Jumat, 16 Desember 2011

HOMILETIKA: Kotbah Mempersatukan atau Menceraikan Umat (Oleh: Erick Sila, Ferry Nono, Ruben Afeanpah, Pedro Nali, dan Jos Tando)

I. Pendahuluan
Yesus datang ke dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah diwartakan Yesus dengan berkeliling sambil berbuat baik kepada semua orang. Yesus berkeliling dan memberitakan kerajaanAllah melalui perkataan dan perbuatan yang nyata. Injil Matius meringkaskan karya Yesus sampai penderitaan-Nya sebagai berikut: “Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu” (Matius 4:23).
Kerajaan Allah merupakan kabar gembira dari Allah bagi manusia. Kerajaan Allah adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri yang kita imani sebagai Tuhan dan penyelamat. Berkat baptisan semua umat beriman Kristiani dipilih dan dilantik menjadi murid-muridnya. Tugas murid-murid Kristus yang baik adalah mewartakan cinta kasih-Nya kepada orang lain, khususnya yang kecil, sederhana dan tertindas.
Semua orang beriman Kristiani dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada sesamanya. Kaum beriman Kristiani terutama para imam atau Klerus dipanggil secara khusus untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang. Para imam atau Klerus dipanggil secara khusus untuk mewartakan Kerajaan Allah dengan perkataan dan perbuatan yang nyata. Tugas ini bukanlah sebuah tugas yang mudah bagi setiap pewarta.
Akhir-akhir ini, di surat-surat kabar dan media elektronik, sering mucul persoalan bagaimana seorang pembawa kotbah (homili) mendalami Sabda Tuhan dalam Liturgi Sabda. Tidak jarang banyak umat mencoba untuk membantu para pembawa kotbah (homili) dengan berbagai kritik dan anjuran.

1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema
Gereja adalah umat Allah yang dihimpun dan dipupuk oleh Sabda Allah. Oleh karena itu, sessuai dengan hakikatnya, Gereja harus senantiasa “mendengarkan Sabda Allah dengan hormat dan mewartakannya tanpa takut”. Dengan tepat Konsili Vatikan II merumuskan tugas Gereja sesuai dengan urutannnya. Pertama-tama Gereja harus mendengarkan Sabda Allah, baru sesudah itu ia dapat mewartakannya. Gereja yang dimaksud adalah kita semua yang telah dibabtis dan yang telah menjadi anggota Tubuh Kristus. Jadi kita semua, tanpa kecuali, harus mendengarkan dan mewartakan Sabda Allah. Namun harus diakui pernyataan Konsili Vatikan II “sudah sepantasnya juga jika hal ini (pewarta Sabda) diharapkan pertama-tama dari mulut para Imam mereka” (PO no. 4), karena para Imam dan petugas Gereja lainnya yang diangkat Tuhan menjadi pewarta Sabda secara resmi.
Gereja selalu membutuhkan Santapan Sabda di sampig santapan Tubuh dan Darah Kristus. Dewasa ini, umat membutuhkan Sabda Allah sebagai pedoman hidupnya. Umat haus akan Firman Allah, dan ingin mendengarkan pewartaan dan penjabaran Sabda yang memberi arti lebih penuh kepada hidup dan segala persoalan hidup manusia. Hal ini diharapkan umat dari mulut para petugas Gereja, para pewarta dan para Imam, khususnya melalui kotbah atau homili yang mereka sampaikan dalam suatu perayaan.
Umat sungguh merindukan seorang Imam atau Gembala yang membuat hidup umatnya lebih baik terutama lewat khotbah atau homili. Namun, kotbah yang mereka dengar dari para Imam kadang membosankan dan terkesan kurang dipersiapkan. Memang banyak Imam yang khotbahnya dipersiapkan dan cara penyampain yang baik tetapi ada juga yang terkesan monoton dan membosankan.

1.2 Perumusan Masalah.
Kotbah atau homili merupakan sarana pewartaan Sabda Allah. Namun ada upaya untuk membedakan keduanya. Kotbah dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks ibadat, pertemuan jemaat, atau dalam perayaan Liturgi Sabda. Sedangkan, homili dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks perayaan Ekaristi. tetapi keduanya dipandang sebagai sarana yang efektif untuk mewartakan Sabda Allah kepada semua umat.
Pentingnya pelayanan berkhotbah dan berhomili sungguh dirasakan umat sebagai satu-satunya cara untuk menyegarkan iman. Peranan kotbah dalam kehidupan umat sudah ada sejak Jaman Perjanjian Lama khususnya pada Masa Nabi Nuh, masa Gereja awal, dan sampai sekarang. Sejarah Gereja juga membuktikan hadirnya kebangunan rohani dan aliran-aliran karismatik selalu berhubungan erat dengan tampilnya seorang pengkhotbah yang diutus atau dipkai oleh Tuhan. Pada jaman sekarang, pertumbuhan dan perkembangan sebuah Gereja berhubungan erat dengan gembalanya. Kotbah dan kehidupan gembalanya menjadi teladan dan dorongan yang dinamis bagi anggota-anggotanya. Berkenaan dengan ini tidak mengherankan kalau di kota atau ditempat tertentu ada gereja yang anggotanya terus bertambah dan ada juga yang pengunjungnya terus berkurang.
Sejarah memang memberi kita banyak pelajaran. Salah satu pelajaran adalah perkembangan homilietik dalam hubungannya dengan perkembangan Gereja. Pertumbuhan dan perkembangan Gereja dari segi jumlah dan mutu sangat ditentukan oleh teladan hidup dan pelayanan seorang Pewarta di atas mimbar. Pada saat tugas sebagai homilis dihormati dan dianggap sebagai panggilan dan tugas perutusan dari Tuhan akan sangat membantu kita dalam mempersiapkan homili dan umat pun akan memperhatikan Sabda Tuhan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa kotbah merefleksikan interkasi Gereja dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Gereja yang peduli akan masyarakat dan kebutuhan mereka akan menyatakan kasihnya lewat khotbah. Melalui khotbah, gereja menuntun mereka yang bimbang, menghibur mereka yang patah semangat, membela mereka yang lemah dan membangun dan mempersatukan umat bukan menceraikan umat. Khotbah atau homili bukan menjdi sarana untuk mewartakan Sabda tetapi untuk mewartakan diri dan mengkritik umat atau memarahi umat.
1.3 Tujuan Pemilihan Tema
Memang berkhotbah atau berhomili bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Ada orang yang lancar dan fasih dalam menyampaikan khotbah dan homili namun ada juga yang terkesan kaku. Dalam hal ini kita bisa berbicara soal bakat. Sama seperti seni menyanyi. Ada orang yang tanpa banyak latihan tapi bisa bernyanyi dengan baik karena bakat alami. Namun tidak banyak orang yang betul-betul berbakat menyanyi. Kebanyakan orang bisa menyanyi dengan baik karena mereka rajin melatih diri sejak dini. Begitu juga dengan kemampuan berkhotbah atau berhomili. Keahlian Berkotbah atau berhomili merupakan seni yang bisa dipelajari. Akan tetapi bagaimana orang akan rajin melatih diri agar ia cukup pandai berkhotbah atau berhomili kalau tidak menyadari betapa pentingnya khotbah atau homili sebagai sarana untuk mewartakan Sabda Tuhan dan pelaksanaan perutusan Tuhan? Karena itu kami memilih tema ini agar kami sebagai calon pengkhotbah dan calaon homils sungguh-sungguh mempersiapkan diri sambil terus memahami makna perutusan Tuhan sebagai pengkhotbah dan homilis.

