang erat dengan misi Yesus bagi manusia. Yesus pernah bersabda: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apa ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13). “Kamu adalah garam dunia”. Yang ingin dikatakan Yesus terutama adalah kamu sangat berharga dan penting bagi misi kerajaan Allah di dunia. Artinya, kita mempunyai tugas penting di dunia ini untuk menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan yang baik, menyembuhkan segala sesuatu yang sakit, menyelamatkan, dan sebagainya. Garam hanya ada gunanya apabila dipakai. Garam jarang ditemukan dalam bentuk yang murni. Garam semacam ini terjadi dari karang atau fosil. Karena ketidakmurnian dan perubahan-perubahan kimiawi, membuat garam itu cepat rusak dan menjadi tawar apabila disimpan terlalu lama. Garam yang disimpan lama sama saja dengan dibuang dan diinjak-injak orang. Sama dengan Gereja dan kekristenan kita. Hanya ada gunanya kalau melakukan fungsi dan misinya di dunia ini. Itulah yang telah dilakukan Gereja melalui simbol garam ini. IV. Penutup dan Refleksi Garam merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Garam dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai keperluan. Garam dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk membahagiakan orang lain, mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik, menyembuhkan yang sakit, dan menyelamatkan. Fungsi garam tidak hanya dilihat sebagai salah satu kebutuhan jasmani saja (sebagai pengewet makanan), melainkan juga untuk kebutuhan dan keperluan rohani. Garam digunakan dalam liturgi Gereja Katolik sebagai simbol pemurnian atau pembersihan dari dosa, pengusiran roh jahat dan menyelamatkan. Melalui simbol garam yang diterima bersama dengan air pada waktu pembaptisan, kita diterima menjadi anggota jemaat baru kerajaan Allah. Melalui pembaptisan kita dibebaskan dari dosa dan melestarikan kembali hubugan kita dengan Allah yang telah rusak. Garam dalam perayaan liturgis lain seperti eksorsisme, berfungsi membebaskan dan menyembuhkan manusia dari ikatan roh jahat. Menjadi garam dunia berarti mampu memberikan rasa yang lebih kepada dunia, dengan membahagiakan orang lain, bukan membahagiakan diri sendiri. Kita dipanggil untuk menyaksikan dan mewujudkan cinta kasih Allah di dunia ini. Dengan menjadi alat misi kasih Allah, kita dapat memberikan rasa yang berbeda kepada dunia. Garam mengawetkan atau melestarikan segala sesuatu yang baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil dan diutus untuk memelihara ciptaan Allah yang semakin terancam dan rusak. Selain itu, sebagai orang Kristen, kita juga diberi tugas untuk memulihkan kembali hubungan-hubungan yang rusak baik antara sesama manusia, maupun keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan dengan Allah penciptanya. Garam menyelamatkan. Sebagai orang Kristen kita diberi tugas dan tanggungjawab untuk melindungi keluarga dan orang-orang di sekitar kita dari setan dan pengaruh jahat lainnya. Misalnya, judi, pelacuran, minuman keras, narkoba dan tindakan jahat lainnya. Hal terakhir yang harus kita pelajari dari salah satu sifat garam adalah larut dalam masakan, tidak tampak oleh mata tetapi pengaruhnya terasa. Nah, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus berani mengorbankan diri sendiri, berani mentransformasikan diri dalam dunia di mana kita berada. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, Pengikut Kristus, kita harus meneladan sifat-sifat garam itu. Kita harus berusaha menjadi suci, putih seperti garam. Dalam kehidupan berkomunitas dan bermasyarakat, kita larut di dalamnya, tanpa menonjolkan diri tetapi keberadaan kita bisa memberi warna terhadap lingkungan di mana kita berada. BUKU SUMBER: Johanis Sembiring, Liturgi Fundamental (Sinaksak: STFT St. Yohanes, [tanpa tahun]), hlm. 17. (diktat). Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Litusrgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 148. Hasan Alwi et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 335. Hasan Shadily, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 353. Bdk. Ayb 6:6; Mat 15:13. Bdk. Bar 6:27; Im 2:13. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 326. George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible (Nashville, United States of America: Abingdon Press, 1986), hlm. 167. Bdk. Mat 5:13; Mrk 9:50; Kol 4:6. Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh stefen Leks – A. S Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 236; bdk juga Im 2:13; Yeh 43:24; Mrk 9:49. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (judul asli: The New Bible Dictionary), diterjemahkan oleh R. Soedarmo et al (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), hlm. 327; bdk juga Bil 18:19; 2 Taw 13:5. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 327. Rev. Jovian – P. Lang, Dictionary of the Liturgi (New York: Catholik Book Publishing Co., 1989), hlm. 572. Emanuel Martasudjita, Liturgi: Pengantar…, hlm 148. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologi, Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 225. Katekismus Gereja Katolik 1998, edisi resmi bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Percetakan Arnoldus, 1998), no. 1237. Gabriele Amorth, Seorang Eksorsis Menceritakan Kisahnya (Jakarta: Mrian Centre Indonesia, 2010), hlm. 155. Scott Hahn, Tanda-tanda Kehidupan: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya (Malang: Dioma, 2011), hlm. 38. H. A Oppusunggu et al, Ensiklopedi Alkitab…, hlm. 237.

3 komentar:

  1. Yang jelas garam sangat bermanfaat bukan hanya untuk masakan dan juga Garam laut untuk perawatan wajah

    BalasHapus
  2. menjadi Graam adalah untuk dapat mengawetkan dan memberi rasa kepada orang lain dan dengan memohon Rahmat Tuhan maka kita akan mendapatkan kerendahan hati

    BalasHapus
  3.  Tidak cukup menjadi GARAM saja tetapi harus diolah dengan Rahmat Tuhan sehingga kita bisa memperkaya untuk orang lain dan tidak sombong
     Garam tidak pernah egois karena dapat mengawetkan dan memberi rasa, maka itu kalau kita menjadi GARAM maka kita :
    o Memperkaya orang lain
    o Memurnikan orang lain
    o Mengawetkan orang lain
    o Dan diri kita akan menjadi Garam yang diinginkan Allah dengan rahmat Tuhan dan kerendahan hati. Karena salah satu ciri dari Allah adalah KERENDAHAN HATI
    o Ibu Theresa setiap hari mendoakan Litani Kerendahan Hati dan sedikit mungkin membicarakan orang lain

    BalasHapus