Sabtu, 17 Maret 2012

KUMPULAN PAPER KHK TINGKAT III (Oleh: Eric Sila, dkk)

1. VIKARIS JENDERAL & VIKARIS EFISKOPAL
2. DEWAN IMAM
3. DEWAN KEUANGAN DAN EKONOMI
4. DEWAN PASTORAL
5. KOLEGIUM KONSULTOR
6. VIKARIS YUDISIAL

1.Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal

A. Pengantar
`Il Vicario Generale é l’ombra del Vescovo demikianlah orang Italia mengatakan. Peran dan tugas Vikaris Jenderal dalam keuskupan seperti dalam bayang-bayang kuasa Uskup diosesan. Jadi kerap disebutkan bahwa Vikaris Jendral merupakan bayang-bayang dari potestas ordinaria Uskup diosesan dalam memimpin Gereja partikular yang dipercayakan oleh Takhta Apostolik kepadanya. Vikaris Episkopal juga memiliki fungsi tersendiri dalam Gereja partikular. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, perihal Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal tercantum dalam kanon 475 sampai dengan kanon 481.

B. Latar Belakang Diadakannya Vikjen dan Vikep
a. Vikaris Jenderal
Jabatan Vikaris Jendral muncul pada abad ke-XIII, sesudah konsili Lateran IV (1215). Pada masa itu diputuskan bahwa Uskup diosesan berwenang memilih seseorang yang terpercaya dan penuh kasih untuk membantunya dalam kepemimpinannya. Jabatan Vikjen ini ditetapkan secara definitif pada abad ke XVI pada masa konsili Trente 1545.
Dalam KHK 1917, Vikjen ditetapkan sebagai sebuah jabatan di bawah Uskup diosesan, dengan kuasa jabatan ordinaria, sedangkan pada kitab KHK 1983, jabatan Vikjen menjadi ‘wajib’ ada di setiap keuskupan (bdk Kan.475 §1): “Di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa jabatan untuk membantu Uskup memimpin seluruh keuskupan, menurut norma-norma kanon berikut.” Jabatan Vikjen diadakan untuk membantu Uskup diosesan dalam memimpin keuskupan.
b. Vikaris Episkopal
Jabatan Vikep muncul dari Konsili Vatikan II (bdk Christus Dominus no.27). Jabatan Vikep tidak wajib ada (bdk Kan 476): “Jika diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan baik, dapat juga diangkat oleh Uskup diosesan seorang atau beberapa Vikaris Episkopal, yang mempunyai kuasa jabatan yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris Jenderal di bagian tertentu keuskupan atau dalam bidang tertentu atau untuk kaum beriman ritus tertentu atau kelompok orang-orang tertentu, menurut norma kanon-kanon berikut ini”.
Uskup diosesan dapat mengangkat seorang vikep menurut kepentingan keuskupan (seturut ketentuan Kanon 476) menurut perlunya dan bilamana keuskupan membutuhkannya. Uskup diosesan dapat mengangkat beberapa Vikep dalam kepemimpinan pastoral. Vikep diangkat untuk membantu Uskup diosesan dalam memimpin keuskupan dengan wilayah tertentu atau kelompok umat tertentu.

C. Pengertian Vikjen dan Vikep
a. Pengertian Vikaris Jendral
Secara etimologi, kata “vikaris jenderal” berasal dari bahasa Latin, vikarius: pengganti, wakil, pejabat dan pembantu, dan jenderal : umum, semuanya, seluruhnya, seluruh jenis dan keseluruhan. Dalam terminologi hukum Gereja, Vikaris Jenderal diartikan sebagai wakil uskup dalam kepemimpinan pastoral di suatu keuskupan. Perbedaan yang paling mendasar dengan Vikaris Episkopal adalah tugas mereka. Vikaris Episkopal membantu Uskup diosesan untuk memimpin satu wilayah atau satu bidang tertentu. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 475 § 1, menetapkan bahwa Uskup diosesan wajib mengangkat seorang Vikaris. Hal ini berbeda dengan Vikaris Episkopal. Vikaris Episkopal tidak harus ada, tetapi jika diperlukan uskup boleh memilih dan mengangkat satu atau beberapa Vikaris Episkopal (kan. 476).
Sejak Konsili Vatikan II, nama Vikaris Episkopal diwajibkan dalam suatu daerah keuskupan. Vikaris Jenderal bertugas atas nama uskup diosesan yang mengutusnya. Vikaris Jenderal adalah sebuah organisasi yang diinkardinasikan pada kuria diosesan di tempat ia tinggal. Setiap Vikaris Jenderal diangkat secara bebas oleh Uskup diosesan yang berkuasa penuh di daerah dioses yang ia tangani. Uskup diosesan memilih dan mengangkat seorang imam yang terpercaya dan penuh kasih untuk membantunya dalam kepemimpinannya. Figur vikaris jenderal ditetapkan secara defenitif pada abad ke XVI pada masa Konsili Trente (1945).
b. Pengertian Vikaris Episkopal
Demi kelancaraan kegembalan yang baik, uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa vikep (Kan.476). Pengangkatan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dan efektifitas pelayanan misalnya luasnya keuskupan, jumlah umat atau pertimbangan pastoral lain yang sungguh mendasar. Para Vikep bekerja dengan kuasa jabatan yang diaplikasikan secara terbatas hanya untuk wilayah kevikepannya (Kan. 479 §2). Vikaris Episkopalis (Vikep) adalah jabatan yang diberikan kepada seorang pastor atau uskup auksiliari/koajutor dalam suatu keuskupan untuk mewakili sebagian tugas-tugas dan wewenang uskup dalam suatu wilayah yang lebih sempit atau untuk kelompok yang spesifik. Seperti halnya seorang vikaris jendral (vikjen), jabatan vikaris episkopal bersifat bukan seumur hidup dan akan kehilangan jabatannya begitu uskup yang melantiknya meninggal dunia atau mengundurkan diri.

D. Penunjukan dan Syarat-Syarat sebagai Vikjen dan Vikep
Vikaris Jendral wajib diangkat oleh Uskup diosesan dalam keuskupannya guna membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Sebagai pedoman umum hendaknya juga diangkat satu Vikjen saja, kecuali jika luasnya keuskupan atau besarnya jumlah penduduk ataupun alasan pastoral lain menganjurkan lain (kan. 475 § 2). Jika diperlukan untuk memimpin keuskupan dengan baik, dapat juga diangkat oleh Uskup diosesan seorang atau beberapa Vikaris Episkopal, yang mempunyai kuasa jabatan yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris Jendral di bagian tertentu keuskupan (kan. 476).
Vikjen dan Vikep diangkat dengan bebas oleh Uskup diosesan dan dapat diberhentikan dengan bebas olehnya namun dengan tetap berlaku ketentuan kan. 406. Jabatan Vikjen dan Vikep bersifat bukan seumur hidup dan akan kehilangan jabatannya begitu Uskup yang melantiknya meninggal dunia atau mengundurkan diri (tahta lowong). Vikaris Episkopal yang bukan Uskup auxilier menurut kan. 477 § 1 hendaknya diangkat hanya waktu yang harus ditetapkan dalam pengangkatan itu sendiri.
Adapun syarat-syarat untuk jabatan Vikjen dan Vikep menurut kan. 478 adalah sebagai berikut:
• Imam yang berusia tak kurang dari tiga puluh tahun
• Mempunyai gelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi atau sekurang-kurangnya ahli dalam ilmu-ilmu itu
• Layak karena ajaran yang sehat
• Peri kehidupannya baik
• Arif dan berpengalaman kerja
• Jabatan Vikjen dan Vikep tidak dapat dipadukan dengan jabatan kanonik penitensiaris
• Juga tidak dapat diserahkan kepada sanak-saudara Uskup sampai tingkat keempat

E. Tugas dan Fungsi Vikjen dan Vikep
Berdasarkan jabatannya Vikaris Jenderal mempunyai kuasa untuk membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan. Vikaris Jenderal memiliki kuasa eksekutif (jabatan Vikaris Jenderal bersifat pastoral dalam bidang kuasa eksekutif menurut norma hukum) dalam seluruh keuskupan , tetapi bukan kuasa legislatif atau yudikatif. Menurut KHK, kuasa Vikaris Jenderal (wakil umum) sama seperti dimiliki Uskup sebagai pemimpin Gereja partikular (Kan. 134), yakni boleh melakukan semua tindakan administrasi selain yang direservasikan uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus daru uskup (misalnya: memberi dispensasi dari hukum displiner yang berlaku bagi seluruh umat).
Dalam lingkup kewenangannya Vikaris Jenderal mempunyai kewenangan habitual (facultates habituales) yang diberikan Tahta Apostolik kepada Uskup: demikian juga pelaksanaan reskrip, kecuali dengan jelas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya. Tugas Vikaris Jenderal biasanya memimpin administrasi keuskupan. Selain itu Vikaris Jenderal harus melaporkan kepada Uskup diosesan urusan-urusan yang utama, baik yang akan maupun yang telah dilakukan, dan janganlah pernah mereka bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup Diosesan.
Demi alasan pelayanan pastoral, Uskup dapat mengangkat seorang atau beberapa Vikep (Kan. 476), selain Vikjen. Pengangkatan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dan efektifitas pelayanan misalnya luasnya keuskupan, jumlahnya umat atau pertimbangan pastoral lain yang sungguh mendasar. Para Vikep bekerja dengan kuasa jabatan yang persis sama dengan kuasa jabatan seorang Vikjen namun diaplikasikan secara terbatas hanya untuk wilayah kevikepannya (Kan. 479 § 2).
Uskup memimpin Gereja lokal yang dipercayakan kepadanya dengan kuasa legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kuasa legislatif dijalankan Uskup sendiri tidak pernah didelegasikan; sedangkan dua kuasa lainnya dijalankan baik oleh Uskup sendiri maupun lewat orang lain (kan.391). Vikaris Episkopal menjalankan kuasa eksekutif dari Uskup; mereka termasuk dalam sebutan Ordinaris wilayah (kan. 134 §2). Kuasa eksekutif tersebut meliputi semua tindakan administratif kecuali hal yang direservir dan khusus mandat khusus (bdk. MP ES 1, 14§2). Vikep juga mempunyai kewenangan-kewenangan habitual yang diberikan Tahta Apostolik kepada Uskup; demikian juga pelaksaaan reskrip (kemurahan). Dalam hal perkawinan kanonik, Vikep memiliki kewenangan memberikan dispensasi atas halangan dan izin menyangkut larangan. Vikep bisa memberikan Sakramen Krisma kepada umat beriman sesudah menerima penugasan khusus dari Uskup (bdk. Kan. 882).
Koordinasi dari pengembangan semua karya pastoral di dalam kevikepan berada di bawah kendali dan di tangan Vikep. Vikep di satu pihak berupaya sedemikian rupa memotivasi dan mendorong kreatifitas masing-masing unit karya, namun di lain pihak semuanya dibingkai secara terpadu dalam sebuah strategi pastoral. Strategi tersebut harus dijabarkan dan diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan lapangan yang menuntut komitmen bersama dari semua komponen yang ada dalam kevikepan. Proses dan dinamika ini terus berjalan dan secara terprogram (berkala namun teratur) dievaluasi lalu dipertajam lagi implementasinya. Di dalam kevikepan, keterpaduan mutlak perlu menyangkut dua bidang kategori pelayanan yakni ad intra dan ad extra. Bidang pelayanan ad intra khususnya pelayanan perkawinan dan kematian, sedangkan ad extra khususnya gerakan dialog dan ekumenis merupakan bidang pelayanan yang sungguh strategis.
Vikep memiliki kewenangan sebagaimana yang dimiliki oleh Vikjen tetapi hanya terbatas di wilayah Vikariat Episkopal yang dipimpinnya dengan pengecualian hal-hal yang direservasi bagi Uskup. Kewenangan-kewenangan Vikep digolongkan dalam fungsi ordinariat, fungsi koordinatif dan fungsi kolaboratif.
Fungsi ordinariat Vikaris Episkopal antara lain:
• Mewakili/melaksanakan delegasi Uskup dalam kegiatan-kegiatan seremonial gerejawi seperti peletakan batu pertama dan pemberkatan gereja di wilayahnya.
• Sebagai perwakilan KWI wilayah, mewakili Gereja di hadapan Pemerintah setempat dalam upacara kenegaraan dan pelantikan pejabat di wilayahnya dan memelihara hubungan antaragama dan antartokoh masyarakat lainnya.
• Memberikan dispensasi atas halangan-halangan nikah atau ijin atas larangan nikah di wilayahnya.
• Melantik Dewan Pastoral Paroki dan menjadi saksi serah-terima tugas pastor paroki di wilayahnya.
• Memastikan bahwa kebijakan keuskupan disosialisasikan dan diwujudkan dalam program kerja di paroki-paroki wilayah Vikariat Episkopal yang dipercayakan kepadanya.
Fungsi koordinatif Vikaris Episkopal antara lain:
• Mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan karya pastoral di wilayah Vikariat Episkopalis yang dipercayakan kepadanya.
• Mendampingi Pastor Paroki/Pastor Rekan dan Dewan Pastoral Paroki dalam pengelolaan paroki di wilayahnya.
• Mempersiapkan dan mendampingi Uskup dalam kujungan pastoral ke paroki-paroki di wilayahnya.

Fungsi kolaboratif Vikaris Episkopal antara lain:
• Dalam kesatuan dengan Uskup diosesan, terlibat dalam menjalankan dan membina Kuria Keuskupan
• Terlibat dan ambil-bagian dalam Dewan Pastoral Keuskupan
• Terlibat dalam pembinaan komisi-komisi, pengurus Gereja, lembaga pelayanan gerejawi, para Pastor, anggota Hidup Bakti, umat beriman di wilayahnya.
• Memberi masukan dan pertimbangan kepada Uskup diosesan dan/atau Dewan Iman Keuskupan dan Dewan Pastoral Keuskupan mengenai berbagai situasi dan kebutuhan pastoral.

F. Kewajiban Vikjen dan Vikep
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, dijelaskan: “Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal harus melaporkan urusan-urusan penting baik yang dijalankan maupun yang telah dilakukan kepada Uskup diosesan, dan janganlah mereka pernah bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan” (Kan. 480)
Karena kedekatan hubungan mereka dengan Uskup Diosesan, Vikaris Jenderal harus tetap memelihara hubungan baik itu dengan setia. Hubungan baik itu meliputi; terjalinnya komunikasi yang tetap di antara mereka berdua dan tindakan yang harmonis secara terus-menerus. Vikaris Jenderal dan Uskup Diosesan hendaknya memikirkan secara serius dalam menentukan harta benda dan tingkat komunikasi , ukuran dan kompleksitas keuskupan.
Di pihak lain,Vikaris Jenderal memfasilitasi para Vikaris Episkopal dalam membentuk Dewan Pastoral Vikariat di wilayahnya masing-masing. Kemudian karena hubungannya yang sangat dekat dengan Uskup diosesan, Vikaris Jenderal harus yakin bahwa segala tindakannya tidak bertentangan dengan maksud dan kehendak Uskup diosesan.
Vikaris Episkopal ex officio menjadi anggota Dewan Imam Keuskupan. Sebagai anggota Dewan Imam Keuskupan, Vikep bekewajiban:
• Menghadiri sidang-sidang Dewan Imam Keuskupan
• Menyampaikan aspirasi dari wilayahnya kepada sidang Dewan Imam Keuskupan
• Menyosialisasikan hasil sidang Dewan Iman Keuskupan di wilayahnya
Sebagai pemimpin di Vikariat Episkopal yang dipercayakan kepadanya, seorang Vikep diharapkan segera membentuk dewan pastoral di wilayahnya sekaligus mengetuai dewan pastoral yang dibentuknya itu. Dalam pelayanannya terhadap umat beriman, seorang Vikep harus memperhatikan dua jenis pelayanan kategorial yaitu: ad intra (pelayanan ke dalam gereja) dan ad extra (pelayanan keluar Gereja). Adapun yang harus diperhatikan oleh seorang Vikep dalam pelayanannya ke dalam Gereja ini antara lain:
1. Mengoordinir secara terpadu pengembangan karya pelayanan pastoral dalam wilayah vikariat yang dipimpinnya baik itu yang berjangka panjang atau yang berjangka pendek.
2. Membina dan mengawasi agar upacara-upacara keagamaan dirayakan sesuai dengan tuntutan-tuntutan liturgi suci.
3. memperhatikan perlengkapan-perlengkapan gereja supaya diletakkan di tempat yang cocok, dan memperhatikan supaya peralatan-peralatan liturgi (benda-benda suci) dihormati dengan pantas.
4. memperhatikan para klerus yang berkarya di wilayah vikariatnya agar menghayati hidup yang pantas sesuai dengan statusnya, dan memenuhi kewajibannya dengan cermat, memperhatikan kehidupan rohaninya dengan melakukan ofisi, doa dan rekoleksi berkala.
5. melayani permohonan dispensasi dalam vikariat selaku Ordinaris wilayah sesuai dengan norma-norma dasar untuk dispensasi dalam KHK, kanon 85-93 perihal dispensasi dan kanon 1078 perihal dispensasi perkawinan.
6. memimpin pemberkatan gereja di wilayahnya, atau meminta Uskup bila diperlukan.
Sedangkan pelayanan keluar gereja (ad extra) yang juga mesti diperhatikan seorang Vikep yaitu: membina kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga-lembaga lain, dan masyarakat di wilayahnya pada umumnya.

G. Penutup
Pembentukan Vikariat Episkopal dan pengangkatan Vikaris Episkopal merupakan salah satu dari pola gerakan pastoral yang berusaha untuk memperoleh keefektifan dalam pelayanan. Dengan pola gerakan ini diharapkan Gereja semakin mendekatkan pelayanan pastoral kepada umat. Jika berbicara dari segi fungsi, Vikaris Jenderal dan Vikaris Episkopal mempunyai fungsi yang sama, tetapi dalam lingkup yang berbeda. Vikaris jenderal mempunyai kuasa jabatan di seluruh keuskupan, sedangkan vikaris episkopal mempunyai kuasa jabatan untuk wilayah tertentu dari keuskupan atau untuk kategori tertentu di keuskupan. Jabatan vikaris jenderal dan vikaris episkopal bersifat pastoral dalam bidang kuasa kepemimpinan eksekutif saja. Dan jabatan itu tidak mengandung kepemimpinan legislatif maupun yudikatif. Di atas segalanya itu, kehadiran Vikaris Jendral dan Vikaris Episkopal ialah guna membantu reksa pastoral yang diemban oleh gembala Gereja Partikular yakni uskup diosesan.




2. DEWAN IMAM

1. Pengantar
Semua imam baik diosesan maupun religius bersama dengan Uskup ikut menerima dan melaksanakan imamat Kristus yang satu. Maka mereka diangkat menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi Uskup. Mereka juga berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentahbisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis dengan dewan para Uskup. Oleh karena itu, demi tanggung jawab dan kebaikan kehidupan rohani seluruh umat beriman di keuskupan, dibutuhkan Dewan Imam yang berperan seperti senat Uskup dalam memimpin umat beriman. Dewan Imam merupakan himpunan para imam, yang bertugas membantu Uskup dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum agar kesejahteraan pastoral dapat berkembang sebaik-baiknya.

2. Definisi Dewan Imam (Kan. 495-501)
Dalam kehidupan menggereja di keuskupan, kita mengenal istilah Dewan Imam dan kolegium konsultor. Melalui Dewan Imam dan kolegium konsultor, Uskup diosesan bekerjasama dengan imam-imam (diosesan ataupun religius) melaksanakan tugas kegembalaan di keuskupannya.
Secara yuridis, kerjasama antara para imam dengan Uskup diosesan dalam tugas kegembalaan di suatu keuskupan di laksanakan melalui suatu wadah organisasi yang disebut dewan para imam dan kolegium konsultor. Kodeks mengatakan Dewan Imam hendaknya menjadi seperti senat Uskup. Roh yang menjiwai organisasi ini adalah roh persaudaraan dalam kesatuannya dengan sesama para imam.
Dewan Imam adalah suatu badan kepengurusan dalam satu keuskupan yang terhimpun oleh Uskup diosesan dan para imam (baik imam diosesan maupun imam religius). Dalam kepengurusan ini, Uskup diosesan dan anggota Dewan Imam dan kolegium konsultor bersama-sama melaksanakan, mengkoordinir dan mengembangkan kegiatan-kegiatan pastoral terutama yang menyangkut reksa pastoral dan keselamatan bagi jiwa-jiwa.
Organisasi Dewan Imam mempunyai tujuan untuk membantu Uskup diosesan dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraaan pastoral bagian dari umat Allah dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Ketua dari Dewan Imam dan kolegium konsultor adalah Uskup diosesan. Artinya, Uskup diosesan ada bersama dengan anggota Dewan Imam dan kolegium konsultor. Tugas khas Dewan Imam dan kolegium konsultor adalah konsultan atau memberi sumbangan saran dan pelaksana kegiatan-kegiatan pastoran bersama dengan rekan imam lainya.
Hakekat dari Dewan Imam dan kolegium konsultor dalam tugas kegembalaan tentulah didasarkan pada penghayatan akan satu imamat dan satu pelayanan Kristus sehingga kesatuan penahbisan dan perutusan itu menuntut persekutuan hirarki dengan dewan para Uskup. Maka, para Uskup berdasarkan karunia Roh Kudus yang dalam tahbisan suci dianugrahkan kepada para imam, memandang mereka sebagai pembantu dan penasihat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan mengembalakan umat Allah.

3. Statuta Dewan Imam (Kan. 496)
Kanon ini menganjurkan bahwa setiap dewan iman dalam Gereja partikular hendaknya memiliki statutanya sendiri yang mendapat persetujuan Uskup diosesan dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan konferensi para Uskup. Konferensi para Uskup memang tidak mendiktekan secara spesifik ketentuan-ketentuannya. Namun berkenaan dengan hal-hal, seperti keanggotaan berdasarkan hukum dll, secara umum diserahkan pada pemegang aturan partikular. Hal itu dilakukan karena keterbatasan kodek dan demi menghargai perbedaan yang ada dari masing-masing dioses.
Sesuai dengan apa yang diberikan dalam kesimpulan surat edaran Presbitery sacra, statuta harus berisi: “hal-hal penting yang dapat mengatasi dewan ... cara kerja, pertemuan/rapat berkala, kerja sama dengan organisasi konsultatif lainnya, memupuk hubungan antara dewan dengan semua imam yang ada dalam dioses itu.”

4. Asas dan Tujuan Dewan Imam
Dewan Imam berasaskan kolegialitas imamat, persekutuan (communio), dialog dan musyawarah yang dinamis demi pengembangan kehidupan rohani umat beriman dan kebaikan umum. Adapun tujuan Dewan Imam adalah sebagai berikut:
a. Membantu Uskup dalam kepemimpinannya sesuai dengan norma hukum demi tercapainya kesejahteraan umum umat beriman kristiani
b. Membangun forum kerja sama yang dinamis dan efektif antara Uskup dan imam
c. Memberi masukan kepada Uskup dan mengajukan cara dan strategi pastoral yang tepat guna bagi keuskupan
d. Menjadi lambang kesatuan dan persaudaraan imamat antara Uskup dan imamnya.

5. Fungsi Dewan Imam
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Imam mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi pelayanan, fungsi kepemimpinan dan fungsi representasi (perwakilan). Fungsi pelayanan dijalankan dengan melaksanakan, mengkoordinir dan mengembangkan kegiatan-kegiatan pastoral terutama yang menyangkut reksa pastoral dan keselamatan bagi jiwa-jiwa. Fungsi kepemimpinan ditunjukkan lewat membantu Uskup diosesan dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraaan pastoral bagian dari umat Allah dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

6. Keanggotaaan Dewan Imam (Kan. 497)
Tahbisan Imamat merupakan syarat dasar agar bisa menjadi seorang anggota Dewan Imam. Inkardinasi di suatu diosesan diwajibkan untuk seorang imam diosesan. Inkardinasi di diosesan sangat dibutuhkan agar mereka memperoleh pemeliharaan jiwa dan karya kerasulan.
Imam diosesan yang dipilih haruslah imam diosesan yang diinkardinasikan atau berkarya di keuskupan tersebut. Sementara itu, yang dipilih dari imam religius haruslah imam yang berkarya di keuskupan yang bersangkutan. Ia dipilih secara sah untuk lima tahun dan sesudahnya bisa dipilih kembali. Jika ada anggota yang berhalangan tetap (karena mati atau tidak mampu melaksanakan tugas) maka penggantinya harus dipilih dengan berlaku prinsip keadilan dalam perwakilan.
Anggota Dewan Imam sekitar separuhnya dipilih secara bebas oleh para imam sendiri, menurut norma-norma kanon dan statua. Perlu juga diketahui bahwa menurut statuta beberapa imam harus menjadi anggota ex officio, yakni mereka yang masuk dewan imam berdasarkan jabatan yang diserahkan kepadanya. Uskup diosesan juga berhak sepenuhnya untuk mengangkat beberapa anggota dewan imam dengan bebas.
Adapun yang dimaksud dengan anggota ex officio adalah Vikjen, Vikep/Deken, Vikaris Yudisial, Direktur Puspas, Ketua Unio, Provinsial/Rektor Distrik tarekat religius klerus. Selain itu, anggota Dewan Imam juga berasal dari pengangkatan Uskup. Anggota yang diangkat langsung oleh Uskup berlaku untuk waktu lima tahun. Jika ada anggota yang berhalangan tetap maka penggantinya ditunjuk oleh Uskup.
Anggota yang mengundurkan diri haruslah memperoleh persetujuan Uskup dan anggota lainnya. Sebelum menjalankan tugas, anggota Dewan Imam yang terpilih harus mengangkat sumpah jabatan menurut aturan liturgi sederhana dan resmi dilantik oleh Uskup atau wakilnya.
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada kriteria umum mengenai ukuran/jumlah anggota Dewan Imam. Ada kecenderungan bahwa diosesan yang wilayahnya luas mempunyai jumlah perwakilan yang besar. Sangat penting untuk mengamati bahwa kecenderungan menaikkan atau memperbesar jumlah anggota Dewan Imam merupakan suatu kesalahan. Sebuah organisasi pemerintahan atau pun lembaga tidak dapat bekerja tepat dan efisien jika mempunyai banyak anggota. Hal itu dibenarkan atau mudah diterima dalam sebuah organisasi untuk kegiatan studi, diskusi, penilaian atau pemecahan masalah, tapi bukan dalam sebuah organisasi yang harus bekerjasama dalam lembaga. Berdasarkan beberapa pengalaman, barangkali dapat ditegaskan bahwa kecenderungan untuk menambah/memperbesar jumlah anggota Dewan Imam terjadi di mana tidak ada dewan pastoral atau di mana Dewan Imam keliru menjalankan tugas dengan dewan pastoral.
Ketika seorang imam dipilih, dapat ditetapkan bahwa dalam kasus ini ia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam Dewan Imam. Tetapi, karena alasan yang serius Uskup dapat menolak keanggotaannya. Penggunaan efisien akan jabatan dari Dewan Imam bergantung pada hukum. Demikian juga, Dewan Imam memerlukan konstitusinya untuk efektivitas fungsinya. Imam yang terpilih dengan sendirinya belum menjadi anggota Dewan Imam, sebelum ada dekrit Uskup yang menyatakan bahwa ia secara formal diangkat.

7. Hak Pemilihan Baik Aktif Maupun Pasif
Dewan Imam merupakan perwakilan, hal itu dapat ditunjukkan bahwa prinsip untuk memutuskan jika seorang imam merupakan anggota atau tidak dari presbiterium diosesan mempunyai ikatan kesatuan dengan Uskup diosesan. Oleh karena itu, dalam CIC, presbiterium diosesan itu dihubungkan dengan relasi dengan Uskup diosesan.
Kanon ini menetapkan hak pemilihan secara aktif dan pasif: untuk imam sekular, yang diinkardinasikan di dalam suatu dioses; untuk imam yang tidak diinkardinasikan, dan untuk imam religius yang bertugas di suatu dioses. Hak yang sama juga dapat diberikan kepada imam lain yang mempunyai domisili dan kuasi-domisili di suatu dioses.
Perumusan atas kanon ini membuat satu pemikiran bahwa hal memutuskan untuk seorang imam yang mempunyai suara aktif dan pasif dalam pemilihan adalah imam yang mempunyai tugas untuk kesejahteraan diosesan. Hal-hal lain adalah tempat tinggal, domisili, kuasi domisili, ikardinasi, hidup kudus, adalah hal-hal yang saling melengkapi atau yang menentukan.
Perumusan kanon secara literal menunjukkan pemikiran bahwa, bagi imam yang berinkardinasi di dioses. Namun, kehilangan hak pemilihan yang aktif dan pasif, harus ada surat keterangan dari Uskup diosesan yang menyatakan bahwa imam yang bersangkutan tidak lagi memiliki hak itu beserta dengan alasan yang tepat; mengenai penolakannya untuk menerima tugas imam sebagai pelayan di suatu dioses.
Yang utama dalam pemilihan anggota Dewan Imam bukan segi fisiknya tetapi kecakapannya dalam hal spiritual dan intelektual. Kecakapan tersebut akan membuatnya mampu memberikan nasehat bagi pemerintahan.
8. Kepengurusan dan Tugas Dewan Imam
Kepengurusan Dewan Imam terdiri dari Uskup sebagai ketua umum ex officio, ketua pelaksana, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dalam hal itu, Uskup bertugas memanggil dan memimpin rapat, menentukan agenda pertemuan, menerima atau menolak hasil pertemuan dan mengumumkan secara resmi hasil Pertemuan. Jika Uskup berhalangan hadir maka ketua pelaksana bertugas memimpin rapat, menampung dan mengumpulkan bahan pembicaraan, laporan dan anjuran dari anggota Dewan Imam dan para imam seluruh keuskupan, lalu menyerahkannya kepada Uskup sebagai bahan agenda pertemuan. Wakil ketua bertugas membantu ketua dan melaksanakan tugas ketua jika ia berhalangan, Sekretaris bertugas mencatat hasil sidang dan menyerahkan kepada ketua/wakil ketua dan para anggota, serta menangani urusan administrasi dan kearsipan Dewan Imam. Sementara itu, Bendahara bertugas mengurus segala kebutuhan Dewan Imam dan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan kepada ketua pelaksana dan Uskup.

9. Tata Cara Pemilihan Anggota Dewan Imam
Mengenai tata cara pemilihan anggota, ditetapkan sebagai berikut:
1. Pemilihan anggota Dewan dan pengurus Dewan Imam hendaknya bersifat rahasia, mutlak dan jujur
2. Seseorang tidak diperkenankan untuk memilih dirinya sendiri
3. Seseorang terpilih sah menjadi anggota Dewan Imam apabila memperoleh setengah jumlah suara dari rapat pleno para imam di keuskupan. Apabila dalam dua kali pemungutan suara tidak berhasil, maka dilakukan pemungutan suara atas calon yang mendapat suara terbanyak
4. Ketua pelaksana dan wakilnya dipilih oleh anggota Dewan Imam dengan memperoleh dua pertiga jumlah suara.

10. Kewenangan Dewan Imam
Ada beberapa kewenagan Dewan Imam, antara lain sebagai berikut:
1. Dewan Imam berwenang membahas tentang personalia (imam), pastoral dan kerasulan, pembangunan dan kesejahteraan, kehidupan rohani para imam, pendidikan dan pembinaannya, dan hal-hal lain yang menyangkut kesejahteraan para imam dan umat beriman
2. Dewan Imam merupakan badan yang bersifat konsultatif dari Uskup dalam memimpin Gereja lokal (bdk. kan. 500 § 2). Namun dalam kasus tertentu konsultasi kepada dewan ini merupakan keharusan untuk sahnya suatu tindakan dari Uskup, bahkan dalam beberapa kasus Uskup membutuhkan persetujuan dari Dewan Imam
3. Uskup wajib berkonsultasi dengan Dewan Imam dalam hal menyelenggarakan Sinode Keuskupan , mendirikan atau meniadakan ataupun mengubah Paroki , mengatur sumbangan dari umat beriman , mendirikan dewan pastoral , mendirikan Gereja , mengubah gereja menjadi tempat profan , menentukan pajak untuk keuskupan dan mengangkat ekonom keuskupan
4. Persetujuan Dewan Imam dibutuhkan oleh Uskup dalam pengelolaan luar biasa dari kekayaan keuskupan dan pengalih-milikan harta benda Gereja . Persetujuan dari Dewan Imam juga dibutuhkan Administrator Diosesan dalam memberi surat izin tahbisan imam .

11. Tata Tertib dan Rapat Dewan Imam
Tata tertib dan rapat Dewan Imam dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Dewan Imam mengadakan rapat biasa sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
2. Rapat luar biasa diadakan atas (1) permintaan Uskup, (2) permintaan ketua pelaksana, setelah berunding dengan Uskup tentang masalah yang mendesak dan penting, (3) anjuran setengah anggota Dewan Imam.
3. Rapat Dewan Imam sah kalau dihadiri dua pertiga dari jumlah anggota Dewan Imam yang hadir.
4. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah, Jika ada perbedaan pendapat maka diadakan pemungutan suara, dan keputusan harus disetujui oleh lebih dari setengah anggota Dewan.
5. Jika dalam hal yang penting tidak dicapai keputusan baik melalui musyawarah maupun pemungutan suara maka keputusan akhir ini diserahkan kepada Uskup.
6. Atas anjuran Dewan dan dengan persetujuan Uskup, orang lain dapat diundang menghadiri pembahasan tentang materi tertentu dan dimintakan pertimbangan/pendapatnya.
7. Hanya Uskup yang berhak mengumumkan hasil rapat Dewan Imam .
8. Anggota Dewan Imam diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan dari hal yang dibicarakan dalam rapat atau hal yang dinyatakan rahasia oleh rapat Dewan.
9. Seorang anggota Dewan tidak diperkenankan memberi suara untuk dirinya sendiri. Jika pembicaraan rapat menyangkut seorang anggota maka yang bersangkutan diminta meninggalkan ruang rapat selama pembicaraan berlangsung.
10. Seluruh peserta rapat Dewan Imam terikat pada tata tertib ini.

12. Keuangan
Anggaran biaya dari rapat dan kegiatan Dewan Imam disiapkan oleh Bendahara dan disetujui oleh rapat. Anggaran tersebut harus disetuji oleh uskup karena termasuk dalam anggaran biaya keuskupan. Seluruh anggaran belanja tahunan dari Dewan Imam tersebut ditanggung seluruhnya oleh keuskupan.

13. Pembubaran Dewan Imam
Pembubaran Dewan Imam adalah wewenang Uskup sesudah berkonsultasi dengan Uskup Metropolit. Pembubaran Dewan Imam dapat juga dianjurkan oleh rapat Dewan Imam sendiri jika berdasarkan alasan tertentu lembaga ini tidak berfungsi dan bekerja semestinya. Pembubaran juga dapat terjadi apabila takhta keuskupan lowong. Jika Uskup meninggal, mengundurkan diri, dipindahkan atau diberhentikan , maka Dewan ini tidak berfungsi.


14. Masa Jabatan Dewan Imam (Kan. 501)
Masa jabatan dalam sebuah organisasi merupakan unsur penting dalam membangun relasi yang efektif dan efiseen. Mandat yang diberikan hendaknya tidak terlalu singkat sehingga anggota tidak dapat bekerja secara maksimal. Sementara itu, sebuah mandat yang terlalu lama adalah berbahaya, yang mana pada tahap setelah pengajuan awal, mandat itu justru memperlambat atau mengalami staknasi (mati atau kadaluarsa; selesai masa berlakunya).
Kanon 501 § 1 menetapkan sebuah pembaharuan mengenai lamanya waktu setiap lima tahun, baik secara total maupun sebagian. Anggota-anggota Dewan Imam ditunjuk berdasarkan jangka waktu yang sudah ditetapkan dalam statuta, di mana dalam jangka waktu lima tahun seluruh Dewan Imam atau pun sebagiannya diperbaharui.
Selain bertitik tolak pada waktu yang telah ditetapkan dalam satuta, para Dewan Imam dinyatakan berhenti dari jabatannya ketika takhta lowong, atau ketika para dewan dibubarkan oleh Uskup sebagai pemegang dan penangung jawab hukum.
Dekrit Ecclesiae Sanctae menetapkan dan menggagaskan bahwa dewan-Dewan Imam dapat berhenti dari jabatannya jika takhta lowong . Ketentuan ini (norma) telah dikonfirmasi oleh CIC , melalui suatu pembaharuan. Adapun pembaharuan tersebut adalah bahwa tugas-tugas Dewan Imam sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh kolegium konsultor selama tahta lowong. Sementara itu, bila Uskup baru telah terpilih, maka Uskup yang baru harus membentuk dan menetapkan para Dewan Imamnya dalam waktu satu tahun setelah ia menduduki jabatannya.
Uskup diosesan dapat membubarkan para Dewan Imamnya jika mereka tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang telah dipercayakan demi kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah keuskupan atau dioses. Uskup diosesan juga dapat membubarkan para Dewan Imamnya jika mereka terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang secara berat dan serius. Walaupun demikian, sudah menjadi ketentuan wajib bagi Uskup sebelum membubarkan para Dewan Imam; pertama-tama harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Uskup Metropolit, dalam hal menyangkut Takhta metropolit. Di samping itu, Uskup diosesan juga harus berkonsultasi dengan Uskup sufragan yang tertua dalam pengangkatannya. Dalam jangka waktu satu tahun, Uskup diosesan harus membentuk kembali para Dewan Imam yang baru.


15. Penutup
Dewan Imam adalah bertugas membantu Uskup di suatu keuskupan. Uskup diosesanlah yang menjadi ketua Dewan Imam. Dewan Imam tidak pernah dapat bertindak tanpa Uskup Diosesan. Dewan Imam juga dapat bubar atau berhenti. Oleh karena itu, hendaknya Dewan Imam senatiasa bekerjasama dan bersatu dengan Uskup Diosesan. Dewan Imam juga hendaknya menjalankan tugas dengan baik demi tercapainya kesejahteraan pastoral.


3. DEWAN KEUANGAN DAN EKONOM

I. Pengantar
Dewasa ini Gereja semakin terpanggil untuk melayani sesama manusia. Gereja dituntut untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus demi kebaikan manusia agar manusia dapat meyakini arti hidup di dunia secara lebih utuh. Panggilan Gereja dewasa ini selalu terkait dengan pelayanan yang menanggapi kebutuhan mendesak manusiawi karena hidup setiap manusia sangat bernilai di hadapan Allah. Pelayanan Gereja melalui kerasulan sosial ekonami berarti menghadirkan secara nyata kasih Allah di dunia.
Gereja sangat membutuhkan harta benda sejak berdirinya di dunia ini. Sejarah membuktikan bahwa harta benda berperan penting dalam melaksanakan karya misi. Di samping itu, sejarah Gereja juga mengalami dan membuktikan bahwa penyalahgunaan harta benda serta administrasi yang buruk atas menjerumuskan Gereja dalam krisis kepercayaan, krisis identitas, dan misi.
Gereja katolik memiliki hak untuk memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalihkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang khas. Adapun tujuan-tujuan yang khas itu adalah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustensi yang layak kepada para klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan. Gereja mempunyai hak untuk menuntut dari umat beriman kristiani untuk memberikan harta benda demi kepentingan Gereja. Umat beriman kristiani juga memiliki kewajiban untuk memberikan harta benda demi kepentingan Gereja.
Keuskupan dan paroki memiliki tanggung jawab untuk memperoleh dan mrngelola harta benda. Berkaitan dengan itu, pihak Gereja hendaknya membentuk Dewan Keuangan untuk mengatur dan mengelola semua harta benda untuk tujuan yang baik. Dalam pembahasan ini, kami akan menjelaskan tentang Dewan Keuangan Keuskupan dan Dewan Keuangan Paroki. Selain Dewan Keuangan, Keuskupan maupun Paroki perlu juga memiliki seorang ekonom yang mampu bekerjasama dengan Dewan Keuangan untuk mengatur harta benda Gereja. Harta benda gerejawi hendaknya dikelola sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuannya dan selaras dengan citra dan nama baik Gereja.

II. Dewan Keuangan
A. Dewan Keuangan Keuskupan (Kanon 492)
Setiap Keuskupan hendaknya memiliki Dewan Keuangan. Uskup diosesan atau delegatusnya memiliki kewajiban untuk membentuk Dewan Keuangan di Keuskupannya. Anggota Dewan Keuangan Keuskupan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang beriman Kristiani yang memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, hukum sipil, serta memiliki keutamaan-keutamaan seperti kejujuran dan keadilan (bdk. Kan. 492 § 1).
Subyek anggota Dewan Keuangan Keuskupan adalah umat beriman Kristiani. Umat Kristiani yang dapat menduduki jabatan sebagai adalah mereka memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, hukum sipil, serta memiliki keutamaan dalam hal kejujuran dan keadilan. Umat beriman Kristiani yang memiliki keutamaan-keutamaan tersebut dapat diangkat oleh Uskup diosesan untuk menjabat sebagai anggota Dewan Keuangan Keuskupan.
Anggota Dewan Keuangan Keuskupan harus dipilih atas dasar kompetensi khusus di bidang ekonomi. Selain memiliki keahlian dalam bidang ekonomi, Anggota Dewan Keuangan Keuskupan juga harus memiliki kearifan, adil, serta jujur dalam mengelola harta benda Keuskupan.
Kanon 492 § 2 menegaskan bahwa dewan keuangan hendaknya diangkat untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya selama lima tahun. Dewan keuangan yang dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik dapat diangkat untuk lima tahun lagi. Anggota Dewan Keuangan Keuskupan harus dipilih dan diangkat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Kanon 492 § 3 mengungkapkan bahwa: orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke empat atau semenda dengan Uskup, tidak diperkenankan menjadi dewan keuangan. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari adanya skandal keuangan antara Uskup dan keluarganya.
Dewan Keuangan Keuskupan memiliki tugas untuk mengatur Harta Benda Gereja. Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Uskup Diosesan, Dewan Keuangan keuskupan harus mempersiapkan anggaran pendapatan dan pengeluaran yang direncanakan untuk seluruh kepemimpinan Keuskupan di tahun yang akan datang. Dewan Keuangan Keuskupan juga memiliki tugas untuk memeriksa pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran setiap tahun.

B. Dewan Keuangan Paroki
Dewan keuangan paroki merupakan suatu dewan yang menurut hukum universal ada untuk menangani kebijakan pengelolaan harta benda suatu paroki . Definisi Dewan Keuangan Paroki dalam Kan 537 adalah sebuah badan konsultatif yang dibentuk oleh pastor Paroki dan disahkan oleh Uskup Diosesan untuk membantu Pastor Paroki dalam urusan pengelolaan harta benda Gereja.

1. Subyek anggota Dewan Keuangan Paroki
Meskipun pastor paroki adalah administrator dan penanggungjawab legal atas pengelolaan harta benda paroki, ia tidak dapat menjalankan tugasnya seorang diri saja. Kitab Hukum Kanonik menetapkan bahwa setiap badan hukum publik Gereja (termasuk Paroki) hendaknya memiliki Dewan Keuangan (Kan. 537, 1280). Dewan ini merupakan organ partisipatif umat paroki dalam menjalankan tanggungjawab bersama atas pengelolaan harta benda paroki. Tidak semua umat beriman mengambil bagian dalam dewan tersebut, hanya beberapa wakilnya saja. Anggota Dewan Keuangan Paroki terdiri dari kaum beriman kristiani bersama dengan mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian dalam reksa pastoral. Ada tiga subyek yang berperan dalam Dewan Keuangan Paroki yakni: pastor paroki, mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian karya pastoral dan kaum beriman kristiani.
Dalam Kan 1263 dijelaskan bahwa Uskup diosesan setelah mendengarkan dewan keuangan, dan dewan imam memiliki hak untuk mewajibkan umat beriman kristiani membayar pajak yang tidak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan Keuskupan.
Menurut KHK 1983 setiap badan hukum dalam Gereja hendaknya mempunyai dewan keuangan (Kan.1280). Salah satu badan hukum dalam Gereja adalah paroki (Kan. 515 § 3). Paroki sebagai badan hukum hendaknya mempunyai Dewan Keunagan Paroki yang bertujuan membantu pastor paroki dalam mengurus keuangan atau pun harta benda paroki sehingga tujuan pengelolaan harta benda paroki dapat tercapai dengan baik.

2. Syarat-Syarat Dewan Keuangan Paroki
•Beriman dan ada dalam persekutuan Gereja
Mereka yang menjadi Dewan Keuangan Paroki haruslah umat beriman Kristiani. Kanon 205 menunjuk pada subyek yang berada dalam persekutuan anggota Dewan Keungan Paroki analog dengan Dewan Keuangan Keuskupan (Kan 492 § 1).
Mereka yang menjadi anggota Dewan Keuangan Paroki haruslah umat beriman Kristiani. Kanon 205 menunjuk pada subyek yang berada dalam Gereja. Anggota Dewan Keuangan paroki dianalogikan dengan Dewan Keuangan Keuskupan (Kanon 492 § 1).

•Memiliki kemampuan Disiplin ilmu di Bidang Ekonomi dan Hukum Sipil serta mempunyai Kejujuran.
Anggota Dewan Keuangan Paroki dipilih atas dasar kompetensi khusus. Umat beriman Kristiani yang diangkat menjadi Dewan Keuangan Paroki bukan hanya orang yang tahu melaksanakan tugas berdasarkan kriteria teknis dan ekonomis saja, melainkan juga mampu bekerja menurut prinsip-prinsip pengelolaan harta benda paroki dengan tujuan mengatur ibadat ilahi, memberikan penghidupan yang layak bagi klerikus dan pelayan-pelayan lain, melaksanakan kerasulan dan amal kasih, khususnya bagi kaum miskin (kan 1254 § 2).
Orang beriman Kristiani haruslah cakap, unggul dalam pengetahuan yang kearifan dan peri hidupnya baik dapat diangkat untuk mengemban tugas-tugas itu. Di samping itu, harus memiliki sikap jujur dan adil dalam mengelola harta benda Gereja agar tidak terjadi skandal dalam hubungan dengan harta benda Gereja tersebut.

•Tidak Memiliki Hubungan Darah dengan Pastor Paroki
Ketentuan tentang keanggotaan Dewan Keuangan Paroki (Kan. 492 § 3), mengatakan bahwa: orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke empat atau semenda dengan Uskup, tidak diperkenankan menjadi Dewan Keuangan. Ketentuan ini juga berlaku bagi Pastor paroki. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya skandal antara anggota dewan keuangan dengan pastor paroki. Yang termasuk hubungan darah sampai tingkat keempat adalah saudara dan saudari sendiri, kemanakan laki-laki dan perempuan, paman dan bibi.