II. Data Tentang Masalah atau Program Homili
2.1 Apa Itu Homili atau Kotbah
Kita perlu memahami perbedaan antara homili dan kotbah. Homili selalu dibawakan dalam perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi. Pembawa homili adalah pemimpin perayaan Ekaristi. Pada awalnya, homili yang dibawakan dalam liturgi adalah kewajiban Uskup. Tetapi dalam perjalanan sejarah, seiring dengan pertambahan umat beriman, homili dibawakan juga dibawakan oleh para imam dan diakon sebagai rekan kerja uskup. Maka sesuai dengan tradisi Gereja Katolik, seorang awam tidak diperkenankan untuk membawakan homili dalam perayaan liturgi, khususnya dalam perayaan Ekaristi. Dan, homili selalu merupakan penjelasan atas teks Kitab Suci.
Khotbah merupakan salah satu sarana pewartaan sabda Allah dan pewartaan iman kristiani. Kotbah bertolak dari pengalaman iman dan tidak selalu merupakan penjelasan atas suatu teks Kitab Suci. Menurut sejarahnya, konteks khotbah bukanlah perayaan liturgi, melainkan pewartaan Injil dalam rangka gerakan misi. Jadi, khotbah diadakan di luar perayaan liturgi. Tujuan khotbah adalah demi pertobatan orang-orang yang belum mengenal dan beriman kepada Kristus.
Homili dan Kotbah selalu memiliki hubungannya dengan perayaan liturgis. Berdasarkan cara membawakannya terdapat perbedaan antara homili dan kotbah. Homili hanya dibawakan dalam perayaan liturgis sementara khotbah diadakan di luar konteks liturgi. Kotbah boleh dibawakan oleh siapa pun termasuk kaum awam. Selain itu, khotbah tidak selalu bertolak dari Kitab Suci. Dengan demikian homili bisa disebut sebagai khotbah tetapi khotbah bukanlah homili.
Meskipun ada perbedaan antara homili dan kotbah, kami akan membahasnya secara bersama-sama. Kotbah (homili) adalah bagian tak terpisahkan dari Liturgi Sabda. Melalui kotbah (homili), Sabda Tuhan dijelaskan dengan mengaitkannya dengan kehidupan umat beriman yang bersangkutan. Dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan bagi Pemimpin (selebran) untuk berkotbah, terlebih dalam Misa yang dihadiri oleh banyak umat. Hal ini dilakukan semata-mata untuk membantu umat untuk bisa memahami dan menghayati Sabda Tuhan yang dibacakan dalam liturgi. Sebab, penjelasan Sabda Tuhan itu berguna untuk mewujudkan ciri khas hidup kristiani di tengah dunia ini. Maka kotbah (homili) sangat penting bagi umat beriman untuk memupuk semangat hidup kristiani.
Kotbah (homili) merupakan pewartaan sabda Allah yang bertolak dari bacaan Kitab Suci. Melalui kotbah (homili), pemimpin memberikan komentar dan penjelasan mengenai bacaan Kitab Suci. Hendaknya seorang pemimpin menjelaskan misteri Kristus dalam Kitab Suci sehingga misteri itu relevan bagi hidup umat yang bersangkutan. Kotbah (homili) juga menjadi momen yang penting bagi umat untuk berani diutus mewartakan kabar gembira kepada dunia.
Kini, bagaimana seorang imam membawakan kotbah (homili)? Apa kata umat tentang kotbah (homili) yang dibawakan oleh seorang imam. Kita akan melihat beberapa hal yang terjadi ketika kotbah (homili) disampaikan dalam perayaan liturgis, khususnya Ekaristi. Kemudian, kita juga akan melihat beberapa kritik dari umat tentang kotbah (homili) para gembala umat.

