Jumat, 14 Oktober 2011

FUAH PAH SEBAGAI KEPERCAYAAN KEPADA WUJUD TERTINGGI DALAM MASYARAKAT DAWAN – TIMOR (Oleh: Vinsensius Sabu)

1. Latar Belakang Masyarakat Dawan merupakan salah satu suku yang ada dalam masyarakat lain yang hidup di wilayah Nusantara khususnya di wilayah Timor. Mereka juga memiliki beberapa tradisi lisan. Tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat seringkali berkaitan dengan bahasa-bahasa ritual dan upacara formal yang berlaku dalam masyrakat tersebut. Masyarakat Dawan pada umumnya merupakan petani ladang kering. Kehidupan mereka memiliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian dengan keyakinan religius tradisional. Hal ini tampak dalam ritus Fua Pah . Ritus ini menjadi salah satu hal yang sangat diyakini oleh masyarakat dawan dalam kehidupan mereka sebagai suatu peraturan hidup yang harus dijalankan oleh setiap masyarakat Dawan . Ritus ini berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakatnya (mengenai Tuhan, roh, alam semesta, bumi, kerja). Ritus ini merupakan suatu penyembahan terhadap suatu kekuatan tertinggi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Maka melalui tulisan ini, penulis mau menggali makna yang terkandung dalam sistem kepercayaan ini. 2. Pola Hidup Masyarakat Dawan Pulau Timor bagian barat merupakan salah satu bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dihuni oleh beberapa etnik, antara lain: Bunak, Tetun, Helong, Kemak dan Dawan, Sabu dan Rote. Suku Dawan merupakan kelompok suku terbesar yang mendiami daratan Timor Barat itu. Suku Dawan juga mendiami daerah yang ada di wilayah Kabupaten Kupang. Selain itu, orang Dawan juga mendiami seluruh wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Oekusi (wilayah Timor Leste). Umumnya masyarakat yang di daerah pulau Timor hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya, dengan masing-masing komunitas memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Pada umumnya mata pencaharian orang Dawan adalah bercocok tanam dan beternak. Komposisi tanah, iklim, dan sumber air sangat berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat Dawan. Keadaan tanahnya berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur. Akibat tanah yang seperti ini tidak mendukung tumbuhnya vegetasi penutup. Pada musim hujan, keadaan tanah banyak mengandung air, dan akan mengembang bila telah penuh air hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat keras sehingga berpengaruh terhadap adanya sumber air, yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi. Masalah sumber air ini menimbulkan bentuk pemukiman dan usaha pertanian yang berpusat di daerah pegunungan dan pengembangan usaha tani lahan (ladang) kering yang didominasi jagung dan palawija. Tempat yang didominasi oleh lapisan tanah liat pada umumnya kurang sesuai bila digarap sebagai lahan pertanian. Karena itu, penduduk memanfaatkan tanah yang terdiri dari campuran batu kapur dan tanah liat, di sekitar dataran tinggi untuk usaha taninya. Secara historis, penduduk mempraktikkan sistem usaha tani perladangan berpindah dengan teknologi tebas dan bakar. Dengan demikian, pemukiman pun sebagian terpusat di lereng-lereng pegunungan, yakni di daerah pedalaman Timor yang kondisi tanahnya amat kering. Itulah sebabnya orang Dawan menamakan dirinya Atoni Pah Meto yang artinya ”orang daerah kering” atau “orang tanah kering”. 3. Allah menurut Orang Dawan Pada awal sebelum agama masuk Kristen ke pulau Timor, khususnya pada zaman penjajahan, orang Dawan telah memiliki satu konsep tentang ilahi yang sangat khas. Konsep tentang yang ilahi ini dilatarbelakangi oleh pemikiran orang Dawan dengan adanya “sesuatu” yang memiliki daya kekuatan melampaui kekuatan manusia. Bagi orang Dawan matahari merupakan salah satu wujud, yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Oleh karena itu Matahari disebut Uis Neno. Kata Uis artinya Raja,Tuan, Yang Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan” yang berkuasa atas langit. Dalam tradisinya, etnis Dawan memposisikan Uis Neno lebih istimewa di antara nama dewa-dewi yang ada. Asal-usul Pemberian Nama Uis Neno Uis Neno sebagai dewa tertinggi yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan yang berkuasa atas lagit dan bumi tidak boleh disebut secara langsung. Kepada dewa tertinggi dan maha kuasa ini diberikan nama yang tidak lain adalah sebuah atribut Uis Neno, Tuhan hari (langit). Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Kristen” adalah para misionaris pada waktu zaman penjajahan Portugis. Namun, di sini Uis Neno dimengerti sebagai “raja langit”. Orang Dawan sendiri tidak pernah menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam upacara ritus keagamaan, nama atau sebutan Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama atau sebutan lain yakni uis afu atau uis naijan( raja bumi atau daratan). Kombinasi ini mau mengungkapkan cara pikir orang Dawan sebagai dualitas paralel komplementaris. Kendati demikian, sebutan-sebutan ini tidak boleh dipisahkan, melainkan selalu didahului oleh kata Uis Neno. Maka sebutan yang lazim dipakai adalah Uis Neno Uis Afu, Uis Neno Uis Naijan. Pemahaman ini tetap dipertahankan oleh etnis Dawan dengan maksud menjaga dan mengakui aspek trasendensi dan imanensinya. Uis Neno diyakini sangat jauh, namun dekat. Kedekatannya diperlihatkan dalam alam yang diwaliki oleh dewa-dewinya. Pandangan seperti ini tentunya sangat berpengaruh terhadap cara pikir Kristen, karena Allah itu mahatinggi dan tidak bisa didekati dan tidak bisa dipandang secara langsung dengan mata manusiawi biasa. Di lain pihak, manusia merupakan makhluk biasa yang memiliki keterbatasan. Ia menjadi eksis karena di-ada-kan oleh sang Peng-ada yang Mutlak. Tanpa Dia, manusia tidak bisa berbuat apa-apa bahkan tidak akan hidup. Manusia tidak pantas menyebut nama aslinya secara langsung karena merupakan hal yang tabu dan ke-eksistensiannya tidak lagi diakui secara utuh. Untuk sampai kepadanya, maka harus ada pihak kedua sebagai pengantara, yaitu para leluhur yang telah meninggal. Ada kepercayaan bahwa mereka yang telah meninggal terlibat secara langsung dan mereka yang akan menyampaikan permohonan manusia kepada yang tertinggi karena telah memperoleh kebahagiaan kekal. Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu, yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Peranan Uis Neno bagi Orang Timor Menurut pemahaman orang Timor Uis Neno dapat memanifestasikan atau mewahyukan dirinya di dalam air, di atas tanah, di langit, serta benda-benda alamiah lainnya yang dianggap sakral dan keramat. Dalam pemanifestasian dirinya di dunia, ada berbagai atribut yang digunakan oleh marga-marga Dawan untuk menyebut fungsi yang dimiliki oleh dewa tertinggi ini. Atribut-atribut untuk Uis Neno berkaitan erat dengan peranannya bagi manusia. Atribut-atribut yang dikenakan pada Uis Neno dan peranannya bagi manusia antara lain: 1. Apinat ma Aklahat: menyala dan membara Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan sifat yang dimiliki oleh matahari sebagai dewa tertinggi dalam klarifikasi hirarki ketuhanan marga-marga Dawan. Dewa manas merupakan sumber cahaya yang memancarkan terang, kehangatan dan kekuatan serta memberikan kehidupan. 2. Amoet ma Apakaet: mencipta dan membentuk Kedua hal ini melukiskan sifat kemahakuasaan yang dimiliki dalam mencipta dan membentuk alam semesta sebagai seorang seniman terbesar. Dia-lah peng-ada mutlak yang mengadakan adaan-adaan lain, dan adaan-adaan lain itu selalu bergantung kepadanya. Sebab dia adalah perencana, pencipta, pelaksana terbaik yang tiada tandingannya dalam alam semesta. Karena itu, ciptaannya tetap suci dan dia-lah pemilik segala-galanya. 3. Alikin ma Apean: membuka jalan dan mengatur kehidupan Peranan Uis Neno di sini sama seperti orang tua yang memberikan “benih” kehidupan sehingga dilahirkan, memelihara, membentuk dan menuntunnya sampai sang anak dapat mandiri. Akan tetapi peranan sang dewa yang dimaksud di sini jauh melampaui pemeliharaan orang tua. Dengan kata lain, Dia-lah sumber awal dan akhir dari seluruh perjalanan manusia. Atribut-atribut tersebut memiliki hubungan yang erat dengan fungsi dan peranan orang tua dalam kehidupan keluarga, khususnya dalam mendidik anak-anak. Atribut-atribut ini biasanya diperdengarkan pada saat upacara adat dalam pertemuan doa dan perayaan dalam lingkaran kehidupan dan tahunan. 4. Tradisi Fua Pah Pengertian Tradisi Fua Pah Secara etimologis, Fua pah berasal dari kata kerja Fuat artinya menyembah, bersujud, menengadah, sedangkan pah artinya, bumi, dunia, alam. Jadi, fua pah berarti menyembah bumi, dunia atau alam. Dalam kaiatan dengan dunia agraris Fua Pah berarti meyembah tuan, raja/pemilik yang berkuasa atas bumi; dunia/alam. Maka ritus fua pah adalah upacara memberi sesajen kepada yang ilahi, pada saat membuka lahan pertanian. Tempat yang biasanya dijadikan lokasi pelaksanaan upacara Fua Pah adalah di kebun dan gunung atau bukit. Tempat-tempat ini dipandang sebagai tempat suci. Dalam pandangan berbagai suku di nusantara, gunung memiliki sifat magis religius. Ritus Fua Pah Ritus Fua Pah biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat berdiam Uis Neno-Uis Pah (Tuhan, raja langit dan bumi). Tempat-tempat itu adalah gunung, bukit atau ladang. Yang diperlukan dalam acara ini: Tobe sebagai imam, hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), Muti (kalung emas orang Dawan), sirih-pinang sebagai fungsi komunikasi religius dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno, dan bete dan tais (sarung orang Dawan). Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah ini dilaksanakan enam kali dalam enam tahap kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai. Keenam tahap itu adalah: tahap menebas hutan (lef nono tafek hau ana), tahap membakar hutan (polo nopo sifo nopo), tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), tahap panenan perdana (ta sana mate) dan tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf). Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Uis Neno-Uis Pah, masyarakat Dawan sudah memiliki semacam formula “doa” atau mantra untuk menaikan pujian dan syukur serta permohonan. Formula mantra ini dikenal dengan sebutan lasi tonis. Mantra diucapkan oleh seorang Tobe yang diberi kepercayaan oleh masyarakat setempat. Tobe, dalam masyarakat Dawan diyakini sebagai orang yang diberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Tobe ini dipercaya memegang peranan utama dalam segala pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga dari pada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran. Selesai pembacaan lasi tonis, tobe mulai menyembelih hewan kurban. Darah hewan kurban tersebut lalu dioleskan pada faot bena (batu pelat) dan pada benih tanaman atau hasil panenan, tergantung keenam tahap di atas. Daging hewan kurban tersebut kemudian di masak untuk selanjutnya dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah. Untuk jenis hewan berkaki empat seperti sapi, babi dan kambing bagian yang akan dipersembahkan adalah bagian hati dan has. Sedangkan untuk unggas misalnya ayam adalah bagian dada dan paha. Persembahan yang berupa daging dan nasi diletakkan di atas altar, kemudian dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah dengan lasi tonis khusus. Usai pengucapan lasi tonis sajian (wajib) dimakan bersama oleh “umat” yang hadir. Fungsi Ritual Fua Pah Ritus Fua Pah sesungguhnya memiliki fungsi yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi, yang terdiri dari: (1) Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam upacara ritual Fua Pah yang bekerja karena daya-daya mistis. Unsur ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, dengannya manusia dapat mengetahui kehendak Uis Neno. Lebih lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian lasi tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. (2) Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku. Jika kultus para leluhur, yang juga dilakukan dengan cara ini dikategorikan sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno. (3) Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan material anggota suku. Fungsi ini tidak saja diwujudkan lewat korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. (4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan berhasil. 5. Kesimpulan Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam yang kering dan tandus, percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh ilahi, yakni Uis Neno-Uis Pah. Ritus, mitos, religi dan sastra lisan (tonis) merupakan satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam masyarakat Dawan, puisi ritual tonis itu memiliki konvensi dan formula yang diikuti dengan ketat, sehingga penyimpangan dari konvensi itu dapat menodai akibat dari magi. Kekuatan magis dalam upacara Fua Pah masyarakat Dawan terletak pada lasi tonis. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka melaksanakan upacara korban Fua Pah. Ritus ini memiliki fungsi dan berkaitan erat dengan puisi ritual tonis yang justru merupakan inti kekuatan magis upacara ritual Fua Pah. Ritus Fua Pah memiliki empat fungsi utama, yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi. 6. Refleksi Sekalipun mayoritas masyarakat Dawan sudah memeluk agama Kristiani sebagai sebuah agama monoteis modern dan universal, kepercayaan lokalnya masih dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sungguh beralasan karena sebelum kedatangan dan kehadiran agama Kristen, masyarakat Dawan sudah memiliki kepercayaan dan pemujaan terhadap wujud tertinggi dan leluhurnya. Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini digambarkan sebagai apinat-aklaat atau ‘yang bernyala dan membara’, dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-oetene atau ‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno berperan pula sebagai apaot-afatis artinya ‘yang memberi makan dan mengasuh’, amo’et-apakaet artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’(mencipta). Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara, dan maha kuasa. Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud, yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau “Tuhan Yang Dekat (pendek)”. Akan tetapi, keduanya masih diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit. Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata. Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung. Masyarakat Dawan juga percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan dengan Uis Neno. Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat tradisional Dawan. Tradisi ini telah menjadi semacam simbol konstitutif (yang membentuk kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif (yang membentuk ilmu pengetahuan), simbol penilaian moral (yang membentuk nilai-nilai moral dan aturan-aturan), dan simbol-simbol ekspresif (pengungkapan perasaan). Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat Dawan. Tradisi Fua Pah ini memiliki nilai filosofis dan teologis yang dalam bagi masyarakat Dawan. Nilai filosofinya adalah untuk menyejahterakan masyarakat sedangkan nilai teologisnya adalah menjalin hubungan yang baik dengan sang penguasa langit dan bumi yang dalam pengertian agama tradisional adalah Uis Neno-Uis Pah (Tuhan langit dan bumi). Sejak masuknya kekristenan, paham tradisional tentang Uis Neno telah mengalami pergeseran nilai dan arti. Uis Neno tidak lagi dimengerti sebagai dewa “tertinggi langit-matahari” tetapi sebagai Allah yang sesungguhnya, sebagaimana Allah orang Kristen. Kehadiran Agama Kristiani tidak meniadakan konsep tradisional ini, tetapi dimurnikan. Pengertian akan Uis Neno lebih mengacu kepada seorang pribadi yang sangat Agung, mulia dan sangat berpengaruh terhadap hidup manusia, Dialah Allah. Dia-lah pencipta lagit dan bumi. Allah selalu menjaga agar manusia tidak jatuh dalam cobaan (malapetaka), maka dalam hidupnya manusia harus menjalin relasi yang harmonis dengan-Nya, yang diyakini sebagai dan tujuan hidup dari semua makhluk ciptaaan. Di sisi lain, dengan menyebut nama Uis Neno, secara implisit terkandung suatu seruan dan ajakan kepada manusia agar manusia memuji, bersyukur dan berterima kasih atas segala kebaikan dan kemurahan yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada manusia. Berkaitan dengan proses penciptaan, orang Timor meyakini bahwa Uis Neno merupakan sang Pencipta. Konsep dalam mitos tidak menghalangi pemahaman tentang kisah penciptaan. Uis Neno amoet ma apakaet dipahami sebagai sumber “Peng-ada yang mengadakan peng-ada-peng-ada lain. Adaan-adaan yang lain menjadi ada, karena ditopang oleh ada yang Mutlak ini. Jadi adaan-adaan yang lain selalu mengambil bagian dalam ada-Nya Yang Mutlak ini. Namun konsep akan Ada yang Mutlak dalam kepercayaan tradisional, khususnya etnis Dawan masih sangat primitif dan bersifat alamiah; artinya konsep pemahaman mereka akan Allah kadang juga dipengaruhi oleh tanda atau peristiwa-peristiwa alam, sehingga tidak heran bila dalam ritus keagamaan hal itu terungkap dalam bentuk pemberian sesajen di bawah pohon besar, bukit, batu besar dan lain sebagainya. Kenyataan tentunya merupakan suatu tantangan bagi orang Timor. Diharapkan fungsi dan peran Gereja setempat mampu mengakomodasi masalah religiositas ini sehingga antara adat dan Gereja tidak saling meniadakan tetapi saling mendukung. Iman akan Kristus yang bangkit, diharapkan tetap menjadi dasar. Adat atau tradisi setempat hendaknya menjadi jalan lain untuk sampai kepada Kristus atau menghantar manusia pada jalan kebenaran dan hidup.

