Sabtu, 02 Juni 2012

Definisi Lituturgi Menurut Dom Odo Casel (Erick Sila).

I. Pengantar Seperti Gereja sendiri, Liturgi pun senatiasa hidup dan berkembang. Liturgi dibentuk oleh sejarah. Oleh karena itu, banyak usaha-usaha yang dilakukan demi pembaharuan atas Liturgi itu sendiri. Memang kita sadari bahwa dalam Liturgi ada unsur-unsur yang tidak dapat dirubah karena ditetapkan oleh Allah, namun terdapat juga hal-hal atau unsur-unsur yang dapat dirubah. Sehubungan dengan peredaran zaman, Liturgi sendiri dapat atau malah harus mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena peredaran zaman itu sendiri sehingga inti hakikat dari Liturgi itu menjadi tidak cocok lagi (SC 21). Sejak awal munculnya gerakkan Liturgis (1909) hingga Konsili Vatikan II, banyak penulis mencoba mendefenisikan Liturgi. Akan tetapi, tidak seorang pun yang dapat merumuskan dengan baik yang dapat merangkum semua hakikat dan sifat-sifat dasar dari Liturgi itu. Walaupun demikian, usaha untuk merumuskan arti Liturgi merupakan sebuah pekerjaan yang mulia walaupun hasilnya tidak memuaskan. Salah tokoh yang berusaha mendefenisikan Liturgi adalah Dom Odo Casel. Berikut ini, penulis akan menguraikan singkat bagaimana tokoh ini berusaha untuk merumuskan Liturgi itu, yang kiranya berguna bagi kita bersama. II. Definisi Liturgi Menurut Dom Odo Casel Dalam liturgi Latin sering kita jumpai ungkapan-ungkapan yang berasal dari dunia kekafiran seperti: misteri, kegiatan, pengenangan, pencerahan, pemanggilan, (mysterium, actio, memoria, illuminatio, invocatio). Ungkapan-ungkapan ini kemudian diambil alih oleh Gereja dan mendapat makna dan arti baru yang bersifat abstrak dan rohani. Dom Odo Casel menyelidiki kata misteri (mysterium) untuk menemukan makna dan arti Liturgi, ketika kata misteri ini mulai masuk dalam ibadat Kristen kuno. Dari penyelidikan tersebut, Dom Odo Casel menyimpulkan bahwa para penyusun liturgi Romawi memandang perayaan Ekaristi sebagai upacara misteri suci (dalam arti umum seperti dipahami zaman kuno); maksudnya upacara menggunakan simbol-simbol lahiriah, memperbaharui karya keselamatan Allah Yang Kudus secara mistik namun nyata dalam upacara-upacara tersebut. Dalam “doktrin misteri” (mysterienlehre), liturgi diartikan sebagai segala kegiatan liturgis, perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen, tahun Gereja secara keseluruhan, semua pada hakikatnya adalah misteri. Setiap ibadat menurut caranya masing-masing menghadirkan secara nyata karya keselamatan Yesus Kristus yang adalah “misteri pokok”. Dalam upacara tersebut, bukan hanya pribadi Tuhan yang hadir, melainkan bagaimana seluruh karya penebusan-Nya bagi manusia: Penjelmaan, karya, wafat dan kebangkitan-Nya. Maka dapat disimpulkan bahwa Liturgi adalah kehadiran Allah melalui tanda-tanda lahiriah, melaui caranya sendiri, rahmat mengalir dari Tuhan yang dihadirkan bersama dengan keselamatan-Nya, sehingga dengan kehadiran misteri Kristus dimungkinkan pulalah rahmat penebusan bagi umat-Nya. III. Penutup Liturgi terdiri dari tanda-tanda dan secara khusus nampak dalam sakramen sakramen. Maka ilmu tentang bahasa tanda dapat memberikan terang baru bagi Liturgi Gereja. Usaha ini telah dilakukan oleh Dom Odo Casel untuk mengintegrasikan sejarah Liturgi ke dalam konteks religius kebudayaan zaman dahulu, telah menunjukkan buah-buahnya dan keterbatasannya. Walaupun usaha Dom Odo Casel untuk mendefinisikan apa itu Liturgi secara tepat kurang memuaskan, namun usahanya perlu dihargai sebagai suatu sumbangan besar bagi Liturgi Gereja.