2.2 Apa Pendapat Umat tentang Kotbah (Homili) Pastor?
Dalam sebuah majalah rohani Katolik terdapat satu artikel yang berjudul: “HOMILI BIKIN NGANTUK DAN BINGUNG”. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa kotbah (homili) sering menjadi “obat tidur” dan membingungkan umat. Karena itu, pembawa kotbah (homili) dituntut untuk mengetahui dan mengenal kebutuhan serta situasi umatnya. Harapan dan tuntutan umat ini bukanlah tidak berdasar. Kotbah pastor sebagai obat tidur dan membingungkan umat ini sungguh terjadi dan sering kita jumpai. Pemicu utamanya adalah sang pastor kurang mengetahui dan mengenal umatnya. Hal ini berujung pada kotbah yang tidak mengena pada kehidupan konkret umat beriman kristiani setempat. Kenyataan seperti itu menyebabkan Liturgi Sabda yang seharusnya bisa mengantar umat untuk memasuki Liturgi Ekaristi seolah-olah berlalu begitu saja.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kotbah (homili) adalah salah satu bagian dalam perayaan Ekaristi yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat. Ironisnya, waktu yang ditunggu-tunggu itu justru menjadi kesempatan untuk beristirahat dari perayaan Ekaristi yang khusuk dan penuh konsentrasi. Waktu itu digunakan untuk bergosip, berbisnis, mengurus anak, pergi ke kamar kecil, bermain HP atau ber-SMS-ria, bahkan ada umat yang mengisi kesempatan ini untuk tidur sejenak sembari menunggu kotbah (homili) pastor selesai. Mengapa ini terjadi? Karena kotbah (homili) yang dibawakan membosankan dan tidak menarik.
Dalam satu tulisan lain yang berjudul: “HOMILI TIDAK MENARIK” dikatakan bahwa homili yang tidak menarik itu bukan persoalan serius. Umat tidak menuntut kepada para gembala umat untuk selalu membawakan kotbah (homili) dengan sangat menarik. Meskipun begitu seorang gembala umat harus tetap berusaha untuk mempersiapkan kotbah (homili) dengan baik supaya sungguh menjadi penjelasan yang bermakna bagi umat beriman seluruhnya. Kita harus mengakui juga bahwa pembawaan kotbah (homili) yang menarik juga terletak pada kharisma yang ada dalam diri seseorang. Tidak hanya itu, tingkahlaku dalam hidup sehari-hari juga sangat menentukan. Misalnya, ada seorang pastor yang sangat pandai dalam berkotbah (berhomili). Ia disebut pengkotbah ulung. Setiap hari umat selalu menunggu-nunggu kotbahnya. Tetapi beberapa bulan kemudian umat meninggalkannya. Mengapa? Karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan apa yang ia kotbahkan.
Sebagai perbandingan, di pihak lain, ada pengkotbah-pengkotbah yang pandai. Mereka menyampaikan kotbah (homilinya) dengan bahasa yang sederhana, tidak monoton, dan selalu memperhatikan nada dan ritme vokal yang menarik. Selain itu, mereka menggunakan ilistrasi-ilustrasi yang sungguh mengena dan membantu umat untuk memahami apa isi dan inti bacaan Kitab Suci yang baru saja didengar. Dan, tentu saja semua yang dikotbahkan dihidupi oleh pengkotbah sendiri.
Sebenarnya sumber persoalannya adalah pengkotbah itu sendiri. Karena itu setiap pengkotbah hendaknya mempunyai metode dan caranya sendiri yang dapat membantu pemahaman umat. Kenyataannya ada pengkotbah yang sangat monoton, tidak jelas arah kotbahnya, dan kurang kontak dengan umat. Kadang-kadang juga ilustrasinya tidak nyambung; dan ada juga yang kurang mengetahui situasi, kondisi dan kebutuhan umatnya. Melihat kekurangan itu, seorang pengkotbah hendaknya memperhatikan interaksi dengan umat, kotbah didukung dengan bahasa tubuh yang tepat, banyak ilustrasi, dan mampu menyegarkan suasana.
Kotbah (homili) yang kurang dimengerti oleh umat biasanya kotbah (homili) yang kurang jelas arahnya. Keadaan seperti itu bisa terjadi karena pengkotbah kurang persiapan. Jika hal ini belum terjadi maka pertahankanlah. Namun kalau hal ini terjadi maka umat akan mencari gereja yang pengkotbahnya dapat berkotbah (berhomili) dengan baik dan menarik. Bahkan umat akan mencari gereja-geraja lain (gereja-gereja Protestan) yang kotbahnya lebih menarik.
Memang, tugas dan tanggung jawab seorang pengkotbah sungguh berat. Tugas dan tanggung jawab yang berat itu terletak pada perannya sebagai seorang “guru”. Sebagai seorang “guru” yang mewartakan Sabda Allah, amatlah penting membangun “kharisma diri” melalui tutur kata, sikap dan tingkah laku dalam hidupnya sehari-hari. Jika kharisma yang terdapat di dalam dirinya telah melekat dan terus-menerus dikembangkannya, maka setiap kata yang diucapkannya akan didengarkan oleh umat. Umat akan mendengarkan kotbah seorang pengkotbah jikakalau apa yang dikatakannya menyentuh lubuk hati yang terdalam dan bisa membuka pintu hati umat untuk menerima Sabda Tuhan. Karena itu, kebanyakan umat lebih tertarik untuk mendengarkan pengkotbah yang baik hidup rohaninya dan dapat dipertanggungjawabkan.

