Jumat, 16 Desember 2011

Definisi Lituturgi Menurut Dom Odo Casel (Erick Sila).

I. Pengantar
Seperti Gereja sendiri, Liturgi pun senatiasa hidup dan berkembang. Liturgi dibentuk oleh sejarah. Oleh karena itu, banyak usaha-usaha yang dilakukan demi pembaharuan atas Liturgi itu sendiri. Memang kita sadari bahwa dalam Liturgi ada unsur-unsur yang tidak dapat dirubah karena ditetapkan oleh Allah, namun terdapat juga hal-hal atau unsur-unsur yang dapat dirubah.
Sehubungan dengan peredaran zaman, Liturgi sendiri dapat atau malah harus mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena peredaran zaman itu sendiri sehingga inti hakikat dari Liturgi itu menjadi tidak cocok lagi (SC 21).
Sejak awal munculnya gerakkan Liturgis (1909) hingga Konsili Vatikan II, banyak penulis mencoba mendefenisikan Liturgi. Akan tetapi, tidak seorang pun yang dapat merumuskan dengan baik yang dapat merangkum semua hakikat dan sifat-sifat dasar dari Liturgi itu. Walaupun demikian, usaha untuk merumuskan arti Liturgi merupakan sebuah pekerjaan yang mulia walaupun hasilnya tidak memuaskan. Salah tokoh yang berusaha mendefenisikan Liturgi adalah Dom Odo Casel. Berikut ini, penulis akan menguraikan singkat bagaimana tokoh ini berusaha untuk merumuskan Liturgi itu, yang kiranya berguna bagi kita bersama.

II. Definisi Liturgi Menurut Dom Odo Casel
Dalam liturgi Latin sering kita jumpai ungkapan-ungkapan yang berasal dari dunia kekafiran seperti: misteri, kegiatan, pengenangan, pencerahan, pemanggilan, (mysterium, actio, memoria, illuminatio, invocatio). Ungkapan-ungkapan ini kemudian diambil alih oleh Gereja dan mendapat makna dan arti baru yang bersifat abstrak dan rohani.
Dom Odo Casel menyelidiki kata misteri (mysterium) untuk menemukan makna dan arti Liturgi, ketika kata misteri ini mulai masuk dalam ibadat Kristen kuno. Dari penyelidikan tersebut, Dom Odo Casel menyimpulkan bahwa para penyusun liturgi Romawi memandang perayaan Ekaristi sebagai upacara misteri suci (dalam arti umum seperti dipahami zaman kuno); maksudnya upacara menggunakan simbol-simbol lahiriah, memperbaharui karya keselamatan Allah Yang Kudus secara mistik namun nyata dalam upacara-upacara tersebut.
Dalam “doktrin misteri” (mysterienlehre), liturgi diartikan sebagai segala kegiatan liturgis, perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen, tahun Gereja secara keseluruhan, semua pada hakikatnya adalah misteri. Setiap ibadat menurut caranya masing-masing menghadirkan secara nyata karya keselamatan Yesus Kristus yang adalah “misteri pokok”. Dalam upacara tersebut, bukan hanya pribadi Tuhan yang hadir, melainkan bagaimana seluruh karya penebusan-Nya bagi manusia: Penjelmaan, karya, wafat dan kebangkitan-Nya.
Maka dapat disimpulkan bahwa Liturgi adalah kehadiran Allah melalui tanda-tanda lahiriah, melaui caranya sendiri, rahmat mengalir dari Tuhan yang dihadirkan bersama dengan keselamatan-Nya, sehingga dengan kehadiran misteri Kristus dimungkinkan pulalah rahmat penebusan bagi umat-Nya.

III. Penutup
Liturgi terdiri dari tanda-tanda dan secara khusus nampak dalam sakramen sakramen. Maka ilmu tentang bahasa tanda dapat memberikan terang baru bagi Liturgi Gereja. Usaha ini telah dilakukan oleh Dom Odo Casel untuk mengintegrasikan sejarah Liturgi ke dalam konteks religius kebudayaan zaman dahulu, telah menunjukkan buah-buahnya dan keterbatasannya. Walaupun usaha Dom Odo Casel untuk mendefinisikan apa itu Liturgi secara tepat kurang memuaskan, namun usahanya perlu dihargai sebagai suatu sumbangan besar bagi Liturgi Gereja.

HOMILETIKA: Kotbah Mempersatukan atau Menceraikan Umat (Oleh: Erick Sila, Ferry Nono, Ruben Afeanpah, Pedro Nali, dan Jos Tando)

I. Pendahuluan
Yesus datang ke dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah diwartakan Yesus dengan berkeliling sambil berbuat baik kepada semua orang. Yesus berkeliling dan memberitakan kerajaanAllah melalui perkataan dan perbuatan yang nyata. Injil Matius meringkaskan karya Yesus sampai penderitaan-Nya sebagai berikut: “Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu” (Matius 4:23).
Kerajaan Allah merupakan kabar gembira dari Allah bagi manusia. Kerajaan Allah adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri yang kita imani sebagai Tuhan dan penyelamat. Berkat baptisan semua umat beriman Kristiani dipilih dan dilantik menjadi murid-muridnya. Tugas murid-murid Kristus yang baik adalah mewartakan cinta kasih-Nya kepada orang lain, khususnya yang kecil, sederhana dan tertindas.
Semua orang beriman Kristiani dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada sesamanya. Kaum beriman Kristiani terutama para imam atau Klerus dipanggil secara khusus untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang. Para imam atau Klerus dipanggil secara khusus untuk mewartakan Kerajaan Allah dengan perkataan dan perbuatan yang nyata. Tugas ini bukanlah sebuah tugas yang mudah bagi setiap pewarta.
Akhir-akhir ini, di surat-surat kabar dan media elektronik, sering mucul persoalan bagaimana seorang pembawa kotbah (homili) mendalami Sabda Tuhan dalam Liturgi Sabda. Tidak jarang banyak umat mencoba untuk membantu para pembawa kotbah (homili) dengan berbagai kritik dan anjuran.

1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema
Gereja adalah umat Allah yang dihimpun dan dipupuk oleh Sabda Allah. Oleh karena itu, sessuai dengan hakikatnya, Gereja harus senantiasa “mendengarkan Sabda Allah dengan hormat dan mewartakannya tanpa takut”. Dengan tepat Konsili Vatikan II merumuskan tugas Gereja sesuai dengan urutannnya. Pertama-tama Gereja harus mendengarkan Sabda Allah, baru sesudah itu ia dapat mewartakannya. Gereja yang dimaksud adalah kita semua yang telah dibabtis dan yang telah menjadi anggota Tubuh Kristus. Jadi kita semua, tanpa kecuali, harus mendengarkan dan mewartakan Sabda Allah. Namun harus diakui pernyataan Konsili Vatikan II “sudah sepantasnya juga jika hal ini (pewarta Sabda) diharapkan pertama-tama dari mulut para Imam mereka” (PO no. 4), karena para Imam dan petugas Gereja lainnya yang diangkat Tuhan menjadi pewarta Sabda secara resmi.
Gereja selalu membutuhkan Santapan Sabda di sampig santapan Tubuh dan Darah Kristus. Dewasa ini, umat membutuhkan Sabda Allah sebagai pedoman hidupnya. Umat haus akan Firman Allah, dan ingin mendengarkan pewartaan dan penjabaran Sabda yang memberi arti lebih penuh kepada hidup dan segala persoalan hidup manusia. Hal ini diharapkan umat dari mulut para petugas Gereja, para pewarta dan para Imam, khususnya melalui kotbah atau homili yang mereka sampaikan dalam suatu perayaan.
Umat sungguh merindukan seorang Imam atau Gembala yang membuat hidup umatnya lebih baik terutama lewat khotbah atau homili. Namun, kotbah yang mereka dengar dari para Imam kadang membosankan dan terkesan kurang dipersiapkan. Memang banyak Imam yang khotbahnya dipersiapkan dan cara penyampain yang baik tetapi ada juga yang terkesan monoton dan membosankan.

1.2 Perumusan Masalah.
Kotbah atau homili merupakan sarana pewartaan Sabda Allah. Namun ada upaya untuk membedakan keduanya. Kotbah dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks ibadat, pertemuan jemaat, atau dalam perayaan Liturgi Sabda. Sedangkan, homili dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks perayaan Ekaristi. tetapi keduanya dipandang sebagai sarana yang efektif untuk mewartakan Sabda Allah kepada semua umat.
Pentingnya pelayanan berkhotbah dan berhomili sungguh dirasakan umat sebagai satu-satunya cara untuk menyegarkan iman. Peranan kotbah dalam kehidupan umat sudah ada sejak Jaman Perjanjian Lama khususnya pada Masa Nabi Nuh, masa Gereja awal, dan sampai sekarang. Sejarah Gereja juga membuktikan hadirnya kebangunan rohani dan aliran-aliran karismatik selalu berhubungan erat dengan tampilnya seorang pengkhotbah yang diutus atau dipkai oleh Tuhan. Pada jaman sekarang, pertumbuhan dan perkembangan sebuah Gereja berhubungan erat dengan gembalanya. Kotbah dan kehidupan gembalanya menjadi teladan dan dorongan yang dinamis bagi anggota-anggotanya. Berkenaan dengan ini tidak mengherankan kalau di kota atau ditempat tertentu ada gereja yang anggotanya terus bertambah dan ada juga yang pengunjungnya terus berkurang.
Sejarah memang memberi kita banyak pelajaran. Salah satu pelajaran adalah perkembangan homilietik dalam hubungannya dengan perkembangan Gereja. Pertumbuhan dan perkembangan Gereja dari segi jumlah dan mutu sangat ditentukan oleh teladan hidup dan pelayanan seorang Pewarta di atas mimbar. Pada saat tugas sebagai homilis dihormati dan dianggap sebagai panggilan dan tugas perutusan dari Tuhan akan sangat membantu kita dalam mempersiapkan homili dan umat pun akan memperhatikan Sabda Tuhan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa kotbah merefleksikan interkasi Gereja dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Gereja yang peduli akan masyarakat dan kebutuhan mereka akan menyatakan kasihnya lewat khotbah. Melalui khotbah, gereja menuntun mereka yang bimbang, menghibur mereka yang patah semangat, membela mereka yang lemah dan membangun dan mempersatukan umat bukan menceraikan umat. Khotbah atau homili bukan menjdi sarana untuk mewartakan Sabda tetapi untuk mewartakan diri dan mengkritik umat atau memarahi umat.
1.3 Tujuan Pemilihan Tema
Memang berkhotbah atau berhomili bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Ada orang yang lancar dan fasih dalam menyampaikan khotbah dan homili namun ada juga yang terkesan kaku. Dalam hal ini kita bisa berbicara soal bakat. Sama seperti seni menyanyi. Ada orang yang tanpa banyak latihan tapi bisa bernyanyi dengan baik karena bakat alami. Namun tidak banyak orang yang betul-betul berbakat menyanyi. Kebanyakan orang bisa menyanyi dengan baik karena mereka rajin melatih diri sejak dini. Begitu juga dengan kemampuan berkhotbah atau berhomili. Keahlian Berkotbah atau berhomili merupakan seni yang bisa dipelajari. Akan tetapi bagaimana orang akan rajin melatih diri agar ia cukup pandai berkhotbah atau berhomili kalau tidak menyadari betapa pentingnya khotbah atau homili sebagai sarana untuk mewartakan Sabda Tuhan dan pelaksanaan perutusan Tuhan? Karena itu kami memilih tema ini agar kami sebagai calon pengkhotbah dan calaon homils sungguh-sungguh mempersiapkan diri sambil terus memahami makna perutusan Tuhan sebagai pengkhotbah dan homilis.