Jumat, 01 Juni 2012

Roh Kudus sebagai Pribadi Ketiga Menurut Tertulianus (Oleh: Erick M. Sila, Ferry Nono, Ruben Afeanpah, Yohanes Tando dan Piter Nali)

1. Pengantar Pada tahun-tahun pertama sesudah Konsili Vatikan II, perhataian akan peran Roh Kudus (pneuma) sebagai pribadi ketiga dalam Allah Tritinggal, nampaknya kurang mendapat perhatian. Kesadaran akan peran Roh Kudus sebagai yang melanjutkan komunikasi diri Allah baru nampak pada beberapa dekade terakhir ini dalam semua pernyataan iman Kristiani. Kesadaran ini timbul berkat kontak ekumenis dengan Gereja-gereja Ortodoks dan Gereja-gereja Reformasi, sebab refleksi atas karya Roh Kudus dalam Gereja Katolik lebih condong untuk memasukkannya dalam traktat Trinitas dan Kristologi. [1] Walaupun demikian, tidak berarti peran Roh Kudus diabaikan sama sekali sejak awal. Pada zaman patristik para bapa Gereja telah mencoba melihat apa peran Roh dalam Gereja dan hidup manusia. Tertulianus merupakan salah satu dari para bapak-bapak Gereja Latin yang mencoba melihat apa hakekat dan peran Roh Kudus tersebut dalam hidup manusia. Tertulianus menegaskan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus menyatu dalam substansinya. Namun kesatuan subsantsi ilahi ini terbagi dalam tiga pribadi yakni pribadi Bapa, pribadi Anak dan pribadi Roh Kudus. 2. Riwayat Hidup Tertulianus adalah seorang Afrika Utara yang lahir di Kartago sekitar tahun 160-220 SM. Ia berasal dari keluarga Romawi kafir. Ayahnya seorang perwira tentara Romawi. Ia mendapatkan pendidikan ilmu retorika dan hukum. Orang Kafir ini diduga sempat menjadi ahli hukum selama beberapa tahun di kota Roma. Pada tahun 197 SM, ia bertobat menjadi Kristen dan langsung menjadi seorang Apologet. Di sepanjang hidupnya, ia banyak manghasilkan karya-karya yang bernuansa apologetik melawan kaum kafir dan Yahudi. Pada akhir abad II dan awal abad III ia merintis sastra Kristiani dalam Bahasa Latin. Ia seorang yang sangat pandai, dengan gagasan-gagasannya yang orisinil dan segar. Ia adalah teolog, pujangga Gereja, ahli pidato dan ahli hokum (sipil). Seorang genius, pujangga Gereja terbesar di Barat sebelum Agustinus. Tertulianus adalah seorang yang berkeyakinan kuat dan memiliki kesungguhan moral yang besar. Ia memiliki kemampuan karakteristik dan punya gambaran akan suatu kebenaran yang sempurna. Karena itulah, ia dikenal sebagai pribadi yang benar dan jujur. Ia juga memiliki kemampuan menulis dan karena itulah ia dikenal sebagai salah seorang penulis Kristen awal. Sayangnya, ia kemudian meninggalkan arus utama Gereja Katolik saat itu. Semenjak tahun 207, ia semakin dekat pada gerakan Montanisme [2] dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik pada tahun 213. Ia mencela paham Lassisme mengenai penitensi, ia juga gigih melawan Marcianus dan Valentinianus. Menurut St. Joremo, ia dikatakan telah hidup sampai usia tua. Ia mungkin meninggal di Kartago pada usia 60 tahun. Sesudah tahun 220 tidak ada lagi informasi mengenai dirinya dan bukti bahwa ia kembali ke Gereja Katolik sebelum dia meninggal. 3. Karya-karya Tertulianus adalah salah satu dari para bapak-bapak Gereja Latin yang banyak menyumbangkan tulisan dan sejumlah pemikiran terkait ajaran Gereja. Di sepanjang hidupnya, ia menulis 20 (Dua puluh) karya bernuansa apologetik melawan kaum kafir dan Yahudi. Ia juga banyak menerbitkan karya-karya yang bersifat dogmatis-polemik melawan kaum gnostik dan heresi lain, serta karyanya yang bernuansa etis dan asketis, misalnya tentang doa, penitensi baptisan. Selain itu, ia juga menghasilkan banyak buku, puluhan traktat, berbagai polemik dan pembelaan ajaran Gereja melawan berbagai ajaran