2.3 Kotbah Mempersatukan atau Mencerai Beraikan Umat?
Gereja adalah persekutuan umat beriman Kristiani yang percaya kepada Kristus. Di Gereja umat beriman berkumpul untuk merayakan misteri karya keselamatan Allah . Dalam ekaristi imam bertindak atas nama Kristus dalam mempersatukan domba-dombanya serta membawa mereka ke sumber air hidup yang tenang. Di tengah kegelisahan hidup manusia dewasa ini, sabda Tuhan dapat dijadikan sebagai pedoman dan penyejuk jiwa manusia di kala dahaga. Kotbah yang disampaikan oleh pengkhotbah sangat bermanfaat untuk memberi pengharapan kepada umat beriman dalam menjalankan tugasnya di dunia ini.
Di beberapa tempat umat takut datang ke Gereja jika pastor “A” memimpin perayaan ekaristi. Setiap minggu umat selalu bertanya dalam kegelisahan; pastor siapakah yang akan memimpin perayaan ekaristi? Jika jawabannya “Pastor A” maka umat membatalkan niatnya untuk datang ke Gereja. Pastor “A” sering menjadi ancaman dan membatalkan niat baik atau kerinduan umat untuk mengikuti perayaan ekaristi.
Kita bertanya; apa yang menyebabkan umat beriman takut datang ke Gereja? Apakah karena pastornya ganas? Apakah karena kotbah pastor tidak menarik dan membuat kantuk? Semua jawaban itu ada benarnya. Tetapi yang membuat umat beriman tertentu merasa sangat ketakutan adalah khotbah pastor yang sering bernada mengancam, sinis dan menyindir secara terang-terangan. Kotbah pastor tidak memberikan pengharapan, khotbah pastor membunuh niat baik umat beriman untuk menghadiri perayaan ekaristi.
Umat sering mengeluh bahwa pastor suka mencari-cari masalah umat kemudian membesar-besarkannya di atas mimbar. Beberapa umat mengakui bahwa mereka memang bersalah. Perbuatan mereka terkadang bertentangan dengan hal-hal yang diajarkan oleh Gereja dan lain sebagainya. Mereka sadar dan menyesal atas perbuatan mereka. Yang membuat umat menjadi bingung adalah pernanan pastor sebagai gembalanya. Apakah pastor sebagai gembala tidak berkenan menerima pertobatan domba-dombanya? Cara apakah yang harus digunakan pastor untuk mencari dombanya yang tersesat? Umat bimbang dan tidak mengerti terhadap sikap pastor yang cenderung memperbesar kesalahan yang dilakukan oleh umatnya.
Persoalan ini terjadi karena pastor lupa pada identitas dirinya sendiri. Pastor atau imam adalah orang yang ditahbiskan secara khusus untuk mewartakan kabar gembira keselamatan kepada semua orang, namun Pastor sering kehilangan identitas mulia ini. Kabar gembira Allah selalu diinterpretasikan sesuai kehendaknya sendiri. Akibatnya sabda Tuhan sering dijadikan sarana untuk menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan serta kelemahan oranglain. Situasi di atas sering membuat umat sakit hati. Umat merasa dirinya disakiti oleh orang yang sesungguhnya mereka harapkan dapat membawa kekuatan dan pengharapan di setiap situasi hidup mereka.
Sebagian umat berkomentar, “kotbah pastor bukannya mempersatukan tetapi menceraikan umat”. Hal ini terjadi karena pastor sering kurang bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh umatnya. Karena alasan tertentu pastor sering condong pada pihak tertentu dan mengabaikan yang lain. Di kala umat beriman tidak rukun dan damai, Pastor tidak menjadi penengah yang baik.
Kasus di atas sering membuat sebagian umat merasa disakiti. Sikap Pastor yang kurang bijaksana terhadap situasi yang dialami umat sering membuat mereka malas datang ke gereja bahkan meninggalkan gereja untuk selama-lamanya. Hal itu juga membuat umat memisahkan diri dari Gereja dan meninggalkan kepercayaan yang diimaninya selama ini. Umat merasa bahwa dirinya bukan merupakan bagian dari Gereja Kristus yang Satu, Katolik dan Apostolik. Umat meninggalkan Gereja bahkan menjadi musuh Gereja.



III. Analisis-Refleksi Inklusif
3.1 Homiletika dalam Hubungannya dengan Gereja dan Beberapa Bidang Ilmu Lainnya
3.1.1 Homiletika Dalam Hubungannya Dengan Gereja
Di dalam Gereja Evangelisasi (Injili) khotbah itu mempunyai tempat yang sentral, karena tugas Gereja yang utama ialah mengabarkan Firman Tuhan di dalam dunia. Kesaksian Gereja terdiri dari berbagai macam bentuk seperti persekutuan (koinonia) dan pelayanan (diakonia). Selain itu, kesaksian Gereja juga berbentuk perkataan atau pengajaran (kerygma dan didache). Gereja dalam hubungannya sebagai saksi Kristus memegang satu tugas utama yakni mengabarkan Injil.
Ketika meninggalkan dunia ini Yesus Kristus bersabda: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah… dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:18-20). Melalui sabda ini Yesus ingin agar warta Injil (kabar gembira dari Yesus) diteruskan dan disampaikan kepada seluruh bangsa di dunia ini. Yesus ingin agar melalui pewartaan itu segala bangsa dapt memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Sabda Allah ini begitu bergema di dalam hati Rasul Paulus sehingga ia sanggup membaktikan seluruh diri dan kesanggupannya untuk meneruskan kabar gembira itu (berkhotbah). Tugas itu kemudian diserahkan kepada Gereja untuk meneruskannya. Dalam dan melalui Gerejalah pewartaan kabar gembira itu diwartakan. Tugas Gereja sebagai pelayan sabda merupakan suatu kewajiban dasariah yang menjamin kelanjutan hidup Gereja itu sendiri. Dalam dan melalui Gereja Kristus melanjutkan karya pelayanan Sabda-Nya. Berkaitan dengan hal ini, Konsili Vatikan II menandaskan bahwa: “… terutama melalui pelayanan para Uskup dan dibantu oleh para imam yang luhur, Ia (Tuhan Yesus Kristus) mewartakan Sabda Allah kepada semua bangsa…”(LG 21). Atas dasar inilah, berkhotbah merupakan tugas Gereja yang sangat luhur dan utama.
Dewasa ini penyampaian homili (khotbah) merupakan suatu bidang kegiatan yang sangat penting bagi Gereja demi melanjutkan pewartaan Kabar Gembira dan sekaligus merupakan sarana pembinaan iman umat. Dengan berkhotbah gereja dapat menjadi terbuka kepada masyarakat luas dan pewartaan Kabar Gembira itu dapat menjangkau banyak orang. Akan tetapi di sisi lain ada juga tantangan dan kesulitan yang kerap dihadapi oleh para pelayan sabda zaman ini. Tantangan dan kesulitan itu berkaitan dengan beberapa hal seperti: bagimana caranya menerjemahkan Sabda Allah ke dalam situasi konkret umat agar umat dapat mengerti dan menghayati Sabda Allah itu dalam hidup sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka; selain itu juga bagaimana mereka dapat menyampaikan Sabda Allah sebagai pegangan hidup yang mampu meneguhkan hati umat berhadapan dengan berbagai macam tawaran dunia dewasa ini. Kendati berhadapan dengan begitu banyak tantangan dan kesulitan, Gereja harus tetap teguh dalam menjalankan tugas pewartaan Injil. Pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus harus disampaikan kepada segala bangsa dalam dan melalui Gereja agar seluruh bengasa di muka bumi ini menikmati kebahagiaan dan keselamatan yaang hadir melalui Gereja-Nya.