Kamis, 13 Oktober 2011

FERDINAND DE SAUSSURE BAPAK LINGUISTIK MODEREN DAN PELOPOR STRUKTURALISME Erick Sila dkk

I. Riwayat Hidup Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli linguistik yang berkebangsaan Swiss. Dia dilahirkan di kota Jenewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Prancis (Huguenot) yang berimigrasi dari Lorrine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Kemampuannya dalam bidang bahasa sudah tampak sejak ia masih kecil. Pada umur 15 tahun ia menulis karangan Essai sur les langues dan pada tahun 1874 mulai belajar bahasa Sansekerta. Pada awalnya ia mengikuti mata pelajaran fisika dan kimia di Universitas Jenewa, kemudian melanjutkannya di Leipzig tahun 1876-1878 dan di Berlin tahun 1878-1879. Di perguruan tinggi ia belajar dari tokoh-tokoh besar linguistik seperti Brugmann dan Hubschman, yang pada saat itu dipandang sebagai ahli linguistik. Ketika mahasiswa ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika , William Dwight Whitney yang berjudul The Life and Growth of langguange: an Outline of Linguistic, yang akan mempengaruhi teorinya dikemudian hari. Pada tahun 1880 ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan mendapat gelar doktor summa cum laude dari Universitas Leipzig. Pada tahun 1978 ketika berusia 21 tahun, Ferdinand menghasilkan sebuah karya yang berjudul Memorie sur le systeme primitif des voylles dans les langues indo-europeennes (Catatan tentang sistem vokal purba dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa), karya ini merupakan buktik kecermelangannya sebagai ahli linguistik historis. Karyanya ini merupakan penerapan metode rekonstruksi untuk menjelaskan hubungan absolut dalam bahasa-bahasa Eropa. Sekalipun ia menghasilkan karya yang bernuansa linguistik historis, Ferdinand lebih dikenal sebagai linguistik umum. Hal ini dikarenakan dua orang muridnya menerbitkan sebuah buku yang berjudul Cours de linguistique generale (kursus tentang linguistik umum) pada tahun 1961, saat mengajar bahasa Sansekerta, Ghotik, dan Jerman tinggi kuno serta linguistik komperatif Indo-Eropa di Ecole Pratique des Hautes Etudes Universitas Paris. Pada tahun 1891 ia pindah ke Jenewa untuk mengajarkan bahasa Sansekerta dan lingustik historis komperatif di sebuah Universitas yang ternama. Diantara ahli-ahli linguistik sezaman yang dikenal ialah Baudouin de Courtenay dan Kruszewski, yakni sarjana-sarjana yang dianggap pelopor teori fonologi. Beberapa kali ia menolak untuk mengembangkan pandangan-pandangan teoritisnya, namun pada akhirnya ia terpaksa mengajar linguistik umum karena guru besar yakni Joseph Wertheimer, berhenti sebelum waktunya. Tugas ini dijalankan sampai ia meninggal pada 22 Februari 1913. II. Pembaharuan Linguistik oleh Ferdinand de Saussure Sudah sejak lama Ferdinand merasa bahwa penyelidikan ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakukan secara historis; tetapi karena pengaruh pendidikannya, ia tidak dapat menghindarkannya dan belum mampu untuk mempelajari bahasa secara cermat sampai ia dipengaruh oleh Emile Durkheim (1858-1917). Memang dalam kuliahnya ia tidak pernah menyebut Emil Durkheim, tetapi dari catatan-catatan lain, nyata membuktikan bahwa ia memperhatikan tulisan Emil Durkheim. Perhatiannya yang begitu besar terhadap tulisan-tulisan Durkheim, membuatnya termotivasi untuk menyelidiki bahasa. Dia mulai menganggap bahasa sebagai “benda” yang terlepas dari pemakaian penuturannya karena diwariskan dari penutur lain yang mengajarkannya, dan bukan ciptaan si individu. Bahasa adalah fakta sosial karena meliputi suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi penuturnya. Kendala ini sangat cocok karena bahasa tidak memberi pilihan lain kepada pemakainya, sehingga menjalin komunikasi untuk saling memahami, selain itu karena dipaksakan dalam pendidikan. Bahasa sebagaimana lepas dari perkembangan historisnya karena kalau tidak, bahasa yang ada sekarang secara kualitatif berbeda daripada yang dahulu karena memperoleh unsur-unsur baru dan kehilangan beberapa unsur lain. Bahasa sebagaimana fakta sosial dapat dipelajari secara tepat terpisah dari perilaku penuturnya. 2.1. Signifiant dan Signifie Signifiant dan Signifie merupakan inti pandangan Ferdinand tentang tanda. Dia memberikan pembedaan terhadap setiap kata yang pemakaianya terhadap benda. Hal ini dikarenakan pandangan umum yang menganggap bahwa tanda bahasa hanya menunjuk kepada benda dalam realitas. Akan tetapi Ferdinand menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna bukan karena referensinya kepada benda dalam realitas. Yang ditandakan dalam tanda bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang benda. Menurut Ferdinand konsep itu tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahasa itu sendiri. Kerap kali kita mengartikan kata-kata yang konsep-konsepnya sudah ada dalam pikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Pada hal, makna tidak dapat dilepaskan dari kata. Suatu kata tidak pernah merupakan bunyi saja atau tidak pernah merupakan coretan saja. Suatu kata adalah bunyi atau coretan, ditambah suatu makna. Dari sebab itu menurut Ferdinand tanda bahasa yang dipelajari oleh linguistik, terdiri atas dua unsur: le signifiant (penanda) dan le signifie (yang ditandakan). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna, sehingga signifiant merupakan aspek material dari bahasa. Sedangkan signifie merupakan gambaran mental, pikiran atau konsep dari bahasa. Dalam bahasa signifiant dan signifie tidak dapat dipisahkan, karena tanda tanpa signifiant tidak berarti apa-apa, sebaliknya signifiant tanpa signifie tidak mungkin karena signifiant itu sendiri tanpa tanda tidak memberikan arti. Sehingga signifiant dan signifie merupakan satu kesatuan, seperti sisi dari sehelai kertas. Selain itu menurut Ferdinand antara signifiant dan signifie memiliki hubungan arbiter bukan natural. Pembedaan antara signifiant dan signifie itu mempunyai konsekuensi besar. Itulah suatu langkah pertama untuk menyajikannya kepada ilmu linguistik. Keduanya memiliki objek pada dirinya sendiri. Sehingga bahasa dapat dibersihkan dari segala unsur yang ekstra-lingual (diluar bahasawi) pada bahasa tersebut. Karena penanda termasuk bagian dari tanda bahasa, makna tercantum dalam tanda bahasa sebagai unsur “lingual” dan konsekuensi kedua yaitu tanda termasuk bagian dari tanda bahasa. “Dengan demikian telah dimungkinkan untuk menjadikannya sebagai ilmu bahasa yang otonom, tanpa fenomena bahasa yang dapat dijelaskan tanpa mendasarkan diri atas apapun yang letaknya diluar bahasa.” 2.2. Pembedaan Langage, Parole dan Langue Menurut Ferdinand, agar objek linguistik dapat ditentukan lebih lanjut diperlukan sebuah pembedaan antara Langage, Parole dan Langue. Yang dimaksud dengan parole ialah keseluruhan apa yang dianjurkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas. Secara singkat dapat dipahami bahwa parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Dalam masyarakat parole dan realisasi dari kendala gramatikal suatu bahasa sangat sering ditemui dalam kehidupan sosial masyarakat. Gabungan parole dan kaidah bahasa oleh Ferdinand disebut langage. Walaupun meliputi seluruh masyarakat dan mengandung kendala sebagaimana terdapat kaidah gramatikal, langage bukan berasal dari individu pribadi penutur. Hal ini disebabkan karena langage tidak mempunyai prinsip keutuhan yang memungkinkan untuk menelitinya secara ilmiah. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Jikalau kita sering mendengar parole dari masyarakat lain, kita hanya mendengar bunyi bukan fakta bahasa itu sendiri. Bunyi yang terdengar itu kerap kali akan dihubung-hubungkan dengan fakta bahasa itu sendiri menurut seperangkat kaidah. Kaidah-kaidah ini disebut konvensi yang merupakan kelaziman yang dipaksakan oleh pendidik. Kaidah-kaidah ini membuat semua penutur saling memahami dan memberikan kendala perorangan sehingga mengharuskan kita berkomunikasi. Menurut Ferdinand pada langage tidak ada kesempurnaan, sehingga langage hanya sejenis kode, suatu jenis aljabar, atau gramatikal yang bersifat abstraksi. Beberapa hal perbandingan parole dan langue, yaitu : 1. Parole sebagai perbuatan bertutur selamanya bersifat perorangan, bervariasi, berubah-ubah dan banyak mengandung hal baru. Di dalamnya tidak ada sistem, jadi tidak dapat diteliti secara ilmiah. 2. Parole yang terjadi pada perorangan yang tidak terhitung jumlahnya membuatnya tidak terbatas. 3. Parole bukanlah sesuatu yang kolektif membuatnya memiliki sifat yang heterogen, sehingga memiliki rumusan tersendiri. 4. Parole yang memiliki pola yang kolektif, yang dimiliki bersama oleh semua penutur, sehingga dapat dirumuskan dengan rumusan tersendiri. Sedangkan pada langue, langue berada dalam bentuk “keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap “orang”, sehingga tidak terpengaruh oleh kemauan dari para penyimpannya. Langue merupakan produk sosial dari kemampuan bahasa dan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial yang ingin mempergunakan kemampuan itu. Sehingga langue didasarkan pada benda pasif, sedangkan parole berdasarkan benda aktif. Karena bahasa sangat lambat untuk mengalami perubahan, maka bahasa pantas untuk dipelajari. Karena keabstraksian dan kekongkritan hanya dibedakan oleh suatu sudut pandang maka Ferdinand menyimpulkan bahwa “khayalan kalau langue dan parole dititik dari satu sudut pandang”. Secara keseluruhan parole tidak dapat diselidiki karena bersifat heterogen, sedangkan langue bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa itu dapat diungkapkan menjadi lambang tulisan yang konvensional, sedangkan parole tidak mungkin digambarkan secara terperinci secara jelas. 2.3. Sinkroni dan Diakroni Pada abad ke-19 para Junggrammatiker mengatakan bahwa satu-satunya untuk mempelajari bahasa secara ilmiah adalah dengan menggunakan pendekatan diakronis. Ferdinand menentang pendapat mereka. Menurut Ferdinand Saussure, dalam mempelajari bahasa kita harus memperhatikan sinkroni terlebih dahulu lalu beranjak ke arah pendekatan diakroni. Apakah arti sinkroni dan diakroni? Sinkroni berasal dari kata Yunani khronos yang berarti waktu dan ditambah dengan awalan syn-dan-dia. Kedua awalan itu memiliki arti yaitu “bersama” dan “melalui”. Jadi sinkroni dapat diartikan sebagai “bertepatan menurut waktu” dan diakroni sebagai “menelusuri waktu”. Diakroni lebih menekankan peninjauan historis, sedangkan sinkroni menunjukkan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni lebih menekankan peninjauan ahistoris. 2.4. Hakekat Tanda Bahasa Selama ini bagi Saussure linguistik yang ilmiah sifatnya harus mempelajari pola-pola yang menyesuaikan ucapan masing-masing dengan kekangan sosial yang di paksakan oleh masyarakat bahasa. Berdasarkan penjelasan di atas sinkroni dan diakroni sudah jelas dikatakan bahwa pendekatan diakronis bukan satu-satunya kajian bahasa ilmiah, melainkan dalam arti jabaran karena harus memanfaatkan hasil pendekatan linguistik sinkronis. Menurut Saussure, objek itu ialah langue, namun belum menjelaskan semuanya. Karena langue itu “khazanah tanda”, objek linguistik yang “kongkret dan integral” adalah tanda bahasa. Saussure menyatakan bahwa pada hakekatnya bahasa adalah pranata yang didasarkan pada konvensi sosial dan merupakan perangkat penggunaan yang berlaku dalam masyarakat dan merupakan perbendaharaan kata dan bentuk yang masing-masing adalah tanda yang arbitrer dan konvensional. Saussure memperingatkan bahwa adalah keliru menganggap langue sebagai khazanah tanda berarti bahasa merupakan daftar kata-kata. Saussure berpandangan tanda bahasa “menyatakan konsep dan citra akustis, bukan benda dan nama, jadi merupakan wujud psikis dengan dua muka” seperti dalam diagram di bawah ini: Tanda = = = Bahasa Saussure menegaskan bahwa tanda bahasa adalah wujud psikis karena ia tidak mempertimbangkan wujud dari parole. Alasan lain untuk mendefinisikan tanda bahasa secara demikian ialah bahwa image acoustique ‘citra akustis’ bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan ujaran yang diucapkan. Salah satu manfaat dari konsep citra akustis ialah bahwa komponennya jelas batasnya, sedangkan bunyi yang kita ujarkan tidak demikian; citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak. Kata Saussure “citra bunyi tidak lebih daripada keseluruhan unsur atau fonem yang jumlahnya terbatas, yang dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan.” Bagian lain dari tanda bahasa ialah konsep Saussure menyatakan bahwa konsep itu lebih abstrak dan pada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergabung pada citra bunyi yang berkaitan. Karena itu tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Saussure menyebut konsep itu sebagai signifie ‘yang ditandai; petanda’, dan citra akustis itu signifiant ‘yang menandai ; penanda’. Keduanya merupakan kesatuan dua muka yang tidak dapat diceraikan. Dalam tanda bahasa jika hendak mengubah citra akustis, maka konsep juga akan berubah; dan sebaliknya. Pandangan ini tidak memperhitungkan homonim. Definisi Saussure bahwa tanda bahasa adalah objek linguistik yang konkret dan integral nampaknya merupakan usaha Saussure untuk membuat linguistik ilmiah dengan membuat, penyederhanaan konvensi terhadap data. Tanda bahasa merupakan objek integral dari linguistik: mengkaji salah satu muka tanda bahasa, entah signifie entah signifiant, secara terpisah mengkaji abstraksi dari langue, bukan faktanya. Istilah tanda yang dipakai oleh Saussure bersifat sangat umum, bisa berarti apa yang oleh oranglain disebut kalimat, klausa, frasa, kata atau morfem. Tanda dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tanda tunggal yang tidak dapat dianalisis atas bagian yang lebih kecil, dan tanda sintagmata yang terjadi dari 2 bagian bermakna atau lebih. Semua tanda memiliki 2 sifat utama: arbitrer dan linier. Kelinieran tanda bahasa paling nampak dalam signifiant yang dapat dipecah atas bagian-bagian yang berurutan. Bentuk-bentuk yang berurutan ini disebut rangkaian wicara. Saussure mengatakan bahwa tanda bahasa bersifat tak tertukarkan karena setiap generasi mewarisi bahasa dan tanda-tanda yang menjadi bagiannya, dan baik masyarakat maupun setiap orang bersikap pasif dalam menerimanya. Menurut Saussure bahasa merupakan contoh dari “hukum yang ditolerir oleh masyarakat, bukannya kaidah yang disetujui secara bebas oleh anggota-anggota masyarakat. Saussure mengemukakan 4 alasan mengapa tanda bahasa dan langue bersifat tak tertukarkan: 1. karena tanda bersifat arbitrer, tanda apapun tak ada yang lebih baik daripada yang lain sehingga tak ada pilihan atau perbincangan diantara pemakai bahasa. 2. meskipun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan yang arbitrer sifatnya karena unsur-unsurnya terbatas jumlahnya, namun tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, dan keterbatasan ini menghalangi perubahan bahasa. 3. bahasa merupakan sistem yang rumit, dan ini diakui oleh segelintir ahli bahasa. Namun, mereka tidak berhasil mengubah bahasa secara asasi; 4. bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan oleh semua orang; oleh karena itu diantara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan bahasa. 2.5. Hubungan Asosiatif dan Hubungan Sintagmatis Dalam pembahasan di atas dikatakan bahwa tanda bahasa sebagai objek linguistik memiliki 2 sifat utama, yaitu arbitrer dan linier. Menurut pendapat Saussure kelinieran tanda bahasa akan memberikan akibat yang tak terkirakan bagi linguistik. Pada rangkaian wicara berbagai mata rantai saling berurutan menurut urutan waktu, namun tidak diketahui dengan jelas mengapa satu mata rantai mengikat mata rantai yang lain. Apa yang dimaksud dengan hubungan asosiatif dan sintagmatis? Hubungan asosiatif, yaitu setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satu bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Hubungan asosiatif disebut hubungan in absentia karena beberapa butir yang dihubungkan itu ada yang muncul dan ada yang tidak muncul dalam ujaran. Selanjutnya yang dimaksud dengan hubungan sintagmatis adalah hubungan diantara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut hubungan in praesentia karena beberapa butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. Menurut Saussure bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan asosiatif (paradigmatis) dan hubungan sintagmatis itu. 2.6. Perbedaan antara valensi, isi dan pengertian Saussure memandang bahwa Langue merupakan perangkat penghubung diantara tanda bahasa yang stabil. Ada dua jenis hubungan dalam tanda bahasa, yakni hubungan sintagmatis dan hubungan paradigmatik. Melalui kedua hubungan tersebut tanda bahasa dapat diuraikan, dan hasilnya ialah pemberian tentang valensi. Konsep ini merupakan inti dari pandangan Saussure yang paling dasar tentang organisasi bahasa. Kita dapat menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting, bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda-tanda itu pertama kita kenal dengan mendengarnya, namun ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan adalah gagasan, benda, atau situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Dengan kata lain ciri utama tanda bahasa tidak dapat dicari pada wicara, tetapi dalam hubungannya dengan unsur-unsur luar bahasa, melalui sejenis konvensi sosial. Dari sinilah tampil sifat pertama valensi atau nilai, yakni menyangkut substitusi atau penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan. Uang adalah contoh yang jelas. Untuk menunjukkan bahwa konsep valensi atau nilai dapat diterapkan dalam penyelidikan bahasa, mula-mula harus dibahas identitas linguistis, kemudian realitas linguistis, dan akhirnya valensi linguistis yang mencakup kedua konsep yang pertama. Bagi Saussure identitas linguistis bersangkutan dengan munculnya kembali unsur bahasa yang sama. Untuk menjelaskan bahwa suatu tanda bahasa dalam suatu ujaran itu sama dengan tanda itu dalam ujaran lain. Saussure mengetengahkan kata Perancis pas dalam kalimat Je ne sais pas dan Ne dites pas cela. Kata ini secara etimologis bersangkutan, tetapi etimologi tidak memberikan penyelesaikan karena masalahnya bersangkutan dengan identitas sinkronis. Kesamaan kedua pas itu tidak terletak pada kesamaan fonetis maupun sematis. Ia menjelaskannya dengan contoh berikut. Bagaimana kita menandai kereta api jam 8.15 dari Zurich ke Jenewa pada hari-hari yang berlainan? Apa yang membuat kereta api itu “sama” bukan karena ditarik oleh lokomotif listrik, uap, diesel pada hari-hari yang berlainan, bukan pula karena gerbongnya, melainkan kenyataan bahwa (1) kereta api itu berangkat pukul 8.15, dan (2) berjalan dari Zurich ke Jenewa. Kereta api itu bukanlah kereta api yang “sama” bila berangkat pada waktu yang lain atau dari tempat yang lain atau ke tempat yang lain. Untuk menjelaskan ciri valensi yang lain ia mempergunakan permainan catur sebagai perbandingan. Ia menyatakan bahwa buah catur bukanlah unsur permainan. Nilai buah catur terdapat dalam hubungannya dengan buah catur yang lain dan gerak yang dibuatnya. Bentuk bahannya tidak peting karena kalau buah itu hilang atau pecah, dapat menggantikannya selama benda itu membuat gerak yang menjadi ciri buah catur yang bersangkutan. Realitasnya tidak terletak pada bahannya, yang menggambarkan benda apa itu, melainkan pada perbedaannya dengan buah catur yang lain, yang meggambarkan bukan benda apa itu. Jadi, valensi dapat ditukar dengan suatu yang sifatnya berlainan yang diangap bernilai sama (misalnya uang dengan roti); dan dapat dibagi melalui hal-hal yang serupa (misalnya dolar Amerika dengan sterling Inggris). Pengertian didefinisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Valensi dari suatu unsur bahasa ditentukan dengan menyelidiki unsur lain dalam system bahasa karena unsur-unsur itu beroposisi, baik secara paradigmatik maupun secara sintagmatis. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa langue adalah system unsur-unsur yang saling tergantung dan nilai masing-masingnya semata-mata ditentukan dari keberadaan unsur-unsur lain secara serentak. Isi dari suatu system mencakup pengertian dan valensi. Bagi Saussure pengertian adalah konsep positif sedangkan valensi lebih bersifat negatif atau relatif. Jadi, gagasan tentang valensi tersebut memperlihatkan bahwa sangat keliru jika menggangap unsur bahasa hanya sebagai gabungan bunyi dan konsep. Pendefinisian semacam itu berarti memindahkan unsur bahasa dari sistemnya dan memberi kesan bahwa kita mulai dari unsurnya dan baru kemudian membentuk sistemnya dengan mengumpulkannya, padahal seharusnya kita mulai dari sistem yang utuh dan melalui analisis diperoleh unsur-unsurnya. Konsep valensi ini dipergunakan bukan hanya untuk menyelidiki aspek konseptual dari bahasa, melainkan juga aspek material atau fonetiknya. Sebagaimana contoh kereta api dan buah catur di atas, yang diperlukan satuan-satuan secara material tidak lain hanyalah agar dibedakan dari satuan-satuan lain yang berjenis sama. Secara fonetis tidak peduli jenis bunyi apa yang dipergunakan oleh suatu bahasa selama bunyi-bunyi itu saling berbeda. Demikian pula halnya dengan aksara karena kita dapat membentuk kata yang sama dengan bentuk huruf yang berlainan menurut posisinya dalam kata itu. III. Struktur linguistik Istilah struktur muncul untuk pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den Haag pada tahun 1928. Pada dasarnya pengertian struktur tidaklah sulit. Kata struktur mudah dihubungkan dengan apa yang dijelaskan Saussure tentang bahasa sebagai sistem. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja. Dalam bahasa penting diketahui susunan unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain, relasi-relasi, dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu. Bahasa merupakan keseluruhan sistematis yang terdiri dari perbedaan-perbedaan. Saussure juga mengatakan dans la langue il y a seulement des differences ( dalam langue hanya terdapat perbedaan saja). Perbedaan itu tampak bila kita akan menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa yang lain. Tidak dapat dikatakan bahwa kata Prancis mouton mempunyai nilai yang sama seperti kata Inggris sheep. Sebab untuk daging domba yang dihidangkan untuk dimakan, dalam bahasa Prancis juga dipakai kata mouton, sedangkan dalam bahasa Inggris memakai kata mutton. Dengan demikian setiap tanda bahasa mewujudkan suatu nilai yang tercantum di dalam sistem bahasa bersangkutan menurut perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang mewujudkan nilai itu. Menurut seorang ahli psikologi dan pemikir Swiss Jean Piaget, struktur adalah suatu tatanan wujud yang mencakup keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Dikatakan keutuhan, karena tatanan wujud itu bukannya kumpulan semata, melainkan karena tiap-tiap komponen struktur itu tunduk kepada kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Dikatakan transformasi, karena struktur itu tidak statis dan bahan-bahan baru terus-menerus diproses oleh dan melalui struktur itu. Dikatakan pengaturan diri, karena struktur itu tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk melaksanakan prosedur transformasional tersebut. Jadi struktur ini bersifat tertutup. Pada hakikatnya strukturalisme adalah suatu cara pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struktur seperti diuraikan oleh Jean Piaget. Persepsi itu melibatkan kesadaran bahwa alam semesta tidak terjadi dari objek-objek yang keberadaannya bebas. Cara pandang setiap pengamat tidak pernah seratus persen objektif. Bahkan setiap pengamat tidak dapat menghindarkan diri untuk menciptakan sesuatu dari apa yang diamatinya. IV. Linguistik menjadi model Pada awal abad ke-20 di Rusia, ada sejumlah sarjana yang menempuh jalan-jalan baru dalam menganalisa karya-karya sastra. Para sarjana itu, menganggap karya sastra otonom, dan hanya memperhatikan relasi-relasi internnya, terlepas dari riwayat hidup pengarang atau lingkungan sosial. Anggapan itu hampir sama dengan metode Saussure. Salah satu semboyan aliran ini, adalah bahwa dalam karya sastra, segala sesuatu adalah bentuk. Roman Jacobson (1896-1982) menerapkan mereka atas puisi dan Vladimir Propp (1895-1970) atas dongeng. Beberapa tahun sesudah revolusi komunis (1917), Jacobson dan beberapa temannya berpindah ke Praha dan di sinilah terbentuk apa yang dikenal dengan Mazhab Praha. Seorang anggota yang terkemuka adalah orang Rusia yang bernama N. Trubetzkoy (1890-1938). Atas desakan Jacobson, Trubetzkoy menerapkan prinsip-prinsip Saussure atau fonologi. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari fonem-fonem dalam bahasa. Dengan demikian mereka berdua menerapkan dasar bagi fonologi modern. Berkat pekerjaan Trubetzkoy dan Jacobson, linguistik memperoleh kedudukan istimewa dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan. Dengan timbulnya ilmu itu kemungkinan besar terbuka kesempatan untuk mempelajari sebagian dari realitas manusiawi dengan cara yang sama sekali obyektif. Dalam hal ini ilmu pengetahuan kemanusiaan tidak kalah lagi terhadap ilmu pengetahuan alam. Bahasa dianggap sebagai suatu sistem terlepas dari segala evolusi atau sejarah. Dalam sistem itu dipelajari relasi-relasi. Maka linguistik telah mendapat obyek yang secara serta metode yang serasi dengan obyek itu. Setelah lama berada dalam naungan ilmu-ilmu manusia lain, linguistik tampil ke muka sebagai ilmu manusia yang paling maju. Jika mencari sebab-sebab keunggulan linguistik, antara faktor-faktor lain juga mempunyai peranan. Dari semua ilmu manusia hanya ilmu bahasalah yang mempunyai obyek yang sungguh-sungguh umum. Obyeknya meliputi semua kebudayaan yang ada. Metode-metode yang sama dipakai untuk melukiskan dan menganalisa bahasa Tionghoa, bahasa-bahasa Indian di benua Amerika dan bahasa lainnya. Sebaliknya kalau kita memandang misalnya ekonomi suatu ilmu yang juga mencapai hasil yang cukup mencolok, maka ilmu tersebut terbatas pada masyarakat modern. Sehingga tidak bisa dipergunakan untuk mempelajari masyarakat tradisional dari masa lampau. Ilmu seperti antropologi budaya hanya menyelidiki kebudayaan-kebudayaan yang disebut primitif atau kebudayaan yang tidak mengenal tulisan. Linguistik menjadi kunci untuk mempelajari wilayah manusia pada umumnya. Hal itu dimungkinkan, karena manusia berbeda dengan hewan. Kultur terdiri dari sistem-sistem simbolis. Tidak dapat disangkal bahwa sistem simbolis yang paling penting ada yang menjadi dasar untuk semua sistem simbolis yang lain adalah bahasa. Karena itu sistem-sistem semacam itu dapat dipelajari dengan metode yang sama seperti metode yang dipergunakan dalam studi strukturalisme tentang bahasa. Metode strukturalisme di bidang bahasa ternyata dapat diterapkan pada bidang-bidang lain. Dengan demikian, strukturalisme telah menjadi gerakan yang jauh lebih luas daripada studi bahasa. Bahasa adalah suatu sistem tanda-tanda yang mengekspresikan ide-ide. Maka dari itu bahasa menyerupai tulisan, abjad untuk orang bisu tuli, ritus-ritus simbolis, etiket, sinyal-sinyal militer, hanya harus ditambah bahasa adalah yang paling penting di antara sistem-sistem semacam itu. Karena itu orang dapat membayangkan suatu ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam rangka kehidupan sosial. 4.1. Pengaruh Saussure dalam linguistik abad XX Dalam bidang linguistik tidak perlu diragukan lagi bahwa konsep-konsep dasarnya diterima orang, entah secara eksplisit, entah secara implisit. Perbedaan diantara langue, parole, langage, dan di antara diakroni dan sinkroni, serta diantara hubungan paradigmatik dan sintagmatis jelas mempengaruhi pemikiran linguistik sampai sekarang. Namun, harus dicatat bahwa dalam perinciannya tidak semua konsep tersebut diterima orang mentah-mentah. Bagi Saussure sasaran akhir linguistik hanyalah langue, namun tahun-tahun kemudian orang mempertanyakannya dan menjawab bahwa parole pun pantas diteliti. Kritik terhadap Saussure inilah yang menjadi landasan bagi penyelidikan sosiolinguistik dewasa ini. Pemisahannya yang tegas antara sinkroni dan diakroni pada tahun 1928 dalam Kongres Linguistik Internasional pertama di Den Haag oleh tiga orang sarjana yang sebenarnya pengikut Saussure, telah ditentang habis-habisan. Ketiga penganut aliran praha itu menyatakan bahwa diakroni bukannya terpisah dari sinkroni, melainkan saling melengkapi. Teori Saussure bahwa bahasa adalah forma dan bukan substansi diikuti secara konsisten oleh penegak aliran glosematik, yaitu aliran yang secara langsung mewarisi semua pandangan Saussure. Pandangan ini kemudian dijadikan landasan teori aliran stratifikasi yang dirumuskan dan diteruskan oleh Sydney lamb. Usaha Saussure untuk memperhatikan perbedaan di antara valensi, isi, dan pengertian menjadi dasar penyelidikan apa yang disebut medan makna dalam semantik sehingga pelbagai aspek semantik dan leksikologi dapat lebih dijelaskan. Sesungguhnya jasa Saussure tidak terletak pada segi-segi yang terinci seperti dikemukakan di atas melainkan pada dasar-dasar filosofis ilmu linguistik. Kuliah-kuliahnya itu telah meletakkan prinsip-prinsip teori tentang bahasa dan menyediakan kerangka linguistik modern. Cara penyajiannya yang sugestif, merangsang, dan tidak dogmatis membuka kesempatan bagi ahli-ahli linguistik kemudian untuk menjelajahi medan bahasa yang sangat luas dan menjadikan lunguistik ilmu yang sangat kaya akan wawasan tentang milik manusia yang sangat kompleks itu. 4.2. Warisan Saussure: Semiotik Dalam salah satu bagian dari PLU Saussure menyatakan bahwa ia membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Di dalamnya dipelajari terjadi dari apa saja tanda-tanda itu dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya. Ilmu itu disebutnya semiologi. Linguistik hanyalah sebagian kecil dari ilmu umum itu. Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Sebabnya terletak pada sisi arbitrer dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomen yang arbitrer dan konvensional, misalnya upacara, mode, kepercayaan, dan lain-lain. Dalam perkembangannya yang terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi oleh karya filsuf Amerika, Charles S. Peirce (1839-1914), yang ajarannya jauh lebih terperinci daripada tulisan Saussure yang lebih programatis itu; oleh sebab itu istilah semiotika yang lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan bukannya istilah semiologi yang terkenal di Eropa Kontinental, lebih banyak dipakai orang. Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori Saussure ialah Roland Barthes. Ia menerapkan model Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bibliografi Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX . jilid II. Jakarta: Gramedia, 1985. Saussure, De Ferdinand, Pengantar Linguistik Umum (judul asli: Cours De Linguistique Generale). Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988.

Rabu, 05 Oktober 2011

Keluarga: Persekutuan Pribadi dalam Cinta

Keluarga merupakan bagian dari masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil. keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah bersatu. Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Keluarga juga merupakan kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Jadi kelurga dalam bentuk yang murni atau biasa disebut sebagai keluarga inti, merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Berbicara mengenai keluarga tidak terlepas dari apa yang telah dikatakan di atas yakni keluarga inti atau nuclear family, yakni keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Berikut ini adalah beberapa ciri yang dapat kita temukan dalam sebuah nuclear family yakni:  Dalam nuclear family, ikatan hubungan darah dan psikologis sagat erat.  Tatap muka terjadi secara intensif.  Keluarga berfungsi sebagai pembentuk kepribadian anak.  Keluarga umumnya memiliki cita-cita atau tujuan bersama.  Keluarga sebagai fungsi reproduksi. Keluarga merupakan tempat di mana setiap anggotannya mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Jadi unsu-unsur yang sangat penting dalam membangun sebuah keluarga adalah cinta, perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari semua anggota keluarga. Sebuah keluarga akan tumbuh dan berkembang dalam cinta kasih hanya terjadi jika ada hubungan timbal balik antara ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga: Persekutuan Pribadi-pribadi dalam Cinta Dalam sebuah keluarga terbentuklah suatu hubungan pribadi yakni ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anak. Keluarga yang didasarkan pada cinta kasih serta dilandaskan padanya merupakan persekutuan pribadi-pribadi. Tugas dari setiap anggota keluarga adalah menghayati kenyataan persekutuan tersebut serta senantiasa mengembangkan kehudupan yang rukun antar pribadi di dalamnya. Maka kekuatan yang paling penting di dalamnya adalah cinta kasih. Cinta merupakan kekuatan yang mempersatukan setiap pribadi dalam suatu kesatuan tekat dan tujuan. Tanpa cinta keluarga tidak dapat hidup rukun dan berkembang sebagai pribadi. Dewasa ini banyak masalah yang dihadapi oleh keluarga-keluarga karena kekurangan atau ketiadaan cinta kasih. Ketiadaan cinta kasih dialami oleh suami dan istri atau antara ke duanya dengan anak-anak. Hal ini hendaknya disadari bahwa ikatan yang mempersatukan suami dan istri dalam membentuk sebuah keluarga adalah cinta kasih. Harus disadari juga bahwa cinta kasih merupakan suatu bentuk tatanan yang lebih tinggi yang berasal dari Tuhan sendiri. Keluarga sebagai lembaga sosialisasi Salah satu fungsi dari keluarga adalah fungsi sosialisasi, yakni sebagai pembentuk kepribadian dan watak para anggota keluarga. Perlu diakui bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat berperan penting dalam pembentukan watak kepribadian anggota masyarakat. Maka, pendidikan dalam keluarga bertujuan mempersiapkan warga masyarakat yang nantinya akan bertindak dengan adil dan bijaksana terhadap sesama, meperjuangkan keadilan bagi orang lain, bagi diri sendiri dalam kehidupan yang konkret. Dalam hal ini adalah pembentukan kepribadian anak. Sikap orang tua yang hanya tahu menyuruh, memerintah, menuntut, dan marah di satu pihak akan membentuk pribadi anak yang penakut, pasif tidak punya inisiatif, dan apatis dan di lain pihak membentuk pribadi anak menjadi agresif. Sebaliknya apabila orang tua selalu menciptakan suasana dialog dengan anak akan membentuk pribadi yang aktif, penuh inisiatif, dan berani. Dengan demikian orang tua menjadi contoh konkret dan tokoh bagi anak untuk selalu bersikap baik dalam kehidupannya setiap hari. Apabila semuanya ini bejalan dengan baik dalam keluarga, maka kebahagiaan dan kedamaian akan tercipta dan akan dirindukan oleh setiap orang. Faktor-faktor Penyebab Hilangnya Peranan Sosial dalam Keluarga 1. Faktor dari dalam  Dasar emosional atau kasih sayang dan cinta kasih tidak ditemukan lagi dalam keluarga. Hal ini desebabkan karena orang bekerja sehingga orang tua dan anak jarang bertemu.  Orang tua dan anak jarang bertemu karena pekerjaan. Maka keluarga sebagai tempat pembentuk kepribadian anak tidak berjalan dengan baik.  Anak kehilangan orang tua sejak kecil. Entah karena telah meninggal dunia atau karena perceraian. 2. Faktor dari luar Karena beberapa sebab misalnya karena perekonomian, produksi, sistem kekeluargaan ini semakin kabur. Hal ini desebabkan juga karena urbanisasi dan sebagainya. Akibat dari perkembangan keluarga itu menyebabkan hilangnya peranan-peranan sosial yaitu:  Keluarga berubah fungsinya, dari keluarga yang menghasilkan menjadi keluarga yang memakai semata-mata. Dahulu keluarga meghasilkan sendiri untuk keluarganya tetapi lama-kelamaan fungsi ini menjadi jarang karena dikerjakan oleh orang tertentu.  Tugas untuk mendidik anak sebagian besar diserahkan kepeda sekolah-sekolah, atau babysister bagi anak yang masih balita.  Tugas bercengkerama dalam keluarga semakin menurun, hal ini terjadi dengan hadirnya perkumpulan-perkumpulan modern, sehingga waktu untuk bersama keluarga menjadi semakin lama semakin kendor.