II. Data Tentang Masalah atau Program Homili
2.1 Apa Itu Homili atau Kotbah
Kita perlu memahami perbedaan antara homili dan kotbah. Homili selalu dibawakan dalam perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi. Pembawa homili adalah pemimpin perayaan Ekaristi. Pada awalnya, homili yang dibawakan dalam liturgi adalah kewajiban Uskup. Tetapi dalam perjalanan sejarah, seiring dengan pertambahan umat beriman, homili dibawakan juga dibawakan oleh para imam dan diakon sebagai rekan kerja uskup. Maka sesuai dengan tradisi Gereja Katolik, seorang awam tidak diperkenankan untuk membawakan homili dalam perayaan liturgi, khususnya dalam perayaan Ekaristi. Dan, homili selalu merupakan penjelasan atas teks Kitab Suci.
Khotbah merupakan salah satu sarana pewartaan sabda Allah dan pewartaan iman kristiani. Kotbah bertolak dari pengalaman iman dan tidak selalu merupakan penjelasan atas suatu teks Kitab Suci. Menurut sejarahnya, konteks khotbah bukanlah perayaan liturgi, melainkan pewartaan Injil dalam rangka gerakan misi. Jadi, khotbah diadakan di luar perayaan liturgi. Tujuan khotbah adalah demi pertobatan orang-orang yang belum mengenal dan beriman kepada Kristus.
Homili dan Kotbah selalu memiliki hubungannya dengan perayaan liturgis. Berdasarkan cara membawakannya terdapat perbedaan antara homili dan kotbah. Homili hanya dibawakan dalam perayaan liturgis sementara khotbah diadakan di luar konteks liturgi. Kotbah boleh dibawakan oleh siapa pun termasuk kaum awam. Selain itu, khotbah tidak selalu bertolak dari Kitab Suci. Dengan demikian homili bisa disebut sebagai khotbah tetapi khotbah bukanlah homili.
Meskipun ada perbedaan antara homili dan kotbah, kami akan membahasnya secara bersama-sama. Kotbah (homili) adalah bagian tak terpisahkan dari Liturgi Sabda. Melalui kotbah (homili), Sabda Tuhan dijelaskan dengan mengaitkannya dengan kehidupan umat beriman yang bersangkutan. Dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan bagi Pemimpin (selebran) untuk berkotbah, terlebih dalam Misa yang dihadiri oleh banyak umat. Hal ini dilakukan semata-mata untuk membantu umat untuk bisa memahami dan menghayati Sabda Tuhan yang dibacakan dalam liturgi. Sebab, penjelasan Sabda Tuhan itu berguna untuk mewujudkan ciri khas hidup kristiani di tengah dunia ini. Maka kotbah (homili) sangat penting bagi umat beriman untuk memupuk semangat hidup kristiani.
Kotbah (homili) merupakan pewartaan sabda Allah yang bertolak dari bacaan Kitab Suci. Melalui kotbah (homili), pemimpin memberikan komentar dan penjelasan mengenai bacaan Kitab Suci. Hendaknya seorang pemimpin menjelaskan misteri Kristus dalam Kitab Suci sehingga misteri itu relevan bagi hidup umat yang bersangkutan. Kotbah (homili) juga menjadi momen yang penting bagi umat untuk berani diutus mewartakan kabar gembira kepada dunia.
Kini, bagaimana seorang imam membawakan kotbah (homili)? Apa kata umat tentang kotbah (homili) yang dibawakan oleh seorang imam. Kita akan melihat beberapa hal yang terjadi ketika kotbah (homili) disampaikan dalam perayaan liturgis, khususnya Ekaristi. Kemudian, kita juga akan melihat beberapa kritik dari umat tentang kotbah (homili) para gembala umat.

2.2 Apa Pendapat Umat tentang Kotbah (Homili) Pastor?
Dalam sebuah majalah rohani Katolik terdapat satu artikel yang berjudul: “HOMILI BIKIN NGANTUK DAN BINGUNG”. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa kotbah (homili) sering menjadi “obat tidur” dan membingungkan umat. Karena itu, pembawa kotbah (homili) dituntut untuk mengetahui dan mengenal kebutuhan serta situasi umatnya. Harapan dan tuntutan umat ini bukanlah tidak berdasar. Kotbah pastor sebagai obat tidur dan membingungkan umat ini sungguh terjadi dan sering kita jumpai. Pemicu utamanya adalah sang pastor kurang mengetahui dan mengenal umatnya. Hal ini berujung pada kotbah yang tidak mengena pada kehidupan konkret umat beriman kristiani setempat. Kenyataan seperti itu menyebabkan Liturgi Sabda yang seharusnya bisa mengantar umat untuk memasuki Liturgi Ekaristi seolah-olah berlalu begitu saja.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kotbah (homili) adalah salah satu bagian dalam perayaan Ekaristi yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat. Ironisnya, waktu yang ditunggu-tunggu itu justru menjadi kesempatan untuk beristirahat dari perayaan Ekaristi yang khusuk dan penuh konsentrasi. Waktu itu digunakan untuk bergosip, berbisnis, mengurus anak, pergi ke kamar kecil, bermain HP atau ber-SMS-ria, bahkan ada umat yang mengisi kesempatan ini untuk tidur sejenak sembari menunggu kotbah (homili) pastor selesai. Mengapa ini terjadi? Karena kotbah (homili) yang dibawakan membosankan dan tidak menarik.
Dalam satu tulisan lain yang berjudul: “HOMILI TIDAK MENARIK” dikatakan bahwa homili yang tidak menarik itu bukan persoalan serius. Umat tidak menuntut kepada para gembala umat untuk selalu membawakan kotbah (homili) dengan sangat menarik. Meskipun begitu seorang gembala umat harus tetap berusaha untuk mempersiapkan kotbah (homili) dengan baik supaya sungguh menjadi penjelasan yang bermakna bagi umat beriman seluruhnya. Kita harus mengakui juga bahwa pembawaan kotbah (homili) yang menarik juga terletak pada kharisma yang ada dalam diri seseorang. Tidak hanya itu, tingkahlaku dalam hidup sehari-hari juga sangat menentukan. Misalnya, ada seorang pastor yang sangat pandai dalam berkotbah (berhomili). Ia disebut pengkotbah ulung. Setiap hari umat selalu menunggu-nunggu kotbahnya. Tetapi beberapa bulan kemudian umat meninggalkannya. Mengapa? Karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan apa yang ia kotbahkan.
Sebagai perbandingan, di pihak lain, ada pengkotbah-pengkotbah yang pandai. Mereka menyampaikan kotbah (homilinya) dengan bahasa yang sederhana, tidak monoton, dan selalu memperhatikan nada dan ritme vokal yang menarik. Selain itu, mereka menggunakan ilistrasi-ilustrasi yang sungguh mengena dan membantu umat untuk memahami apa isi dan inti bacaan Kitab Suci yang baru saja didengar. Dan, tentu saja semua yang dikotbahkan dihidupi oleh pengkotbah sendiri.
Sebenarnya sumber persoalannya adalah pengkotbah itu sendiri. Karena itu setiap pengkotbah hendaknya mempunyai metode dan caranya sendiri yang dapat membantu pemahaman umat. Kenyataannya ada pengkotbah yang sangat monoton, tidak jelas arah kotbahnya, dan kurang kontak dengan umat. Kadang-kadang juga ilustrasinya tidak nyambung; dan ada juga yang kurang mengetahui situasi, kondisi dan kebutuhan umatnya. Melihat kekurangan itu, seorang pengkotbah hendaknya memperhatikan interaksi dengan umat, kotbah didukung dengan bahasa tubuh yang tepat, banyak ilustrasi, dan mampu menyegarkan suasana.
Kotbah (homili) yang kurang dimengerti oleh umat biasanya kotbah (homili) yang kurang jelas arahnya. Keadaan seperti itu bisa terjadi karena pengkotbah kurang persiapan. Jika hal ini belum terjadi maka pertahankanlah. Namun kalau hal ini terjadi maka umat akan mencari gereja yang pengkotbahnya dapat berkotbah (berhomili) dengan baik dan menarik. Bahkan umat akan mencari gereja-geraja lain (gereja-gereja Protestan) yang kotbahnya lebih menarik.
Memang, tugas dan tanggung jawab seorang pengkotbah sungguh berat. Tugas dan tanggung jawab yang berat itu terletak pada perannya sebagai seorang “guru”. Sebagai seorang “guru” yang mewartakan Sabda Allah, amatlah penting membangun “kharisma diri” melalui tutur kata, sikap dan tingkah laku dalam hidupnya sehari-hari. Jika kharisma yang terdapat di dalam dirinya telah melekat dan terus-menerus dikembangkannya, maka setiap kata yang diucapkannya akan didengarkan oleh umat. Umat akan mendengarkan kotbah seorang pengkotbah jikakalau apa yang dikatakannya menyentuh lubuk hati yang terdalam dan bisa membuka pintu hati umat untuk menerima Sabda Tuhan. Karena itu, kebanyakan umat lebih tertarik untuk mendengarkan pengkotbah yang baik hidup rohaninya dan dapat dipertanggungjawabkan.

2.3 Kotbah Mempersatukan atau Mencerai Beraikan Umat?
Gereja adalah persekutuan umat beriman Kristiani yang percaya kepada Kristus. Di Gereja umat beriman berkumpul untuk merayakan misteri karya keselamatan Allah . Dalam ekaristi imam bertindak atas nama Kristus dalam mempersatukan domba-dombanya serta membawa mereka ke sumber air hidup yang tenang. Di tengah kegelisahan hidup manusia dewasa ini, sabda Tuhan dapat dijadikan sebagai pedoman dan penyejuk jiwa manusia di kala dahaga. Kotbah yang disampaikan oleh pengkhotbah sangat bermanfaat untuk memberi pengharapan kepada umat beriman dalam menjalankan tugasnya di dunia ini.
Di beberapa tempat umat takut datang ke Gereja jika pastor “A” memimpin perayaan ekaristi. Setiap minggu umat selalu bertanya dalam kegelisahan; pastor siapakah yang akan memimpin perayaan ekaristi? Jika jawabannya “Pastor A” maka umat membatalkan niatnya untuk datang ke Gereja. Pastor “A” sering menjadi ancaman dan membatalkan niat baik atau kerinduan umat untuk mengikuti perayaan ekaristi.
Kita bertanya; apa yang menyebabkan umat beriman takut datang ke Gereja? Apakah karena pastornya ganas? Apakah karena kotbah pastor tidak menarik dan membuat kantuk? Semua jawaban itu ada benarnya. Tetapi yang membuat umat beriman tertentu merasa sangat ketakutan adalah khotbah pastor yang sering bernada mengancam, sinis dan menyindir secara terang-terangan. Kotbah pastor tidak memberikan pengharapan, khotbah pastor membunuh niat baik umat beriman untuk menghadiri perayaan ekaristi.
Umat sering mengeluh bahwa pastor suka mencari-cari masalah umat kemudian membesar-besarkannya di atas mimbar. Beberapa umat mengakui bahwa mereka memang bersalah. Perbuatan mereka terkadang bertentangan dengan hal-hal yang diajarkan oleh Gereja dan lain sebagainya. Mereka sadar dan menyesal atas perbuatan mereka. Yang membuat umat menjadi bingung adalah pernanan pastor sebagai gembalanya. Apakah pastor sebagai gembala tidak berkenan menerima pertobatan domba-dombanya? Cara apakah yang harus digunakan pastor untuk mencari dombanya yang tersesat? Umat bimbang dan tidak mengerti terhadap sikap pastor yang cenderung memperbesar kesalahan yang dilakukan oleh umatnya.
Persoalan ini terjadi karena pastor lupa pada identitas dirinya sendiri. Pastor atau imam adalah orang yang ditahbiskan secara khusus untuk mewartakan kabar gembira keselamatan kepada semua orang, namun Pastor sering kehilangan identitas mulia ini. Kabar gembira Allah selalu diinterpretasikan sesuai kehendaknya sendiri. Akibatnya sabda Tuhan sering dijadikan sarana untuk menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan serta kelemahan oranglain. Situasi di atas sering membuat umat sakit hati. Umat merasa dirinya disakiti oleh orang yang sesungguhnya mereka harapkan dapat membawa kekuatan dan pengharapan di setiap situasi hidup mereka.
Sebagian umat berkomentar, “kotbah pastor bukannya mempersatukan tetapi menceraikan umat”. Hal ini terjadi karena pastor sering kurang bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh umatnya. Karena alasan tertentu pastor sering condong pada pihak tertentu dan mengabaikan yang lain. Di kala umat beriman tidak rukun dan damai, Pastor tidak menjadi penengah yang baik.
Kasus di atas sering membuat sebagian umat merasa disakiti. Sikap Pastor yang kurang bijaksana terhadap situasi yang dialami umat sering membuat mereka malas datang ke gereja bahkan meninggalkan gereja untuk selama-lamanya. Hal itu juga membuat umat memisahkan diri dari Gereja dan meninggalkan kepercayaan yang diimaninya selama ini. Umat merasa bahwa dirinya bukan merupakan bagian dari Gereja Kristus yang Satu, Katolik dan Apostolik. Umat meninggalkan Gereja bahkan menjadi musuh Gereja.



III. Analisis-Refleksi Inklusif
3.1 Homiletika dalam Hubungannya dengan Gereja dan Beberapa Bidang Ilmu Lainnya
3.1.1 Homiletika Dalam Hubungannya Dengan Gereja
Di dalam Gereja Evangelisasi (Injili) khotbah itu mempunyai tempat yang sentral, karena tugas Gereja yang utama ialah mengabarkan Firman Tuhan di dalam dunia. Kesaksian Gereja terdiri dari berbagai macam bentuk seperti persekutuan (koinonia) dan pelayanan (diakonia). Selain itu, kesaksian Gereja juga berbentuk perkataan atau pengajaran (kerygma dan didache). Gereja dalam hubungannya sebagai saksi Kristus memegang satu tugas utama yakni mengabarkan Injil.
Ketika meninggalkan dunia ini Yesus Kristus bersabda: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah… dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:18-20). Melalui sabda ini Yesus ingin agar warta Injil (kabar gembira dari Yesus) diteruskan dan disampaikan kepada seluruh bangsa di dunia ini. Yesus ingin agar melalui pewartaan itu segala bangsa dapt memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Sabda Allah ini begitu bergema di dalam hati Rasul Paulus sehingga ia sanggup membaktikan seluruh diri dan kesanggupannya untuk meneruskan kabar gembira itu (berkhotbah). Tugas itu kemudian diserahkan kepada Gereja untuk meneruskannya. Dalam dan melalui Gerejalah pewartaan kabar gembira itu diwartakan. Tugas Gereja sebagai pelayan sabda merupakan suatu kewajiban dasariah yang menjamin kelanjutan hidup Gereja itu sendiri. Dalam dan melalui Gereja Kristus melanjutkan karya pelayanan Sabda-Nya. Berkaitan dengan hal ini, Konsili Vatikan II menandaskan bahwa: “… terutama melalui pelayanan para Uskup dan dibantu oleh para imam yang luhur, Ia (Tuhan Yesus Kristus) mewartakan Sabda Allah kepada semua bangsa…”(LG 21). Atas dasar inilah, berkhotbah merupakan tugas Gereja yang sangat luhur dan utama.
Dewasa ini penyampaian homili (khotbah) merupakan suatu bidang kegiatan yang sangat penting bagi Gereja demi melanjutkan pewartaan Kabar Gembira dan sekaligus merupakan sarana pembinaan iman umat. Dengan berkhotbah gereja dapat menjadi terbuka kepada masyarakat luas dan pewartaan Kabar Gembira itu dapat menjangkau banyak orang. Akan tetapi di sisi lain ada juga tantangan dan kesulitan yang kerap dihadapi oleh para pelayan sabda zaman ini. Tantangan dan kesulitan itu berkaitan dengan beberapa hal seperti: bagimana caranya menerjemahkan Sabda Allah ke dalam situasi konkret umat agar umat dapat mengerti dan menghayati Sabda Allah itu dalam hidup sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka; selain itu juga bagaimana mereka dapat menyampaikan Sabda Allah sebagai pegangan hidup yang mampu meneguhkan hati umat berhadapan dengan berbagai macam tawaran dunia dewasa ini. Kendati berhadapan dengan begitu banyak tantangan dan kesulitan, Gereja harus tetap teguh dalam menjalankan tugas pewartaan Injil. Pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus harus disampaikan kepada segala bangsa dalam dan melalui Gereja agar seluruh bengasa di muka bumi ini menikmati kebahagiaan dan keselamatan yaang hadir melalui Gereja-Nya.

3.1.2 Homiletika Dalam Hubungannya Dengan Beberapa Bidang Ilmu
3.1.2.1 Homiletika dalam Kaitannya dengan Teologi
Homiletika mempunyai hubungan yang erat dengan teologi seluruhnya dan segala jurusannya. Sebuah khotbah harus herus didasari dengan sebuah teologi yang baik, yaitu tidak boleh berbeda atau berselisih dengan eksegese yang sebenarnya atau ajaran-ajaran dogmatik. Akan tetapi khotbah jangan hanya diartikan sebagai sebuah uraian eksegese atau ajaran dogmatik semata. Alangkah baiknya dalam sebuah khotbah ada unsur ekseget dan ajaran dogmatik di dalamnya.
Ada beberapa macam jurusan teologi yang berhubungan dengan khotbah, yaitu eksegese, teologi historis dan teologi sistematik. Jurusan yang terpenting dalam homiletika ialah eksegese. Yang menjadi dasar atau sumber utama sebuah khotbah ialah Kitab Suci. Seorang pewarta harus terlebih dahulu berusaha menyelidiki nats khotbah (Kitab Suci) dengan saksama dan teliti. Yang disampaikan dalam khotbah ialah Firman Allah semata dan bukan pikiran atau tafsiran pribadi dari sang homilis. Oleh karena itu sang homilis harus terlebih dahulu menyelidiki, merenungkan serta memahami Sabda Allah yang hendak disampaikannya kepada umat. Dalam homili perlu juga diperhatikan jurusan teologi historis yang berkaitan dengan sejarah Gereja atau sejarah Dogma. Berbagai macam hal atau sejarah perjalanan Gereja dapat dijadikan sebagai contoh-contoh dalam berkhotbah. Teologi sistematis membantu seorang homilis dalam melihat keseluruhan Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosial, ekonomi dan politik. Dengan demikian homili yang akan disampaikan akan sangat relevan dengan kebutuhan atau kehidupan umat dalam zamannya.
3.1.2.2 Homiletika dalam Hubungannya dengan Liturgi
Khotbah merupakan suatu tindakan liturgis. Khotbah termasuk suatu bagian integral dalam perayaan liturgi yang dapat membangkitkan iman dan merayakan imannya. Ada orang yang beranggapan bahwa khotbah tidak mempunyai tempat dalam perayaan liturgi. Mereka merasa bahwa kitab suci yang diperdengarkan dalam perayaan liturgi hanya berupa informasi atau uraian tentang Kitab Suci yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang dialami dalam kehidupannya. Sabda Allah yang diperdengarkan seolah tidak menolongnya untuk merayakan kehidupannya. Dengan demikian Sabda Allah menjadi tidak bermanfaat sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai penopang suka duka kehidupannya.
Khotbah tak dapat terpisahkan dari perayaan liturgi khususnya liturgi sabda. Hal ini dipertegas dalam Dokumen Konstitusi Liturgi. Liturgi merupakan suatu perayaan kehidupan. Oleh karena itu khotbah juga bukanlah suatu pidato yang hanya menerangkan sebagian dari isi Kitab Suci, melainkan membagikan supaya kekayaan rohani yang terkandung dalam Kitab Suci itu dapat direnungkan, dihayati, dan dialami oleh umat dalam kehidupannya. Melalui liturgi khotbah itu disampaikan dengan baik agar Sabda Allah itu sungguh menggema dalam kehidupan umat beriman, serta dengannya umat beriman dapat merasakan sapaan Tuhan melalui Sabda-Nya itu.
Khotbah memiliki hubungan yang erat dengan liturgi yang merupakan suatu perayaan iman, di mana dipahami sebagai perayaan kehidupan yang telah lampau, kini dan nanti. Allah menyapa manusia dan manusia dituntut untuk menanggapi sapaan Allah itu. Hal ini hadur dalam perayaan liturgi. Melalui perayaan liturgi yang adalah perayaan kehidupan, sejarah keselamatan itu teraktualisasikan. Oleh karena itu dalam perayaan kehidupan itu sangat dibutuhkan sebuah khotbah yang menegur, menghibur, memimpin dan meneguhkan iman umat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khotbah dan liturgi mempunyai hubungan yang bersama-sama dapat membangun Gereja di dalam dunia dam masa.

3.1.2.3 Homiletika dalam Hubungannya dengan Ilmu Psikologi
Khotbah dapat juga dipahami sebagai suatu proses belajar secara psikologis. Bidang Psikologi dalam hubungannya dengan khotbah sangat membantu seorang homolis dan juga pendengar untuk dapat berpikir dan memahami secara kritis Firman Allah yang disampaikan dalam sebuah homili. Hal ini berkaitan dengan kegiatan mendengarkan. Dengan ini Firman Allah yang hendak diperdengarkan dapat tersampaikan dengan baik serta tidak menimbulkan suatu hal yang menyusahkan atau memberatkan.


Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dan ditawarkan dalam bagian ini, antara lain:
• Motivasi
Dalam bagian ini sang homilis mendorong dan memancing perhatian pendengar supaya tertarik mendengar khotbah yang dibawakan sampai akhir. Sang homilis mengajak pendengarnya untuk melihat masalah serta turut melihat dan mencari jalan keluarnya. Yang hendak dicapai dalam bagian ini ialah agar pendengar mampu menemukan diri dalam khotbah yang dibawakan serta merasa bahwa ia adalah subjek dalam khotbah tersebut: “yang berbicara tentang saya dan masalah hidup saya”.
• Pembatasan Masalah
Pada bagian ini sang homilis mengajak para pendengar untuk melihat masalah kehidupan yang berkaitan yang menjadi pokok yang hendak diuraikan dalam khotbah. Pengalaman hidup yang coba diuraikan dalam khotbah itu dikaitkan dalam hubungannya dengan Firman Allah yang disampaikan dalam Kitab Suci. Sabda Tuhan yang disampaikan dalam Kitab Suci dijelaskan dalam pengalaman hidup para pendengar.
• Diskusi
Bagian ini hendak membantu sang homilis untuk mengajak pendengar mencari jalan keluar. Akan tetapi sang homilis harus terlebih dahulu mempertentangkan beberapa macam jalan keluar, yakni dengan menyangkal beberapa jalan keluar yang hendaknya tidak boleh dipilih atau mungkin saja yang bertentangan dengan Sabda Tuhan yang disampaikan saat itu. Dengan demikian secara otomatis para pendengar akan berusaha memikirkan jalan keluar yang lain, selain daripada yang telah disampaikan oleh sang homilis.
• Menawarkan atau Menyodorkan Jalan Keluar
Dalam bagian ini sang homilis menyampaikan inti pokok yang mau disampaikan oleh Tuhan melalui Sabda-Nya. Di sini sang homolis memastikan suatu jalan keluar yang sesuai dengan Firman Tuhan. Sang homilis mengajak pendengar untuk merubah hidupnya yang kurang baik atau mengajak para pendengar untuk hidup seturut Firman Allah yang disampaikan.
• Memperkuat Jalan Keluar (Aplikasi)
Bagian ini dapat dikatakan sebagai kesimpulan akhir dari sebuah homili. Sang homilis mempertegas Firman Allah yang telah diperdengarkan. Pendengar dituntut untuk memperbaharui hidup dan berusaha hidup sesuai dengan Firman yanf disampakan oleh Allah sendiri. Sabda Tuhan dikonkretkan dalam pengalaman hidup pendengar sehingga Sabda Allah yang disampaikan itu sungguh dapat berdayaguna bagi kehidupan pendengar.

IV. Analisis – Refleksi Homiletis
Homili merupakan salah satu tugas pelayanan Gereja. Tugas ini merupakan tindakkan publik yang dilakukan oleh seorang kristiani yang telah menerima pembabtisan, mengalir dari kharisma roh pewartaan itu, dan dari keunikan pribadinya. Tindakkan publik tersebut dilakukan atas nama seluruh Gereja.
Homili adalah salah satu sarana pewartaan Sabda Allah. Dalam Gereja katolik, homili dipahami sebagai pewartaan Sabda Allah dalam konteks perayaan Ekaristi. Sabda Allah adalah Kabar Gembira yang diwartakan oleh seorang imam kepada umat Allah. Sudakah para imam mewartakan Kabar Gembira itu? Ini adalah tantangan berat yang dihadapi Gereja saat ini.
Problem bahwa banyak umat tidak mau lagi ke gereja karena homili pastornya kurang menarik. Seorang gembala perlu mengenal umatnya, sehingga bisah mempersiapkan homilinya dengan baik. Kebanyakan umat datang ke gereja dengan berbagai persoalan, mereka ingin sedikit dibebaskan dari berbagai tekanan hidup sehari-hari. Tidak mengherankan, jika umat menyukai homili yang lucu dan menghibur. Sayang sekali, harapan semacam ini tidak dilihat sebagai masalah serius oleh seorang imam ketika ia membawakan homili.
Masalah homili yang terjadi pada zaman sekarang adalah para imam telah jauh dari misi Kabar Gembira Tuhan. Pernah dan bahkan sering sekali kita jumpai homilis yang tidak hormat kepada umat ketika menyampaikan homilinya. Para imam justru memanfaatkan homili sebagai sarana untuk mengkritik atau menghajar umat, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Sikap semacam ini kadang kala berhubungan dengan persoalan dalam Gereja. Akhirya umat menjadi sasaran ketidak puasan. Di sini tidak ada lagi kejelasan antara ketidak puasan pribadi dengan peneguran dosa. Dalam hal ini, Sabda Allah lebih ditafsirkan menurut keinginan sendiri, sehingga Kabar Gembira Tuhan tidak kena sasaran dan membangun iman umat. Sabda Tuhan yang disampaikan dalam homili tidak lagi sebagai Kabar Gembira melainkan kabar yang bikin sakit hati. Peristiwa semacam ini sangat disesalkan. Persoalan inilah yang menjadi faktor utama mengapa umat tidak mau lagi ke gereja.
Bagi kebanyanyakan umat katolik, homili hari minggu merupakan satu-satunya cara untuk penyegaran iman. Jadi, homili yang dibawakan oleh seorang imam diharapkan dapat menyentuh kehidupan sehari-hari umat, homili yang dibawakan tidak terlalu panjang, dipersiapkan dengan baik, dan dibawakan dengan menarik. Apabila masalah seperti ini tidak diperhatikan oleh seorang imam dalam homilinya, maka umat akan semakin menjauh dari Gereja. Akibatnya umat akan beralih ke tempat lain yang lebih menarik dan mampu memberikan kesegaran rohani, misalnya dengan “jajan rohani” dan sebagainya. Seorang imam yang menyampaikan homili pertama-tama harus sadar bahwa dialah penerima pertama pesan dari Firman Tuhan. Pesan yang ia terima diteruskan kepada umat sedemikian rupa, sehingga apa yang ia sampaikan dapat menyentuh hati umat atau menceraikan umat..
Seorang imam yang membawakan homili harus tahu apa tujuan dari homili tersebut. Pertama-tama harus disadari bahwa homili adalah menyampaikan pesan Tuhan agar iman bertumbuh. Pesan tersebut harus didasarkan pada Kitab Suci dan mesti di kontekstualisasikan dengan kehidupan umat. Kedekatan dengan umat juga merupakan suatu tantangan. Kena tidaknya Homili di hati umat tergantung sejauh mana kedekatan seorang imam dengan umatnya.
Seorang imam harus tahu apa masalah dan tantangan yang di hadapi oleh umat. Seorang imam harus tahu tentang umatnya, di mana dia bekerja, apa persoalan yang dihadapinya dan sebagainya. Dengan demikian pewartaan Sabda Allah yang disampaikan oleh homilis, benar-benar menyentuh dan membawa umat lebih dekat kepada Allah. Imam yang kurang mengenal dan menggumuli persoalan umat, homilinya pun menjadi dangkal.
Sebagai seorang imam dan calon imam, pertama-tama kita harus sadar atas tugas mulia yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Sadar bahwa Tuhanlah yang memanggil kita. Oleh karena itu, marilah kita membaharui diri dengan berbagai hal yang berguna demi membangun iman umat. Selain itu, seorang imam maupun calon imam yang sedang mempersiapkan diri, dituntut untuk mampu melihat apa masalah-masalah yang dihadapi oleh umat. Dengan demikian, Sabda Allah yang disampaikan melalui mimbar menjadi nyata dan membangun iman umat.

V. Tindakkan pastoral
Dalam Gereja evangelis (injili) kotbah itu mendapat tempat yang sentral, sebab tugas Gereja ialah mewartakan Sabda Allah di dunia. Meskipun kesaksian Gereja di tengah-tengah dunia terdiri dari perkataan (kerygma), pelayanan (diakonia), dan berbentuk persekutuan (koinonia), tetapi pewartaan injil merupakan tugas utama daripada saksi Kristus.
Injil merupakan Sabda Allah yang hidup dalam bahasa manusia. Melalui injil, Allah menyapa dan berbicara kepada manusia dengan perantara manusia yang menulisnya pada tempat, waktu dan zaman itu. Meskipun demikian, Sabda Allah senantiasa diwartakan kepada manusia sebab dari situlah Allah secara real menyapa manusia.
Manusia dituntut untuk memahami kehadiran Allah dalam setiap pengalaman hidupnya yang didasarkan pada Sabda Allah. Oleh karena itu, Sabda Allah yang diwartakan merupakan sapaan Allah kepada manusia. Karena itu, semua isi Sabda Allah telah diwartakan oleh manusia sesuai keadaan penulis (bakat dan pendidikan) dan sesuai dengan tempat dan zamannya (bahasa, adat istiadat dan kebudayaan serta cara yang lainnya).
Dengan demikian, Sabda Allah yang diwartakan dapat menuntun manusia, agar mengenal cinta dan belas kasih Allah dan memperoleh keselamatan. Kehadiran Allah secara real dapat membimbing dan mendidik umat-Nya dalam setiap pengalaman hidup. Hal ini dilakukan-Nya sebagai tindakan kasih dan cinta-Nya bagi manusia. Sebab Ia sendiri menginginkan agar lewat kehadiran-Nya manusia dapat menerima dan mematuhinya sehingga akhirnya manusia memperoleh kebahagiaan.
Sapaan Allah kepada manusia tentunya tidak semuanya dapat dimengerti dan diketahuinya. Meskipun demikian, ada sekelompok orang yang memahami Sabda Allah karena menjalin relasi yang erat dengan Allah. Mereka ini dipanggil dan dipilih Allah untuk melanjutkan misi atau karya pewartaan Injil kepada segenap bangsa. Dari antara mereka, ada yang terpelajar, pandai bercerita, pandai berrbahasa, dan ada yang mahir dalam bahasa sederhana. Mereka ini dianggap mampu mewartakan injil dan Allahlah yang mendorong hati mereka menuntun manusia yang lain untuk sampai pada pemahaman akan Sabda-Nya. Mereka itulah rasul-rasul dan murid-murid yang terpanggil dan terpilih.
Tugas pewartaan mereka tidak hanya tetap pada zaman tertentu, tetapi terus-menerus diwariskan sebagai saksi Allah yang hadir dalam kehidupan manusia. Tugas para rasul dan para murid itu diterima baik oleh Gereja dan dilanjutkan sebagai misi dan karya pelayanan yang nyata di tengah-tengah umat. Dalam penggembalaan, tentunya Allah senantiasa mengutus roh-Nya untuk menuntun Gereja sebagai saksi dan utusan Allah kepada manusia. Gereja melanjutkan misi itu dalam tindakan pastoral yang sungguh-sungguh menyapa umat beriman. Kehadiran Gereja di tengah-tengah dunia merupakan suatu tindakan nyata bahwa Allah hadir dalam realitas hidup manusia. Tugas Gereja itu diteruskan oleh para gembala (pelayan umat-rohaniwan-rohaniwati) dalam bentuk lisan dan tertulis. Salah satu bentuk pewartaan itu adalah kotbah yang dilakukan dalam setiap perkumpulan (persekutuan Gereja).
Melihat realitas di atas, kotbah merupakan salah satu bentuk penyampaian lisan tentang Sabda Allah. Kotbah yang disampaikan kepada umat beriman memiliki daya kekuatan sebagai sarana untuk membangun diri ke arah yang lebih baik. Kotbah merupakan penyataan Kerajaan Allah sebagaimana telah disaksikan dalam Kitab Suci (KS). Pemberitaan ini bertitik tolak dari kisah wafat dan kebangkitan Kristus.
Meskipun demikian, kotbah sering disalahgunakan sebagai sarana untuk mementingkan diri daripada Sabda Allah. Hal ini tampak dalam permasalahan di atas. Kotbah tidak lagi bernuansa Sabda Allah yang menggembirakan melainkan dapat menimbulkan suatu keterpisahan antara umat beriman. Kotbah dimengerti sebagai suatu penyampaian yang mengarah pada kebutuhan atau karena kepentingan tertentu. Hal ini tidak didasarkan pada nilai atau isi Sabda Allah bagi manusia.
Melihat realitas kesalahgunaan tersebut, kita patut mengambil suatu tindakan yang bersifat pastoral. Para pengotbah hendaknya kembali pada makna dan isi pewartaan yang sesungguhnya. Tindakan pastoral itu direalisasikan melalui beberapa cara, antara lain program atau aksi, sosiailisasi, dan gerakan (tindakan) untuk menuju suatu pemahaman yang baru mengenai kotbah. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk partisipasi kita untuk semakin memahami dan memaknai isi Sabda Allah dalam kenyataan hidup menggereja.

1. Program
Dengan melihat masalah penyampaian Sabda Allah (kotbah) dalam lingkungan Gereja, maka kita perlu membuat suatu program untuk kotbah yang mengarahkan umat pada isi Sabda Allah. Program itu merujuk pada suatu persiapan menyangkut bahan (isi kotbah) dan dalam penyampaian (pengkotbah).
• Persiapan Kotbah
Pengkotbah hendaknya mempersiapkan bahan yang diperolehnya dari peristiwa dan pengalaman hidup umat beriman dalam masyarakat dan Gereja. Selain itu, bahan dapat juga diperoleh dari bacaan-bacaan rohani dan lainnya serta diskusi dengan orang lain. Namun sebulumnya, pengkotbah harus terlebih dahulu mempelajari isi Kitab Suci yang berkaitan dengan bacaan yang akan dikotbahkan. Maka para pengkotbah tentunya memikili penangalan tahun liturgi Gereja.
• Menyusun dan Merancang Kotbah
Setelah pengkotbah mempersiapkan bahan kotbah, hendaknya ia dapat menyusun dan merumuskan isi dan makna Sabda Allah yang hendak disampaikan. Kotbah yang disusun hendaknya merujuk pada Sabda Allah yang hidup, maksudnya di dalamnya bernada kebahagian yang membawa keselamatan. Hal ini merupakan dasar dari pengertian Injil yakni Kabar Gembira. Kotabah yang disusun dan yang sudah dirancang itu, tentunya sudah disediakan dalam bentuk tulisan agar mempermudah dalam penyampaiannya.
• Menguasai Teks Kotbah
Setelah pengkotbah menyusun kotbah, ia harus menguasainya secara lebih mendalam. Teks kotbah yang sudah ditulisnya harus dibaca beberapa kali sebelum berkotbah. Ini berarti bahwa Inti dan makna kotbah sudah dikuasainya agar pesan yang hendak disampaikan lebih mudah dipahami.
2. Sosialisasi
Para pengkotbah umumnya sudah memiliki suatu skema yang tetap dalam berkotbah. Hal tetsebut berguna untuk membantu umat beriman agar lebih mudah memahami isi Sabda Allah. Tetapi melihat realitas kehidupan menggereja zaman sekarang kotbah terkadang disalahgunakan, seperti dalam masalah yang dibahas di atas.
Untuk itu, para pengkotbah hendaknya memiliki suatu skema sebagai patokan agar penyampaian Sabda Allah tidak terlepas dari inti dan maknanya. Di bawah ini ditawarkan beberapa point penting dalam berkotbah, antara lain skema kotbah, ciri-ciri kotbah yang baik, dan cara membawakan kotbah. Hal ini merupakan satu bentuk sosialisasi bagi para Pengkotbah.
• Skema Kotbah
Salah satu skema dalam mempersiapkan kotbah adalah Skema Pendalaman. Ini berarti, kotbah dimulai dengan suatu penjelasan yang luas dan menarik. Berawal dari penjelasan itu, pengkotbah mulai mempersempit dan memperdalam inti Sabda Allah yang disampaikan sebagai suatu kesimpulan dengan makna yang mendalam.
• Ciri-ciri Kotbah yang baiks
Ciri-ciri kotbah yang baik meliputi beberapa bagian, antara lain:
a. Kotbah yang menarik
Kotbah yang disampaikan dikatakan baik apabila kotbah itu menarik dan berkesan. Dalam arti ini, pengkotbah dapat menyampaikan tema yang mengesankan, yang merupakan suatu kesaksian hidup pengkotbah dan dibawakan sehingga tidak membosankan. Kotbah yang disampaikan adalah pengalaman hidup yang sudah direfleksikannya dalam terang Roh Kudus.
b. Kotbah yang singkat, padat dan memiliki tujuan yang jelas
Pengkotbah hendaknya membeberkan isi Sabda Allah dengan singkat dan jelas, tidak bertele-tele. Tujuannya agar pendengar dan pengkotbah mudah memahami isi Sabda Allah dan mengaplikasikannya dalam hidup.
c. Cara membawakan kotbah
hal utama dalam membawakan kotbah adalah maksud dan tujuan isi kotbah tersebut. Maksudnya ialah semangat atau roh yang menjiwai para Pengkotbah dalam berkotbah. Hal ini merujuk pada isi yang hendak disampaikan.
Pengkotbah hendaknya mempersiapkan diri terlebih dahulu (menyangkut gerak-gerik, mimik, suara dan sikap badan) sehingga tidak menimbulkan suatu yang tidak diinginkan dan menarik perhatian umat untuk mengikuti serta memehami isi kotbah yang dibawakan.
3. Gerakan atau tindakan nyata
Kotbah merupakan suatu bentuk pewartaan yang lisan yang disampaikan kepada umat beriman. Pewartaan itu merupakan tindakan nyata Gereja yang menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Untuk itu, Gereja hendaknya mempersiapkan tenaga-tenaga pastoral yang berbakat, trampil dan berintelektual dalam pewartaan Injil. Tujuannya agar misi Kerajaan Allah dapat dirasakan dan dialami oleh umat beriman.
Adapun hal-hal penting bagi para pengkotbah yang perlu diketahuinya, yakni sebagai imam yang menguduskan umat, sebagai nabi yang mengajar dan menggembalakan umat, sebagai raja yang memimpin umat. Ini merupakan tiga tugas utama para gembala yang dipanggil dan dipilih sebagai alat Allah.
Para pengkotbah sebagai alat yang menghadirkan Kerejaan Allah, hendaknya menyampaikan Sabda Allah lewat berkotbah (kata dan tindakannya). Merekalah yang mendorong dan mengarahkan, membimbing dan menuntun umat kepada Allah bersama dan dalam Gereja. Dengan demikian, Gereja secara nyata menghadirkan Allah di tengah-tengah umat beriman melalui karya dan pelayanan postoral.

VI. Penutup
Banyak orang mengatakan bahwa kotbah (homili) yang menarik dan tidak menarik tergantung pada pengkotbahnya. Harapan umat dari seorang pengkotbah pertama-tama membangun kharisma diri dengan kata, sikap dan tindakannya sebagai seorang pewarta Sabda Allah dalam hidupnya. Dengan demikian hidupnya harus menjadi kotbah (homili) yang baik bagi umatnya. Jadi, kotbah (homili) yang baik adalah hidup pengkotbah itu sendiri.
Memang, dalam kenyataan sehari-hari, kita akan menemukan kotbah (homili) yang menarik dan yang tidak menarik. Sebagai suatu seruan, kami berharap agar kotbah (homili) yang tidak menarik tidak mengurangi minat kita terhadap Ekaristi. Sebab, puncak perayaan Ekaristi terletak pada konsekrasi, perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus secara sakramental. Umat beriman harus lebih memahami bahwa puncak iman Kristiani Ekaristi karena melalui ekaristi kita merayakan karya keselamatan Allah.

Sabtu, 10 Desember 2011

FUA PAH: RITUS KEPERCAYAAN MASYARAKAT DAWAN – TIMOR KEPADA WUJUD TERTINGGI (Oleh: Erick Sila)

I. Pedahuluan Suku Dawan adalah salah satu suku terbesar dari beberapa suku lain: “Tetun, Bunak, Helon, Kemak, Rote dan Sabu. Suku Dawan menempati seluruh wilayah Timor Barat yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat suku Dawan hidup dalam kelompok-kelompok berdasarkan kanaf (marga). Setiap kanaf memiliki adat istiadatnya masing-masing. Masyarakat Timor Dawan disebut juga sebagai orang atoni (manusia). Orang atoni biasanya hidup di daerah pedalaman yang bersifat amat kering. Masyarakat Dawan umumnya bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, hidup mereka sangat tergantung dari alam. Alam dapat membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia dan juga bisah mendatangkan malapetaka. Hal ini tergantug bagaimana manusia mengusahakannya. Untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Dawan meiliki berbagai tradisi lisan. Tradisi-tradisi lisan tersebut umumnya berkaitan erat dengan bahasa-bahasa ritual dan upacara formal dalam masyarakat tersebut. Kehidupan masyarakat Dawan meliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian, yang juga berhubungan erat dengan keyakinan religius tradisional. Kehidupan masyarakat dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus primitif dalam setiap kegiatan hidup mereka. Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat Dawan primitif itu yakni fua pah. Ritus ini diciptakan untuk menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Fua pah adalah salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem kepaercayaan masyarakat Dawan mengenai (Tuhan, Roh, Alam Semesta, Bumi dan Kerja). Fua pah merupakan penyembahan terhadap wujud tertinggi yang tidak diketahui dan dijangkau oleh daya nalar manusia. Akan tetapi, kehadiran dari wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang dasyat yang melebihi kekuatan manusia. Hal ini tidak akan kita pahami tanpa mengetahui hubungan antara bercocok tanam, Tuhan, dan pemujaan terhadap roh dalam ritus fua pah itu sendiri. Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat dalam ritus ini. II. Pola Hidup Masyarakat Dawan Masyarakat Dawan yang hidup di daerah pulau Timor umumnya hidup dalam kelompok-kelompok, membentuk komunitas berdasarkan kanaf (marga). Komunitas ini hampir bersifat ekslusif dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Masyarakat Dawan pada umumnya hidup dengan bercocok tanam dan beternak. Hal ini merupakan pengaruh yang sangat besar dari komposisi tanah, iklim dan sumber air di wilayah tersebut. Keadaan tanah berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur sangat sulit bagi tumbuhnya vegetasi penutup. Pada saat musim hujan keadaan tanah banyak mengandung air dan mengembang ketika sudah penuh dengan air hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat sulit menemukan sumber air di daerah-daerah yang lebih rendah. Faktor-faktor alam seperti inilah yang mebuat masyarakat lebih memilih tinggal di daerah-daerah pegunungan yang banyak air. Daerah pegunungan merupakan pusat pemukiman dan pusat pertanian. Daerah pegunungan merupakan pusat pengembangan usaha tani lahan kering yang di dominasi oleh tanaman palawija dan jagung. Daerah atau wilayah yang keadaan tanahnya berupa tanah liat umumnya digunakan sebagai bahan dasar untuk kerajinan. Misalnya membuat periuk dari tanah liat, patung-patung, pot bunga, asbak rokok, dan jenis kerajinan tangan lainnya yang memiliki nilai jual yang tinggi. Sementara untuk tempat pertanian, umumnya mereka memilih dataran tinggi sebagai tempat mengembangkan usaha pertanian. Masyarakat Dawan mengembangkan usaha pertanian di daerah pegunungan; berpindah-pindah tempat dengan sistem tebas-bakar. Itulah sebabnya, pusat pemukiman masyarakat Dawan umumnya ditemukan di wilayah-wilayah pegunungan yakni di daerah pedalaman pulau Timor yang kondisi tanahnya sangat kering. Maka tidak mengherankan bagi kita apabila orang Dawan menamakan dirinya Atoni Pah Meto, yang artinya “Orang daerah kering” atau “Orang tanah kering”. III. Konsep Allah Menurut Masyarakat Dawan Jauh sebelum agama Kristen masuk ke Pulau Timor, masyarakat Dawan telah memiliki konsep tentang “Yang Ilahi”. Pengalaman akan “Yang Ilahi” dialalami dalam seiap kegiatan hidup manusia. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu masyarakat Dawan mengahadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional. Apa yang dialami dalam kehidupannya ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki. Ia adalah misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak disangkal kebenarannya dalam setiap pengalaman manusia. Oleh karena itu, masyarakat Dawan menyebut “Yang Tertinggi” itu dengan sebutan Uis Neno. Selain Tuhan langit, Masyarakat Timor Dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi atau penguasa alam semesta. Tuhan bumi ini disebut Uis Pah atau Pah Tuaf (pah artinya dunia atau alam). Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf diakui membentuk satu kesatuan ilahi. Walaupun demikian superioritas Uis Neno tetap nyata. Kuasa Uis Neno melampaui kekuasaan dewa manapun. Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki sifat yang berbeda. Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara dan Mahakuasa. Uis Pah atau Pah Tuaf diaggap sebagai pembawa malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan berbagai upacara ritual. Salah satu upacara ritual seperti yang akan kita lihat pada bagian berikut adalah upacara Fua Pah. A. Uis Neno (Tuhan ) Uis Neno berasal dari kata Uis atau Usi artinya Raja, Tuan, Yang Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit, Yang tertinggi. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan”. Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa Tertinggi”, memiliki kekuatan yang lebih tinggi, dan berkuasa atas langit dan bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan”. Uis Neno dianggap sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta. Uis Neno juga digambarkan sebagai Apinat ma Aklaat atau “Yang Bernyala dan Yang Membara”, Afinit ma Amnaut atau “Yang Tertinggi dan Yang Mengatasi Segala Sesuatu”. Uis Neno juga diyakini sebagai pemberi Manikin ma Oetene atau “Yang memberi kita makanan dan kesehatan”. Uis Neno tidak boleh disebutkan namanya secara langsung. Ia adalah dewa pemberi hujan, sinar matahari, atau untuk medapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan. Dalam tradisinya, Uis Neno adalah Dewa yang paling istimewa dari dewa-dewa lain yang ada dalam masyarakat suku Dawan.  Asal Usul Pemberian Nama Uis Neno adalah “Dewa Tertinggi” yang tidak dapat disebutkan namanya secara langsung. Ia adalah “Tuhan” yang berkuasa atas langit dan bumi. Kepada “Dewa Tertinggi” ini, masyarakat Dawan Menyebutnya sebagai Uis Neno, Tuhan hari atau langit. Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Dawan Kristen” adalah para msionaris pada zaman penjajahan Portugis. Akan tetapi, Uis Neno di sini dimengerti sebagai “Raja Langit” orang Dawan sendiri tidak pernah menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam berbagai upacara keagamaan, sebutan untuk Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama atau sebutan lain seperti Uis Pah atau Uis Naijan (raja bumi atau daratan, tanah). Hal ini mau menunjukkan pola pikir masyarakat Dawan sebagai dualitas paralel komplementaris. Walaupun demikian, sebutan-sebutan ini tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, melainkan harus selalu didahului oleh nama Uis Neno. Oleh karena itu, kita sering menjumpai sebutan seperti Uis Neno Uis Pah atau Uis Neno Uis Naijan. Masyarakat Dawan tetap mempertahankan pemahaman ini dengan tujuan menjaga dan mengakui aspek transendensi dan imanensi. Uis Neno diyakini sangat jauh di atas langit namun dekat. Kedekatannya diperlihatkan dalam alam yang diwakili oleh dewa-dewinya.  Peranan Uis Neno Bagi Masyarakat Dawan Kehadiran Uis Neno bagi masyarakat Timor Dawan lahir dari pengalaman perjumpaan dengan ciptaan yang lain. Pengalam itu dirasakan sebagai sesuatu yang menggetarkan dan melampaui daya nalar manusia. Pengalaman inilah yang membuat masyarakat Timor Dawan sampai pada suatu kesimpulan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dimengerti itu adalah Tuhan, yang bagi masyarakat Dawan adalah Uis Neno. Kehadiran Uis Neno menurut pemahaman masyarakat Timor Dawan adalah melalui air, tanah, langit, serta benda-benda alamiah lainya seperti batu besar, pohon beringin yang dianggap memiliki kekuatan dan dianggap sakral. Uis Neno yang adalah pencipta dan pemelihara sangat berperan dalam hidup manusia. Peran Uis Neno dalam masyarakat Dawan, dilihat berdasarkan sifat-sifat ilahi-Nya yakni: 1. Apinat ma Aklaat: menyala dan membara Hal ini mengindikasikan Uis Neno dengan matahari. Kekuatan panas dan cahaya matahari yang dasyat tidak dapat ditandingi oleh kekuatan panas atau cahaya manapun. Uis Neno yang adalah Mahakuasa tidak dapat dilampaui oleh kuasa manapun. Uis neno adalah matahari dan cahaya sejati. 2. Amoet ma Apakaet: pencipta dan pemelihara Uis Neno adalah Tuhan pencipta alam semesta beserta segala isinya. Ia adalah penyebab segala sesuatu. Dia adalah penguasa langit dan bumi dan segala mahkluk harus tunduk kepada-Nya. 3. Alikin ma Apean: pembuka jalan dan mengatur kehidupan Uis Neno adalah penyebab awal dari segala sesuatu. Dia yang pertama memulai segala sesuatu dan segala mahkluk tergantung kepada-Nya. Ia juga yang mengatur seluruh perjalanan hidup manusia. Ia adalah alva dan omega, awal dan akhir. B. Uis Pah atau Pah Tuaf (Dewa Bumi) Uis Pah adalah sebutan untuk roh yang dianggap berkuasa atas tanah. Menurut kerpercayaan masyarakat Dawan, roh-roh tersebut adalah penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, sungai dan gunung. Dewa ini dianggap sebagai dewi wanita yang mendampingi Uis neno. Setiap roh yang mendiami tempat-tempat tersebut di atas memiliki peranannya masing-masing. “Roh-roh dan dewa-dewi ini, menurut H.G. Nordholt Schulte adalah berbagai variasi manifestasi dari dewa tertinggi orang Dawan Uis Neno […] dewa tertinggi ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai jenis dewa-dewi rendah lainya dan diberi wewenang untuk menangani daerah-daerah atau bagian-bagian kehidupan tertentu”. IV. Ritus Bercocok Tanam Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan umumnya bertani berpindah-pindah tempat. Untuk persiapan lahan, masyarakat Dawan harus melewati beberapa tahap berikut: “(1) tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam (tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)” . Penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau) Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan. Hal ini bertujuan untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat penggunaan parang. b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo) Tiga minggu berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar. Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Dipilih pada sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya. Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna simbolis, yaitu menyeimbangkan kembali kekuatan-kekuatan alam. Bumi yang panas akibat pembakaran kebun memjadi dingin kembali. Dengan demikian mereka berbesar hati untuk mendapatkan hasil yang berlimpah. c. Tahap Menanam (tapoen fini buke) Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih tersebut. Sebelum dimohonkan berkat, benih-benih tersebut diletakan di atas sebuah altar batu. hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari serangan semut dan binatang-binatang lain. d. Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e) Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini dilangsungkan secara sederhana dengan mempersembahkn seekor hewan korban. Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan lebat. e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan) Ketika tiba waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan. V. Tradisi Fua Pah Telah dikatakan bahwa selain Tuhan tertinggi (Uis Neno), masyarakat dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi (Uis Pah atau Pah Tuaf). Telah dikatakan juga bahwa keduanya memiliki sifat khasnya masing masing. Uis Neno memiliki sifat-sifat yang baik sedangkan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki sifat-sifat yang tidak baik atau merugikan. Oleh karena itu, manusia harus mengambil hati mereka denagan mengadakan upacara-upacara ritul.  Pengertian Tradisi Fua Pah Secara etimologis, Fua Pah berasal dari akar kata kerja fuat yang artinya menyembah, menengadah, dan memohon dengan harapan doa dikabulkan, sedangkan Pah artinya bumi, dunia atau alam. Dalam kaitannya dengan dunia agraris, Fua Pah bearti menyembah raja atau penguasa bumi atau alam. Upacara ritual Fua Pah adalah sebuah upacara penyembahan kepada Tuhan Tertinggi dengan mempersembahkan sesajen. Upacara ini dilaksanakan dengan berbagai intensi sesuai dengan kebutuhan misalnya ketika hendak membuka lahan pertanian yang baru, syukur atas hasil panen dan sebagainya. Tempat yang biasa digunakan untuk melangsungkan upacara ini adalah di gunung atau di ladang. Tempat-tempat semacam ini dianggap memiliki kekuatan dan dianggap suci. Anggapan akan tempampat-tempat suci seperti gunung, bukit, dan batu besar tidak hanya diakui oleh masyarakat Timor Dawan melainkan juga oleh berbagai suku di Indonesia.  Ritus Fua Pah Fua Pah adalah salah satu upacara ritual masyarakat Timor Dawan terhadap Uis Neno atau uis pah atau Pah Tuaf sebagai penguasa langit dan bumi. Upacara ritual ini dilaksanakan pada saat masyarakat Timor Dawan hendak mepersiapkan lahan pertanian yang baru maupun syukur atas panenan yang baru. Masyarakat Timor Dawan percaya bahwa Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaflah yang menyebabkan semua hasil panen yang melimpah maupun terhadap gagalnya panenan. Upacar ritual ini biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap suci dan memiliki kekuatan gaib seperti gunung, bukit, batu besar, dan pohon beringin yang besar. Tempat-tempat semacam ini diakui oleh masyarakat Timor Dawan sebagai tempat Uis Neno maupun Uis Pah atau Pah Tuaf mewahyukan diri. Di tempat-tempat inilah masyarakat Timor Dawan melaksanakan upacara ritual ini. Orang yang berperan penting dalam upacara ritual ini adalah tobe yakni “imam”. Orang yang berperan sebagai “imam” dalam upacara ritual ini adalah tua adat atau kepala suku yang dituakan dalam masyarakat Timor Dawan. Dalam upacara ritual ini, hal-hal yang diperlukan ialah hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), muti atau iun leko (kalung orang Dawan yang terbuat dari batu berwarna merah ada juga yang terbuat dari emas), puah ma manus (sirih-pinang), tua nakaf (sopi kepala, minuman keras terbaik orang Dawan). Puah-manus dan tua nakaf berfungsi sebagai komunikasi religius dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno dan yang terakhir adalah bete-tais (kain sarung orang Dawan). Upacara ritual untuk mempersembahkan kurban kepada Uis Neno ini dilasanakan sebanyak lima atau enam tahap mulai dari persiapan lahan pertanian yang baru sampai pada tahap menuai. Pada bagian ke IV telah kita lihat kelima tahap kegiatan pertanian yakni: Tahap menebas hutan atau membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo), Tahap Menanam (tapoen fini buke), Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka ho’e), dan Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan). Upacara ritual ini dilaksanakan dengan pembacaan doa atau mantra untuk menunaikan pujian, permohonan dan syukur kepada Uis Neno. Doa-doa atau mantra dalam masyarakat Timor Dawan disebut sebagai lasi tonis. Doa atau mantra ini disampaikan oleh seorang tobe atau “imam”, tua adat yang mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan memiliki peranan penting dalam segala upacara adat maupun upacara seremonial lainnya. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan adalah orang yang terberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Segala ucapan doa atau mantra yang disampaikan oleh seorang tobe memiliki kekuatan yang dianggap melebihi sebuah mata pedang. Kata-kata doa atau mantra yang disampaikan oleh tobe dianggap mujarab dan menyampaikan kebenaran. Setelah pembacaan lasi tonis (doa atau mantra) oleh tobe, upacara ritual ini dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Darah dari hewan kurban tersebut dioleskan pada sebuah faot bena atau (batu plat) yang telah disediakan dan berfungsi sebagai mesbah. Selain pada faot bena, darah hewan kurban tersebut juga dioleskan pada benih yang akan ditanam. Setelah itu, daging hewan tersebut di masak untuk kemudian dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf. Daging yang akan dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf harus dipilih daging yang terbaik. Untuk hewan yang berkaki empat seperti sapi, kambing dan babi daging terbaik untuk persembahan adalah hati dan daging has, sedangkan untuk unggas seperti ayam harus daging bagian paha dan dada. Daging tesebut kemudian di letakkan bersama dengan nasi diatas mesbah sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf dengan pembacaan lasi tonis khusus. Lasi tonis khusus tersebut berisi undangan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf bahwa sajian telah siap dan kiranya Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf berkenan menerimanya. Setelah tobe menyampaikan lasi tonis sajian tersebut, sajian itu wajib dimakan oleh “umat” yang hadir.  Fungsi Ritual Fua Pah Upacara dan tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi. Fungsi-fumgsi tersebut berkaitan erat dengan hal-hal mitis yang melatar belakanginya. Keempat fungsi ini tidak hanya berciri mitis tetapi terutama berciri sosiologis. Keempat fungsi itu adalah sebagai berikut:  Fungsi Magis. Fungsi ini berkaitan erat dengan pengunaan bahan-bahan dalam upacara Fua Pah yang diyakini bekerja karena adanya daya-daya mitis. Misalnya ramalan melalui hati hewan. Dari hati hewan kurban, dapat diketahui apakah permohonan dan doa-doa kita diterima atau tidak. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakkan magis, yang melaluinya manusia dapat mengetahui kehendak dari yang ilahi (Uis Neno atau Uis Pah/Pah Tuaf). Melalui upacara Fua Pah, masyarakat Timor Dawan bermaksud untuk mengambil hati Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan bahasa puisi lasi tonis yang indah dan melalui persembahan hewan kurban.  Fungsi Religius. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebuah tindakkan yang dapat digolongkan sebagai sebuah tindakkan religius yang bersifat kreatif dan memiliki dimensi sosial. Dalam upacara ini, seluruh anggota masyarakat berkumpul bersama kepala suku dan secara kreatif mempersembahkan upacara ini demi kepentingan bersama. Para leluhur kita juga melalukan hal semacam ini dan itu dianggap kudus. Oleh karena itu, ritus Fua Pah dalam masyarakat Timor Dawan juga memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat timor Dawan.  Fungsi Faktitif. Fungsi ini bekaitan erat dengan peningkatan produktifitas dan kekuatan masyarakat Timor Dawan yang bertujuan memenuhi kebutuhan material secara bersama-sama atau kelompok. Motifasi untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dalam suku merupakan sebuah tindakkan faktifis yang nampak dalam ritus fua Pah. Fungsi ini tidak hanya diwujudkan melaui korban kepada para leluhur melainkan terlebih sebagai peran aktif mereka dalam setiap tindakkan demi kepentingan bersama.  Fungsi Intensifukasi. Fungsi identifikasi berkaitan erat dengan usaha pembaharuan dan peningkatan hidup. Pembaharuan ini tampak dalam upacara ritual kelompok dalam mengidentifikasi kesuburan, ketersediaan buruan, dan panenan. Misalnya, banyak bintang tampak di langit pada malam hari, orang Dawan mulai mengatakan bahwa di sungai banyak ikan. Pengidentifikasian semacam ini hanyalah dianggap mitos tetapi pada tingkat perilaku manusia tidak terlepas dari fenomena ritus dan mitos. Upacara Fua Pah dilandasi oleh motifasi identifikasi sebab masyarakat menginginkan panenannya berhasil. VI. Penutup Masyarakat Timor Dawan adalah masyarakat ritual yang memiliki banyak sekali upaca ritual yang mewarnai setiap hidup mereka. Tuntutan akan kebutuhan hidup yang berat akibat alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat, ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara untuk menyiasati hal tersebut. Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan harus bekerja keras. Salah satu cara untuk menjinakkan alam yaitu dengan pemujaan dan penghormatan kepada Uis Pah yang diyakini bertanggung jawab atas kesuburan tanah. Dalam bercocok tanam masyarakat Dawan harus melewati tahap-tahap seperti: tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), tahap menanam (tapoen fini buke), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), dan tahap panen perdana (eka pen a smanan ma anne smanan). Selain itu, ritus Fua Pah juga memiliki empat fungsi utama yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktifis, dan fungsi identifikasi. Uis Neno adalah inti dan pusat terdalam dari keyakinan dan kepercayaan tersebut. Uis Neno adalah Tuhan yang sempurna, Tuhan yang terang, dan Tuhan seluruh alam raya. Ini adalah inti dari keparcayaan orang Timor Dawan. Dengan perkembangan budaya dan pengaruh agama Kristen, tempat-tempat pemujaan terhadap dewa-dewi atau roh sedikit demi sedikit dianggap sebagai tempat suci dimana Tuhan hadir. Namun, praktek ini terkadang masih kita jumpai dalam masyarakat Dawan. VII. Refleksi Kritis atas Tradisi Fua Pah Sebagai Bentuk Kepercayaan Masyarakat Dawan – Timor Kepada Wujud Tertinggi. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu kala, orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional. Hal itu terjadi karena apa yang dihadapi tersebut melampaui daya nalar/tangkap manusia. Apa yang dialami tersebut ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak serupa dengan teka-teki. Ia merupakan misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya dalam pengalaman manusia. Menurut Rudilf Otto, misteri yang muncul dalam hidup manusia ditafsirkan sebagai ‘Yang Kudus’. Kata ‘suci’ dan ‘kudus’ hendaknya jangan pertama-tama diartikan secara moral sebagai saleh. Alim, dan sebagainya. Arti moral tersebut tidak mengungkapkan inti sari dan hakikat Yang Ilahi. Manusia pun dapat disebut kudus dan suci dalam arti moral. Kata ‘kudus’ menunjuk sesuatu yang dipisahkan dari yang lingkungan profan dan dikhususkan bagi Yang Ilahi. Maka untuk mengungkapkan inti pengalaman religius tersebut, Otto membuat istilah baru, yaitu ‘perasaan numinous’. Istilah ‘numen’ dalam Bahasa Latin berarti ‘kekuasaan ilahi’, dan memang ke-ilahian’ Yang Ilahi itulah yang menjadi arti utama dari kata ‘kudus’. Perasaan numinous memiliki dua aspek yang utama, yaitu perasaan takut yang religius (tremendum) dan perasaan terpesona/ tertarik (fascinans). Yang ilahi, yang merupakan misteri, serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan. Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. Yang Kudus muncul sebagai ‘mysterium tremendum et fascinas’. Numinous yang menampakkan diri memunculkan perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya. Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil. Meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, namun Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal, mengerti, dan merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak rasional, Yang Ilahi tersebut dialami sebagai sesuatu yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya. Yang Kudus dapat menampakkan diri dalam benda-benda dunia (hierofani). Pada dasarnya seluruh kosmos (segala sesuatu) dapat menampakkan Yang Kudus. Akan tetapi, umumnya hanya benda-benda tertentu saja yang dihayati sebagai sesuatu yang kudus misalnya gunung, bukit, batu besar dan sebagainya. Benda-benda dunia menunjuk ke arah sesuatu yang melebihi dirinya, sesuatu yang ilahi. Benda yang profan tersebut menjadi media bagi manusia untuk mencari dan menemukan Yang Kudus. Demikian halnya dengan masyarakat Timor Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah. Masyarakat Timor Dawan meyakini bahwa melalui benda-benda profan tersebutlah Allah mewahyukan diri. Masyarakat Timor Dawan menyadari akan sesuatu yang lebih tinggi itu, berawal dari perjumpaan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Mereka menamakan yang lebih tinggi itu Uis Neno. Masyarakat Dawan adalah masyarakat kultur yang meyakini adanya dewa-dewi seperti halnya bangsa-bangsa lain. Dalam Perjanjian Lama dikisahkan bahwa, ketika melintasi padang gurun bangsa Israel dilindungi oleh YAHWE yang selalu menang perang. Ketika memasuki tanah terjanji, mereka harus memulai cara hidup yang baru. Di mana mereka harus mulai tinggal menetap dan mengolah tanah untuk mempertahankan hidup mereka. Bangsa Israel melakukan praktek pemujaan kepada YAHWE yang dianggap dapat memberikan hasil panen yang berlimpah kepada mereka. Demikian halnya dengan masyarakat Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah. Ritus-ritus kepercayaan dan pemujaan kepada Uis Neno melalui upacar Fua Pah, secara tidak langsung telah membentuk suatu kepercayaan akan adanya suatu yang lebih tinggi dan bersifat Ilahi. Ritus-ritus kepercayaan inilah yang pada akhirnya membawa mereka kepada pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi. Pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi itu menjadi jelas dengan masuknya agama Kristen di Timor. Dengan masuknya agama Kristen di Timor pemahaman mengenai Uis Neno pun mulai mengalami pergeseran makna dan arti. Uis Neno tidak lagi dipahami sebagai dewa tertinggi yang samar-samar, melainkan Allah yang sesungguhnya nyata dan dikenal; sebagaimana Allah orang Kristen. Dengan kehadiran agama Kristen di Timor, paham mengenai Uis Neno ini semakin dimurnikan. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Allah kita hanya satu yakni Allah Bapa yang mengutus putera-Nya ke dunia untuk membebaskan manusia dari dosa. Dialah Yesus Kristus putera Allah yang menderita, wafat, dan bangkit demi keselamatan umat manusia.