3.1.2 Homiletika Dalam Hubungannya Dengan Beberapa Bidang Ilmu
3.1.2.1 Homiletika dalam Kaitannya dengan Teologi
Homiletika mempunyai hubungan yang erat dengan teologi seluruhnya dan segala jurusannya. Sebuah khotbah harus herus didasari dengan sebuah teologi yang baik, yaitu tidak boleh berbeda atau berselisih dengan eksegese yang sebenarnya atau ajaran-ajaran dogmatik. Akan tetapi khotbah jangan hanya diartikan sebagai sebuah uraian eksegese atau ajaran dogmatik semata. Alangkah baiknya dalam sebuah khotbah ada unsur ekseget dan ajaran dogmatik di dalamnya.
Ada beberapa macam jurusan teologi yang berhubungan dengan khotbah, yaitu eksegese, teologi historis dan teologi sistematik. Jurusan yang terpenting dalam homiletika ialah eksegese. Yang menjadi dasar atau sumber utama sebuah khotbah ialah Kitab Suci. Seorang pewarta harus terlebih dahulu berusaha menyelidiki nats khotbah (Kitab Suci) dengan saksama dan teliti. Yang disampaikan dalam khotbah ialah Firman Allah semata dan bukan pikiran atau tafsiran pribadi dari sang homilis. Oleh karena itu sang homilis harus terlebih dahulu menyelidiki, merenungkan serta memahami Sabda Allah yang hendak disampaikannya kepada umat. Dalam homili perlu juga diperhatikan jurusan teologi historis yang berkaitan dengan sejarah Gereja atau sejarah Dogma. Berbagai macam hal atau sejarah perjalanan Gereja dapat dijadikan sebagai contoh-contoh dalam berkhotbah. Teologi sistematis membantu seorang homilis dalam melihat keseluruhan Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosial, ekonomi dan politik. Dengan demikian homili yang akan disampaikan akan sangat relevan dengan kebutuhan atau kehidupan umat dalam zamannya.
3.1.2.2 Homiletika dalam Hubungannya dengan Liturgi
Khotbah merupakan suatu tindakan liturgis. Khotbah termasuk suatu bagian integral dalam perayaan liturgi yang dapat membangkitkan iman dan merayakan imannya. Ada orang yang beranggapan bahwa khotbah tidak mempunyai tempat dalam perayaan liturgi. Mereka merasa bahwa kitab suci yang diperdengarkan dalam perayaan liturgi hanya berupa informasi atau uraian tentang Kitab Suci yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang dialami dalam kehidupannya. Sabda Allah yang diperdengarkan seolah tidak menolongnya untuk merayakan kehidupannya. Dengan demikian Sabda Allah menjadi tidak bermanfaat sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai penopang suka duka kehidupannya.
Khotbah tak dapat terpisahkan dari perayaan liturgi khususnya liturgi sabda. Hal ini dipertegas dalam Dokumen Konstitusi Liturgi. Liturgi merupakan suatu perayaan kehidupan. Oleh karena itu khotbah juga bukanlah suatu pidato yang hanya menerangkan sebagian dari isi Kitab Suci, melainkan membagikan supaya kekayaan rohani yang terkandung dalam Kitab Suci itu dapat direnungkan, dihayati, dan dialami oleh umat dalam kehidupannya. Melalui liturgi khotbah itu disampaikan dengan baik agar Sabda Allah itu sungguh menggema dalam kehidupan umat beriman, serta dengannya umat beriman dapat merasakan sapaan Tuhan melalui Sabda-Nya itu.
Khotbah memiliki hubungan yang erat dengan liturgi yang merupakan suatu perayaan iman, di mana dipahami sebagai perayaan kehidupan yang telah lampau, kini dan nanti. Allah menyapa manusia dan manusia dituntut untuk menanggapi sapaan Allah itu. Hal ini hadur dalam perayaan liturgi. Melalui perayaan liturgi yang adalah perayaan kehidupan, sejarah keselamatan itu teraktualisasikan. Oleh karena itu dalam perayaan kehidupan itu sangat dibutuhkan sebuah khotbah yang menegur, menghibur, memimpin dan meneguhkan iman umat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khotbah dan liturgi mempunyai hubungan yang bersama-sama dapat membangun Gereja di dalam dunia dam masa.

3.1.2.3 Homiletika dalam Hubungannya dengan Ilmu Psikologi
Khotbah dapat juga dipahami sebagai suatu proses belajar secara psikologis. Bidang Psikologi dalam hubungannya dengan khotbah sangat membantu seorang homolis dan juga pendengar untuk dapat berpikir dan memahami secara kritis Firman Allah yang disampaikan dalam sebuah homili. Hal ini berkaitan dengan kegiatan mendengarkan. Dengan ini Firman Allah yang hendak diperdengarkan dapat tersampaikan dengan baik serta tidak menimbulkan suatu hal yang menyusahkan atau memberatkan.


Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dan ditawarkan dalam bagian ini, antara lain:
• Motivasi
Dalam bagian ini sang homilis mendorong dan memancing perhatian pendengar supaya tertarik mendengar khotbah yang dibawakan sampai akhir. Sang homilis mengajak pendengarnya untuk melihat masalah serta turut melihat dan mencari jalan keluarnya. Yang hendak dicapai dalam bagian ini ialah agar pendengar mampu menemukan diri dalam khotbah yang dibawakan serta merasa bahwa ia adalah subjek dalam khotbah tersebut: “yang berbicara tentang saya dan masalah hidup saya”.
• Pembatasan Masalah
Pada bagian ini sang homilis mengajak para pendengar untuk melihat masalah kehidupan yang berkaitan yang menjadi pokok yang hendak diuraikan dalam khotbah. Pengalaman hidup yang coba diuraikan dalam khotbah itu dikaitkan dalam hubungannya dengan Firman Allah yang disampaikan dalam Kitab Suci. Sabda Tuhan yang disampaikan dalam Kitab Suci dijelaskan dalam pengalaman hidup para pendengar.
• Diskusi
Bagian ini hendak membantu sang homilis untuk mengajak pendengar mencari jalan keluar. Akan tetapi sang homilis harus terlebih dahulu mempertentangkan beberapa macam jalan keluar, yakni dengan menyangkal beberapa jalan keluar yang hendaknya tidak boleh dipilih atau mungkin saja yang bertentangan dengan Sabda Tuhan yang disampaikan saat itu. Dengan demikian secara otomatis para pendengar akan berusaha memikirkan jalan keluar yang lain, selain daripada yang telah disampaikan oleh sang homilis.
• Menawarkan atau Menyodorkan Jalan Keluar
Dalam bagian ini sang homilis menyampaikan inti pokok yang mau disampaikan oleh Tuhan melalui Sabda-Nya. Di sini sang homolis memastikan suatu jalan keluar yang sesuai dengan Firman Tuhan. Sang homilis mengajak pendengar untuk merubah hidupnya yang kurang baik atau mengajak para pendengar untuk hidup seturut Firman Allah yang disampaikan.
• Memperkuat Jalan Keluar (Aplikasi)
Bagian ini dapat dikatakan sebagai kesimpulan akhir dari sebuah homili. Sang homilis mempertegas Firman Allah yang telah diperdengarkan. Pendengar dituntut untuk memperbaharui hidup dan berusaha hidup sesuai dengan Firman yanf disampakan oleh Allah sendiri. Sabda Tuhan dikonkretkan dalam pengalaman hidup pendengar sehingga Sabda Allah yang disampaikan itu sungguh dapat berdayaguna bagi kehidupan pendengar.