LITURGI MERUPAKAN PERAYAAN IMAN UMAT SECARA AKTIF

ERICK SILA Dalam dunia dewasa ini, perkembangan dalam ilmu pengatahuan semakin marak. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan membuat suatu bidang ilmu semakin terkenal dan dapat dipahami oleh semua kalangan. Dalam liturgi, perkembangan juga mulai tampak, setelah konsili Vatikan II. Ilmu liturgi merumuskan bermacam-macam bentuk hal yang dapat mendorong liturgi sendiri sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh umat kristiani. Unsur-unsur teologi yang ada dalam liturgi dikaji dan dikemukakan kepada umat beriman agar umat mampu memahami misteri perayaan itu. Dengan demikian pembaharuan umum dalam liturgi mempunyai suatu tujuan yakni umat kristen memperoleh kelimpahan rahmat di dalamnya dengan lebih terjamin. Liturgi terdiri atas bagain yang dapat berubah dan ada bagian yang tidak dapat berubah. Atas bagian yang tidak dapat berubah dilembagakan secara ilahi sedangkan atas bagian yang berubah merupakan suatu variasi yang dimasukan hal-hal baru untuk menggantikan hal-hal yang kurang serasi dalam hakekat liturgi yang paling inti atau sudah kurang cocok. Meskipun demikian perubahan itu tidak dihilangkan hal kudus yang merupakan inti dalam liturgi . Liturgi yang sedang kita ikuti dalam kehidupan kita setiap hari adalah liturgi yang bercorak barat atau sering kita kenal sebagai ritus barat. Dalam perkembangan zaman, sejarah liturgi barat dapat dibagi menjadi empat masa. Pertama, dari awal sampai ke masa Gregorius Agung yakni tahun 590; kedua, masa Gregorius VII yakni 1073; ketiga, sampai konsili Trente 1545 dan empat, dari konsili Trente sampai konsili Vatikan II. Dalam konsili Vatikan II zaman baru telah terbit dalam sejarah liturgi . Secara umum istilah liturgi yang kita pakai hingga sampai pada akhir ini mempunyai latar belakang profan–politis dari masyarakat yunani kuno. Liturgi berasal dari kata Leitourgia. Kata Leitourgia merupakan gabungan dari dua kata Ergon (karya) dan Leitos yang merupakan kata sifat dari laos (bangsa). secara hurufia leitourgia merupakan karya pelayanan yang dibaktikan demi kepentingan bangsa, suatu pelayanan yang tidak menuntut imbalan. Dalam perkembangan zaman kata liturgi mendapat arti kultis. Liturgi mulai dipahami sebagai pelayanan ibadat para imam. Akhirnya liturgi dimengerti sebagai pelayanan imamat yang berpusat dan bertumpu pada kehidupan Yesus Kristus . Liturgi sebagai suatu perayaan iman yakni ibadah dan doa resmi yang dilaksanakan umat beriman dengan sehati sejiwa dalam kegembiraan dan syukur untuk mengenangkan karya keselamatan Allah yang dikerjakan oleh Yesus Kristus dalam daya kekuatan roh kudus . Dengan demikian liturgi bukan suatu “karya publik” melainkan hubungan intim antara Allah dan umat-Nya yang mengambil bagian secara aktif dan sadar dalam karya Allah tersebut dimana termaktub dalam diri Yesus Kristus penebus dan imam agung kita. Karya penebusan ini dipahami oleh gereja sebagai suatu pewartaan. Artinya karya keselamatan yang telah diberikan kepada kita menuntut suatu tindakan pewartaan. Pewartaan bukan hanya injil tetapi kita perlu mewartakan dan mewujudkan karya keselamatan. Maka gereja menghayati dan melestarikan karya keselamatan itu menjadi nyata dalam liturgi gereja melalui korban ilahi. Inilah komunikasi antara Allah dan umat-Nya menjadi nyata. Inilah puncak dan sumber kehidupan gereja karena dalamnya umat Allah mencecap dan mereguk kenikmatan rohani yang dihidangkan Allah bagi umat-Nya. Liturgi sebagai ibadah dan doa bersama yang di dalamnya umat Allah terlibat aktif untuk berdoa dalam liturgi gereja. Disini dibutuhkan inisiatif dan kesadaran dari umat untuk menghadirkan karya keselamatantersebut dalam doa bersama sehingga rahmat keselamatan dapat dirasakan oleh umat. Liturgi bukan hanya tontonan melainkan suatu perayaan. Maka sangat salah jika sebagai umat Allah hadir dalam mengikuti liturgi namun diam tanpa ikut ambil bagian secara aktif .

KEBANGKITAN YESUS KRISTUS SEBAGAI PERISTIWA KEMENANGAN (KRISTOLOGI)

VINSEN SABU I Pengantar Berbicara tentang kebangkitan badan sangat menggetarkan semua orang. Banyak orang tidak percaya tentang kebangkitan, sebab bagi mereka sangat mustahil jika orang yang telah mati bangkit kembali. Bagi mereka kebangkitan itu hanya sebuah ilusi manusia. Paham inilah yang dianut oleh orang-orang zaman Yesus yang tidak percaya akan kebangkiatn badan. Menyikapi hal itu para murid Yesus berjuang dengan gagah berani untuk mewartakan peristiwa kebangkitan Yesus. Jantung pewartaan para rasul ialah kebangkitan. Bagi mereka kebangkitan merupakan suatu fakta historis yang sungguh terjadi bukan hanya sebuah ilusi. Evanggelisasi para murid terutama para rasul ialah pertama-tama kepada orang-orang Yahudi baru orang-orang bukan Yahudi. Peristiwa kebangkitan merupakan credo para rasul. Iman kepercayaan inilah yang di pegang dan diteruskan sampai pada kita saat ini. dengan demikian kebangkitan Yesus dari kubur bagi orang-orang Kristen merupakan suatu bukti kemenangan. Suatu pertanyaan besar bagi kita ialah mengapa kebangkitan Yesus adalah suatu bukti kemenangan?. Hal ini yang akan saya bahas dalam tugas Kristologi ini. II Kebangkitan a. Apa itu kebangkitan? Menurut W. Pannenberg, kebangkitan tidak sesederhana penghidupan sekujur mayat. Kebangkitan Yesus lebih dimengerti sebagai taransformasi daripada revivikasi (Penghidupan mayat kembali). Di sini dapat kita pahami bahwa kebangkitan bukan sebagai suatu penghidupan kembali manusia tapi sebagai suatu perubahan dari suatu hidup kepada hidup yang lain. Maka untuk memahami makna transformasi diri Yesus kita dapat membedakan dengan kisah bangkitnya Lazarus. Kebangkitan ialah peralihan, perubahan dari kematian ke kehidupan. Peralihan dan perubahan itu bukan melulu soal psikologis tetapi menyangkut seluruh diri manusia yang di kuasai oleh roh yang datang dari luar yakni roh Yesus yang bangkit dan tetap hidup. b. Fakta-fakta historis tentang kebangkitan Berbicara tentang historisitas kebangkitan Yesus memang mengalami kesulitan. De facto bahwa tidak ada orang yang melihat dan menyaksikan fakta kebangkitan Yesus dari kubur. Dan sangat tidak masuk akal kalu kita pikirkan bahwa Yesus yang tadinya telah wafat di salib sekarang telah kembali pada hidup semula. Namun kebangkitan berarti Kristus beralih dari dunia ini kepada Bapa-Nya. Hal ini juga yang digambarkan oleh para penginjil dengan melukiskan badan manusiawi Kristus dengan sifat-sifat surgawi. Kristus yang bangkit masuk ke dalam kemuliaan Allah, tidak lagi berada di dunia ini dengan demikian Yesus pergi keluar dari dunia historis ini sehingga tidak dapat lagi di observasi lagi oleh manusia. Kebangkitan sebagai peristiwa hidup Yesus bukan peristiwa historis dalam arti: tidak dapat diselidiki dengan metode ilmu sejarah. Yang dapat diselidiki secara historis ialah pengalaman para murid, bukan pengalaman Yesus. Pokok dalam pengelan para murid ialah bahwa Yesus bersatu dengan Allah . Banyak orang mengatakan bahwa kebangkitan Kristus tidak merupakan objek observasi historis karena kebangkitan oleh banyak orang hanya sebuah pemalsuan belaka: jenasah Yesus dicuri oleh para murid atau orang-orang Yahudi, atau Josef dari arimatea, atau jenasah Yesus hilang dalam lubang yang terjadi yang terjadi gempa bumi yang diceritakan injil. Keterangan-keterangan ini mempersoalkan historisitas kebangkitan Yesus karena ada alasan teologis. Meskipun demikian segala perhatian akan kisah kebangkitan diarahkan kepada makam kosong dan penampakan. Dalam pandangan teologis makam kosong itu sama sekali tidak merupakan pokok peristiwa kebangkitan. Sebab kebangkitan itu tidak berarti bahwa suatu jenasah dapat berjalan lagi, melainkan bahwa Yesus hidup pada Bapa. Namun argumen tentang makam kosong ini sangat lemah tapi tidak boleh diabaikan, karena pewartaan para rasul dan murid beranjak dari kubur kosong itu. Ini tidak dinyatakan oleh makam kosong melainkan oleh penampakan Yesus kepada murid-Nya. Penafsiran kisah kebangkitan umumnya di pengaruhi oleh para ahli. Para ekseget katolik pada umumnya mempunyai pandangan yang lebih positif antara kodrat dan rahmat. Oleh karena itu mereka lebih menekankan realitas insani dan historis dari kebangkitan . Seluruh persoalan mengenai historisitas kebangkitan terutama pertanyaan tentang penampakan serta hubungan makam kosong dengan kebangkitan masih merupakan suatu diskusi kristologi. Banyak orang juga menganggap penampakan sebagai suatu halusinasi dan pengalaman subjektif atau hanya sebuah cerita yang diciptakan oleh para murid. Namun untuk pikiran orang Ibrani tidak mungkin mewartakan kebangkitan tanpa membahasakannya dalam kebangkitan badan. Bagi para rasul kebangkitan merupakan suatu fakta historis yang benar-benar terjadi. Kebangkitan merupakan bentuk ke-tidak-mati-an . Ada enam macam kisah kebangkitandalam perjanjian baru . Pertama dalam injil markus 16:1-8. Kisah ini hanya menceritakan makam kosong. Kisah tentang kebangkitan dalam Markus 16:1-8 ini tidak mengatakan kebangkitan sendiri, juga tidak menceritakan sama sekali penampakan Kristus yang bangit. Yang diceritakan adalah janji bahwa Petrus dan murid-murid yang lain akan melihat-Nya di galilea. Kedua, dalam Mat 28:1-20. Kisah ini memuat satu penampakan Kristus yang bangkit di Yerusalem kepada Maria Magdalena dan Maria yang lain, penyuapan terhadap para penjaga kubur Yesus oleh imam-imam dan tua-tua, juga kepad kesebelas rasul di Galilea dan pengutusan kepada para murid untuk mewartakan kabar gembira kepada semua orang dan membaptis mereka dalam nama Bapa. Ketiga, dalm Luk 24:1-53, juga menceritakan makam kosong dan pesan paska “Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Dalam perikop ini juga menceritakan penampakan Yesus yang telah bangkit di jalan menuju Emaus. Empat, Yoh 20:1-29, menceritakan ditemukannya makam kosong dan penampakan Kristus yang bangkit kepada Maria Magdalena, kepada para murid di Yerusalem ketika Tomas tidak hadir dan sekali lagi kepada mereka ketika Tomas hadir. Kelima, dalam tambahan Yohanes dalam 21:1-23 sesudah ayat-ayat penutup pada Yoh 20:30-31. menceritakan penampakan Yesus kepada tujuh murid di Galilea. Keenam, terdapat dalam penutup panjang injil Markus 16:9-20. dalam perikop ini menceritakan tiga penampakan Yesus di Yerusalem atau pada hari minggu paska. Dengan demikian para ahli mempertahankan historisitas baik dari penampakan maupun dari kubur kosong. Oleh sebab itu kebangkitan sendiri yang diwujudkan dalam penampakan dan makam kosong akhirnya hanya dapat ditangkap dengan iman. Hanya iman manusia dapat mengerti dan memahami peristiwa kebangkitan Yesus. Sebab penampakan Yesus itu tidak merupakan objek yang dapat ditangkap dengan panca indera tetapi didalamnya terlaksana hubungan pribadi dengan Kristus mulia sehingga para murid sungguh tahu bahwa Yesus itu bangkit. Penampakan merupakan tanda dari Tuhan yang mulia. Bagi para rasul kebangkitan merupakan sesuatu yang luar biasa. Namun benar-benar terjadi dan mereka alami dalam hidup mereka sendiri. Dengan demikian pengelaman para murid ini merupakan objek historis bagi kita. Tanpa penampakan iman akan kebangkitan pasti tidak akan tahan lama. Seluruh pengalaman para rasul harus disebut historis biarpun didalamnya tercampur unsur-unsur ilahi . Maka dari itu soal tentang historisitas kebangkitan adalah soal tentang penafsiran iman gereja purba. Willi Marxen mengakui bahwa Paulus pasti percaya bahwa Kristus bangkit dan secara badaniah tetapi ini adalah interperetasi Paulus dan gereja purba mengenai makam kosong dan penampakan. Dan menurut Marsen interpretasi itu salah. Terhadap jalan pikiran ini diajukan keberatan oleh Gerhard Ebeling bahwa kesatuaan iman dalam pengalaman paska merupakan inti pewartaan para rasul. Interpretasi Paulus tentang kubur kosong dan penampakan merupakan suatu kebenaran iman paska . Pengalaman paska para murid tidak boleh di pecah-belah menjadi macam-macam bagian yang kemudian harus disusun kembali karena mereka menghayati seluruh sejarah dan pengalaman mereka mulai permandian sampai wafat-Nya. Justru karena itu kita tidak mungkin memisahkan fakta kebangkitan sendiri dari pengalaman mereka. Kebangkitan Kristus merupakan fakta sejarah sejauh terjalin hidup dalam pengalaman para murid. Dalam hal ini dasar iman merupakan objek sekaligus. Mereka percaya bahwa Yesus telah bangkit karena mereka bertemu dengan Yesus. Dengan demikian pengalaman paska merupakan pengalaman pribadi yang mempunyai banyak segi dan aspek. Pokok dari pengalaman itu adalah pertemuan dengan yang ilahi. Pengalaman paskah merupakan wahyu Allah yang menyatakan diri dalam Yesus mulia, bagaimanapun juga bentuk konkritnya sebagai tanda yang mempunyai arti bagi para murid dalam iman. Pengalaman para murid sekarang menjadi objek penyelidikan historis. Tetapi objek itu hanya dapat ditangkap secara historis kalau diterima sebagai realitas hidup manusia. Pengalaman paska dalam roh kudus itu menjadi titik tolak seluruh refleksi umat purba mengenai Yesus, hal ihwal, kedudukan dan peranan-Nya dalam tata penyelamatan Allah. refleksi itu ditangkap secara konseptual dan diungkapkan dalam bahasa mereka itu sendiri. Itulah yang disebut kristologi . Pengalaman paska ini meyakinkan pengikut Yesus bahwa Allah membenarkan Yesus. Kebangkitan disimpulkan gereja purba dengan makam kosong. Maka dari itu kiranya boleh dikatakan bahwa iman akan kebangkitan mulai dari penampakan dan mungkin penampakan itu kepada Petrus. Penampakan tidak dapat diterangkan dengan arti kondisi psikologis para rasul. Mereka mengalami dan menghayati wafat Yesus kegagalan mutlak. Dan mungkin kegagalan itu membuat mereka rindu akan pengalaman dulu ketika mereka masih hidup bersama dengan Yesus. Maka penampakan merupakan pewahyuan kebangkitan. Dengan demikian yang dibutuhkan para rasul untuk meneruskan kerja Yesus yakni pewartaan kerajaan Allah kepada semua bangsa. c. Makna kebangkitan bagi para rasul Bagi para rasul, kebangkitan adalah terutama pengesahan kewibawaan Yesus dari pihak Allah. Oleh sebab itu mereka tidak menarik kesimpulan bahwa Yesus bangkit berdasarkan penampakan-penampakan. Yang penting bahwa bukan Yesus hidup kembali tetapi bahwa Ia dihidupkan oleh Allah. Allah sendiri yang menghidupkan Yesus. Inti pewartaan kabar keselamatan para rasul ialah peristiwa yang mereka alami yakni kebangkitan Yesus dari antara orang mati. Tanpa kebangkitan maka siasialah pewartaan para rasul. Pewartaan kristen awal yang mewartakan wafat, penguburan, kebangkitan dan penampakan-penampakan Kristus muncul dari yahudi-kristen di Pelestina yakni para rasul dan pengikut-pengikut-Nya . Kebangkitan Yesus bukan hanya cerita belaka namun para rasul benar-benar mengalami peristiwa kebangkitan sebagi suatu fakta yang tak dapat disangkal. Penampakan Yesus bagi meraka adalah suatu bukti kekuatan Allah dalam diri Yesus. Kisah kebangkitan dalam hubungannya dengan pengalaman para rasul dapat kita lihat dalam kisah tentang kebangkitan dalam keempat injil. Di sana dilukiskan tentang pengalaman yang mereka alami seperti: mereka melihat pemuda yang di sebelah kanan dengan pakaian putih dengan mengatakan bahwa Yesus telah bangkit, Ketegasan malaikat bahwa Yesus bangkit adalah kerygma paska sendiri, yang mau dinyatakan. Misteri kebangkitan tidak dapat dirumuskan dengan kata-kata manusia sebab kerygma paska adalah sabda Allah sendiri. ini berarti bahwa di dalam penampakan itu tekanan tidak pada aspek badaniah bahkan tidak pertama-tama pada aspek insani. d. Makna kebangkitan Yesus bagi kita orang kristiani di zaman moderen ini. Dengan kebangkitan Kristus dunia orang mati di buka, dengan pembaptisan baru di dalam gereja dunia di perbaharui. Surga di buka oleh roh kudus sebab alam maut terbuka dan mengembalikan orang-orang mati. Dengan kebangkitan Kristus semua orang dipanggil untuk diselamatkan. Sebab kebangkitan Kristus kehidupan bagi orang mati, pengampunan bagi orang berdosa dan kemuliaan bagi orang kudus. Maka yang harus dilakukan semua orang beriman kristiani adalah bergembira pada saat kebangkitan Kristus. Kita dituntut untuk hidup bersama dalam kegembiraan sebab dalam kegembiraan akan kebangkitan Kristus kita mendapat suatu harapan baru yakni keselamatan. Kebangkitan Kristus menandakan bahwa kerajaan hidup telah tiba, kekuasaan maut telah dihancurkan. Bentuk kelahiran baru datang dan membawa kehidupan lain, cara hidup yang berbeda, perubahan memasuki kodrat kita. Kristus ingin menyatakan kepada kita betapa mutlak perlu kita berakar dalam cinta kepada-Nya dan berpaut pada-Nya. Kita dilahirkan kembali dari Dia dan di dalam Dia. Sebab kita dibangun di atas-Nya agar kita menghasilkan buah yang berlimpah. Buah itu adalah kehidupan baru berupa iman baru dan cinta akan Dia. Dengan latar belakang ini jelaslah kiranya bahwa pengalaman paska berarti percaya kepada Yesus yang telah bangkit dari antara orang mati. Yesus yang wafat di salib bukan suatu penghinaan bagi kita pengikutnya tetapi sebagai suatu kemuliaan. Salib bukan tanda kekalahan melainkan suatu kemenangan yang luar biasa. Sebagai manusia yang hidup dalam zaman moderen ini, khususnya sebagai orang kristiani, percaya akan Yesus yang bangkit harus menjadikan Kristus sebagai pedoman hidup. Singkatnya hubungan orang kristen dengan Kristus seperti hubungan jiwa dengan raga. Seperti jiwa itu rata meliputi setiap bagian tubuh, begitu juga orang kristen harus menghayati Kristus yang bangkit dalam seluruh aspek hidupnya. Pujian Tuhan harus merupakan bahan renungan orang kristen dalam hidup ini, sebab dalam kehidupan yang akan datang merupakan bahan kegembiraan kalau kita hidup bersatu dengan Dia yang telah dibangkitkan Allah dari kematian. III. Refleksi penulis tentang kebangkitan Yesus Setiap orang beriman kristiani tentu mengalami hubungan yang intim dengan Allah dalam diri Yesus putra-Nya, sebagaimana yang saya alami dalam kehidupan ini. Kebangkitan Kristus yang saya alami dalam hidup ini benar-benar merupakan suatu karya penyelenggaraan ilahi. Kristus yang saya alami dapat merubah dan memberikan titik-titik pencerahan dalam hidup saya di saat saya gundah-gulana. Kristus yang bangkit dalam refleksi iman saya merupakan suatu pedoman bagi saya untuk terus berjuang dalam menapaki panggilan hidup. Kebangkitan Kristus sangat bermakna bagi saya jika sayapun ikut bangkit dari segala keterpurukan hidup untuk menggapai suatu pencerahan hidup. Dengan demikian Kristus yang telah bangkit dari maut merupakan kemenangan atas kuasa jahat. Jika saya ikut bangkit dan berjuang untuk menghidupi nilai-nilai luhur dalam diri saya maka saat itulah saya telah ikut ambil bagian dalam peristiwa kemenagan Kristus. Daftar pustaka Bornkam, G. Jesus of Nazareth. London, 1960. .Fitzmyer, Joseph A. Ktekismus kristologi. Yogyakarta: Kanisius, 1994 Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi. Yogyakarta: Kanisius, 1988 Jacobs, Tom. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1982. Richardson, Alan. History sacred and profane SCM: 1964. Serpulus Tano simamora, Serpulus Tano. Yesus Sebuah Diskusi Kristologis. Medan: Bina Media, 2005

ARTI DAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN

I. Arti Manajemen Bila kita mempelajari literatur manajemen, maka kita akan nampak bahwa istilah manajemen mengandung tiga pengertian, yaitu: pertama, manejemen sebagai suatu proses; kedua manejeman sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan akrivitas menajemen dan ketiga, manajemen sebagai suatu seni (suatu art) dan sebagai suatu ilmu. Menurut pengertian yang pertama, yakni manajemen sebagai suatu proses, benda-benda defenisi yang diberikan oleh para ahli. Maka kita menemukan tiga buah defenisi: Dalam Encylopedia of the social sciences dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses dengan proses mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi. Selanjutnya Haimann mengatakan bahwa manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama. Akhirnya George R. Terry mengatakan bahwa manajemen adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu dengan mempergunakan kegiatan orang lain. Jika kita memperhatikan tiga defenisi di atas, maka akan segera nampak bahwa ada tiga pokok penting dalam defenisi-defenisi tersebut: pertama, ada tujuan yang mau dicapai; kedua, tujuan yang dicapai mempergunakan kegiatan orang lain; ketiga, kegiatan orang lain harus dibimbing dan dihayati. Menurut pengertia kedua, manajemen adalah kolektifitas adalah orang-orang yang melakukan aktivitas manajeman. Jadi dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen dalam suatu badan tertentu disebut manajemen. Dalam arti singular disebut Manajer. Yang dimaksud dengan aktivitas manajemen adalah kegiatan-kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan oleh setiap manajer. Kegiatan itu pada umumnya seperti: organizing, staffing, directing dan controling. Menurut pengertian ketiga, manajemen itu adalah suatu seni atau suatu ilmu. Pengertian ini dikemukakan juga oleh Chester I Bernard dalam bukunya “ The function of the executive” yang mengakui manajemen sebagai “seni” dan juga sebagai “ilmu” dan juga beberapa ahli lain seperti: Henry Fayol dan Alfin Brown Harold Koontz. Mereka beranggapan bahwa manejemen sekaligus ilmu dan seni. Manajemen sebagai seni berfungsi untuk mencapai tujuan yang nyata mendatangkan hasil atau manfaat, sedangkan manajemen sebagai ilmu berfungsi untuk menerangkan fenomena-fenomena, kejadian-kejadian, keadaan-keadaan. Jadi memberikan penjelasan yang akurat. Unsur keilmuan merupakan kumpulan pengetahuan yang tertentu seperti yang dinyatakanb oleh peraturan-peraturan atau pandangan-pandangan umum yang dipertahankan oleh berbagai tingakat ujian-ujian dan penyelidikan-penyelidikan. Sedangkan unsur seni merupakan pemakaian pengetahuan tersebut pada situasi tertentu II Fungsi-fungsi manajemen Menurut 13 ahli, pada hakekatnya fungsi-fungsi manajemen di kombinasikan menjadi 10 bagian: Forecasting, planning termasuk budgeting, organizing, stffing, directing/commanding, leading, coordinating, motivating, controling dan reporting. 1. Forecasting forecasting adalah kegiatan meramalkan, memproyeksikan atau mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi sebelum suatu rencana yang lebih pasti dilakukan 2. Planning termasuk budgeting Merupakan perumusan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi, menetapkan peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman pelaksanaan tugas, menetapkan urutan-urutan pelaksanaan yang harus di turut, menetapkan iktisiar biaya yang diperlukan dan pemasukan uang yang diharapkan akan diperoleh dan rangkaian tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. 3. Organizing Dengan organizing, pengelompokan suatu kegiatan yang diperlukan yakni penetapan susunan organisasi serta tugas dan fungsi-fungsi dari setiap unit yang ada dalam organisasi, serta menetapkan kedudukan dan sifat dari masing-masing unit tersebut. 4. Staffing Staffing merupakan satu fungsi manajemen berupa penyusunan personalia pada satu organisasi sejak dari merekrut tenaga kerja, pengembangannya sampai pada usaha agar stiap petugas memberi daya guna maksimal kepada organisasi. 5. Directing Directing adalah fungsi manajemen Yng berkaitan dengan usaha menberi bimbingan, saran-sarana atau isntruksi kepada bawahan agar agas tugas dapat dilaksanakan dengan baik. 6. Leading Fungsi manajemen ini dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer yang menyebabkan orang lain bertindak. Seperti pengambilan keputusan, mengadakan komunikasi antara manjajer dan bawahan dan memberi semangat kepada bawahan. 7. Coordinating fungsinya ialah mengkoordinasi agar tidak terjadi kekacauan, percecokan, kekosongan kegiatan dengan jalan menghubung-hubungkan atau menyelaraskan pekerjaan bawahan agar terjadi kerjasama dalam mencapai tujuan 8. Motivating Maksud dari poin ini ialah pemberian motivasi atau inspirasi, semangat dan dorongan kepada bawahan agar melakukan kegiatan secara sukarela sesuai apa yang dikendaki atasan 9. Controlling Pengawasan terhadap bawahan agar dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula atau sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan serta tujuan yang ingin dicapai. 10. Reporting Fungsi manajemen yang berupa penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai segala hal yang bertalian dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih tinggi baik secara lisan maupun tulisan agar orang yang menerima laporan dapat memperoleh gambaran tentang pelaksanaan tugas orang ya memberi laporan.

FILSAFAT TIMUR: TEMA-TEMA PENTING DALAM HINDUISME

OLEH: ERICK SILA, EFEN NDRURU, FLORY MARUNG 1. Pendahuluan Sebuah agama lahir dari perjumpaan dengan yang kudus. Di dalam perjumpaan itu, manusia membiarkan diri disapa dan disentuh oleh yang kudus dan dimampukan untuk menjawab sentuhan kasih-Nya. Rudolf Otto mengartikan “yang kudus”, sebagai sesuatu yang sulit dimasuki, sebab tersembunyi di dalam jiwa kita. Perjumpaan itu terkristalisasi dalam penghayatan hidup beragama pada tradisi kebudayaan masing-masing. Tradisi itu diwariskan turun-temurun, sehingga akhirnya menjadi patokan dalam kehidupan bermasyarakat. Patokan ini tentu bukan hanya berhenti pada tataran aturan, hukum tetapi sungguh dihayati dan dipercayai sebagai “yang kudus”. Penghayatan akan “yang kudus”, dapat kita temukan dalam Hinduisme yang berakar pada tradisi dan sejarah bangsa India. Mereka meyakini bahwa dunia ini tidak diciptakan satu kali untuk selamanya, tetapi melalui evolusi yang terus menerus. Oleh karena itu, agama Hindu meyakini akan adanya reinkarnasi jiwa, melalui cara hidup yang benar dengan amal kepada sesama dan bhakti kepada Allah dan sesama. Adapun tema-tema penting yang menjadi bahan pembahasan dalam paper ini adalah pandangan Hinduisme tentang dunia, reinkarnasi jiwa, tujuan hidup, sistem sosial kasta, ajaran eskatologis serta bhakti dan rahmat ilahi. Maka untuk lebih memahami secara lebih mendalam tentang beberapa tema penting yang telah dikatakan sebelumya, kelompok akan menguraikannya secara umum. 2. Tema-tema Penting dalam Hinduisme 2.1. Padangan tentang dunia Filsafat Hinduisme berpandangan siklis tentang dunia, waktu dan sejarah. Mereka percaya bahwa dunia tidak diciptakan satu kali untuk selamanya melalui evolusi linear sampai kepada penutupan defenitif dari sejarah dengan peristiwa akhir jaman, tetapi dunia ini harus berproses secara terus menerus, dari ciptaan, pemeliharaan dan penghancuran. Dalam siklis ini tidak terdapat awal dan akhir yang dapat diramalkan. Hal ini berkaitan dengan jiwa-jiwa yang bereinkarnasi yang mencari sarana-sarana untuk mengelak karma dan memperoleh kebebasan abadi (moksa). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, penghancuran dunia alam adalah suatu ekspresi belas kasih Allah terhadap jiwa-jiwa yang miskin, yang masih harus meneruskan suatu putaran yang lelah, untuk memberikan mereka suatu periode istrahat yang total. Ketika itu, sesungguhnya dunia diperkecil ke posisi awalnya, tanpa wujud dalam Allah. Penciptaan itu tidak lain daripada aksi Allah yang mengantar manusia dari status implisit ke eksplisit. Dalam hal ini tidak dibicarakan secara konseptual tentang penciptaan dari “ex nihilo”, karena mereka mengatakan “ex nihilo, nihil fit”. Menurut pamahaman orang Kristen, jika ciptaan itu bukan suatu “ex nihilo” maka ini berati ada sesuatu di luar Allah; itu berarti bahwa ada dua sumber dunia, yakni Allah dan “sesuatu” itu, dalam hal ini lebih bersifat atau politeis (sekurang-kurangnya ada dua sumber ilahi) atau panteistik (semuanya menjadi Allah) dan tidak lagi monoteistik. Karena itu tidak bisa dibicarakan tentang penciptaan, melainkan hanya sebuah produksi atau pembentukan. Menurut Raymundus Panikkar, bahwa pandangan tentang “ex nihilo” dalam agama Hindu mempunyai kecenderungan pada politeisme atau panteisme, tetapi harus diterima juga bahwa orang Hindu berpikir tentang suatu penciptaan untuk Allah, tidak dilihat soal fisik asal mula ciptaan dunia, tetapi bahwa semuanya ini adalah untuk Allah. Mereka tidak mempersoalkan bahwa Allah menciptakan dunia dari substansinya sendiri, seperti causa material-nya, tetapi bahwa dunia ini berasal dari Allah, berada di dalamnya dan terus berada untuknya dan di dalam-nya. Allah dan dunia dua kutub yang berbeda dan tidak sama dari sebuah realitas yang satu dan sama. Dunia ini adalah wujud penampakkan Allah dan Allah sendiri adalah realitasnya. Menurut mitologi Hindu, alam adalah sebuah Tribhuvana atau Trailokya atau (tiga dunia) di dalam bagian sentralnya adalah bumi, bagian superior adalah langit dan bagian inferior disebut Patala. Patala adalah tempat kebesaran dan kemuliaan hidup bagi para jin dan setan. Di bawah ini dari patala, ada neraka di mana orang-orang mati membayar denda dan kesalahan mereka, kemudian mereka be-reinkarnasi ke dalam dunia sebagai manusia atau binatang, menurut karma dari setiap orang. Hukuman neraka itu tidak bersifat abadi tetapi temporal. Seluruh bagian dunia yang lain, entah inferior atau superior adalah tempat pembayaran, penghargaan atau hukuman, sementara bumi adalah tempat berkarya. Inilah satu-satunya tempat dimana orang bisa mengurangi karma dengan menanam jasa, memurnikan diri. Di dunia yang lain, jiwa hanya berbahagia atau menderita seturut kasusnya, untuk kemudian pulang kembali secara baru di atas bumi untuk melanjutkan siklus kehidupannya. Hanya di atas bumi, jiwa yang bereinkarnaisi dalam rupa manusia, dapat berusaha sekuat tenaga demi pembebasannya (moksa), sementara jiwa yang bereinkarnasi dalam bentuk Subhuman, jiwa hanya menebus secara pasif sebagian kecil dari karma-nya. 2.2. Manusia dan Reinkarnasi Jiwa Konsep manusia dalam agama Hindu didasarkan atas dasar keyakinan adanya reinkarnasi jiwa. Manusia secara esensial adalah jiwa yang berbadan. Dalam hal ini terjadi dualisme yakni tubuh dilihat sebagai penjara bagi jiwa. Badan terdiri dari materi, temporal, dan dapat hancur sedangkan jiwa adalah bagian yang tetap dari manusia, sifatnya rohani, murni dan tidak bercela. Jiwa sebagai asas yang lebih tinggi tidak turut aktif dalam pergumulan hidup ini sehingga hal-hal yang jahat tidak merupakan bagian yang nyata dari jiwa. Dalam perjalanan hidup manusia, jiwa kehilangan kemurnian aslinya melalui egoisme dan keinginan-keinginan daging yang menggelapkan jiwa. Jiwa cenderung memikirkan kenikmatan-kenikmatan psiko-fisik belaka daripada hal-hal yang transenden. Jiwa itu bersifat kekal dan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, ketika jiwa bertemu dengan benda-benda maka jiwa menderita kesengsaraan dan harus mengalami kelahiran kembali atau reinkarnasi. Bhagavad Gita mengatakan bahwa: “Sebagaimana manusia menanggalkan pakaian lamanya dan mengenakan pakaian yang baru, demikian pula jiwa menanggalkan tubuhnya yang lama dan masuk ke dalam tubuhnya yang baru”. Ajaran tentang Karma-Samsara Karma adalah hukuman atau ganjaran yang keras terhadap segala perbuatan yang baik maupun yang jahat yang dilakukan oleh seseorang. Jadi apa yang dilakukan manusia, yang baik maupun yang jahat pada masa lalu sangat menentukan kelahiran kembali jiwa saat ini. Oleh karena itu, setiap orang Hindu berusaha menghindari efek hukum karma pada kelahiran berikutnya dengan melakukan perbuatan amal dan hidup sesuai dengan ajaran yang benar. Samsara secara harafia berarti arus, aliran, atau peralihan. Jadi, kehidupan manusia tidak hanya terbatas pada kelahiran dan kematian saja melainkan kehidupan itu suatu samsara atau perjalanan. Samsara merupakan pengembaraan jiwa dari satu tubuh kepada tubuh yang lain, dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Peralihan jiwa ini selalu bergantung pada hukum karma. Untuk mencapai semua ganjaran itu, maka harus sampai kepada keharusan reinkarnasi jiwa, yakni kepercayaan akan suatu peralihan jiwa setelah kematian. Dalam filsafat Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbutan yang dilakukan sebelumnya. Dikatakan bahwa sebelum jiwa memulai eksistensinya di dunia ini, ia telah hidup sebelumnya di tempat lain. Maka kehidupan saat ini akan tersimpan dalam tubuh yang disebut tubuh halus tipis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kehidupan yang akan datang. Para teolog Hindu membedakan dua jenis tubuh yakni tubuh halus-tipis dan tubuh kasar. Tubuh halus-tipis meliputi unsur-unsur kejiwaan, psike dan perasaan, sedangkan tubuh kasar adalah tubuh yang terdiri dari materi, dapat dilihat yakni danging dan tulang. Tubuh halus-tipis berfungsi sebagai ikatan antara jiwa spiritual dengan tubuh kasar. Maka segala perbuatan yang baik maupun yang jahat akan tersimpan pada tubuh halus-kasar yang kemudia akan diadili seturut hukum karma. Pada saat reinkarnasi, jiwa tetap hidup sedangkan tubuh kasar akan menjadi rusak, sehingga jiwa harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatanya. Kebahagiaan dan penderitaan adalah hasil dari perbuatan sebelumnya. Orang Hindu meyakini bahwa mereka akan lahir kembali sebanyak 8.400.000 kali sebelum jiwanya selamat dari perangkap samsara. Reinkarnasi dan Kekristenan Kepercayaan dan keyakinan akan reinkarnasi jiwa dalam agama Hindu sangat sulit diperdamaikan dengan iman kristen. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal berikut: • Visi biblis tentang waktu dan sejarah Mengenai waktu dan sejarah, orang Hindu berpandangan bahwa semuanya itu berlangsung dalam sebuah siklus yang abadi, sedangkan Kitab Suci agama Kristen menekankan akan kesatuan karya Allah dan itu tidak dapat diulangi dalam sejarah. “Seperti Yesus hanya satu kali dikorbankan, demikian orang-orang hanya satu kali mati lalu diadili” (Ibr 9:27). Oleh karena itu, setiap orang harus berusaha melalui perkataan dan perbuatannya untuk memperoleh keselamatan. Sementara untuk agama Hindu melalui konsep waktu memberikan kesan yang lamban atau lama. Oleh karena itu, kemalasan untuk bertindak saat ini terkesan lamban sebab waktu yang diberikan sangat lama. • Konsep Kristen tentang kesatuan jiwa dan tubuh Konsep mengenai reinkarnasi jiwa mengimpilikasikan dualisme ekstrim antara jiwa dan tubuh. Tubuh dilihat sebagai penjara bagi jiwa. Sementara orang Kristen mengatakan bahwa jiwa dan tubuh membentuk satu kesatuan yang esensial, jiwa adalah substansi dari tubuh. Dalam diri manusia ada dua dimensi yaitu “Spirit an Matter”. Oleh karena itu, tubuh akan dibangkitkan dalam kemuliaan pada akhir zaman. • Perbedaan antara hukum karma dan hukum rahmat Konsep mengenai hukum karma, orang Hindu meyakini akan adanya suatu kekuatan untuk memperoleh keselamatan melalui kekuatan manusia, sedangkan orang Kristen mengatakan bahwa persekutuan yang mesra antara Allah dan manusia merupakan suatu hadiah gratis dari Allah. Menurut iman Kristiani tidak penting mengenai lamanya waktu, hidup lama atau pendek, sebab keselamatan bukan tergantung dari panjangnya umur melainkan secara khusus dari kesediaan dan keterbukaan terhadap cinta yang menyelamatkan dari Yesus Kristus. Dalam hal ini, kita ingat saja penjahat yang bertobat ketika ia disalibkan bersama Yesus di puncak bukit Golgota. Ia berkata kepada Yesus “Ingatlah akan daku ketika Engkau berada di dalam kemuliaan kerajaan-Mu”. Jawaban Yesus kepada penjahat tersebut sungguh memberikan jaminan keselamatan kepadanya “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu hari ini juga engkau akan berada di dalam kerajaan-Ku” (Luk 23, 42-45). 2.3. Tujuan-Tujuan Hidup Aturan kehidupan Hindu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial dan umum. Perjalanan hidup manusia diarahkan kepada empat tujuan umum yang disebut Purusartha (yang berarti tujuan hidup seorang persona), yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Fakta bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh membuat ia harus berusaha memenuhi keinginan jiwa dan tubuh. Manusia membutuhkan sarana-sarana material (artha), untuk menyenangkan psiko-fisiknya (kama). Perolehan kekayaan material dan pemuasan kesenangan dan keinginan (kama), harus berdasarkan norma-norma moral (dharma) untuk kemudian memperoleh kebaikan tertinggi atau kebahagiaan tertinggi, yakni pembebasan sejati (moksa). 2.3.1. Dharma Dharma berasal dari kata dhr yang berarti menyokong, menahan, dan memegang. Dharma berarti apa yang menyokong dan yang mempertahankan tata tertib alam masyarakat dan individu. Menurut Epos Mahabharata, dharma menunjuk kepatuhan kepada nilai-nilai moral, seperti non kekerasan (ahimsa), ketulusan hati (satyam), tidak mencuri (asteya), kemurnian (sauca), kontrol atas indera (indriyanigraha), pengampunan (ksama), kontrol diri (dama), tidak marah (akrodha), sabar (dhrti), pengetahuan akan tulisan-tulisan suci (sastra). 2.3.2. Artha Artha adalah kekayaan material yang perlu untuk hidup. Kekayaan material memberikan keyakinan dan kekuatan untuk tugas-tugas rohani. Sesungguhnya, kehidupan spiritual akan bertumbuh kalau orang mulai bebas dari kesibukan untuk mencari nafkah. Kemiskinan adalah suatu kutukan yang lebih buruk dari kematian dan ketiadaan uang adalah akar dari setiap kejahatan. 2.3.3. Kama (Kesenangan-Kesenangan Hidup) Kama adalah kesenangan dan kenikmatan psiko fisik melalui indera-indera ekstern, khususnya indera-indera seksual. Namun, sebagai tujuan dari eksistensi manusia, kama meliputi seluruh kesenangan dan kenikmatan emosi, perasaan estetis, dan kesenangan berolahraga. Kesenangan emosional itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang negatif, tetapi sesuatu yang positif untuk diperoleh, yaitu melalui dharma. 2.3.4. Moksa (Pembebasan Abadi) Moksa adalah akhir dari samsara, pengembaraan jiwa-dan merupakan tujuan setiap orang Hindu. Spritualitas Hindu pertama-tama tertuju pada yang membawa jiwa manusia pada “pantai yang lain” dengan kata lain. pengajaran untuk dapat menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Moksa juga dapat diartikan sebagai kebaikan tertinggi, yang direalisasikan dalam suatu kehidupan yang teratur sesuai dengan nilai-nilai yang harmonis antara dharma, artha, dan kama. Hadiah dari suatu kehidupan teratur baik seperti itu adalah moksa, suatu status di mana secara sempurna jiwa dibebaskan dari ikatan reinkarnasi, dari kehidupan yang tak sempurna ini dan memperoleh kebahagiaan dan keselamatan abadi. 2.4. Sistem Sosial- Kasta Sistem sosial-kasta muncul pada zaman Brahmana. Menurut para ahli, bangsa Arya masuk India sudah mengenal kasta, yaitu golongan imam, prajurit, dan pekerja. Kemudian sesudah bangsa Arya memperkenalkan bangsa pribumi India masuk ke dalamnya, sehingga terbentuklah golongan Sudra. Sistem kasta adalah ciri khas masyarakat Hindu di India yang diwakili kelompok-kelompok sosial yang dianggap sebagai suatu lembaga religius, diatur secara hierarkis, dengan aturan dan tradisi-tradisi yang khusus. Perbedaan kelas dalam masyarakat pada awalnya merupakan suatu perkembangan biasa di dalam masyarakat karena bakat, nasib dan kondisi yang berbeda-beda dari masyarakat itu sendiri. Kemudian perbedaan-perbedaan pekerjaan itu dikembangkan secara hierarkis supaya terjadi harmoni di dalam masyarakat. Empat kelas utama dalam masyarakat India dibagi dalam empat golongan adalah sebagai berikut. 2.4.1. Kelas Brahmana Kelas Brahmana adalah golongan masyarakat yang setiap orangnya memiliki pengetahuan suci dan mempunyai kemampuan untuk kesejahteraan masyarakat, negara, serta umat manusia dengan jalan mengamalkan pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan. Kaum Brahmana bertugas untuk belajar dan mengajar Kitab Veda dan mempersembahkan kurban. 2.4.2. Kelas Ksatrya Kelas Ksatrya adalah golongan masyarakat yang setiap orangnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, serta kemampuan untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, negara, dan umat manusia. Kaum Ksatrya bertugas untuk melindungi masyarakat, bagi hadiah, upeti, gaji, dan belajar Veda. 2.4.3. Kelas Vaisya Kelas Vaisya adalah golongan masyarakat yang setiap orangnya memiliki watak tekun,terampil, hemat, cermat, dan keahlian, serta kemampuan untuk memelihara binatang, bertani, berdagang, belajar Veda. 2.4.4. Kelas Sudra Kelas Sudra adalah golongan masyarakat yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah, ketaatan, serta kemampuan sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan masyarakat, negara, dan umat manusia. Kaum Sudra bertugas untuk melayani secara rendah hati ketiga kasta di atas. Selain keempat kasta di atas, semua orang lain yang berada di luar kelompok-kelompok kasta masyarakat Hindu disebut kaum pancama (yang kelima). Kelompok ini terdiri dari semua anggota masyarakat Hindu yang dihukum atau dibuang oleh masyarakatnya karena pelanggaran-pelanggaran aturan dan kejahatannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang asing dan penganut-penganut agama lain. Semua masyarakat ini tidak mengakui otoritas Veda dan tradisi-tradisi Hindu lainnya, bahkan mereka dianggap sebagai kelompok yang harus dihindari. 2.5. Bhakti dan rahmat ilahi 2.5.1. Bhakti Bhakti adalah ibadat penuh kasih untuk salah satu dewa. Tempat pemujaan keluarga yang dapat ditemukan di setiap rumah orang Hindu memiliki peranan yang sangat penting dalam bhakti karena di sanalah setiap orang Hindu melaksanakan puja, sebagai wujud devosi pribadi. Menyayikan lagu pujian, menyampaikan cerita dewa-dewi, drama religius, menari dan merayakan perayaan keagamaan semuanya ini merupakan unsur-unsur bhakti. Devosi cinta kepada Allah atau relasi cinta interpersonal yang intim antara Allah dan manusia, sedangkan yang ber-bakti disebut brakta. Cinta yang sempurna kepada Allah berarti mencintai Allah dengan segenap budi, hati, jiwa dan raga. Bhakti mengandung dua tingkatan yakni gauni-bhakti: bakti awal, bhakti persiapan sedangkan ekanta-bhakti atau para bhakti: cinta yang sempurna khusus kepada Allah. Dalam bakti awal, orang mendapat pendidikan displin dan latihan doa untuk lebih mencintai Allah. Dalam status ekanta-bhakti, orang seperti “mabuk” Allah. Ada kebahagiaan sempurna yang tak terkatakan karena orang cinta akan Allah. Allah dialami sebagai yang setia, tidak meninggalkannya lagi. Kemurnian antara cinta dan Allah itu dilukiskan seperti cinta murni seorang hamba kepada tuannya, seorang teman kepada temannya, seorang anak kepada orang tuannya, seorang pengantin wanita kepada pengantin prianya. Bhakti menyucikan dosa, menghapus utang-utang reinkarnasi masa lalu dan membuka kemungkinan yang besar untuk moksa. 2.5.2. Rahmat ilahi Rahmat Allah merupakan jawaban Allah terhadap manusia untuk melayani dan mencintainya. Rahmat Allah menolong agar bakti menjadi lebih berhasil sehingga akhirnya sampai kepada moksa. Rahmat itu tentu mengandaikan tanggung jawab, kebebasan dan kerjasama manusia. Allah tidak mentolerir kejahatan manusia, Allah pun tidak menentang mereka yang melaksanakannya. Dalam hal ini rahmat menghormati karma-samsara, bahkan menjadi suatu aspek rahmat, suatu sarana pemurnian yang mengantar jiwa kepada moksa. Ada dua aliran yang berbeda paham tentang rahmat, yakni aliran Vagadai dan aliran Tengalai. Aliran Vagadai mengatakan bahwa Allah mengandaikan kerja sama aktif manusia untuk memperoleh kebebasan jiwa, sedangkan aliran Tengalai mengatakan bahwa Allah akan berbuat segala macam cara demi pembebasan manusia. 3. Kesimpulan dan Refleksi Kepercayaan akan suatu realitas tertinggi merupakan hal yang hakiki bagi setiap orang yang percaya. Orang beriman kepada-Nya karena mereka yakin bahwa Dialah yang mengatasi dan melampaui segala sesuatu. Pada umumnya mereka melakukan ibadat dan memuji realitas tertinggi atau Yang Kudus itu. Agama Hindu yang berakar dan bertumbuh dalam sejarah bangsa india juga demikian. Dengan berbagai cara mereka mengungkapkan rasa hormat kepada Allah. Agama Hindu tidak memiliki otoritas sentral untuk mendefenisikan batas-batas ajaran imannya. Agama Hindu tidak pernah mempertahankan suatu keseragaman dalam ajaran dan disiplin. Pendekatan agama Hindu adalah pendekatan relatifistik yang disesuaikan dengan kapasitas dan perkembangan intelektual, moral, spiritual dan kultural masyarakat. Oleh karena itu, agama Hindu bukanlah sebuah agama monoteis sebab terdiri dari berbagai macam ajaran, sekte, sekolah, gerakan dan aliran. Walaupun demikian, agama Hindu memberikan beberapa hal penting yang dapat diterima secara umum. Agama Hindu mengajarkan beberapa unsur penting mengenai kepercayaan akan proses siklis dunia, dimana terjadi penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran. Kepercayaan akan adanya reinkarnasi jiwa yang ditentukan oleh hukum sebab akibat karma-samsara, serta kepercayaan akan adanya pembebasan jiwa total (moksa) dari ikatan reinkarnasi. Selain itu, orang Hindu juga menunjukkan kepatuhan pada hukum kasta. Namun, hendaknya kepercayaan itu juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak baik hanya bersikap fanatik terhadap agama sendiri. Kebebasan beragama merupakan hak setiap orang. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan, dan cinta kasih kepada sesama. Seseorang tidak dapat mencintai Allah, yang tidak kelihatan dengan mata, tanpa mencintai sesama yang jelas dan nyata ada di depan mata.