3. Tugas Dewan Keuangan Paroki
Tugas Dewan Keuangan Paroki adalah membantu pastor paroki dalam mengurus harta benda paroki. Tugas-tugas Dewan Keuangan Paroki berdasarkan ketentuan Kan 532 yang mengacu pada Kan1281-1288 adalah:
1. Membuat anggaran pendapatan dan belanja paroki
2. Memberikan nasihat, saran dan pertimbangan menyangkut pengelolaan harta benda Gereja kepada Pastor Paroki.
3. Mengambil kebijakkan pengelolaan menyangkut pengelolaan biasa dan luar biasa
4. Menginventarisasi dengan teliti dan terinci semua harta benda. Setelah diinventaris hendaknya disahkan dan dilaporkan kepada Uskup Diosesan.

III. Kanon 494 Mengenai Ekonom atau Bendahara
Dalam rangka mengelola harta benda atau keuangan Keuskupan, Uskup diosesan dan dewan keuangan perlu mengangkat seorang ekonom yang sungguh ahli di bidang ekonomi serta memiliki kejujuran (Kan 494 § 1). Ekonom yang dipilih, bertugas untuk mengelola harta benda keuskupan menurut cara yang ditentukan oleh dewan keuangan. Dalam menjalankan tugasnya, ekonom harus mampu bekerja sama dengan Dewan Keungan Keuskupan untuk mengatur segala pengeluaran yang diperintahkan oleh Uskup atau orang-orang lain yang ditugaskan dengan legitim olehnya (Kan 494 § 2).
Seorang ekonom itu diangkat menurut norma hukum yang berlaku. Kanon 494 § 2) menegaskan bahwa: Uskup diosesan beserta Dewan Keuangan Keuskupan hendaknya mengangkat seorang ekonom untuk lima tahun ke depan. Ekonom yang telah menjalankan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab, dapat diangkat untuk lima tahun lagi. Kanon yang sama juga menjelaskan bahwa, seorang ekonom yang sementara menjalankan tugasnya, tidak boleh diberhentikan selama jabatannya. Seorang ekonom dapat diberhentikan dari tugas yang diembannya, kecuali menurut pandangan Uskup ada alasan yang berat, setelah mendengarkan dewan penasihat dan dewan keuangan.
Pada setiap akhir tahun, seorang ekonom yang telah dipercayakan untuk mengelola harta benda Keuskupan, harus mempertanggung jawabkan segala pengeluaran dan pendapatan kepada dewan keuangan.
Ekonom bertugas untuk mengelola harta benda keuskupan di bawah kuasa Uskup. Ekonom juga berhak mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang diperintahkan Uskup menurut cara yang ditentukan Dewan Keuangan Keuskupan. Pada setiap peralihan tahun Ekonom harus memberikan pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran Keuskupan kepada Dewan Keuangan Keuskupan.
Ekonom seturut perintah Uskup dapat mengeluarkan uang serta mengadministrasikannya dengan teliti. Ekonom Keuskupan juga dapat memeriksa dan memberi tanggapan atas laporan keuangan Paroki baik dengan pujian maupun teguran. Ekonom bekerjasama dengan Dewan Keuangan Keuskupan dapat menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keuskupan. Dewan Keuangan Keuskupan dan Dewan Keuangan Paroki beserta ekonomnya masing-masing, saling membantu dan melengkapi satu sama lain dalam hal mengelola harta benda Gereja demi kesejahteraan umat beriman.


IV. Penutup
Gereja Katolik hadir dan berkembang di dunia dan memiliki hak untuk memperoleh, memiliki, serta mengelola harta benda. Harta benda sangat membantu Gereja untuk menjalankan tugas-tugasnya yang khas seperti mengatur ibadat ilahi, memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain. Harta benda juga dapat digunakan Gereja untuk melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta kegiatan amal kasih. Gereja memiliki kewajiban untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia dengan membantu orang-orang kecil yang menderita dan berkekurangan.
Gereja selalu memiliki hubungan yang erat dengan Keuskupan dan Paroki. Keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam untuk mewujudkan Gereja Kristus yang satu, kudus dan apostolik. Paroki adalah kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular yang reksa pastoralnya di bawah otoritas Uskup diosesan, diserahkan kepada pastor paroki sebagai gembalanya sendiri. Keuskupan dan paroki dapat disebut sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Kristus Sang Gembala Baik.
Keuskupan dan paroki memiliki tanggungjawab untuk mengelola harta benda. Berkaitan dengan itu, setiap Keuskupan maupun paroki wajib membentuk dewan keuangan dan memilih seorang ekonom berdasarkan ketentuan kanon untuk mengatur serta mengelola harta benda Gereja sebaik mungkin. Dewan keuangan dan ekonom perlu membangun kerjasama dengan Uskup maupun Pastor paroki untuk mengembangkan cinta kasih Allah dan keadilan di dunia ini.



4. DEWAN PASTORAL KEUSKUPAN
Kanon 511-514

A. Pengertian
Pastoral merupakan aktivitas pelayanan Gereja yang bertujuan memajukan perkembangan hidup Gereja, sehingga semakin berkembang dalam iman dan persekutuan. Pastoral ambil bagian dalam pelayanan pokok Gereja yang dirinci dalam beberapa bidang, yakni: Koinonia (persekutuan), Kerygma (pewartaan), Leiturgia (perayaan), dan Diakonia (pelayanan), khususnya bagi orang kecil, lemah, menderita dan tersingkir. Terkait dengan Gereja dan pelayanannya, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, Gereja merupakan persekutuan umat Allah dalam Kristus yang dipersatukan oleh Roh Kudus. Umat Allah di dunia ini dipanggil untuk menjadi sakramen, yakni: menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia dalam Kristus. Dengan demikian reksa pastoral menjadi salah satu sarana perwujudan sakramen tersebut. Itu berarti pastoral dan dewannya merupakan kriteria yang efektif untuk kelangsungan perjalanan Gereja dan panggilannya.
B. Keanggotaan Dewan Pastoral
Dewan Pastoral Keuskupan ditetapkan dan dibentuk oleh otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah Uskup Diosesan (kanon 511) sebagai penguasa Gereja partikular. Penetapan dan pembentukan Dewan Pastoral ini merujuk pada Dokumen Konsili Vatikan II yakni Christus Dominus art. 27, “Sangat dianjurkan, supaya di setiap keuskupan dibentuk Dewan Pastoral yang khas, yang diketuai oleh Uskup diosesan sendiri. Dalam dewan itu hendaknya berperan serta imam-imam, para religius dan kaum awam, yang terpilih secara khusus”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh dekrit tentang kegiatan missioner Gereja yakni Ad Gentes art. 30, supaya terjadi koordinasi yang lebih baik (Gereja dan misinya), hendaklah uskup sedapat mungkin mendirikan Dewan Pastoral. Dalam dewan itu, hendaknya para imam, religius dan awam berperan serta melalui wakil-wakil yang terpilih.


1. Persyaratan Keanggotaan Dewan Pastoral
Dalam ketiga paragraf tersebut, kanon memperlihatkan ketentuan yang beragam akan anggota Dewan pastoral keuskupan. Keanggotaan dewan pastoral berasal dari kaum beriman kristiani, baik itu klerus, anggota lembaga hidup bakti maupun kaum awam secara khusus. Mereka sudah tercatat dan diterima secara penuh dalam persekutuan dengan Gereja Katolik melalui pembaptisan dan organisasi yang kelihatan dihubungkan dengan Kristus, yakni dengan ikatan-ikatan pengakuan iman, sakramen-sakramen dan pimpinan Gerejawi (kanon 205). Di luar ketentuan-ketentuan umum ini, kanon 512 § 1 menetapkan tentang wewenang Uskup diosesan untuk memilih anggota secara luas serta memperjelas bagaimana keanggotaan ditentukan, dari pemilihan, pengangkatan atau penunjukan.
Kaum awam mendapat kriteria yang istimewa (disebut terutama). Mereka merupakan bagian dari umat beriman yang sangat luas dari populasi keuskupan dan diperhitungkan sebagai mayoritas yang harus berperan dengan aktif. Berperan aktif menunjukkan kerasulan kaum awam yang seharusnya tidak pernah absen dalam kehidupan seluruh umat beriman. Awam yang merupakan Tubuh Mistik Kristus, bukanlah objek dari kerasulan (hierarki) Gereja tetapi sebagai subjek (pelaku) yang aktif. Kondisi ini terkait dengan daya baptis, martabat dan keikutsertaannya dalam tri tugas Kristus dengan caranya yang khas dalam membawa persatuan dengan seluruh Gereja (Lumen Gentium art. 34-36).
Kanon 512 § 2 hendak menunjukkan Dewan pastoral yang menggambarkan wajah keuskupan. Kondisi ini menuntut Dewan pastoral untuk hadir dan bertindak sebagai mikrokosmos dari keseluruhan keuskupan yang mencakup beragamnya daerah di keuskupan; kondisi-kondisi sosial, profesi dan peranan-peranan kelompok atau perorangan dalam kerasulan. Dewan pastoral hendaknya menjalin relasi dan komunikasi serta kerja sama yang efektif dengan komponen-komponen keuskupan lain. Relasi ini memungkinkan interaksi dan jangkauan yang lebih luas dan penyelesaian dan pembahasan tugas-tugas sulit yang ada atau sedang terjadi.
Di samping tercatat sebagai anggota penuh dalam Gereja Katolik, anggota Dewan pastoral juga harus memiliki kualitas tertentu misalnya, beriman teguh, memiliki moral yang baik dan berlaku arif dalam kehidupannya. Kualitas demikian senada dengan apa yang tercatat dalam syarat-syarat menjadi anggota kelompok atau jabatan khusus dalam keuskupan. Ketentuan ini kiranya berkaitan dengan penetapan jabatan gerejawi sebagai tugas yang diadakan secara tetap oleh penetapan ilahi ataupun gerejawi dan harus dilaksanakan untuk tujuan rohani (kanon 145 §1).
Dewan pastoral sangat efektif bagi perkembangan komunikasi yang berkelanjutan terhadap perjalanan umat beriman di keuskupan dengan mengusulkan, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan konkret yang diperlukan oleh umat beriman kristiani. Dengan demikian diharapkan bahwa Dewan pastoral melaksanakan tugasnya seefektif mungkin, misalnya merumuskan rencana pastoral untuk komunikasi sosial dan mengidentifikasi strategi komunikasi untuk semua pelayan Gereja sesuai dengan situasi-situasi konkret dunia modern dan kondisi yang ada. Ketiga tugas utama Dewan pastoral itu adalah untuk membantu Uskup diosesan dalam mendukung evangelisasi, katekese dan pendidikan, pelayanan dan kerjasama ekumenis, sehingga hakikat Gereja partikular (keuskupan) yang intinya adalah komunikasi iman jemaat se-keuskupan yang dipersatukan oleh Uskup sebagai gembala utama semakin dihayati dan direalisir.

C. Fungsi dan Tujuan Dewan Pastoral
Dewan Pastoral yang dibentuk oleh Uskup diosesan bertugas menyelidiki dan mempertimbangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan karya pastoral serta menyusun kesimpulan-kesimpulan praktis terkait karya pastoral tersebut (bdk. Christus Dominus art. 27). Ketiga tugas tersebut dimaksudkan untuk membantu Uskup dalam pelayanannya, misalnya berupa anjuran dan gagasan yang berkenaan dengan tugas misioner, kateketik, dan kerasulan. Dewan pastoral juga bertindak dalam menimbang berbagai format doktrinal (ajaran) dan kehidupan sakramental kaum beriman, meninjau kegiatan pastoral dalam membantu para imam di berbagai reksa sosial keuskupan. Dewan pastoral juga bertujuan untuk mencermati tanggapan publik terhadap Gereja, baik mengenai ajaran moral dan iman serta berusaha menjaga keutuhan dan perkembangan Gereja ke masa yang akan datang.
D. Otoritas Dewan Pastoral.
Dewan pastoral hanya memiliki suara konsultatif. Namun sifat konsultatif tersebut tidak mengurangi potensi Dewan pastoral untuk bertindak melayani keuskupan dan membantu Uskup diosesan dalam reksa pastoral. Uskup diosesan berhak dan berwenang untuk memanggil dan memimpin rapat dewan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Uskup juga berhak mengangkat hal-hal atau permasalahan-permasalahan yang hendak dibahas dalam rapat dewan. Dewan pastoral atas ketetapan Uskup diosesan bisa memilih orang-orang beriman Kristiani awam dan anggota tarekat hidup bakti untuk diutus ke sinode Keuskupan. Dewan pastoral bertugas dalam menetapkan dan mendiskusikan aturan-aturan tentang keterlibatan orang Katolik terkait dalam perpolitikan, kehidupan spiritual paroki, partisipasi aktif umat beriman dalam liturgi, pendidikan agama anak-anak, evangelisasi, perencanaan-perencanaan industri ekonomi sederhana, penanganan pengangguran, juga hubungan antara klerus dan awam. Namun berkaitan dengan permasalahan iman, ortodoksi (ajaran) Gereja, moral dan hukum Gereja universal, Dewan pastoral tidak memiliki kompetensi dan otoritas.








5. Kolegium Konsultor
dalam Kanon 502

1. Sekilas Pandang tentang Kolegium Konsultor
Kolegium konsultor atau dewan penasihat merupakan hasil kesepakatan atas suatu pembaharuan di dalam kanon. Mereka dipilih dari dewan para imam. Meskipun demikian, kolegium konsultor penting untuk menjaga gagasan bahwa dalam kanon 423 – 428 Kodeks 1917, sebuah kolegium yang sama diangkat bagi diosesan-diosesan yang tak mungkin mengangkat suatu kapitel katedaral.
Komisi revisi CIC memperhatikan konstitusi bagi kolegium ini. Komisi revisi CIC ini lebih memungkinkan untuk mengadakan perundingan mengenai kolegium ini. Dalam pleno, pokok-pokok pembicaraan yang mengarah pada kolegium konsultor dibahas lebih mendalam. Seorang anggota kurang menyetujui pembaharuan ini karena menganggap kolegium ini merupakan duplikat dari kolegium para imam. Maka, anggota-anggota dari kolegium konsultor semestinya tidak dipilih dari antara dewan imam, sehingga secara jelas dapat dibedakan dari dewan imam. Ia juga menyarankan bahwa kolegium konsultor menjalankan tugas-tugas yang ditentukan hukum dalam jangka waktu lima tahun. Namun meskipun telah lewat lima tahun, kolegium konsultor tetap menjalankan tugas-tugasnya sampai terbentuk kolegium yang baru.
Kolegium konsultor adalah suatu kolegium para imam yang dipilih dengan bebas oleh uskup dari antara dewan para imam. Jumlah mereka tidak kurang dari enam dan tidak lebih dari dua belas orang. Pembentukan kolegium konsultor dimaksudkan untuk membantu uskup dalam kepemimpinnya menurut hukum dan ketetapan yang telah disepakati dalam kepengurusan diosesan, selama tahta tidak terhalang atau tahta lowong. Seorang anggota kelompok konsultor berhenti menjadi sebagai anggota dewan imam sejak waktu dikeluarkannya perintah. Konsultor berhenti dari jabatannya dalam batas waktu 5 tahun. Uskup diosesan tidak wajib menunjuk yang lain menurut kanon ketika hanya tinggal sedikit anggota. Lamanya jangka waktu kolegium ini adalah lima tahun dengan tugas-tugas yang ditentukan hukum. Namun, Konferensi para uskup dapat menetapkan bahwa tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada mereka dapat dijalankan hingga dipenuhi oleh kapitel katedral.
Kan. 502, § 3 menetapkan kebijakan yang diputuskan dalam Konferensi para uskup bahwa tugas-tugas kolegium konsultor diserahkan kepada kapitel katedral. Tugas-tugas yang diserahkan berhubungan dengan perayaan liturgi meriah di gereja katedral atau gereja kolegial. Selain itu, kapitel katedral menunaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka oleh hukum atau Uskup diosesan. Maka, dalam organisasi Gerejawi, ada dua bentuk kolegium yang sangat berbeda mengenai maksud pembentuk kolegium.
Kan. 502, § 4 menjelaskan struktur khusus dalam vikariat dan prefektur postolik. Di vikariat dan perefektur apostolic, tugas-tugas kolegium konsultor dipegang dewan misi. Dewan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang misionaris yang pendapatnya didengarkan dalam urusan-urusan yang sungguh penting (Kan. 495, § 2).

2. Tugas-tugas Kolegium Konsultor
Tugas-tugas khusus kolegium konsultor yang ditetapkan menurut Kitab Hukum Kanonik adalah sebagai berikut;
- Administrator diosesan membutuhkan persetujuan kolegium konsultor untuk dapat melaksanakan inkardinasi dan ekskardinasi, dan memberi ijin untuk pindah ke keuskupan lain setelah keuskupan lowong satu tahun (Kan. 272).
- Dalam kasus khusus menurut Kan. 377, § 3, dewan konsultor menyatakan pendapat kepada duta kepausan atas proses penyelidikan calon Uskup diosesan atau Uskup kuajutor;
- Dewan konsultor menerima penunjukan surat apostolik untuk uskup diosesan yang menduduki tugas jabatannya, dan demikian juga mengenai uskup kuajutor yang menduduki jabatannya (Kann. 382, § 3 dan 404, §§ 1 dan 3);
- Bila tidak ada Uskup kuajutor atau ia terhalang dan daftar yang disebut dalam Kan. 413, § 1 juga tidak tersedia, kolegium konsultor bertanggungjawab memilih seorang imam untuk memimpin diosesan (Kan. 413, § 2);
- Ketika keuskupan lowong dan bila tidak ada Uskup auksilier, dan bila Tahta Suci belum menentukan lain, dewan konsultor mengambil alih kepemimpinan keuskupan untuk sementara waktu sampai terpilih administrator diosesan (Kan. 419) dan kolegium konsultor harus memilih administrator diosesan dalam jangka waktu 8 hari sejak pengumuman atas keuskupan yang lowong (Kan. 421, § 1).
- Kolegium konsultor memberitahukan kepada Tahta Suci atas kematian Uskup diosesan ketika tidak ada Uskup auksilier (Kan. 422).
- Jika administrator diosesan diberhentikan, mengundurkan diri atau meninggal (Kan. 430, § 2), kolegium konsultor harus memilih imam lain menurut Kan. 421.
- Administrator diosesan (bukan seorang uskup) harus memperoleh persetujuan kolegium konsultor untuk memberhentikan kanselir dan notarius lainnya ( Kan. 485).
- Di setiap keuskupan, hendaknya Uskup, setelah mendengar kolegium konsultor dan juga dewan keuangan mengangkat seorang ekonom keuskupan ( Kan. 494, § 1), dan atas pemberhentiannya karena habis masa atau waktu jabatan (Kan. § 2).
- Kolegium konsultor menerima pengakuan iman dari administrator diosesan ( Kan. 833, 4°).
- Administrator diosesan dengan persetujuan kolegium konsultor memberikan surat dimisoria bagi para calon sekular (Kan. 1018, § 1, 2°).
- Kolegium konsultor harus didengar uskup atas tindakan-tindakan pengelolaan harta benda yang menurut keadaan ekonomi keuskupan termasuk lebih penting. Uskup membutuhkan persetujuan kolegium konsultor atas tindakan-tindakan pengelolaan harta benda luar biasa, kecuali dalam kasus-kasus yang secara khusus ditegaskan dalam humum umum atau dalam piagam fundasi (Kan. 1277)
- Uskup diosesan membutuhkan persetujuan kolegium konsultor mengenai pengalih-milikan harta benda di antara jumlah minimum dan maksimum yang harus ditetapkan oleh konfrensi para uskup jika tidak ditentukan oleh statuta badan hukum itu sendiri. Persetujuan kolegium konsultor juga dibutuhkan atas pengalih-milikan harta benda keuskupan (Kann. 1292, § 2 ; 1295).



6.VIKARIS YUDISIAL

1. Pengantar
Di setiap keuskupan dan untuk semua perkara dalam hukum kanonik tidak dikecualikan secara tegas, hakim tingkat pertama adalah Uskup diosesan, yang dapat melaksanakan kuasa yudisialnya secara pribadi atau lewat orang lain. Hal ini dibahas dalam kanon 1419-1437; sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak atau harta benda badan hukum yang diwakili oleh Uskup, pengadilan-banding mengadilinya pada tingkat pertama (1419 §2).

A. Vikaris Yudisial Menurut Kanon 1420
B. Pengertian Vikaris Yudisial
Vikaris yudisial atau ofisial adalah seorang imam yang dipilih oleh Uskup diosesan, berdasarkan kompetensi dalam bidang hukum kanonik yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah kepada pengadilan atas kasus-kasus dengan kewenangan biasa yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan.
Meskipun kewenangannya sebatas kewenangan yang bersifat biasa, kewenangan tersebut tidak dapat diwakilkan atau didelegasikan. Seorang Vikaris yudisial, di dalam dirinya sendiri mempunyai kuasa atau kewenangan atas pendelegasian berdasarkan pemilihan dan pengangkatan yang ia terima sendiri dari Uskup diosesan. Kuasa atau kewenangan yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial disebut potestas delegata, karena kuasa yang ia terima bukan berdasarkan jabatan (Kan.131). Kuasa yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial berbeda dengan kuasa yang dimiliki oleh seorang Vikaris episkopal seperti yang dibahas di dalam kanon 476-481. Kanon 463, § 1, 2° dan kanon 833, 5° menjelaskan perihal Vikaris episkopal dan Vikaris yudisial, yang dengan sangat jelas menyatakan bahwa Vikaris yudisial tidak termasuk atau tidak berada di bawah otoritas Vikaris episkopal.
Kanon 472 menyatakan bahwa perkara-perkara dan orang-orang yang dalam Kuria Keuskupan berhubungan dengan kuasa yudisial, memiliki norma-norma yang berbeda dengan perkara-perkara dan orang-orang yang dalam Kuria Keuskupan berhubungan dengan kuasa administratif.
Kanon 479 menyatakan bahwa Vikaris episkopal mempunyai kuasa eksekutif untuk melaksanakan tindakan-tindakan administrative, dan kanon 481, § 1 menyatakan bahwa Vikaris episkopal kehilangan kewenangan atau otoritas mereka ketika tahta lowong (Kan. 418 § 2, 1°), sementara Vikaris yudisial tidak berhenti ketika tahta lowong (Kan. 1420, § 5).
Vikaris yudisial, para Vikaris-yudisial-pembantu dan para hakim lain diangkat untuk jangka waktu tertentu, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1420, § 5, dan tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang legitim dan berat.
Kanon 1422, § 2, menyatakan bahwa “Vikaris yudisial mendirikan satu tribunal bersama dengan Uskup diosesan”. Pernyataan tersebut mengimplikasikan bahwa permohonan-permohonan (pengajuan kasus) yang bertentangan dengan suatu keputusan tribunal keuskupan, tidak dapat diajukan banding (rekursus) kepada Uskup diosesan, dan Uskup diosesan tidak bebas (seenaknya) mengubah atau memodifikasi suatu keputusan yang telah disampaikan oleh Vikaris yudisial (atas nama tribunal keuskupan). Karena di dalam tribunal keuskupan, Uskup diosesan bersama Vikaris yudisial bertugas secara bersama-sama.
Perlu diperhatikan dengan seksama bahwa menurut kanon 135, § 3, kuasa yudikatif tidak dapat didelegasikan oleh seorang Vikaris yudisial kepada wakilnya atau kepada para hakim Gereja yang lain, kecuali untuk melaksanakan suatu tindakan, atau persiapan dalam merumuskan suatu dekrit atau suatu keputusan penting.


C. Syarat-Syarat sebagai Vikaris Yudisial
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat syarat-syarat untuk menjadi seorang Vikaris yudisial:
1) Imam yang dipilih oleh Uskup Diosesan berdasarkan kompetensi dalam bidang hukum kanonik. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah kepada pengadilan atas kasus-kasus dengan kewenangan biasa yang dimiliki oleh imam yang bersangkutan.
2) Vikaris yudisial maupun para Vikaris-yudisial-pembantu haruslah imam, mempunyai nama baik, doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat, berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun” (Kan. 1420, § 4).
3) Seorang Vikaris yudisial, di dalam dirinya sendiri mempunyai kuasa atau kewenangan atas pendelegasian berdasarkan pemilihan dan pengangkatan yang ia terima sendiri dari Uskup diosesan. Kuasa atau kewenangan yang dimiliki oleh seorang Vikaris yudisial disebut potestas delegata, karena kuasa yang ia terima bukan berdasarkan jabatan (Kan.131).
4) Vikaris yudisial tidak termasuk atau tidak berada di bawah otoritas Vikaris episkopal (Kan. 463, § 1, 2° dan 833, 5°).
5) Vikaris yudisial, para Vikaris-yudisial-pembantu dan para hakim lain diangkat untuk jangka waktu tertentu, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1420, § 5, dan tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang legitim dan berat.
6) Kuasa yudikatif tidak dapat didelegasikan oleh seorang Vikaris yudisial kepada wakilnya atau kepada para hakim Gereja yang lain, kecuali untuk melaksanakan suatu tindakan, atau persiapan dalam merumuskan suatu dekrit atau suatu keputusan penting (Kan. 135, § 3).



Konstitusi tentang Vikaris Yudisial
A. Kanon 1422
Kitab Hukum Kanonik 1917 (CIC 1574) tidak memberikan ijin kepada kaum awam, baik pria maupun wanita untuk bertugas sebagai Vikaris yudisial di suatu keuskupan. Pemahaman ini berdasarkan asumsi serta pandangan umum bahwa dalam Gereja Katolik, kuasa yudikatif hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang yang telah menerima tahbisan suci.
Setelah Konsili Vatikan II, kaum awam diijinkan untuk bertugas sebagai hakim Gereja seperti halnya kaum klerus. Pada tahun 1971, Causas matrimoniales mengijinkan kaum awam pria menjadi hakim Gereja. Perijinan tersebut tidak diberikan kepada kaum awam wanita. Peraturan ini kemudian dibakukan menjadi draft pernyataan pada tahun 1976 dan 1980 sebagai suatu prosedur hukum. Akhirnya KHK 1983, berdasarkan voting pada bulan Oktober 1981, yang dilaksanakan oleh para anggota komisi yudisial Kuria Kepausan menghapuskan diskriminasi atau pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan kualitas diri dan kompetensi dari pribadi yang bersangkutan. Pria maupun wanita mempunyai hak yang sama untuk menjadi hakim Gereja, dengan memperhatikan kompetensinya.
Kanon 1574 (KHK 1917) menyatakan bahwa Vikaris yudisial (hakim Gereja tingkat keuskupan) menerima kuasa delegasi. KHK 1983 menghapuskan pemahaman tersebut, dan menyatakan bahwa seorang Vikaris yudisial menerima kuasa bukan berdasarkan jabatan yang ia emban (Kan. 131 §1).
Kodek 1983 sangat memberikan perhatian perihal pembekalan akademis yang sesuai dengan kebutuhan jaman bagi para anggota pengadilan Gerejawi (Kan. 1420, §4; 1421, §3 dan 1435). Jika dalam suatu keuskupan staf pengadilan Gerejawinya tidak mencukupi, Nuntiatura (Kedutaan Besar Takhta Suci), berhak memberikan dispensasi demi keperluan ini, untuk menjadi anggota Tribunal yang tidak mempunyai kompetensi atau keahlian khusus dalam bidang hukum Gereja, namun mempunyai pengetahuan yang mencukupi perihal hukum Gereja. Anggota yang hendak diangkat tersebut hendaknya mempunyai kecakapan lain, tidak harus menjadi ahli (setingkat doktorat), sampai keuskupan yang bersangkutan mampu menyusun dan mempunyai anggota pengadilan Gerejawi yang mempunyai kecakapan penuh.
Kanon 1421, § 2 menyatakan bahwa Konferensi Waligereja sebagai pemegang otoritas dapat memberi ijin bagi kaum awam untuk diangkat menjadi hakim Gereja.

B. Kanon 1424
Kanon ini memberikan catatan bahwa seorang hakim Gereja dapat mempergunakan jasa seorang atau lebih dari dua orang assessor yang bertugas menjadi konsultor atau advisor (penasehat). Yang dimaksudkan disini adalah bahwa seorang hakim Gereja tunggal seperti halnya kolegium tribunal, seturut kanon 1428, berhak mengangkat orang tertentu dengan spesialisasi tertentu, khususnya dalam bidang hukum sebagai auditor yang membawa perintah untuk menangani suatu kasus. “Hakim atau ketua pengadilan kolegial dapat menunjuk seorang auditor untuk melaksanakan proses perkara, dengan memilih seorang entah dari antara para hakim pengadilan entah dari orang-orang yang telah disetujui oleh Uskup diosesan untuk tugas itu” (Kan. 1428).
“Dalam peradilan tingkat pertama, jika barangkali tidak dapat dibentuk suatu kolegium, Konferensi Para Uskup, selama ketidakmungkinan itu masih ada, dapat mengijinkan agar Uskup diosesan menyerahkan perkara-perkara kepada seorang klerikus sebagai hakim tunggal, yang jika mungkin, hendaknya menyertakan seorang assessor dan seorang auditor” (Kanon 1425, § 4). Termasuk dalam kasus-kasus perkawinan, khususnya mengenai validitasnya.


C. Kanon 1425
Uskup diosesan merupakan hakim Gereja di wilayah keuskupannya. Uskup diosesan mempunyai wewenang untuk memilih serta mengangkat tiga orang hakim Gereja di wilayah keuskupannya. Kolegium tiga orang hakim tersebut berhak mengurusi: perkara-perkara perdata yang meliputi tahbisan suci, ikatan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1686 dan 1688. Selain perkara-perkara perdata, kolegium tiga orang hakim berhak mengurusi perkara-perkara pidana, yang meliputi tindak pidana yang dapat membawa serta hukuman dikeluarkan dari status klerikal, dan ekskomunikasi yang harus dijatuhkan atau dinyatakan.
Uskup diosesan dapat menyerahkan perkara-perkara yang sangat sulit atau sangat penting kepada peradilan tiga atau lima orang hakim. Vikaris yudisial hendaknya menunjuk hakim-hakim menurut urutan bergilir untuk memeriksa setiap perkara, kecuali ditentukan lain oleh Uskup diosesan untuk setiap kasus.
Dalam peradilan tingkat pertama yaitu tingkat keuskupan, jika tidak mungkin dibentuk suatu kolegium, Konferensi Para Uskup, selama ketidakmungkinan itu masih ada, dapat mengijinkan Uskup diosesan menyerahkan perkara-perkara kepada seorang klerikus sebagai hakim tunggal, dan jika dimungkinkan hendaknya disertakan seorang assessor dan seorang auditor.
Vikaris yudisial hendaknya jangan mengganti para hakim yang telah ditunjuknya, kecuali atas dasar alas an yang sangat berat, yang harus dinyatakan dalam dekrit.



Tugas dan Kewajiban Vikaris Yudisial
A. Vikaris Yudisial atau Ofisial dan Rekan Vikaris Yudisial
“Uskup diosesan manapun wajib mengangkat seorang vikaris yudisial atau ofisial, dengan kuasa jabatan untuk mengadili. Vikaris Yudisial adalah sebuah pribadi yang berbeda dengan Vikaris Jenderal, kecuali keuskupan itu kecil atau jumlah kasus terbatas menganjurkan lain” (Kan. 1420, § 1).
“Vikaris yudisial bersama Uskup membentuk satu pengadilan, tetapi tidak dapat mengadili perkara-perkara yang direservasi oleh Uskup bagi dirinya sendiri” (Kan. 1420, § 2).
“Vikaris yudisial dapat diberi pembantu-pembantu, yang namanya Vikaris-yudisial-pembantu atau wakil-ofisial” (Kan. 1420, § 3).
“Vikaris yudisial maupun para Vikaris-yudisial-pembantu haruslah imam, mempunyai nama baik, doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat, berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun” (Kan. 1420, § 4).
Pengadilan hadir untuk mengadili dengan cepat bentuk ketidakadilan. Hal ini membutuhkan pengabdian yang sungguh-sungguh dalam tugas dan memusatkan perhatian pada semua laporan rapat, cepat dalam memahami laporan pengaduan, teguh dalam menghentikan kasus-kasus yang tidak bermakna, dan seterusnya. Khususnya dalam Gereja, tidak dapat mentolerir bentuk ketidakadilan, oleh karena itu pengadilan memiliki ekonom jika berhadapan dengan kasus yang berat.
Vikaris yudisial dan Vikaris-yudisial-pembantu ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, dan tidak dapat diberhentikan tanpa alasan yang legitim dan berat (Kan. 1420).
Apabila tahta lowong, mereka tidak berhenti dari jabatannya dan mereka tidak dapat diberhentikan oleh Administrator diosesan (Kan. 1420, § 5). Apabila sudah ada Uskup yang baru, mereka perlu pengukuhan dari Uskup yang baru tersebut (Kan. 1420, § 5).
Sejauh mungkin, Vikaris yudisial atau Vikaris-yudisial-pembantu harus mengetuai pengadilan kolegial (Kan. 1426, § 2).
Dihadapan Uskup diosesan dan utusannya, Vikaris yudisial secara personal wajib menyatakan pengakuan iman menurut rumusan yang disahkan oleh Tahta Apostolik (Kan. 833, 5º).
Vikaris yudisial dipanggil untuk mengambil bagian dalam sinode keuskupan (Kan. 463, § 1, 2º).

B. Hakim Keuskupan dan Hakim-Hakim Lainnya.
Di setiap keuskupan hendaknya uskup menunjuk hakim-hakim keuskupan, yang hendaknya dari kalangan klerus (diakon atau imam) (Kan. 1421, § 1).
Konferensi para uskup dapat mengizinkan juga kaum awam (laki-laki atau perempuan) untuk menjadi hakim. Di mana diantara mereka, salah satunya dapat dipilih untuk membentuk kolegium ( Kan. 1421, § 2).
Hakim-hakim tersebut harus memiliki reputasi baik, dan bergelar doktor atau sekurang-kurangnya bergelar lisensiat dalam hukum kanonik (Kan.1421, § 3). Mereka diangkat dalam jangkah waktu tertentu. Mereka tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang sah dan berat (Kan. 1422 ). Apabila terjadi tahta lowong, mereka tidak diberhentikan dari jabatan. Pada saat ada uskup baru, mereka perlu mendapat pengukuhan. Mereka juga tidak diberhentikan oleh administrator (Kan. 1420, § 5).

C. Tribunal Kolegial
Dalam kasus perkawinan, ketika kasus tersebut dicoba menurut proses pengadilan formal, tribunal harus sebagai tribunal kolegial dengan tiga hakim, yang satu dapat seorang awam baik pria maupun wanita. Dalam kanon 1425, § 1, 1° dikatakan bahwa dalam perkara-perkara perdata ikatan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1686 dan 1688.
Pada pengadilan tingkat pertama, bisa dimungkinkan membentuk majelis hakim. Selama tak ada kemungkinan masih ada, Konferensi Episkopal dapat mempercayakan seorang hakim tunggal dari golongan klerikus. Di mana memungkinkan hakim tunggal tersebut ditemani asesor dan auditor (Kan. 1425, § 4).
Dalam pengadilan tingkat kedua, tribunal haruslah kolegial dari tiga hakim (Kan. 1441).



D. Accesor
Dalam beberapa pengadilan seorang hakim tunggal dapat dibantu oleh dua pendakwa sebagai penasihat; mereka boleh saja klerikus atau seseorang yang mempunyai reputasi dan nama baik (Kan.1224). Dalam pengadilan pada instansi pertama, dimana dimungkinkan seorang hakim tunggal, ia dapat dibantu oleh seorang accesor (Kan.1425, § 4).

E. Penutup
Di setiap keuskupan, tenaga Vikaris yudisial sangat dibutuhkan. Pertama-tama untuk membantu reksa kegembalaan Uskup diosesan. Vikaris yudisial secara khusus membantu Uskup untuk menjalankan tribunal keuskupan. Pada dasarnya Uskup diosesan menjadi hakim pertama dalam setiap perkara yudikatif di keuskupannya. Uskup dapat mendelegasikan kuasa yudikatif pada seorang imam yang cakap untuk melaksanakan kuasa yudikatif. Vikaris yudisial bersama Uskup diosesan merupakan satu pengadilan, namun Vikaris yudisial tidak dapat mengadili perkara-perkara yang direservasi olah Uskup diosesan bagi dirinya sendiri.

Jumat, 09 Maret 2012

IMAN DAN KEJUJURAN

Bacaan I : Kej 18:16-33
Injil : Luk 1:26-38

Bapa, ibu guru, teman-teman sekalian yang terkasi dalam Kristus, apa artinya kisah Abraham ini? Pertama, ternyata orang yang saleh, orang yang suci itu bisah menawar keputusan Tuhan. Oleh karena itu, jika ada orang berdosa dan akan dihukum Tuhan, berkat doa orang saleh atau orang suci, Tuhan akan memberi pengampunan kepada mereka dan tidak jadi menghukumnya. Karena Tuhan akan selalu mendengar doa-doa orang yang suci. Karena doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan (Yak 5:15). Kedua, orang yang baik itu bukan saja menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga menyelamatkan lingkungannya. Jika ada 10 orang yang baik saja seluruh manusia di kota Sodom dan Gomora akan diselamatkan Tuhan. Sebaliknya orang jahat tidak hanya mencelakaan dirinya sendiri, tetapi orang-orang disekitarnya pun ikut celaka karena dia. Contonya adalah kisah yang dialami oleh kaka saya sewaktu ia masih SMA dulu.
Pada suatu hari ada salah seorang temannya yang nakal di kelasnya. Pada waktu istirahat dia memasang memasang mercon di atas genteng gedung sekolah, persis di atas kelas kaka saya. Mercon iru tidak segera meledak, karena sumbunya disambungkan dengan sepotong obat nyamuk bakar. Baru ketika potongan itu hampir habis, mercon meledak, sewaktu sedang ada pelajaran. Dengan cara ini maka si pembuat onar tidak dapat diketahui orangnya. Pada waktu itu kaka saya sedang dalam pelajaran yang terakhir, ungkap kaka saya. Karena gurunya terkejut, maka ia sangat marah. Kepala sekolah juga marah. Kaka saya dan teman-teman yang lain didesak supaya mengaku dan menunjukkan siapa si penyulut mercon tadi. Tak seorang pun mengaku. Akhirnya guru mengancam, jika tidak ada orang yang mengaku semua akan tinggal di kelas seusai sekolah, tidak boleh pulang. Karena tak ada yang mengaku, maka kaka saya dan semua teman sekelas baru pulang jam 15.00 siang hari dengan penuh kelaparan. Demikian kisah dari kaka saya…
Nah, teman-teman sekalian, karena ada satu anak nakal maka seluruh kelas menderita kelaparan akibatnya. Jadi jika ada orang baik maka banyak orang juga menikmati buah-buah kebaikannya, tetapi jika ada teman yang jahat, maka banyak teman-teman yang lain akan mengalami penderitaan dari buah kejahatannya. Akibat satu orang tidak jujur, maka teman-teman satu kelas menderita semua. Dan paling penting yang harus kita ingat adalah bahwa akibat kenakalan-kenakalan kita itu jugalah Yesus harus mati di salib. Siapa dari teman-teman yang nakal seperti kisah tadi, dia adalah pelaku penyaliban yesus.
Oleh karena itu, teman-teman sekaliah yang dikasihi Kristus, Yesus sungguh mengasihi kita. Ia mau kita meninggalkan segala cara hidup kita yang masih kanak-kanak. Siapa yang merasa diri masih kanak-kanak di antara kita coba tunjuk tangan! Baiklah. Tidak ada yang menunjuk tangan. Itu bertanda bahwa kita sudah dewasa. Sebagai orang dewasa dan beriman kepada Yesus, hendaklah tindakkan kita juga menunjukkan kedewasaan itu. Teman-teman sekalian mari kita kita tinggalkan segala sifat kita yang jelek dan marilah kita hidup sebagai teman dan sahabat Yesus yang baik. Semoga. AMIN.

Kamis, 08 Maret 2012

CAHAYA: SIMBOL KEHADIRAN ALLAH (Oleh: Erick Sila)

I. Pengantar
Menurut Kitab Suci, pengalaman rohani yang dialami seseorang bukanlah pengalaman tentang Allah, tetapi pengalaman akan Allah. Pengalaman akan Allah merupakan suatu pemberian gratis dari Allah sendiri. Allah yang taransenden turun dan masuk ke dalam sejarah hidup manusia.
Allah yang transenden menyingkapkan diri-Nya melalui sabda-Nya yang hidup. Allah telah nyata dalam sabda-Nya dan sabda itu adalah Allah sendiri. “Pada mulanya adalah Firman; firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1). Inilah yang digambarkan secara simbolis dalam berbagai macam sistim simbol yang tetap, indah, dan mengagumkan.
Salah satu simbol kehadiran Allah adalah cahaya. Simbol cahaya merupakan kehadiran Yang Ilahi sebagaimana dikatakan dalam kultur dan Kitab Suci. Pengalaman akan cahaya ilahi tidak dapat dielakan dalam sejarah hidup manusia. Cahaya itu merupakan anugerah. Tidak ada orang yang dapat membangkitkannya atas usaha manusia.
Melalui cahaya ilahi, manusia terpukau dan tercengang sehingga ia tidak bisa menutup diri dari-Nya. Sebab “dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh 1:4-5).
Cahaya ilahi memiliki daya kekuatan yang memukau dan menggetarkan. Dalam kekaguman itu, manusia membuka diri bagi daya ilahi itu, untuk di tuntun dan dibimbing menjadi “manusia Allah”.

II. Pengalaman Cahaya
A. Pengalaman Cahaya dalam Kitab Suci
Jika kita membaca Kitab Suci, kita akan menemukan banyak sekali perikop yang berbicara mengenai cahaya. Cahaya ilahi yang menyelimuti orang-orang yang mencari dan membaktikan diri kepada-Nya dengan setia. Dalam pengantar Injil Yohanes, penulis mengemukakan bahwa cahaya sejati yang menerangi setiap orang datang ke dunia (Yoh 1:1-9). Paulus mengalami cahaya yang menyilaukan melebihi cahaya matahari siang, yang mencampakkan Paulus dari atas kudanya ketika ia dalam perjalanan menuju ke Damsyik (Kis 9:3).
Seorang teolog, Gregorius Palamas mengatakan bahwa peristiwa cahaya yang paling besar adalah peristiwa Alih Rupa (Transfigurasi) Yesus. Di atas gunung, Yesus berubah rupa di hadapan Petrus, Yakobus dan Yohanes. Cahaya putih berkilauan memancar dari tubuh Yesus dan menyelimuti ketiga murid itu.
Melalui cahaya Kristus, para murid melihat kemuliaan-Nya. Dalam kekaguman yang luar biasa, Petrus tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya berkata “Tuhan, alangkah bagusnya jika kita tinggal di sini!” (Luk 9:33). Cahaya ilahi yang tersembunyi, kini dengan ajaib memancarkan sinar. Dalam peristiwa ini, para murid turut mengambil bagian dalam pengalaman mistik Yesus.


B. Pengalaman Cahaya Santo – Santa
Pengalaman cahaya adalah suatu proses. Hal pertama ialah ada sesuatu kekuatan di luar manusia. Pengalaman akan kekuatan semacam inilah yang dialami oleh beberapa santo dan santa.
Cahaya itu berasal dari Yang Ilahi. Palamas mengatakan bahwa banyak santo dan santa juga mengambil bagian dalam pengalaman mistik Yesus. Mereka menerima cahaya dari Kristus dan memancar di hati mereka. Pengalaman cahaya ini, menjadikan mereka melihat rahasia Allah yang belum dinyatakan sebelumnya.
Pengalaman cahaya yang juga dialami oleh para rasul diwartakan kepada kita. Dengan demikian, kita disadarkan dan dibangkitkan untuk melihat bahwa Yesus adalah terang dunia. Berikut kita akan melihat secara singkat pengalaman cahaya santo-santa.
Yang pertama, St. Yohanes dari Salib. Yohanes dari Salib memiliki pengalaman cahaya yang luar biasa. Cahaya rohani yang berkobar-kobar di dalam hatinya meluap ke indra sehingga mengakibatkan kegembiraan besar dan juga penderitaan besar. Luka rohani yang mendalam menyebapkan luka fisik. Inilah yang dimaksudkan oleh Yohanes dari Salib mengenai stigmata.
Yang kedua, Agustinus dari Hippo. Agustinus memberikan kesaksian bagaimana ia memasuki ruang batinya yang paling dalam melalui tuntunan Allah. Dalam suasana itu, ia melihat cahaya yang dinamis melebihi segala cahaya dan cahaya itu tak sanggup ditahan oleh mata indra ataupun mata roh. Agustinus menyebut cahaya itu sebagai cahaya tak tercipta:

Cahaya itu ada di atas saya karena cahaya itu adalah cahaya yang membuat saya; cahaya itu ada di bawah saya karena saya diciptakan olehnya.

Yang ketiga, St. Theresia dari Avilla. Theresia Avilla berbicara mengenai cahaya yang berbeda dari cahaya yang biasa kita lihat. Ia melihat cahaya itu sebagai cahaya Yesus yang dimuliakan dan juga tubuh orang-orang kudus yang dimuliakan.
Pengalaman akan cahaya ilahi oleh para santo dan santa ini merupakan penampakkan kasih Allah. Ini adalah sebuah anugerah gratis dari Allah. Pertama-tama harus disadari bahwa Allahlah yang bertindak. Sesuatu yang transenden kini dapat dikenal lewat penyataan diri-Nya.

III. Penutup
Keilahian yang tersembunyi kini secara ajaib memancarkan sinar. Yesus selalu memancarkan sinar-Nya ke dalam dunia. Melaui cahaya itu, setiap orang diajak ikut ambil bagian di dalamnya.
Pengalaman cahaya Ilahi sangat didambakan oleh setiap umat. Bukan hanya santo dan santa saja atau para pemimpin umat yang mendambakannya. Kalau dalam Perjanjian Lama para nabi yang dapat bertemu langsung dengan Tuhan; dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri berjanji akan berdiam di dalam hati setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Semua orang akan dapat melihat kemuliaan Allah yang bersinar cemerlang bagaikan matahari. Semua orang akan mendapat impian, semua orang akan mendapat tanda-tanda lain dalam pengalaman akan Allah. “Maka sebagai anak-anak terang kebenaran jauhkanlah dirimu dari segala perpecahan dan ajaran yang sesat; dan dimana Uskupmu ada ikutilah dia, bagaikan domba mengikuti gembalanya. Setiap orang yang menjadi milik Allah dan Yesus Kristus, berdiri di sisi Uskupnya” (Ofisi, Pekan Biasa 17, hlm. 127).