IV. Analisis – Refleksi Homiletis
Homili merupakan salah satu tugas pelayanan Gereja. Tugas ini merupakan tindakkan publik yang dilakukan oleh seorang kristiani yang telah menerima pembabtisan, mengalir dari kharisma roh pewartaan itu, dan dari keunikan pribadinya. Tindakkan publik tersebut dilakukan atas nama seluruh Gereja.
Homili adalah salah satu sarana pewartaan Sabda Allah. Dalam Gereja katolik, homili dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks perayaan Ekaristi. Sabda Allah adalah Kabar Gembira yang diwartakan oleh seorang imam kepada umat Allah. Sudakah para imam mewartakan Kabar Gembira itu? Ini adalah tantangan berat yang dihadapi Gereja saat ini.
Problem bahwa banyak umat tidak mau lagi ke gereja karena homili pastornya kurang menarik. Seorang gembala perlu mengenal umatnya, sehingga bisah mempersiapkan homilinya dengan baik. Kebanyakan umat datang ke gereja dengan berbagai persoalan, mereka ingin sedikit dibebaskan dari berbagai tekanan hidup sehari-hari. Tidak mengherankan, jika umat menyukai homili yang lucu dan menghibur. Sayang sekali, harapan semacam ini tidak dilihat sebagai masalah serius oleh seorang imam ketika ia membawakan homili.
Masalah homili yang terjadi pada zaman sekarang adalah para imam telah jauh dari misi Kabar Gembira Tuhan. Pernah dan bahkan sering sekali kita jumpai homilis yang tidak hormat kepada umat ketika menyampaikan homilinya. Para imam justru memanfaatkan homili sebagai sarana untuk mengkritik atau menghajar umat, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Sikap semacam ini kadang kala berhubungan dengan persoalan dalam Gereja. Akhirya umat menjadi sasaran ketidak puasan. Di sini tidak ada lagi kejelasan antara ketidak puasan pribadi dengan peneguran dosa. Dalam hal ini, Sabda Allah lebih ditafsirkan menurut keinginan sendiri, sehingga Kabar Gembira Tuhan tidak kena sasaran dan membangun iman umat. Sabda Tuhan yang disampaikan dalam homili tidak lagi sebagai Kabar Gembira melainkan kabar yang bikin sakit hati. Peristiwa semacam ini sangat disesalkan. Persoalan inilah yang menjadi faktor utama mengapa umat tidak mau lagi ke gereja.
Bagi kebanyanyakan umat katolik, homili hari minggu merupakan satu-satunya cara untuk penyegaran iman. Jadi, homili yang dibawakan oleh seorang imam diharapkan dapat menyentuh kehidupan sehari-hari umat, homili yang dibawakan tidak terlalu panjang, dipersiapkan dengan baik, dan dibawakan dengan menarik. Apabila masalah seperti ini tidak diperhatikan oleh seorang imam dalam homilinya, maka umat akan semakin menjauh dari Gereja. Akibatnya umat akan beralih ke tempat lain yang lebih menarik dan mampu memberikan kesegaran rohani, misalnya dengan “jajan rohani” dan sebagainya. Seorang imam yang menyampaikan homili pertama-tama harus sadar bahwa dialah penerima pertama pesan dari Firman Tuhan. Pesan yang ia terima diteruskan kepada umat sedemikian rupa, sehingga apa yang ia sampaikan dapat menyentuh hati umat atau menceraikan umat..
Seorang imam yang membawakan homili harus tahu apa tujuan dari homili tersebut. Pertama-tama harus disadari bahwa homili adalah menyampaikan pesan Tuhan agar iman bertumbuh. Pesan tersebut harus didasarkan pada Kitab Suci dan mesti di kontekstualisasikan dengan kehidupan umat. Kedekatan dengan umat juga merupakan suatu tantangan. Kena tidaknya Homili di hati umat tergantung sejauh mana kedekatan seorang imam dengan umatnya.
Seorang imam harus tahu apa masalah dan tantangan yang di hadapi oleh umat. Seorang imam harus tahu tentang umatnya, di mana dia bekerja, apa persoalan yang dihadapinya dan sebagainya. Dengan demikian pewartaan Sabda Allah yang disampaikan oleh homilis, benar-benar menyentuh dan membawa umat lebih dekat kepada Allah. Imam yang kurang mengenal dan menggumuli persoalan umat, homilinya pun menjadi dangkal.
Sebagai seorang imam dan calon imam, pertama-tama kita harus sadar atas tugas mulia yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Sadar bahwa Tuhanlah yang memanggil kita. Oleh karena itu, marilah kita membaharui diri dengan berbagai hal yang berguna demi membangun iman umat. Selain itu, seorang imam maupun calon imam yang sedang mempersiapkan diri, dituntut untuk mampu melihat apa masalah-masalah yang dihadapi oleh umat. Dengan demikian, Sabda Allah yang disampaikan melalui mimbar menjadi nyata dan membangun iman umat.