Paulus di Hadapan Feliks (Uraian Eksegetis Atas Kis 24:10-21) Oleh: Erick Sila

I. Pengantar Sejak semula Allah telah menetapkan Paulus sebagai alat pilihan untuk mewartakan sabda-Nya kepada segala bangsa. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Paulus adalah orang yang anti terhadap para pengikut Jalan Tuhan. Dalam usahanya yang begitu gencar untuk membinasakan jemaat Kristen, ternyata Tuhan berkehendak lain terhadap Paulus. Ia dipilih Tuhan sebagai alat untuk mewartakan sabdan-Nya kepada segala bangsa. Pilihan defenitif Allah terjadi ketika ia sedang dalam perjalanannya ke Damsyik. Paulus yang telah menerima panggilan Tuhan itu, mewartakan sabda Tuhan kepada segala bangsa. Pewartaan kabar keselamata dari Tuhan, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan dan halangan yang di hadapi oleh Paulus. Tantangan dan serangan itu pertama-tama datang dari kaum Yahudi sendiri, terutama dari para penatua dan pemimpin Yahudi. Para pemimpin Yahudi menuduh Paulus menodai Bait Allah, melawan kaisar, dan juga sebagai penyebab keonaran di tengah-tengah rakyat. Tuduhan inilah yang menyebabkan Paulus harus berhadapan dengan lembaga hukum yang berwenang. Paulus harus berhadapan dengan Feliks sebagai wali negeri Roma pada saat itu dan bagaimana usaha Paulus untuk mebela dirinya di hadapan Sanhedrin, penulis akan mebahasnya dalam eksegese berikut. II. Eksegese Perikop Kis 24:10-21 10 Lalu wali negeri itu memberi isyarat kepada Paulus, bahwa ia boleh berbicara. Maka berkatalah Paulus: “Aku tahu, bahwa sudah bertahun-tahun lamanya engkau menjadi hakim atas bangsa ini. Karena itu tanpa ragu-ragu aku membela perkaraku ini di hadapanmu: 11 Engkau dapat memastikan, bahwa tidak lebih dari dua belas hari yang lalu aku datang ke Yerusalem untuk beribadah. 12 Dan tidak pernah orang mendapati aku sedang bertengkar dengan seseorang atau mengadakan huru-hara, baik di dalam Bait Allah, maupun di dalam rumah ibadat, atau di tempat lain di kota. 13 Dan mereka tidak dapat membuktikan kepadamu apa yang sekarang dituduhkan mereka kepada diriku. 14 Tetapi aku mengakui kepadamu, bahwa aku berbakti kepada Allah nenek moyang kami dengan menganut Jalan Tuhan, yaitu Jalan yang mereka sebut sekte. Aku percaya kepada segala sesuatu, yang ada tertulis dalam hukum Taurat dan dalam kitab nabi-nabi. 15 Aku menaruh harapan kepada Allah, sama seperti mereka juga, bahwa akan ada kebangkitan semua orang mati, baik orang-orang yang benar maupun orang-orang yang tidak benar. 16 Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. 17 Dan setelah beberapa tahun lamanya aku datang kembali ke Yerusalem untuk membawa pemberian bagi bangsaku dan untuk mempersembahkan persembahan-persembahan. 18 Sementara aku melakukan semuanya itu, beberapa orang Yahudi dari Asia mendapati aku di dalam Bait Allah, sesudah aku selesai mentahirkan diriku, tanpa orang banyak dan tanpa keributan. 19 Merekalah yang sebenarnya harus menghadap engkau di sini dan mengajukan dakwaan mereka, jika mereka mempunyai sesuatu terhadap aku. 20 Namun biarlah orang-orang yang hadir di sini sekarang menyatakan kejahatan apakah yang mereka dapati, ketika aku dihadapkan di Mahkamah Agama. 21 Atau mungkinkah karena satu-satunya perkataan yang aku serukan, ketika aku berdiri di tengah-tengah mereka, yakni: Karena hal kebangkitan orang-orang mati, aku hari ini dihadapkan kepada kamu.” Eksegese 24:10: Paulus memulai khotbahnya setelah ia diberikan kesempatan oleh wali negeri untuk berbicara. Maka Paulus mulai berbicara dengan mengatakan “Aku tahu, bahwa sudah bertahun-tahun lamanya engkau menjadi hakim atas bangsa ini”. Paulus memulai khotbahnya dengan sebuah kalimat pendek dan sederhana. “Bertahun-tahun” mungkin hanya bersifat formal atau banyak mencerminkan pengetahuan bahwa Feliks menjadi seorang administrator bersama Cumanus sebelum ia menjadi gubernur. Jika Paulus berbicara tentang masa jabatan Feliks di Yudea maka hal ini cocok. Feliks menjadi gubernur atas seluruh Yudea selama sekitar lima tahun. Dikatakan bahwa Feliks memerintah kira-kira pada tahun 52 sedangkan perkara Paulus terjadi kira-kira tahun 58 atau 59. Jika kita menambahkan dari jangka waktu jabatannya sebagai bawahan Cumanus di Samaria maka total ia menjabat sebagai wali negeri lebih kurang delapan atau sembilan tahun. Dengan demikian Feliks mengenal orang-orang Yahudi dan adat istiadat mereka. Paulus berharap dengan pendahuluan khotbahnya yang sederhana ini, ia bisah mendapatkan pengadilan yang adil. 24:11: Dua belas hari sejak aku pergi beribadat ke Yerusalem: baik perhitungan maupun intinya jelas. Jika kita mengikuti tanda-tanda dari teks-teks ini (Kis 21:27; Kis 22:30; Kis 23:11, 12, 13 dan 31), kita dapat memastikannya mulai dari keberangkatan Paulus dari Kaisarea ke Yerusalem sebagai berikut: hari (1): Paulus tiba di Yerusalem (Kis 21:17), hari ke (2): Paulus diterima oleh Yakobus dan para penatua (Kis 21:18), hari ke (3-9): pemurnian selama tujuh hari, hari ke (9): kejadian di Bait Allah (Kis 21:27-22-29), hari ke (10): Paulus dibawa ke hadapan sanhedrin (Kis 22:30-23:10), hari ke (11): Paulus dari Yerusalem ke Kaisarea (Kis 23:12-30), hari ke (12): Paulus tiba di Kaisarea untuk beribadat di Bait Allah (Kis 23:31-33). Jadi hanya selama dua belas hari ada kesempatan bagi Paulus untuk membuat keonaran secara terang-terangan. Apakah dengan waktu yang begitu singkat Paulus melakukan hal yang dituduhkan kepadanya? Semua ini tidak masuk akal dan tidak ada bukti-bukti mengenai tuduhan itu. “Ziarah” ke Yerusalem merupakan tujuan Paulus di samping tujuan lain dari perjalannya. Ibadah Paulus dimaksudkan sebagai pemulihan kembali dirinya setelah ia mewartakan “Kabar Keselamatan” Tuhan di tengah bangsa-bangsa lain (Kis 22:21). Tuduhan yang diajukkan kepada Paulus tidak memiliki dasar atau bukti yang kuat. Oleh karena itu, Paulus pun tidak mau mengakui tuduhan-tuduhan itu. Bagi Paulus, semua itu hanyalah tuduhan palsu yang tidak memiliki dasar. 24:12-13: Bait Allah, Sinagoga, dan kota: di sini Paulus meminta bukti-bukti. Bukti mengenai kehadirannya di Bait Allah dan percakapannya dengan orang lain sehingga mengakibatkan kerusuhan. Bukti bahwa ia telah menyesatkan banyak orang dengan kotbah-kotbanya di luar rumah ibadat, di sinagoga dan di kota. Bukti bahwa Paulus membuat keributan tidak ada. 24:14: Memang kuakui ini: ini adalah bentuk kesaksian Paulus yang sangat menakjubkan. Setelah mengalami serangkaian penolakan keras, Paulus mendefenisikan apa masalah sebenarnya yang menimbulkan sengketa. Paulus mengaku bahwa memang ia berbakti kepada Allah dengan mengikuti Jalan Tuhan. Memuji Allah “menurut jalan yang mereka sebut sekte”, adalah pengabdian yang benar kepada Allah nenek moyang bangsa Israel. “Jalan” adalah istilah yang dipakai oleh orang non-kristen Yahudi untuk menyebut orang-orang Kristen. Jalan ini bukanlah sebuah partai politik dan juga bukan suatu pemberontakkan terhadap kekaisaran Romawi, melainkan penghormatan kepada Allah leluhur menurut hukum taurat dan perbuatan-perbuatan para nabi. Aku menyembah Allah leluhur: ungkapan yang sama bisah diterjemahkan “Allah nenek moyang”. Paulus membenarkan diri dalam hal ini bahwa ia tidak menyimpang dari adat-istiadat nenek moyangnya. Praktek Yahudi untuk beribadah kepada leluhur diberi wewenang untuk beribadah oleh hukum Romawi. Atas dasar itu juga maka Paulus mengatakan bahwa ia tidak meninggalkan iman nenek moyangnya. 24:15: Sebuah harapan kepada Tuhan: dalam memuliakan Allah, Paulus memiliki keyakinan akan kebangkitan. Keyakinan akan kebangkitan juga diterima oleh orang Yahudi. Akan tetapi, ajaran tentang kebangkitan ditolak oleh orang-orang saduki. Mereka menolak ajaran Paulus sebagai sesuatu yang menyesatkan. Dalam sura-surat Paulus menyebutkan juga tentang kebangkitan orang lalim. Itu tidak mungkin baginya sebagai pengakuan yang sama dengan kebangkitan “mereka yang menjadi milik Kristus”; bagi mereka kebangkitan adalah partisipasi parousia dalam kebangkitan Kristus (1 Kor 15:20-23). Harapan itu sekarang menjadi suatu kenyataan melalui kebangkitan Kristus. Suatu kebangkitan yang menjalani keselamatan bagi semua orang. Paulus tidak melukiskan secara lebih mendalam mengenai kehidupan umat Kristen ini, tetapi ia memaparkan sebuah fakta sebagai bukti, bahwa ia berusaha berbuat baik dariapada membuat keonaran atau huru-hara. 24:16: Ajaran Paulus menekankan akan kemurnian hati. Upaya untuk memiliki hati nurani yang tak tergoyahkan. Dalam hal ini, Paulus mengatakan bahwa bukan karena ia telah sempurna dalam hal ini, melainkan ia terus berusaha untuk mencapai tujuan ini (Flp 3:12). Usaha untuk mencapai kemurnian hati adalah istilah yang menunjukkan tenaga aktif seperti dalam latihan-latihan fisik. Untuk mencapai suatu kebaikan moral, setiap oramg harus tetap berjuang. Kemurnian hati yang Paulus maksudkan di sini adalah “tidak menimbulkan sandungan bagi orang lain”, yakni memimpin ke dalam dosa (Flp 1:10; 1Kor 10:32). 24:17: Dalam ayat ini, Paulus menjelaskan lebih lanjut mengenai kehadirannya di Yerusalem. Sesudah perjalanananya yang kedua Paulus tidak lagi ke Yerusalem (Kis 18:22), Paulus datang setelah beberapa tahun berlalu (tujuh tahun setelah konsili Yerusalem dan empat tahun sesudah perjalanannya yang kedua), dengan membawa sumbangan bagi bangsa Yahudi (satu-satunya yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul sebagai alasan nyata Paulus datang ke Yerusalem). Sayang, penulis Lukas tidak menyebutkan berapa jumlah persembahan yang dibawa Paulus. Di sini Paulus berbicara tentang beberapa maksud perjalanannya ke Yerusalem. Paulus membawa persembahan kepada bangsanya. Tetapi karena Lukas tidak menyebutkan berapa jumlah persembahan yang dibawa Paulus, maka tidak bisah kita memprediksinya hanya dengan narasi sendiri. Apakah persembahan itu ditunjukkan kepada bangsa Yahudi secara keseluruhan, dan karena itu lebih menggambarkan Paulus setia kepada bangsanya? Mengapa termasuk “korban” sebagai bagian dari niat asli Paulus, padahal itu disarankan oleh Yakobus dan dan para penatua sebagai syarat rekonsiliasi (Kis 21:23-26). Mengapa Lukas meninggalkan hal itu bagi pembaca? Untuk ungkapan “bangsa saya” kita dapat membandingkannya dengan perikop (Luk 7:5; 23:2) dan untuk “sedekah” kita dapat membandingkannya dengan perikop (Luk 11:41; 12:33). Selama di Yerusalem Paulus mempersembahkan korban dan memenuhi nazar atas niat murninya dan juga atas anjuran dari saudara Kristen-Yahudi lainnya (Yakobus dan para penatua). 24:18: Ditemukan aku sedang memurnikan diri dalam Bait Allah: di sini Paulus menunjukkan perbuatan-perbuatannya selama hari berikutnya. Sesudah menyucikan diri menurut adat kebiasaan Yahudi, Paulus masih tetap tinggal di Bait Allah. Kemudian Paulus didatangi oleh beberapa orang Yahudi dari Asia. Di sini Paulus mau menunjukkan kepada sidang bahwa bukan dia yang menimbulkan keributan, melainkan beberapa orang Yahudi dari Asia itu. Ditemukan dalam Bait Allah: jauh dari mengotori Bait Allah. Paulus mengklaim bahwa tuduhan itu tidak benar sebab pada saat itu ia sedang dalam ritual pemurnian. Maka tuduhan terhadap paulus atas keributan di Bait Allah itu tidak benar. 24:19: Yahudi dari Asia: merekalah penuduh-penuduh itu dan merekalah yang harus dihadapkan kepada sidang ini. Paulus memberikan pengakuan mengenai saksi-saksi yang melihat dan bersama dia di Bait Allah. Anggota-anggota sanhedrin tidak menemukan bukti apa-apa selain kabar angin. Salah satu bukti yang sah dalam peristiwa itu ialah orang-orang Yahudi dari Asia (21:27). Perbuatan merekalah yang menyebabkan Paulus sekarang harus berdiri di hadapan Feliks. Akan tetapi, orang-orang Yahudi dari Asia itu sekarang tidak ada di sini. Maka Paulus memberikan kesempatan kepada para hadirin untuk memberikan kesaksian. 24:20: Kejahatan apa yang mereka temukan: kredibilitas saksi yang hadir, “orang-orang yang hadir di sini”. Paulus menantang mereka dari arah lain untuk memberikan bukti yang jelas atas tuduhan mereka terhadapnya, yakni kepada mereka yang hadir dalam persidangan itu. Tetapi mereka tidak menemukan kesalahan di sana, hanya bahwa kerusuhan pecah ketika Paulus bekhotbah tentang kebangkitan (23:6). Jika mereka tidak menemukan bukti mengenai pencemaran Bait Allah, maka kasus tersebut harus dihentikan. Tetapi jika mereka bersikeras untuk mengambil bagian, maka mereka harus setuju bahwa masalah ini adalah tentang kebangkitan orang mati. 24:21: Seruan kebangkitan: tuduhan peristiwa keributan di Bait Allah tidak memiliki dasar yang benar. Oleh karena itu, Paulus menyimpulkan pembicaraannya dengan mengatakan bahwa ia tidak bersalah. Masalah pokoknya ialah tentang kebangkitan orang mati (secara khusus kebangkitan Kristus). Feliks “tahu benar akan jalan Tuhan”. Maka ia memutuskan untuk menangguhkan perkara itu. Maka seharusnya Feliks membebaskan Paulus. Akan tetapi ia takut kepada orang Yahudi. Maka ia memerintahkan agar Paulus tetap ditahan namun masih bisah menerima kunjungan dari saudara-saudaranya. III. Penutup Di dalam perjalanannya ke Damsyk, terjadilah sebuah perubahan besar, perubahan radikal bagi Paulus. Paulus dipilih oleh Allah untuk mewartakan sabda-Nya di tengah-tengah segala bangsa. Dari seorang anti Kristus menjadi seorang misionaris yang mau dibunuh oleh kaum sebangsanya sendiri. Rencana Paulus untuk membunuh para murid Yesus di Nazaret, tetapi ternyata ia bertemu dengan kehidupan Kristus. Paulus kini menjadi saudara dan alat pilihan Tuhan bagi bangsa-bangsa, seperti katanya “Karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Flp 3:12). Paulus disayangi dan dikasihi oleh Yesus dan diserahi tugas mulia: suatu proyek agung untuk mewartakan kasih-Nya kepada semua orang, “Sebab kasih Kristus menyertai kami…,” (2 Kor 5:14). Tindakkan dan pewartaan paulus pertama-tama bukan karena kemampuannya semata-mata, melainkan Roh Kuduslah yang memampukannya untuk mewartakan Injil. Roh Kuduslah yang berkarya dalam diri Paulus. Roh Kudus yang dahulu dijanjikan oleh Allah Bapa (Kis 1:4), dicurahkan oleh Yesus yang ditinggikan. Dahulu Yesus digerakkan oleh Roh Ilahi (Kis 10:38), maka dengan Roh yang sama Yesus menggerakkan hati setiap orang beriman. Dengan Roh yang sama juga, Paulus dianugerahi kekuatan untuk bersaksi tentang Dia di tangah-tengah orang banyak. Roh itulah yang menjadikan Paulus kuat dalam pengadilan di hadapan Feliks. Allah berkarya melalui Paulus. Melalui Paulus sabda Allah sampai kepada setiap orang yang belum mengenal-Nya. Kehadiran Allah melaui Paulus, memampukan setiap orang untuk beralih meninggalkan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru. Cara hidup yang baru itu ialah cinta kepada Allah, sesama, dan alam ciptaan lain-Nya. Hanya oleh kekuatan Roh-Nya yang kudus semua orang dipersatuakan sebagai saudara di dalam nama-Nya.