sesat. [3] Karya-karya Tertulianus dapat diklasifikasikan sebagai: Apologetik, Kontroversial, dan Risalah pada disiplin Kristen dan Asketisme. Karya-karyanya dalam membela ajaran Gereja dan heresi, antara lain Ad nations, Apologeticum, De anima, De praescriptione haereticorum, Adversus Marcionem, Adversus Praxean. [4] a) Ad nations Karya Ad nations merupakan apologia melawan penganiayaan melawan orang Kristen. Karya ini memuat prosedur untuk menghukum orang Kristen. Dikatakan bahwa seseorang dianiaya karena nonem Christianum. [5] Penganiayaan terhadap orang Kristen dilakukan tanpa suatu penyelidikan atas motif atau tuduhan yang dikenakan. Perlakuan tersebut dianggap atau dituduh sebagai suatu tindakan kekerasan. b) Apologeticum Karya ini ditujukan kepada prokonsul Kartago dan pemerintah provinsi Afrika. Dalam karya ini, dikemukankan bahwa orang Kristen dianiaya karena kekeliruan dan kebencian. Ini merupakan suatu tudahan orang kafir terhadap orang Kristen yang dianggap melakukan incest dan infanticidum. [6] Persoalannya mengenai ateisme yang mengemukakan bahwa dewa-dewi hanyalah manusia atau setan. Maka persembahan atau kurban bukanlah sikap ateisme, melainkan sikap yang tepat. Selain itu, karya ini juga memuat tentang crimen laesae maiestatis dan sikap anti Negara. Dikatakan bahwa para dewa orang kafir tidak menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan negara, sebaliknya agama Kristen dengan sikap bijaksana memberikan sumbangan bagi negara lewat doa-doa dan sikap hidup yang dianggap bersifat keilahian. c) De anima Karya ini dikarang sesudah tahun 203 yang mengetengahkan pertemuan platonis dan agama Kristen. Karya ini dibagi dalam tiga bagian, yakni pengatar, bab satu dan bab dua. Bagian pertama, Tertulianus mengkritik ide Fedone dan filsafat platonis. Bagian pertama didasarkan pada kitab Kejadian 2:7, yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari Allah. Tertulianus menerima pembagian platonis atas jiwa: rasional dan irrasional. Allah telah menciptakan jiwa rasional dan sesudah kejatuhan dalam dosa lahir bagian yang irrasional. Bagian kedua dari karangan ini ditujukan untuk melawan platonis mengenai preeksistensi jiwa. Persoalannya mengenai keberadaan jiwa sebelum dan sesudah kelahiran manusia. dan pada bagian ketiga menjelaskan mengenai keberadaan jiwa sesudah kematian manusia. Di sini, Tertulianus sepaham dengan penafsiran tradisional tentang tidur sebagai mimpi dan juga sebagai simbol kebangkitan. Tertulianus menolak pendapat bahwa jiwa orang yang tidak dikubur, yang bunuh diri dan yang dibunuh masih berkeliaran di atas bumi. d) De praescriptione haereticorum Karya ini bersifat polemik atas kaum heretik, yang berangkat dari iman Kitab Suci dan Tradisi, sebab kaum heretik telah memalsukan Kitab Suci dan keberadaan mereka di luar tradisi Gereja. e) Adversus Marcionem Karya ini dibagi dalam dua bagian, bagian pertama bersifat teologis yang melawan Marcion tentang eksistensi Allah hingga kedatangan Yesus Kristus. Menurut kaum Marcion, Allah tidak ada hubungannya dengan Allah pencipta dan penebus. Mereka menolak bahwa penebus tidak mungkin menjadi manusia untuk membebaskan manusia dari dosa. Dia hanya mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan. Sedangkan bagian kedua bersifat eksegetis yang melawan kitab suci Marcion yang tidak memiliki hubungan dengan Allah Pencipta dalam Perjanjian Lama. f) Adversus Praxean. Karya ini memuat argumennya melawan kaum Monarkhianisme. Penjelasan sederhana berangkat dari konsep monarki, Ia menolak pandangan bahwa konsep Trinitas dan Unitas Allah yang disamakan dengan kaisar Romawi bersama anak-anaknya. Bagian kedua memuat penjelasan rasional, yang berdasar pada Kitab Suci. Ia melawan pandangan bahwa Allah yang dilihat pastilah bukan Bapa, dengan merujuk pada “Akulah Tuhan dan tiada yang lain” (Yes 45: 5), “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30) dan “Siapa yang melahat Aku, melihat Bapa” (Yoh 14:9-11). Hasil dari karya-karyanya sangat menentukan bagi pemahaman Gereja di kemudian hari. Salah satu sumbangannya yang terbesar adalah di bidang teologi Trinitas dan dialah orang pertama yang memakai istilah “Trinitas, Substansi dan Persona”. [7] 4. Latar Belakang Pemikiran Ajaran Tertulianus tentang Roh Kudus tertuang dalam ajarannya tentang Trinitas atau Tritunggal. Pemikirannya tentang Roh Kudus memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan dogma tentang Tritunggal selanjutnya. Kepada kita diperkenalkan istilah satu “substansi” dan tiga “persona”, dalam Bahasa Latin untuk memperkenalkan misteri agung ini. [8] Ia juga berbicara tentang Roh Kudus, dengan menunjukkan ciri pribadi, persona, dan keilahian-Nya. Seluruh ajarannya tertuang dalam makalahnya (31 pasal) melawan Praxeas. Dalam pasal II dan III, ia mulai membahas doktrin Tritunggal dengan menyoroti Unitas kepada Trinitas dan Trinitas dalam Unitas. Tentang Unitas kepada Trinitas, Tertulianus menegaskan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus menyatu dalam substansinya. Namun kesatuan subsantsi ilahi ini terbagi dalam tiga pribadi yakni pribadi Bapa, pribadi Anak dan pribadi Roh Kudus. [9] Tiga pribadi ini bukanlah tiga kondisi, tetapi tiga di dalam tingkatan, bukan dalam substansi tapi dalam bentuk, bukan dalam kuasa, tetapi aspek-aspeknya. Namun, Allah adalah satu dalam substansi, dalam kondisi, dalam kuasa, dan dalam kekuasaan, sampai Ia disebut sebagai Satu Allah. Tertullianus menegaskan bahwa Ketiga Pribadi (dalam pengertian tiga tingkatan, tiga bentuk dan tiga aspek) Allah, tidak berarti tiga, tetapi tetap hanya satu Allah. Allah harus diterima di dalam ekonomi-Nya (pengaturan dalam karya keselamatan di dalam diri-Nya). [10] 5. Roh Kudus 5.1 Hakekat Roh Kudus Tetulianus menuliskan bahwa hakekat dari Roh Kudus adalah (a Patre per Filium) keluar dari Bapa melalui Putra. Roh dilihat sebagai pribadi yang datang dari Allah dan Putra (a Deo et Filio). Roh Kudus dilihat sebagai cinta ilahi yang keluar dan berasal dari Bapa dan Putera. Ia mengunakan analogi seperti buah dari batang pohon dengan berpangkal pada akar; atau sama seperti aliran air dari sungai adalah yang ketiga kalau mulai dari mata air. Atau pun sama seperti titik cahaya dari sinar adalah yang ketiga, dengan bertolak dari mata hari. [11] Roh merupakan komunikasi hikmat Allah, yang mengerjakan keselamatan yang berasal dari Bapa dan Putera. Keberadaan Roh bukanlah keberadaan yang substansif, di mana Roh memiliki substansi sendiri secara terpisah dari Bapa dan Putra, melainkan ketiga pribadi Allah Bapa, Putra dan Allah Roh Kudus tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Mereka tetap memiliki tiga pribadi tetapi satu hakikat, satu Allah. [12] Maka kenyataan ilahi antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus merupakan relasi cinta kasih timbal balik. Cinta kasih Bapa dan Putera berpribadi dalam pribadi ketiga. Allah Bapa dan Putera adalah juga Esa karena Roh Kudus sebagai cinta kasih “antara” mereka meniadakan segala “antara” itu sehingga menjadikan satu kesatuan dan kemahaesaan yang tak terbayangkan. Sebab dalam Roh, Bapa menyerahkan diri seutuhnya kepada Putera dan Putera juga seluruh diri-Nya seutuh-Nya kepada Bapa. [13] 5.2 Peran Roh Kudus Kisah Tertulianus dengan gerakan Montanisme mengingatkan kita akan pentingnya Roh Kudus. Tertulianus melihat peran Roh Kudus sebagai penuntun dan pemimpin ke dalam seluruh kebenaran iman Kristiani. Tertulianus yang bersimpati dengan ajaran montanisme berkeyakinan bahwa interpretasi oleh Roh Kudus tidak menumbangkan regula fidei, rumusan iman yang tidak dapat berubah. Roh Kudus memiliki daya untuk membimbing, menuntun dan mengembangkan kehidupan. Sebagai orang Kristen kita mengimani bahwa Roh Kudus adalah pembawa dan pemberi semangat dalam menghidupkan Gereja. Tanpa kehadiran Roh Kudus Gereja hanya berakhir pada rumusan doktrinal semata. Kehadiran Roh Kudus menjadikan persekutuan Kristen menjadi sebuah persekutuan yang hidup dan senantiasa berkembang terus-menerus. Gerakan Roh Kudus yang begitu kuat dan unik itulah yang memampukan orang untuk menjawab tantangan dan kebutuhan setiap zaman. Pengakuan akan peran Roh Kudus sebagai pemberi semangat dan kerunia tidak bertentangan dengan fondasi atau dasar iman kekristenan, seperti yang tertuang dalam pengakuan iman Rasuli. [14] Kehadiran Roh Kudus merupakan hasil kasih Allah di dalam kaum beriman. Kasih itu merangkum seluruh umat beriman kepada Allah dalam persekutuan dengan Roh Kudus. Persekutuan umat beriman adalah buah dari Roh Kudus, karena mereka semua mengambil bagian dalam roh yang sama. Melalui kehadiran Roh Kudus, Gereja wajib membuahkan benih-benih kasih yang telah ditaburkan Allah dalam dirinya untuk saling berbagi dan menyapa orang lain sebagai saudara-saudari dalam Allah. Persekutuan kaum beriman dan realitas Roh Kudus selalu dihubungkan dengan Bapa dan Putera. Sebab “persekutuan” dalam roh yang sama diterima oleh semua dan hadir dalam semua, dan begitu Roh itu melandaskan persekutuan. Bila dihubungkan dengan Putera, realitas Roh Kudus itu disebut “rahmat”, yaitu pemberian secara cuma-cuma yang menghasilkan “pembenaran” dan pengampunan dosa. Sedangkan, bila dihubungkan dengan Bapa, realitas Roh Kudus itu adalah “kasih”, karena merupakan hasil dari prakarsa Allah. [15] Berdasarkan berbagai sumber, Tertulianus juga mempunyai sumbangan yang sangat berguna berhubungan dengan Kitab Suci terutama dalam hal eksegese. Menurutnya, Roh Kudus berkarya dalam diri para penulis Kitab Suci dan para ekseget, sehingga Kitab Suci mengalami perkembangan. Roh yang memberikan kesanggupan bagi seorang untuk memimpin dan mewartakan Kitab Suci. Dengan demikian, Kitab Suci merupakan karya Allah sendiri. Roh Kudus yang sama jugalah yang menuntun orang untuk mengerti dan memahami seluruh kebenaran yang tertuang dan Kitab Suci sendiri. [16] Roh sebagai saksi Yesus dan sebagai interpretator ekonomi keselamatan (keselamatan yang dikerjakan oleh Bapa melalui Putera dalam Roh Kudus) yang memimpin dan membimbing kita menuju jalan keselamatan. Roh berkarya bersama Bapa dan Putra dalam aksi penyelamatan umat manusia. Roh memberikan kesatuan dan kekuasaan, serta mengarakan hati manusia kepada kebaikan dan kapada yang kudus. [17] 6. Penutup Tertulianus berbicara tentang Roh Kudus, ketika ia berbicara mengenai Trinitas. Ajarannya pada masa itu termasuk juga untuk membela kebenaran iman Kristen dari berbagai aliran sesat. Bagi dia, Roh adalah pribadi yang berasal dan keluar dari Bapa dan Putera. Dengan demikian, Roh Kudus secara real tampak sebagai penghubung antara Allah dan Kristus Tuhan, dan antara Kristus Tuhan dengan jemaat-Nya. Roh Kudus sebagai pemimpin dan penuntun ke dalam seluruh kebenaran. Roh yang demikian masih sangat relevan dan diharapkan pada zaman sekarang ini yang penuh dengan kejahatan, ketidakbenaran dan ketidakadilan. Roh Kudus yang diterima oleh orang beriman melalui sakramen pembaptisan dan diperkokoh dengan sakramen penguatan hendaknya dihidupi dan diberi kesempatan untuk berkarya dalam hati manusia. Gereja sebagai umat Allah dalam era modern ini hendaknya selalu berseru “datanglah Sang pencipta, Roh Kudus” veni creator Spiritus, ke dalam hati kami. Seruan ini kiranya menjiwai setiap anggota Gereja agar selalu sadar untuk berjalan dalam kebenaran iman dan moral. Maka amat penting bagi umat, agar semangat Roh Kudus jangan sampai dipadamkan. Sebab Gereja lahir, berkembang dan akan terus eksis menuju kepenuhan eskatologis jika semangat Roh Kudus dihidupi dan dihayati oleh umat beriman dalam seluruh hidupnya. Roh Kudus adalah Allah yang aktif, yang hadir dalam diri Yesus Kristus. Melalui Yesus Kristus, Roh Kudus hadir secara aktif dalam jemaat. Iman jemaat tidak bisa hanya terarah pada salah satu pribadi Allah: Bapa, Putera, atau Roh Kudus saja, sebab karya penciptaan dan penebusan merupakan karya Allah Tritunggal Yang Maha Kudus. BUKU SUMBER: [1]Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 243. bdk. Kornelus Sipayung, Pneumatologi (Sinaksak: STFT St. Yohanes [tanpa tahun]), hlm. 2. (diktat). [2]Montanisme adalah suatu gerakkan kebangkitan rohani yang didirikan oleh Montanus (seorang kafir yang bertobat, lalu menjadi pastor) bersama dengan kedua putrinya Priskilla dan Maximilla. Ia mewartakan akhir dunia dan memandang kegiatan para nabi asketik sebagai tanda-tanda akhir zaman. Bisa dikatakan Montanisme adalah sebuah kegerakan Pentakosta pertama dalam sejarah Gereja yang menekankan ekstasi, bahasa roh dan nubuat berdasarkan karunia Roh Kudus. Gerakan ini kemudian dikutuk oleh Gereja. [Lihat. Geraldo Collins dan Edward G. Farugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 208.] [3]New Catholic Encyclopedy, vol XIII (Washington: The Catholic University of America, 1981), hlm. 1019-1020. bdk. Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja …, hlm. 62-63. [4]Sihol Situmorang, Patrologi: Studi Tentang Bapa-bapa Gereja Sebuah Pengantar (Sinaksak, STFT St. Yohanes [tanpa tahun]), hlm. 38-40. (diktat). [5]Sihol Situmorang, Patrologi…, hlm. 38. [6] Sihol Situmorang, Patrologi…, hlm. 38. [7]Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 1…, hlm. 135. bdk. Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja, (Malang: Dioma, 2010), hlm. 62 [8]Paus Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja: Hidup Ajaran dan Relevansi Bagi Manusia di Zaman Kini (Malang: Dioma, 2010), hlm. 65. [9]Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastens, Patrologi volume III, (Washington, DC: Notre Dame in the Catholic University of America), hlm. 284-285. [10]New Catholic Encyclopedy, vol XIII…, hlm. 1021. [11]Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 270. [12]Paus Benedictus XIV, Bapa-Bapa Gereja…, hlm. 65. bdk. Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastens, Patrologi …, hlm. 286. [13]A. Heuken, Ensiclopedi Gereja, jilid VII (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 136 [14]Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quasten, Patrologi …, hlm. 286; bdk. juga Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271. [15]C. Groenen, Kitab Suci Tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Anak Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 75. [16]Tertullian, Ancient Cristian Writers, (New York: Newman Press, 1959), hlm. 44. bdk. Tertulianus, “Againts Praxeas” dalam Yohanes Quastes, Patrologi …, hlm. 287; bdk juga. Niko Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271. [17]William van Roo, Telling about God. Vol III (Roma: Editrice Pontifician Universita Gregorian, 1989), hlm. 38. bdk. Nico Syukur Dister, Teologi…, hlm. 271.