V. Tindakkan pastoral
Dalam Gereja evangelis (injili) kotbah itu mendapat tempat yang sentral, sebab tugas Gereja ialah mewartakan Sabda Allah di dunia. Meskipun kesaksian Gereja di tengah-tengah dunia terdiri dari perkataan (kerygma), pelayanan (diakonia), dan berbentuk persekutuan (koinonia), tetapi pewartaan injil merupakan tugas utama daripada saksi Kristus.
Injil merupakan Sabda Allah yang hidup dalam bahasa manusia. Melalui injil, Allah menyapa dan berbicara kepada manusia dengan perantara manusia yang menulisnya pada tempat, waktu dan zaman itu. Meskipun demikian, Sabda Allah senantiasa diwartakan kepada manusia sebab dari situlah Allah secara real menyapa manusia.
Manusia dituntut untuk memahami kehadiran Allah dalam setiap pengalaman hidupnya yang didasarkan pada Sabda Allah. Oleh karena itu, Sabda Allah yang diwartakan merupakan sapaan Allah kepada manusia. Karena itu, semua isi Sabda Allah telah diwartakan oleh manusia sesuai keadaan penulis (bakat dan pendidikan) dan sesuai dengan tempat dan zamannya (bahasa, adat istiadat dan kebudayaan serta cara yang lainnya).
Dengan demikian, Sabda Allah yang diwartakan dapat menuntun manusia, agar mengenal cinta dan belas kasih Allah dan memperoleh keselamatan. Kehadiran Allah secara real dapat membimbing dan mendidik umat-Nya dalam setiap pengalaman hidup. Hal ini dilakukan-Nya sebagai tindakan kasih dan cinta-Nya bagi manusia. Sebab Ia sendiri menginginkan agar lewat kehadiran-Nya manusia dapat menerima dan mematuhinya sehingga akhirnya manusia memperoleh kebahagiaan.
Sapaan Allah kepada manusia tentunya tidak semuanya dapat dimengerti dan diketahuinya. Meskipun demikian, ada sekelompok orang yang memahami Sabda Allah karena menjalin relasi yang erat dengan Allah. Mereka ini dipanggil dan dipilih Allah untuk melanjutkan misi atau karya pewartaan Injil kepada segenap bangsa. Dari antara mereka, ada yang terpelajar, pandai bercerita, pandai berrbahasa, dan ada yang mahir dalam bahasa sederhana. Mereka ini dianggap mampu mewartakan injil dan Allahlah yang mendorong hati mereka menuntun manusia yang lain untuk sampai pada pemahaman akan Sabda-Nya. Mereka itulah rasul-rasul dan murid-murid yang terpanggil dan terpilih.
Tugas pewartaan mereka tidak hanya tetap pada zaman tertentu, tetapi terus-menerus diwariskan sebagai saksi Allah yang hadir dalam kehidupan manusia. Tugas para rasul dan para murid itu diterima baik oleh Gereja dan dilanjutkan sebagai misi dan karya pelayanan yang nyata di tengah-tengah umat. Dalam penggembalaan, tentunya Allah senantiasa mengutus roh-Nya untuk menuntun Gereja sebagai saksi dan utusan Allah kepada manusia. Gereja melanjutkan misi itu dalam tindakan pastoral yang sungguh-sungguh menyapa umat beriman. Kehadiran Gereja di tengah-tengah dunia merupakan suatu tindakan nyata bahwa Allah hadir dalam realitas hidup manusia. Tugas Gereja itu diteruskan oleh para gembala (pelayan umat-rohaniwan-rohaniwati) dalam bentuk lisan dan tertulis. Salah satu bentuk pewartaan itu adalah kotbah yang dilakukan dalam setiap perkumpulan (persekutuan Gereja).
Melihat realitas di atas, kotbah merupakan salah satu bentuk penyampaian lisan tentang Sabda Allah. Kotbah yang disampaikan kepada umat beriman memiliki daya kekuatan sebagai sarana untuk membangun diri ke arah yang lebih baik. Kotbah merupakan penyataan Kerajaan Allah sebagaimana telah disaksikan dalam Kitab Suci (KS). Pemberitaan ini bertitik tolak dari kisah wafat dan kebangkitan Kristus.
Meskipun demikian, kotbah sering disalahgunakan sebagai sarana untuk mementingkan diri daripada Sabda Allah. Hal ini tampak dalam permasalahan di atas. Kotbah tidak lagi bernuansa Sabda Allah yang menggembirakan melainkan dapat menimbulkan suatu keterpisahan antara umat beriman. Kotbah dimengerti sebagai suatu penyampaian yang mengarah pada kebutuhan atau karena kepentingan tertentu. Hal ini tidak didasarkan pada nilai atau isi Sabda Allah bagi manusia.
Melihat realitas kesalahgunaan tersebut, kita patut mengambil suatu tindakan yang bersifat pastoral. Para pengotbah hendaknya kembali pada makna dan isi pewartaan yang sesungguhnya. Tindakan pastoral itu direalisasikan melalui beberapa cara, antara lain program atau aksi, sosiailisasi, dan gerakan (tindakan) untuk menuju suatu pemahaman yang baru mengenai kotbah. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk partisipasi kita untuk semakin memahami dan memaknai isi Sabda Allah dalam kenyataan hidup menggereja.

1. Program
Dengan melihat masalah penyampaian Sabda Allah (kotbah) dalam lingkungan Gereja, maka kita perlu membuat suatu program untuk kotbah yang mengarahkan umat pada isi Sabda Allah. Program itu merujuk pada suatu persiapan menyangkut bahan (isi kotbah) dan dalam penyampaian (pengkotbah).
• Persiapan Kotbah
Pengkotbah hendaknya mempersiapkan bahan yang diperolehnya dari peristiwa dan pengalaman hidup umat beriman dalam masyarakat dan Gereja. Selain itu, bahan dapat juga diperoleh dari bacaan-bacaan rohani dan lainnya serta diskusi dengan orang lain. Namun sebulumnya, pengkotbah harus terlebih dahulu mempelajari isi Kitab Suci yang berkaitan dengan bacaan yang akan dikotbahkan. Maka para pengkotbah tentunya memikili penangalan tahun liturgi Gereja.
• Menyusun dan Merancang Kotbah
Setelah pengkotbah mempersiapkan bahan kotbah, hendaknya ia dapat menyusun dan merumuskan isi dan makna Sabda Allah yang hendak disampaikan. Kotbah yang disusun hendaknya merujuk pada Sabda Allah yang hidup, maksudnya di dalamnya bernada kebahagian yang membawa keselamatan. Hal ini merupakan dasar dari pengertian Injil yakni Kabar Gembira. Kotabah yang disusun dan yang sudah dirancang itu, tentunya sudah disediakan dalam bentuk tulisan agar mempermudah dalam penyampaiannya.
• Menguasai Teks Kotbah
Setelah pengkotbah menyusun kotbah, ia harus menguasainya secara lebih mendalam. Teks kotbah yang sudah ditulisnya harus dibaca beberapa kali sebelum berkotbah. Ini berarti bahwa Inti dan makna kotbah sudah dikuasainya agar pesan yang hendak disampaikan lebih mudah dipahami.
2. Sosialisasi
Para pengkotbah umumnya sudah memiliki suatu skema yang tetap dalam berkotbah. Hal tetsebut berguna untuk membantu umat beriman agar lebih mudah memahami isi Sabda Allah. Tetapi melihat realitas kehidupan menggereja zaman sekarang kotbah terkadang disalahgunakan, seperti dalam masalah yang dibahas di atas.
Untuk itu, para pengkotbah hendaknya memiliki suatu skema sebagai patokan agar penyampaian Sabda Allah tidak terlepas dari inti dan maknanya. Di bawah ini ditawarkan beberapa point penting dalam berkotbah, antara lain skema kotbah, ciri-ciri kotbah yang baik, dan cara membawakan kotbah. Hal ini merupakan satu bentuk sosialisasi bagi para Pengkotbah.
• Skema Kotbah
Salah satu skema dalam mempersiapkan kotbah adalah Skema Pendalaman. Ini berarti, kotbah dimulai dengan suatu penjelasan yang luas dan menarik. Berawal dari penjelasan itu, pengkotbah mulai mempersempit dan memperdalam inti Sabda Allah yang disampaikan sebagai suatu kesimpulan dengan makna yang mendalam.
• Ciri-ciri Kotbah yang baiks
Ciri-ciri kotbah yang baik meliputi beberapa bagian, antara lain:
a. Kotbah yang menarik
Kotbah yang disampaikan dikatakan baik apabila kotbah itu menarik dan berkesan. Dalam arti ini, pengkotbah dapat menyampaikan tema yang mengesankan, yang merupakan suatu kesaksian hidup pengkotbah dan dibawakan sehingga tidak membosankan. Kotbah yang disampaikan adalah pengalaman hidup yang sudah direfleksikannya dalam terang Roh Kudus.
b. Kotbah yang singkat, padat dan memiliki tujuan yang jelas
Pengkotbah hendaknya membeberkan isi Sabda Allah dengan singkat dan jelas, tidak bertele-tele. Tujuannya agar pendengar dan pengkotbah mudah memahami isi Sabda Allah dan mengaplikasikannya dalam hidup.
c. Cara membawakan kotbah
hal utama dalam membawakan kotbah adalah maksud dan tujuan isi kotbah tersebut. Maksudnya ialah semangat atau roh yang menjiwai para Pengkotbah dalam berkotbah. Hal ini merujuk pada isi yang hendak disampaikan.
Pengkotbah hendaknya mempersiapkan diri terlebih dahulu (menyangkut gerak-gerik, mimik, suara dan sikap badan) sehingga tidak menimbulkan suatu yang tidak diinginkan dan menarik perhatian umat untuk mengikuti serta memehami isi kotbah yang dibawakan.
3. Gerakan atau tindakan nyata
Kotbah merupakan suatu bentuk pewartaan yang lisan yang disampaikan kepada umat beriman. Pewartaan itu merupakan tindakan nyata Gereja yang menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Untuk itu, Gereja hendaknya mempersiapkan tenaga-tenaga pastoral yang berbakat, trampil dan berintelektual dalam pewartaan Injil. Tujuannya agar misi Kerajaan Allah dapat dirasakan dan dialami oleh umat beriman.
Adapun hal-hal penting bagi para pengkotbah yang perlu diketahuinya, yakni sebagai imam yang menguduskan umat, sebagai nabi yang mengajar dan menggembalakan umat, sebagai raja yang memimpin umat. Ini merupakan tiga tugas utama para gembala yang dipanggil dan dipilih sebagai alat Allah.
Para pengkotbah sebagai alat yang menghadirkan Kerejaan Allah, hendaknya menyampaikan Sabda Allah lewat berkotbah (kata dan tindakannya). Merekalah yang mendorong dan mengarahkan, membimbing dan menuntun umat kepada Allah bersama dan dalam Gereja. Dengan demikian, Gereja secara nyata menghadirkan Allah di tengah-tengah umat beriman melalui karya dan pelayanan postoral.

VI. Penutup
Banyak orang mengatakan bahwa kotbah (homili) yang menarik dan tidak menarik tergantung pada pengkotbahnya. Harapan umat dari seorang pengkotbah pertama-tama membangun kharisma diri dengan kata, sikap dan tindakannya sebagai seorang pewarta Sabda Allah dalam hidupnya. Dengan demikian hidupnya harus menjadi kotbah (homili) yang baik bagi umatnya. Jadi, kotbah (homili) yang baik adalah hidup pengkotbah itu sendiri.
Memang, dalam kenyataan sehari-hari, kita akan menemukan kotbah (homili) yang menarik dan yang tidak menarik. Sebagai suatu seruan, kami berharap agar kotbah (homili) yang tidak menarik tidak mengurangi minat kita terhadap Ekaristi. Sebab, puncak perayaan Ekaristi terletak pada konsekrasi, perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus secara sakramental. Umat beriman harus lebih memahami bahwa puncak iman Kristiani Ekaristi karena melalui ekaristi kita merayakan karya keselamatan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar