Jumat, 25 Maret 2011

Rudolf Otto:
Pengalaman akan Yang Kudus
Oleh:
Andika Tarigan
Erick Sila
Prian Malau
Nelis Neba


1. Pengantar
Manusia merupakan makhluk religius. Ia tidak hanya mempunyai pengalaman inderawi tetapi juga mengalami hal-hal yang religius dan rohani. Salah satu pengalaman rohani adalah pengalaman beragama, pengalaman akan kehadiran yang ilahi.
Agama terbentuk dari keyakinan akan kuasa ilahi. Keyakinan ini diungkapkan dalam berbagai kegiatan religius seperti doa dan ibadat. Yang Ilahi menjadi dasar dan tujuan setiap agama dan kepercayaan.
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan pemikiran Rudolf Otto mengenai Yang Kudus. Ia mendasarkan pemikirannya berdasarkan pengalaman akan Yang Kudus.

2. Riwayat Hidup dan Karya

2.1 Riwayat Hidup
Rudol Otto lahir pada tanggal 25 September 1896 di Perne, Prussia. Ia merupakan seorang filsuf sekaligus teolog. Pengaruhnya cukup besar, terutama setelah ia menerbitkan pemikiran/penelitiannya mengenai pengalaman manusia akan Yang Kudus.
Otto adalah putra dari William Otto. Ayahnya merupakan seorang pengusaha pabrik. Sangat sedikit yang diketahui mengenai masa kecil tokoh ini. Ia dididik di gymnasium, di Hidesheim. Setelah itu, ia belajar teologi dan filsafat di Universitas Berlangen dan Gottingen, di mana pada tahun 1887 ia menjadi dosen privat. Ia mengajar teologi, sejarah gereja, dan sejarah filsafat. Pada tahun 1904 ia menjadi profesor teologi sistematik di Gottingen. Selanjutnya ia menjadi profesor teologi di Universitas Breslau pada tahun 1914. Kemudian, ia menjadi profesor teologi sistematik di Universitas Marburg pada tahun 1917 dan bahkan ia menjadi rektor universitas tersebut selama 1 tahun (1926-1927). Pada tahun 1929 ia memutuskan untuk beristirahat dan tinggal di Marburg.
Di samping sebagai pengajar, Rudolf Otto juga ikut dalam perpolitikan. Ia mengunjungi beberapa negara untuk dapat berkontak langsung dengan alam dan budaya setempat. Ia mengampanyekan kebebasan beragama. Ia meninggal dunia pada tanggal 6 Maret 1937.

2.2 Karya-karya
Otto menerbitkan karyanya yang pertama pada tahun 1898. Karya tersebut berjudul The Perception of The Holy Spirit by Luther. Karya tersebut jelas menyiratkan kekaguman Otto pada Martin Luther. Selain Luther, pemikiran Otto juga dipengaruhi oleh Kant. Pada tahun 1904, terbit bukunya yang berjudul Naturalism and Religion. Ia membandingkan pendekatan dasar sains dengan pendekatan agama, serta kemungkinan pandangan dunia yang terintegrasi. 5 tahun kemudian, terbit karyanya yang lebihi signifikan, yakni The Philosophy of Religion Based on Kant and Fries.
Beberapa karya Otto dalam Bahasa Inggris yang terkenal antara lain, The Life and Ministry of Jesus (1908), The Idea of Holy (1923), Christianity and The Indian Religion of Grace (1928), Religius Essays: A Supplement to The Idea of The Holy (1931), Mysticism East and West: A Comparative Analysis of The Nature of Mysticm, The Kingdom of God and The Son of Man: A Study in The History of Religion (1943), dan Autobiographical and Social Essays (1996).
Pemikiran Rudolf Otto sangat besar dipengaruhi oleh Schleiermacher. Friedrich Schleiermacher dapat disebut sebagai bapak para teolog Jerman. Dialah yang mengawali intuisi baru terhadap agama. Dalam buku Schleiermacher yang berjudul Über die Religion: Reden an die Gebilden unter ihren Verächtern, Otto menuliskan kata pengantar dan penutup disertai dengan komentar yang bersifat mendukung dan membangun. Dari buku inilah, Otto mengembangkan pemikiran dan hipotesa.




3. Pemikiran Mengenai Yang Kudus
Pemikiran Otto mengenai Yang Kudus terdapat dalam karyanya yang berjudul Das Heilege, yang terbit pada tahun 1917. Pada tahun 1923, buku tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Idea of Holy. Dalam buku tersebut, Otto menyatakan bahwa ada kepekaan manusia terhadap Yang Kudus. Hal itu merupakan suatu struktur apriori dalam jiwa manusia.

3.1 Tuntutan Akal akan Kepercayaan/ agama
Agama/ kepercayaan menyatakan bahwa dunia ini dipersiapkan dan bergantung pada penyelenggaraan Ilahi. Di sana ada suatu sisi lain yang tidak tampak pada kita. Namun sekarang muncul pertanyaan, apakah percaya itu sesuatu yang wajar dan masuk akal? Munculnya pengakuan akan Yang Ilahi mengandaikan suatu keterbukaan akal budi manusia terhadap seluruh realitas, sehingga tampaklah aspek mutlak daripadanya.
Menurut Rudolf Otto, dalam diri manusia ada struktur apriori yang dapat memahami Yang Kudus. Akal sehat kita cenderung untuk mengerti dan memahami inti dari misteri tersebut. Bahkan, sebenarnya Yang Kudus menyingkapkan diri dalam jiwa manusia. Keterbukaan akal untuk menangkap dan memahami pengalaman religius tersebut menjadi dasar orang beragama. Yang Kudus tersebut merupakan inti tiap-tiap agama. Hal ini dapat dilihat dalam tiap-tiap agama. Setiap agama membicarakan Yang Kudus sebagai Yang sama sekali lain, yang muncul dalam hidup/pengalaman manusia.

3.2 Pengalaman Religius
Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu kala, orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional. Hal itu terjadi karena apa yang dihadapi tersebut melampaui daya nalar/tangkap manusia. Apa yang dialami tersebut ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak serupa dengan teka-teki. Ia merupakan misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya dalam pengalaman manusia.
Sebagaimana Imanuel Kant mengemukakan bentuk-bentuk apriori yang rasional, misalnya kedua belas kategori akal budi sebagai perlengkapan jiwa di bidang pemikiran rasional, Rudolf Otto juga menunjukkan bentuk-bentuk apriori yang irasional. Bentuk-bentuk tersebut terletak di bidang perasaan hati manusia. Salah satu struktur apriori yang termasuk perlengkapan jiwa di bidang irasional tersebut adalah ‘sensus religiosus’ . Struktur jiwa yang sedemikian membuat manusia merasa tersentuh dan tergerak oleh Yang Suci. Berkat ‘sensus religiosus’ tersebut, manusia dapat mengalami hal-hal duniawi sebagai tanda dari hal-hal ilahi.
Menurut Otto, misteri yang muncul dalam hidup manusia ditafsirkan sebagai ‘Yang Kudus’. Kata ‘suci’ dan ‘kudus’ hendaknya jangan pertama-tama diartikan secara moral sebagai saleh. Alim, dan sebagainya. Arti moral tersebut tidak mengungkapkan inti sari dan hakikat Yang Ilahi. Manusia pun dapat disebut kudus dan suci dalam arti moral. Kata ‘kudus’ menunjuk sesuatu yang dipisahkan dari yang lingkungan profan dan dikhususkan bagi Yang Ilahi. Maka untuk mengungkapkan inti pengalaman religius tersebut, Otto membuat istilah baru, yaitu ‘perasaan numinous’. Istilah ‘numen’ dalam Bahasa Latin berarti ‘kekuasaan ilahi’, dan memang ke-ilahian’ Yang Ilahi itulah yang menjadi arti utama dari kata ‘kudus’.

3.2.1 Perasaan Numinous
Dalam ide Yang Kudus, Otto mencoba untuk memperjelas perbedaan antara perasaan religius dengan perasaan yang mungkin bisa membingungkan, seperti perasaan akan yang indah. Perasaan numinous ini bersifat irasional, karena tersembunyi dan membentuk suatu keadaan psikologis yang paling mendasar dalam jiwa. Ciri rasionalitas dari numinous tersebut menunjukkan bahwa setiap pengalaman religius tidak bis dikonsepkan. Ia tidak terkurung dalam rasionalitas intelektual. Ia tetap dapat dipahami walaupun tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia.
Perasaan numinous memiliki dua aspek yang utama, yaitu perasaan takut yang religius (tremendum) dan perasaan terpesona/ tertarik (fascinans). Yang ilahi, yang merupakan misteri, serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan. Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. Yang Kudus muncul sebagai ‘mysterium tremendum et fascinas’.

3.2.1.1 Perasaan yang menggetarkan-menakutkan (tremendum)
Numinous yang menampakkan diri memunculkan perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya. Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil.
3.2.1.2 Perasaan yang mengagumkan-mempesona (fascinans)
Meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, namun Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal, mengerti, dan merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak rasional, Yang Ilahi tersebut dialami sebagai sesuatu yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya.

3.3 Penampakan Yang Kudus
Yang Kudus dapat menampakkan diri dalam benda-benda dunia (hierofani). Pada dasarnya seluruh kosmos (segala sesuatu) dapat menampakkan Yang Kudus. Akan tetapi, umumnya hanya benda-benda tertentu saja yang dihayati sebagai sesuatu yang kudus. Benda-benda dunia menunjuk ke arah sesuatu yang melebihi dirinya, sesuatu yang ilahi. Benda yang profan tersebut menjadi media bagi manusia untuk mencari dan menemukan Yang Kudus.


4. Penutup
Kepercayaan/agama akan Yang Kudus merupakan hal yang hakiki bagi orang yang percaya. Orang beriman kepada-Nya karena mereka yakin bahwa Dialah yang mengatasi dan melampaui segala sesuatu. Pada umumnya, mereka melakukan ibadat dan memuji Yang Kudus. Namun, hendaknya kepercayaan tersebut juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Iman haruslah diimbangi dengan ratio (akal). Tidaklah baik hanya bersikap fanatik terhadap agama sendiri. Kebebasan beragama merupakan hak setiap orang. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan, dan cinta kasih kepada sesama. Seseorang tidak dapat mencintai Yang Kudus, yang tidak kelihatan dengan mata, tanpa mencintai sesama yang jelas dan nyata ada di depan mata.













Bibliografi

Ara, Alfonsus. Wahyu dan Iman. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2009. (Diktat)


Balela, Yosep Solor. Filsafat Ketuhanan. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], [tanpa tahun]. (Diktat)

British Empire Medal. Otto, Rudolf dalam The New Encyclopaedia of Britanica vol. 9. Chicago: Encyclopaedia Inc., 1986.

Dister, Nico Syukur. Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Huijbers, Theo. Mencari Allah: Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisisus, 1992.

Shorter, J. M. Otto, Rudolf dalam The Encyclopedia of Philosophy .vol. 6. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1972.

Senin, 07 Maret 2011

Moral

MENJADI PRIBADI YANG BERTANGGUNG JAWAB
DAN KEREATIF
(ERICK M. SILA)

Setiap orang yang ingin hidup bebas dalam Kristus, pertama-tama ia harus memahami dirinya, siapa dia sebenarnya dalam hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam ciptaan. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membawa manusia kepada suatu perubahan selain memahami dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Untuk mencapai cita-cita tersebut setiap orang berusaha agar tindakannya menyerupai tindakan Allah. “Jadilah seperti Yesus Kristus… untuk sesuai dengan Kristus setiap orang dituntut untuk berbuat sesuai dengan apa yang diajarkan Yesus kepada kita. Sebagai murid Kristus kita dibentuk oleh kasih Allah sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan suatu tindakan yang bertanggung jawab dan kreatif.
Manusia yang bertanggung jawab dan kreatif terbatas pada keutuhan diri dan situasi batinnya. Motif utama dari tindakan seseorang adalah “kebajikan”. Erick Osborn mengatakan “kebajikan adalah nilai bukan istilah seperti baik dan buruk, juga bukan hal normatif seperti benar dan salah. Kebajikan adalah ciri dari karakter. Erick Erikson melihat kekuatan batin kebajikan sebagai kekuatan subjektif yang merupakan salah satu keberhasilan.
Para ahli modern, moralis dan psikolog tidak memakai kata “kebajikan” sebab mereka menghindari kesalahpahaman yang menganggap kebajikan sebagai sikap yang terlalu taat atau patuh. Oleh karena itu, kata yang tepat bagi mereka adalah “karakter”. James Gustafson berbicara tentang karakter yang menunjukan seluruh tindakan dan keberadaan manusia.
Dalam diri manusia selalu ada keinginan untuk bertindak sedemikian rupa sehingga ia menjadi orang yang dapat dipercaya dan identitasnya diakui.
Ketika seseorang ditandai oleh pola hidup Kristus yang merendahkan diri-Nya untuk menjadi seorang hamba, akan diberikan kebebasan dan kesiapan untuk bertindak dengan cara tertentu. “Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan pengendalian diri” (Gal 5:22) adalah sikap dasar untuk membagun hubungan dengan Kristus. James Gustafson: disposisi yang merupakan dasar kebebasan dalam Kristus “adalah memiliki harapan dan kepaercayaan untuk berani”. Percaya kepada Kristus memampukan kita untuk memberikan diri demi Tuhan dan sesama. Keberanian adalah dasar bagi setiap hubuangan yang kreatif.
Etika yang membentuk orang menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan kreatif, harus menaruh perhatian terhadap emosi.
Sekolah etika Jerman dan para ahli etika fenomenologis misalnya Dietrich Hildebrand, Maax Scheler, Alexander Pfander, Eduth Stein telah memberikan perhatian bersar terhadap apa yang disebut dalam bahasa Jerman “Gesinung dan Gemut”. Konsep-konsep ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang dimaksud dari kedua kata ini seperti dalam Alkitab yakni “Hati Hanusia”. “hati” menunjuk pada keutuhan seseorang yang membangun hubungan dengan orang lain.
Emosi membentuk “hati manusia”. Kita tidak berbicara tentang emosi ysng hanya merupakan suasana hati atau tekanan biologis tetapi lebih daripada emosional yang mengungkapkan hubungan dengan sesama dan dengan diri sendiri.
Sebuah etika tanggung jawab dalam tindakan adalah salah satu dimensi etika ketaatan. Kita membutuhkan konfigurasi dari sebuah “etika hati” dimana respon nilai yang mengema dalam hati kita, dengan segala emosi yang menyertainya sebagai respon pertama dan mendasar. Tujuan utamanya ialah untuk menjadi hamba kepada Injil, kepada Allah, dan kepada sesama.
Dasar dari moralitas Kristen adalah hidup dalam Kristus Yesus, “Tinggallah di dalam Aku seperti Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh 15:4).

PUISI….
Indah Karya Agung Tuhan

Sorot mentari yang kian melemah
Terhalang oleh rimbunnya pepohonan
Daun-daun yang bergoyang
Ditiup semilirnya angin meneduhkan suasana
Terdengar kicauan bersahut-sahutan
Mengabarkan hari baru telah tiba
Mengajak setiap insan dari peraduannya
Untuk memulai hari…
Sementara sang mentari pun mulai tersenyum
Menyapa setiap mahkluk
Aku datang membawa terang
Aku datang membawa kehangatan…
Sang embun pagi pun…
Mengundurkan diri dengan hormat
Dengan tidak meninggalkan bekas
Namun, dengan setia dan pasti akan kembali
Ya.. aku akan kembali…
Dengan tenang…
Dengan langkah pasti sang petani memulai harinya
Hari yang dijanjikan penuh berkat
Hari yang penuh sukacita dan damai…
Di kaki sebuah bukit yang hijau
Hamparan sawah nan luas
Bergembira menantikan jamahan sang petani
Jamahan penuh kasih dan cinta
Dan ketika sang mentari kembali ke peraduannya
Awan gelap pun menutupi jagat raya
Terdengar sayup-sayup…
Nyanyian khas penghuni rimba pun terdengar
Suara jangkrik dan semilirnya angin malam
Menjanjikan suatu mimpi indah
Mimpi yang membawa harapan
Mimpi yang membawa kedamaian
Oh,Tuhan…
Sungguh agung dan mulia karya-Mu
Sungguh dasyat dan tak terselami
Hanya kagum dan kagum…
Namun sayang…
Kini kami tinggal kenangan
Ulah tangan-tangan jahil manusia
Ke mana…???
Ke mana kami mau dibawa???

Bilik Sempit, 05-03-11
Erick M. Sila
Puisi….


Senandung Semesta

Di sini aku duduk terdiam
Sepi, dalam himpitan khayalan
Kurenung memandang semesta nan menawan
Tenggelam mendalam dalam sang kalam
Langit menghampar membiru
Sang awan menggelayut mesra dalam peluknya
Burung-burung terbang gembira
Tanpa susah, tanpa haru biru
Aku bertanya dalam benakku
Mampukah aku terbang dalam keindahan itu?
Aku tidak punya sayap…
Yang kupunya hanyalah kesenyapan
Kulayangkan pandangku ke gunung, bukit, lereng dan lembah
Hamparan padang menghijau damai
Tetesan-tetesan air berkumpul dari segala arah
Menjadi danau cantik bak mempelai
Aku merasakan getaran mendalam di jiwaku
Aku diam sejurus dan bertanya…
Siapakah aku ini di mata-Mu ya Allahku?
Siapakah aku ini di hadapan semesta raya?
Segala yang kusaksikan membuatku gemetar
Gemetar bukan karena takut…tapi rasa kecil…
Tidak ada yang begitu membuatku gentar…
Kecuali karena jiwaku yang menjadi kecil
Sejurus kupandangi sebatang rumput…
Dalam kumpulan hamparan sang padang
Kupandangi tanpa luput
Tidakkah aku seperti rumput di padang?
Ya…aku hanya sebatang rumput di tengah padang semesta
Kecil, sepi, dan tak berarti
Tapi apa yang telah kau lakukan wahai sang maha?
Engkau mendandani aku menjadi kian berarti
Aku bangun dan berjalan menyusuri jalan setapak yang tadi kulalui
Di dalam benakku aku bertanya, akankah alam ini tetap lestari?
Aku ingat, di tempat lain alam yang kian cantik dijarah dan dirusak
Manusia semacam aku ini menjadi penyebabnya…
Ya…Allahku…Engkau Maha Adil dan Maha penjaga…
Bukalah hati manusia yang Kaucintai untuk mengerti kehendak-Mu…
Alam ini adalah buah cinta-Mu gambaran sang baka…
Semoga alam ini tetap menjadi gambar tanah air terjanji-Mu…

Bilik Sempit, 07-03-11
Erick M. Sila

Sabtu, 05 Maret 2011

Filsafat Barat Abad XX

KARL JASPERS

“Manusia harus tahu siapa dia tadinya,
untuk menjadi sadar mungkin menjadi apa nantinya.
Masa lampaunya yang historis adalah
faktor dasar yang tidak bisa di hindarkan bagi masa depannya”
(Karl Jaspers)
(Oleh: Erick M. Sila)


I. Pendahuluan
Filsafat tidak mengenal apa yang disebut “titik nol yang mutlak” seperti dalam ilmu alam; ia tidak memulai dengan membuka selembar halaman yang masih kosong. Filsafat selalau berangkat dari manusia yang sudah memulai perjalanannya. Karl jaspers, seorang ahli filsafat eksistensialis merumuskan pendapat yang sama pada permulaan karya utama tentang filsafat.
Di dalam filsafat, Jaspers mulai mempertanyakan yang hakiki: apa itu?, siapakah aku?, apa yang harus saya lakukan? Jaspers mulai menyelidiki dasar-dasar keputusan manusia dan keyakinan yang menjadi dasar hidupnya. Melalui “orientasi dalam dunia” , Jaspers mengajak manusia untuk menjadi dirinya sendiri; mengembalikan manausia pada dirinya sendiri.
Pokok-pokok pikiran Karl Jaspers sangat tajam. Akan tetapi, untuk sampai kepada diri sendiri melalui “orientasi dalam dunia” manuasia mengalami “situasi-situasi batas”. Oleh karena itu, menurut Jaspers, manusia harus menemukan dirinya dalam perjumpaan dengan orang lain. Dalam hal ini, menurut Jaspers, walaupun perjumpaan dengan sesama memberikan pengertian yang baik tentang saya, akan tetapi saya tetap tinggal pada pertanyaan “Ada” yang sebenarnya. Ada sesuatu “Ada” yang lain yang melingkupi manusia dan dunia (das umbreifende), yaitu yang “transenden”. Gagasan-gagasan filosofis dari Karl Jaspers tersebut di ataslah yang membuat penulis tertrik untuk membahas secara khusus tokoh ini.

II. Riwayat Hidup
Karel Jasper lahir di Oldenburg, Jerman Utara, pada tanggal 23 Februari 1883 dari pasangan Wilhelm Jaspers dan Henriette Tantzen. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang bekerja pada sebuah bank, sedangkan ibunya berasal dari keluarga petani. Jaspers bersekolah dan belajar hukum selama tiga semester di universitas Heidelberg dan Mủnchen (1901-1902).
Sebagai spesialisasi ia memilih psikiatri dan pada tahun 1910 ia menikahi Getrad Mayer. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allgemeine Psychopathologie (Psikologi Umum) menjadi buku pegangan yang masih tetap dipakai. Melalui prakteknya sebagai psikiater, Jaspers makin tertarik dengan masalah psikologi dan filsafat. Akhirnya pada tahun 1921, ia diangkat menjadi dosen di universitas Heidelberg.
Setelah perang dunia kedua berakhir Jaspers mengalami zaman kekemasan. Ia diangkat kembali menjadi guru besar dan senator universitas. Tahun 1948 ia menerima undangan untuk pindah ke universitas Basel di Swiss. Setelah itu, ia tetap tinggal di Basel dan memperoleh kewarganegaraan Swiss. Selama hidupnya, Jaspers menulis banyak buku dan artikel serta resensi dalam bidang psikologi, politik dan filsafat. Jaspers meninggal dunia di Basel pada tahun 1969.

III. Pokok-pokok Pikiran Jaspers
A. Filsafat Eksistensi
Filsafat pertama-tama tidak langsung bertanya tentang apa itu “Ada” atau “siapakah saya” atau “apa yang sesungguhnya saya inginkan”, akan tetapipertama-tama harus disadari bahwa manusia berada dalam situasi yang tidak pasti. Dengan demikian manusia terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi yang demikian ditantang terus untuk mencari “Ada” sampai didapatkan kepastian tentang dirinya. Manusia selalu dihadapkan kepada suatu ketidakpastian, apa yang harus saya lakukan agar hidup ini bermakna? Jalan mana yang harus dipilih?
Sebagai kenyataan manusia dibagi dalam dua segi. Di satu pihak manusia ada sebagai suatu fakta belaka, akan tetapi dilain pihak ai adalah eksistensi yang konkret dalam situasi ruang dan waktu. Sebagai eksistensi manusia menghayati dirinya sebagai suatu diri yang “menjadi”. Kita tidak bisa mempelajari manusia sebagai fakta belaka yaitu dengan menempatkan manusia sebagai objek terhadap kita.
Inilah cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan terhadap manusia. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah mencapai pengetahuan yang menyeluruh tentang manusia sebagai eksistensi yang bebas dan senantiasa bertindak berdasarkan pilihannya sendiri.
Dalam tulisan Philosophie,yang berjudul “orientasi dalam dunia”, dijelaskan bahwa manusia tidak akan menemukan makna hidup melalui “jalan pengetahuan” melainkan, demikian Jaspers, harus dicari dalam existenzerllung “penerangan eksistensi”. Bagi Jaspers eksistensi merupakan hal yang paling berharga dalam diri manusia.
Eksistensi merupakan aku yang sebenarnya yang tidak dapat dicapai dari yang umum melainkan harus diterangi dari dirinya sendiri. Eksistensi adalah penghayatan mengenai kebebasan total yang merupakan inti manusia. Eksistensi yang demikian itu tidak dapat direalisasikan sendiri-sendiri tanpa ikatan eksistensial dengan eksistensi lain. Malainkan hanya dalam komunikasi dengan orang lain dalam suatu perjumpaan sejati.
Jaspers dalam hal ini menjelaskan bahwa eksistensi hanya mungkin malalui kehidupan bermasyarakat. Ini berarti manusia dalam hidupnya selalu berada dalam situasi-situasi yang bersifat sosial. Ia menambahkan bahwa cara manusia berhubungan dengan lingkungan sosial bermacam-macam. Ada yang menyerah saja pada situasi sosial yang ada tanpa mempertahankan dirinya sendiri sebagai suatu kesejatian, dengan demikian membiarkan dirinya hanyut dalam kehidupan bersama tanpa identitasnya sendiri. Bagi Jaspers yang penting adalah cara bagaimana berkomunikasi dengan situasi-situasi sosial tanpa kehilangan jati diri atau kesejatian pribadi.
Tetapi puncak komunikasi menurut Jaspers adalah dalam komunikasi eksistensial yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dan tidak melalui kata-kata. Dua orang saling mengerti seolah-olah dari dalam dan terjadi secara spontan dan saling membuka diri satu terhadap yang lain secara suka rela. Manusia sadar akan eksistensinya sendiri karena bergaul dengan orang lain.

B. Situasi-situasi Batas
Perjumpaan manusia yang satu dengan yang lain melalui komunikasi, manusia menjadi sadar akan eksistensinya sendiri. Komunikasi bukanlah suatu-satunya jalan untuk menerangi eksistensi.
Jaspers menolak anggapan bahwa eksistensi dihayati sebagai suatu yang final. Eksistensi justru tidak berkepastian dan tidak final, yang benar adalah adanya situasi-situasi batas yang kita akui sebagai eksistensi kita masing-masing. Beberapa situasi-situasi itu antara lain: keterikatan kita kepada situasi-situasi tertentu; situasionalitas. Situasi batas ;lainya ialah penderitaan. Manuasia adalah mahkluk yang oleh kodratnya harus mengalami penderitaan; ia bisa menderita penyakit, kelaparan, kesengsaraan dan sebagainya. Situasi batas lain yang sering kali dibahas oleh para ahli eksistensi adalah: rasa- salah dan maut.
Manusia, menurut Jaspers, adalah penaggung kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa sebagai kemungkinan yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi situasi batas yang paling pasti adalah maut.
Situasi-situasi batas yang dialami manusia seperti di atas, semakin menjadikan manusia bereksistensi secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, manusia belum sampai kepada “Ada” yang sebenarnya. Semakin manusia sadar akan keterbatasannya di dunia ini, semakin jelas juga bahwa ada sesuatu di seberang batas-batas ini. Bagi Jaspers, hal semacam ini disebut “transendensi” atau “keilahian”.

C. “Transendensi” atau “Keilahian”
Eksistensi mencapai puncaknya di sini. Eksistensi manusia telah mendapat sebuah arti religius. Akan tetapi, pengalaman eksistensial akan yang transenden tidak memberikan jawaban yang pasti sebab, yang transenden tidak kita kenal karena kita hanya memikirkannya secara objektif saja. Oleh karena itu, menurut Jaspers kita hanya bisa berbicara tentang yang transenden secara simbolis saja.
Berbicara tentang transendensi atau Allah tidak memberikan suatu kepuasan sebab, hanya melalui simbol-simbol sajalah (chiffren) kita dapat menafsirkannya sebagai jejak Allah (Vestigia Dei).
Maka kita harus memulai dengan sebuah dialog yang sehat dan yang sangat dibutuhkan. Inti “iman falsafi” itu sama dalam segala zaman dan berlaku bagi semua kebudayaan. Dimana diajarkan secara umum bahwa Allah benar-benar ada, bahwa manusia harus memilih yang baik tanpa syarat, juga bahwa dunia bukan merupakan kenyataan terakhir, dan bahasa cinta telah membuktikan bahwa Allah ada. Atas dasar iman ini, orang dari setiap agama bertemu. Pengenalan lain mengenai Allah memang hanya merupakan chiffer.
Kepastian tak tergoyahkan memang tidak akan dicapai dalam kehidupan ini tetapi, pengalaman akan Allah dalam hidup sehari-hari telah memberi jawaban bahwa Allah ada, sebab Ia telah memberikan makna itu dalam segal sesuatu.

IV. Penutup
Manusia dalam hidupnya selalu dilingkupi dengan sebuah ketidak pastian. Dengan demikian manusia ditantang untuk mencari suatu “ada” sehingga pada akhirnya sampai pada dirinya yang sesungguhnya.
Jaspers merumuskan hal ini dengan jelas bahwa untuk sampai kepada hal itu, harus dicapai dengan ”existensellung” atau suatu “penerangan” melalui orientasi dalam dunia.
Melalui orientasi dalam dunia manusia diajak untuk kembali kepada dirinya sendiri. Akan tetapi, manusia selalu dilingkupi oleh situasi-situasi batas. Oleh sebab itu, harus menemukan diri dalam relasi yang hangat dengan sesama dengan penuh cinta.
Perjumpaan dengan sesama belum memberikan jawaban akan siapa “ada” sebenarnya. “ada” yang sebenarya yang lain yang melingkupi dunia dan manusia (das umbreifende) yaitu transenden atau yang Ilahi.
Pemikiran Karl Jaspers mau tidak mau menjadi semacam kritik (dan barang kali pedoman bertinbak) bagi kita manusia-manusia zaman sekarang – untuk berbenah diri menjadi manusia yang seutuhnya dan sebenarnya, bukan manusia yang ugal-ugalan.

Eksegese (Taurat Musa)

KAMBING PENGANGKUT DOSA
Ulasan Eksegetis atas Imamat 16:20-22
(Oleh: Erick M. Sila
Ruben Afeanpah
Ferry Nono
Piter Nali
Yostan
Lisbeth Purba)

1. Pengantar

Topik utama yang dibicarakan dalam kitab Imamat adalah ibadah. Di dalamnya digambarkan ibadah ilahi yang harus dilaksanakan oleh Harun dan para imam keturunannya. Ibadah umat ini harus dilaksanakan secara benar, artinya sesuai dengan kehendak Allah. Diberikan peraturan-peraturan rinci mengenai binatang korban dan persembahan kurban yang lain, mengenai pengudusan para imam, mengenai kebersihan ritual dan mengenai perayaan tahunan hari perdamaian.
Dalam kitab Imamat juga tersirat akan Allah yang kudus, artinya bahwa Allah adalah sama sekali lain dari manusia. Segala sesuatu yang dikaitkan dengan Allah, termasuk para Imam dan tempat ibadah, turut serta dalam kesucian-Nya dan dipisahkan dari kehidupan sehari-hari untuk dipersembahkan bagi Allah. Allah adalah kudus maka bangsa Israel pun dituntut untuk kudus seperti Allah (Imamat 11:45b; 19:2, 20;26). Dengan kata lain, hal utama yang ditekankan dalam kitab Imamat adalah menata segala aspek kehidupan bangsa Israel agar menjadi sesuai dengan kehadiran YHWH yang suci dan kudus.
Meski Allah adalah kudus namun tidak dapat disangkal bahwa bangsa Israel selalu jatuh dalam kesalahan karena tidak mengindahkan perkataan Allah yang kudus. Dosa bukanlah hal yang jauh, melainkan gejala yang senantiasa hadir dalam hidup manusia. Dosa dan kenajisan menjadi penghalang utama bangsa Israel untuk menghayati kehadiran Allah yang kudus itu di dalam perjalanan hidup mereka setiap hari. Oleh sebab itu, para imam diminta agar sanggup membedakan “yang kudus” dan “yang tidak kudus”, “yang najis”, dan “yang tidak najis”. Dosa dan kenajisan membuat manusia terpisah dari Allah dan dapat menyebabkan kematian, sebab manusia memutuskan relasi dengan Allah.

2. Catatan Awal
Untuk pemulihan relasi dengan Allah dibutuhkan kurban (Qorban) sehingga mereka menjadi dekat kembali dengan Allah. Dengan demikian bangsa Israel membutuhkan berbagai ritual untuk mengejar kesucian. Imam tertinggi mempersiapkan ritual untuk memulihkan relasi bangsa Israel dengan Allah. Pemulihan relasi manusia dengan Allah disebut sebagai hari pendamaian. Perikop Imamat 16:20-22 menggambarkan beberapa bagian besar yang menyolok untuk upacara penebusan kesalahan atau dosa dengan meletakkan tangan imam pada kepala kambing. Semua dosa bangsa Israel akan dialihkan kepada kambing jantan tersebut. Kambing itu kemudian dilepaskan ke padang gurun dengan membawa semua dosa bangsa Israel yang telah ditumpangkan padanya.
Ada beberapa macam perbedaan tafsiran terhadap kambing penghapus dosa. Salah satu tafsiran mengatakan bahwa seluruh dosa bangsa Israel ditanggungkan atas seekor kambing jantan melalui tumpangan tangan seorang imam. Setelah penumpangan tangan tersebut, seluruh dosa bangsa Israel ditebus dan dibebaskan. Kambing yang telah menerima dosa bangsa Israel dilepaskan ke padang gurun dengan keyakinan bahwa kambing itu tidak akan kembali lagi. Dengan demikian seluruh dosa bangsa Isaral telah diangkut oleh kambing tersebut dan di bawah pergi ke padang gurun yang luas.
Dalam sebuah tafsiran lain dikatakan bahwa setelah penumpangan tangan atas kambing jantan, kambing itu mengangkut dosa bangsa Israel dan membawanya pada Azazel. Azazel dikenal sebagai dewa kejahatan. Oleh karena itu dosa bangsa Israel dikembalikan kepada Azazel (dewa padang gurun = penguasa kejahatan).

3. Kambing Jantan Bagi Azazel: Ulasan Eksegetis atas Im 16:20-22
Teks Imamat 16:20-22 merupakan satu kesatuan unit yang berbicara mengenai ritual kambing jantan bagi Azazel. Menurut Hartley membagi teks tersebut menjadi dua bagian yakni; pengakuan segala kesalahan di atas kepala kambing jantan (Imamat 16: 20 - 21a) dan pelepasan kambing jantan ke padang gurun. Ada dua penafsiran yang pokok dari arti upacara yang ajaib ini. Dalam terjemahan lama sebutan ini telah lama dipakai karena didukung oleh LXX dan Vulgata. Sebutan itu didasarkan atas anggapan bahwa Azazel berasal dari akar azal yang berarti memindahkan. Sebutan Azazel menganggap kata itu sebagai nama. Alasan pemakaian ini adalah kenyataan bahwa bagi Azazel tampaknya menjadi lawan bagi Tuhan. Tapi jika sebutan itu adalah nama suatu roh jahat yang terkenal dari padang gurun atau nama lain untuk setan.

Ayat 20 -21a
“setelah selesai mengadakan perdamaian bagi tempat kudus dan kemah pertemuan serta mezbah, ia harus mempersembahkan kambing jantan yang masih hidup itu, dan Harun harus meletakkan kedua tangannya ke atas kepala kambing yang hidup itu dan mengakui ke atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apapun juga dosa mereka; ia harus menanggungkan semuanya itu ke atas kepala kambing jantan.”
“Ia harus mempersembahkan korban kambing jantan itu.” Kambing jantan yang masih hidup ini telah disebut dalam Im 16:8 (dan harus membuang undi atas kedua kambing jantan itu, sebuah undi bagi Tuhan dan sebuah undi untuk Azazel). Kambing jantan itu dibiarkan hidup di hadapan Tuhan dan dilepaskan bagi Azazel (bdk. Im 16:10). Korban kambing jantan itu harus dipersembahkan oleh imam besar Harun.
“Meletakkan tangan”. Meletakkkan tangan artinya supaya dosa-dosa Israel ditanggung oleh kambing jantan itu (bdk. Im 1:4). Ia harus meletakkkan tangannya ke atas kepala korban bakaran itu yakni, orang dari kaum awam yang membawa lembu untuk dipersembahkan sebagai korban dan harus meletakkan tangan ke atas kepala ternak itu. Ada beberapa pendapat tentang makna perbuatan itu. Menurut salah satu penjelasan hal itu merupakan ritus ilmu sihir untuk memenuhi ternak dengan jiwa orang yang mempersembahkan tetapi penjelasan demikian tidak sesuai dengan keyakinan orang Israel. Pendapat lain mengatakan perbuatan itu merupakan tanda bahwa ternak itu menggantikan orang yang mempersembahkannya dan memikul semua dosanya untuk mengadakan perdamaian baginya. Memang dalam upacara hari raya perdamaian perbuatan dosa Israel ditanggung oleh kambing jantan.
Tujuannya berbeda dengan ketika orang meletakkan tangannya atas kepala korban bakaran. Seorang yang sudah siap sedia biasanya seorang yang tidak lain Israel yang mengetahui jalan-jalan kecil melalui padang gurun. Dipilih satu hari dahulu untuk membimbing kambing itu. Jadi tujuan penumpangan tangan yang dimaksud adalah untuk mangalihkan dosa-dosa bangsa Israel kepada kambing jantan itu.
“Mengakui di atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka”. Imam yang meletakkan tangan di atas kepala kambing mengakui dosa-dosa berat seperti dalam Imamat 5: 1-5. Dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel perlu didamaikan dengan perantaraan seorang imam. Dengan mengakui segala kesalahan dan dosa bangsa Israel ke atas kepala kambing itu, imam tersebut telah memindahkan semua dosa dan kesalahan bangsa Israel kepada kambing tersebut. Dengan demikian, segala dosa yang dilakukan oleh bangsa Israel sudah dibebaskan. Bangsa Israel dapat memulihkan kembali hubungan mesra dengan Allah.

Ayat 21b – 22
“Kemudia melepaskan ke padang gurun dengan perantaraan sesorang yang sudah siap sedia untuk itu. Demikianlah kambing jantan itu harus mengankut segla kesalahan Israel ke tanah yang tandus, dan kambing itu harus dilepaskan di padang gurun”.

“Melepaskan kambing ke padang gurun.” Padang gurun merupakan tanah yang terpencil atau terpisah (a land of Cutting). Tanah yang terpencil itu menunjukkan sebuah tempat di mana kambing dibawa terpisah dari kemah. Tempat yang dimaksudkan adalah lembah yang dalam sehingga kambing yang dibawa ke sana tidak bisa kembali.
Ada juga ahli yang menyebut bahwa tanah yang terpisah atau terpencil merupakan interpretasi dari sosok Azazel sendiri. Jika ungkapan ini dimaksudkan pada keburukan tanah yang terpisah, maka ada beberapa interpretasi atas Azazel. Pertama, Azazel disimbolkan sebagai jurang yang terjal atau batu karang yang curam. Kedua, Azazel mengandung arti sebagai penghancur total.
“Seorang yang sudah siap untuk itu”. Kambing yang dilepaskan ke tanah yang terpisah harus di bawah pengawasan seseorang yang sudah siap untuk tugas itu. Orang tersebut harus mampu meyakinkan bahwa kambing yang akan dilepaskan itu, tidak dapat kembali lagi ke kemah. Jadi, orang yang dimaksud adalah orang yang sudah mengusai jalan-jalan di padang gurun.

4. Catatan Akhir
Ritual penghapusan dosa bangsa Israel diidentifikasikan dengan penumpangan tangan seorang imam ke atas kepala seekor kambing jantan dan pelepasannya ke padang gurun. Ritual ini merupakan pendamaian bangsa Israel dengan Allah akibat dosa. Dosa diyakini bangsa Israel berasal dari Azazel atau yang jahat sehingga harus dikembalikan kepada yang jahat, sedangkan pengampunan selalu berasal dari YHWH.

Filsafat

THOMAS MORE
SANG HUMANIS KRISTEN
(1478 - 1535)

“Saya mati sebagai abdi raja yang baik,
tetapi terlebih sebagai abdi Allah”
(Thomas More)
(Oleh: Erick M. Sila)


I. Pendahuluan
Kelahiran kembali minat terhadap sumber-sumber klasik, minat pada Kitab Suci dan sumber-sumber masa Kristen awal, adalah awal dari lahirnya tokoh-tokoh humanis atau boleh dikatakan zaman renaisans. Hal ini berkat keyakinan bahwa kehidupan umat Kristen dapat diperbaharui hanya dengan kembali ke akarnya.
Para tokoh humanis memandang manusia sebagai segala-galanya. Menurut aliran ini, yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia. Manusia pusat perhatian. Dalam kehidupan nyata manusia nyata juga yang menjadi ukuran, sehingga pikiran, perasaan, situasi seluruhnya akan ikut mempengaruhi baik buruknya tindakan konkret itu. Para tokoh ini berusaha memadukan sifat-sifat manusia dengan sifat Kristiani serta berusaha memahaminya dari sudut pandang sekular.
Tokoh-tokoh humanis menentang para pengajar teologi yang menggunakan metode-metode klasik dari abad pertengahan. Metode-metode ini dianggap tidak efisien, tidak kreatif dan dianggap sudah kadarluarsa. Akan tetapi, setiap pembaharuan dalam agama dan masyarakat pertama-tama harus diawali dengan pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Salah satu tokoh humanis Kristen yang cukup terkenal pada zaman ini adalah Thomas More. Ia adalah tokoh humanis Inggris yang terkenal dengan karyanya yang berjudul Utopia, yakni sebuah gambaran tentang masyarakat ideal berdasarkan akal sehat di sebuah pulau antah-berantah sekaligus kritik tajam kepada masyarakat sezamannya. Selain itu, keteguhan hatinya dalam mempertahankan kodrat Gereja merupakan sesuatu yang perlu kita banggakan dari tokoh ini. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik untuk membahas secara khusus tokoh ini.

II. Riwayat Hidup
Thomas More lahir di paroki St. Lawrence Jewry, kota London pada tahun 1478. More adalah anak tertua dari John More, seorang pengacara sukses dan istrinya Agnes. More kemudian mengawali pendidikanya di sebuah sekolah terkenal di London yakni St. Antony’s school, dan pada tahun 1490 ia mengabdi di rumah John Morton, Uskup Agung Canterbury.
Melihat potensi yang begitu besar dalam diri More, John Morton mengijinkannya mengikuti pendidikan selama dua tahun di Universitas Oxford, sebelum ayahnya memanggil dia untuk belajar hukum di London. Kemudian More bersekolah di New Inn dan kemudian di Licoln’s Inn di London. Antara tahun 1501-1505 More memilih tinggal di dekat biara Carthusian dan bergabung dalam latihan-latihan rohani para biarawan tersebut. Walaupun ia mengagumi kesalehan para biarawan tersebut tetapi ia lebih memilih hidup sebagai seorang awam.
Pada tahun 1505 More menikah dengan istri pertamanya Jane Colt dan mempunya empat orang anak. Setelah Jane Colt meninggal, More menikah lagi dengan Alice Middleton seorang janda dengan satu anak yang sebelumnya dikenal meleui keluarga Jane.
Pada tahun 1510 More terpilih menjadi anggota parlemen Inggris dan menjadi wakil sheriff di kota London. Ia juga menjadi penasehat sheriff dan kemudian menjadi hakim di Guildhall. Pada tahun 1527 More memproses pembatalan perkawinan antara Henry VIII dengan Catherina dari Aragon dan pada tahun 1534 ia dipenjarakan karena menolak bersumpah untuk akta suksesi. Akhirnya pada bulan Juli 1535 pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Tahun 1935 More dan John Fisher dikanonisasi sebagai santo.

III. Bentuk-bentuk Pemikiran Thomas More Dalam Utopia
A. Utopia: Dialog dan nasehat
Utopia adalah sebuah karya terkenal Thomas More yang ditulis dan diterbitkan di Louvin pada tahun 1516. Dasar pemikiran dalam utopia adalah gambaran akan sebuah negara berdasarkan akal sehat di sebuah pulau antah-berantah, sekaligus kritik tajam terhadap masyarakat sezamannya.
Negara antah-berantah yang dimaksudkan More secara nyata adalah Inggris Tudor. Dengan Utopia More menggunakan suatu dunia hipotesis untuk memperbandingkannya dengan dunia nyata yang menghadirkan perdebatan dan diskusi. Utopia merupakan sarana untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dalam bidang politik yang rusak pada zaman itu.
Dalam Utopia dikisahkan mengenai dua orang sahabat, Morus dan Peter Giles berjumpa dengan seorang pengelana, Raphael Hythloday yang berkelana mencari kebenaran politik dari suatu negara ke negara lain. Morus dan Peter Giles menyarankan agar Hythloday menggunakan bakatnya untuk menjadi seorang penasehat yang baik, akan tetapi Hythloday menolak untuk tidak terjun dalam dunia politik. Bagi Hythloday kegiatan-kegiatan tersebut akan menghalagi kebebasan manusia untuk berekspresi dan juga mengganggu ketenangan serta banyak waktu yang diperlukan untuk berpikir terbuang dengan percuma. Berpikir adalah bagian tertinggi manusia. Akan tetapi, Morus memberikan argumennya bahwa kita harus terjun dalam dunia politik. Kegiatan tertinggi menurut Morus adalah menggunakan bakat-bakat kita untuk melayani sesama demi kebaikan bersama.
Dalam kehidupan politik para tokoh humanis sering berhadapan dengan hal semacam ini. Mereka sering dimintai nasehat oleh para penguasa. Bagaimana seorang penguasa bisah memperoleh nasehat yang baik? Dan bagaimana seorang filsuf terjun dalam dunia politik tanpa kehilangan waktu senggangnya untuk berpikir?
Dalam Utopia para tokoh humanis sering mendasarkan pandangan mereka pada filsafat klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Cicero. Manakah bentuk negara yang baik? Negara yang baik adalah mempunyai hukum yang adil, mengutamakan kepentingan umum, memberikan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara, dan memjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Akan tetapi kehidupan politik di Inggris memberikan gambaran yang berbeda. Utopia menggugat semua ini.
Kehidupan politik di Inggris yang di gambarkan dalam Utopia mengalami kemerosotan. Hal ini digambarkan karena beberapa persoalan yang terjadi di Inggris pada saat itu. Gaya hidup para pemimpin yang tamak mengakibatkan rakyat menderita, banyak veteran perang yang cacat akibat perang tidak diperhatikan sehingga mereka harus hidup sebagai pengemis . pembedaan antara yang kaya dan yang miskin sangat menonjol. Singkatnya banyak orang yang mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Melihat hal tersebut, Morus yang digambarkan dalam Utopia mengatakan bahwa kita akan tetap jauh dari kebahagiaan jika para filsuf tidak bersedia menjadi penasehat raja. Hythloday mengemukakan bahwa tidak mungkin kita mencegah para pemimpin yang pada dasarnya sudah tidak bermoral. Pemerintahan yang baik tidak mungkin ada jika korupsi dan kemewahan pribadi tetap ada. Hal ini akan mungkin jika diberantas sampai ke akar-akarnya.

B. Utopia: Kebebasan Beragama
Dalam Utopia digambarkan bagaimana kehidupan beragama dan toleransi religius di negara tersebut. Masyarakat Utopia percaya kepada suatu realitas tertinggi yang melampaui segala sesuatu dan abadi. Mereka juga menerima banyak agama tetapi mereka lebih kepada suatu kekuatan tunggal yang diyakini sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Segala sesuatu berasal dari Dia dan akan kembali kepada-Nya pula. Mereka menyebut-Nya sebagai Bapak.
Masyarakat Utopia melaksanakan ibadat secara bersama-sama di kuil sebagai dasar kepercayaan mereka akan adanya realitas Ilahi. Mereka juga percaya akan adanya kehidupan setelah kematian.
Di Utopia kebebasan beragama sangat dihormati. Dalam sebuah keluarga misalnya, ayah dan ibu atau antara orang tua dan anak boleh memiliki atau meyakini agamanya masing-masing asalkan tidak saling mengganggu. Setiap orang juga diperbolehkan mengganti agamanya asalkan dilakukan dengan tenang, dengan rendah hati, rasional dan tidak membenci orang lain.
Ketika kekristenan masuk ke negara tersebut sebagian orang menjadi percaya dan dibabtis menjadi Kristen. Akan tetapi mereka yang tidak menerima agama Kristen menjalankan agamanya sendiri tanpa mengganggu atau mencela mereka yang masuk menjadi Kristen. Untuk mereka yang ateis, ataupun yang tidak percaya akan adanya hidup setelah kematian dianggap sebagai musuh dalam masyarakat. Sebagai toleransi bagi mereka, mereka tidak dihukum secara fisik.

IV. Mempertahankan Iman Kristen
Dari tulisan-tulisan polemiknya tahun 1523-1533 dan dalam suratnya kepada Dorp tahun 1515 More mengatakan “untuk membina seseorang tidak perlu keahlian apapun; hal ini bukanlah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang yang sopan, dan bukan pula bertanda bahwa seseorang baik adanya”. Tulisan-tilisan polemik More lahir sebagai reaksi dan pembelaan terhadap iman Kristen terutama atas kritikan-kritikan pedas Luther terhadap Gereja.
Tahun 1521 Martin Luther menerbitkan beberapa karyanya yakni To The Christian Nobility of the German Nation dan The Babylonian Captivity of the Church. Dalam tulisan-tulisan tersebut Luther menetapkan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui iman saja (sola Fides), iman adalah satu-satunya jalan bagi seseorang untuk menjawab dan menghormati Allah, menolak sakramen-sakramen dan praktek-praktek katolik lainnya. Tahun 1521 raja Henry VIII menanggapi kritik Luther dengan karyanya Assertion of the Seven Sacraments. Karya ini ditulis berkat bantuan More.

A. More Melawan Luther
Dalam membela iman kristen, More mulai membangun karyanya mengenai kodrat Gereja. Hal ini dilakukanya sebagai jawaban atas Luther yang mempersoalkan Gereja intitusional. Bagi More kesatuan umat Kristen yang berkembang dari masa ke masa merupakan penafsiran wahyu Allah dalam diri Yesus Kristus. More melihat bahwa tradisi ini bertahan dalam Gereja. Gereja adalah suatu komunitas yang hidup dalam ruang dan waktu. Di bawah kepemimpinan paus Gereja menjadi satu kesatuan iman di dunia.
More juga menentang Luther yang mengatakan bahwa Gereja diperuntukan bagi “kaum terpilih”, sedangkan bagi More, “Gereja diperuntukan bagi semua orang”. More melihat Gereja sebagai persekutuan umat yang membawa ajaran Yesus Kristus turun temurun dari para rasul sampai pada saat ini. Luther melihat bahwa sabda Kristus harus diwartakan sekarang dan di sini bagi umat yang siap menerimanya. Umat yang mampu menerima sabda Allah adalah “umat yang bersifat ilahi”. Suatu komunitas yang “tidak bersifat ilahi” tidak mampu menerima sabda Allah. Dalam hal ini, More dan Luther sama-sama mencari suatu kepastian. More mengkritik Luther karena ia berbicara tidak sesuai dengan realitas, Luther melulu bersifat batiniah dan spiritual murni.

B. Pembelaan Terhadap Kebenaran Ekaristi
More memandang Ekaristi tidak sebagai sebuah bentuk doa devosinal belaka, melainkan sebagai pembentuk kesatuan Gereja. Makna utama dalam Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus dalam seluruh tubuh-Nya yaitu Gereja.
Ekaristi merupakan perayaan sakramen atas tindakan Allah yang telah nyata dalam diri Yesus Kristus. Oposisi politik kenegaraan dan oposisi teologi kaum reformis menentang ajaran mengenai kehadiran nyata. Kedua bentuk ini sangat berbeda tetapi sangat berhubungan untuk memecah umat Kristen.

Ekaristi mengungkapkan misteri Allah yang hadir secara nyata dalam diri Yesus Kristus. Keyakinan akan suatu kehadiran yang nyata merupakan penyatuan umat beriman dalam satu tubuh yaitu Yesus Kristus.
Tulisan More yng terakhir tentang Ekaristi adalah A Treatise on the Body of Our Lord dan A Treatise to Receive the Blessed Body of Our Lord. Tahun 1533 hingga More dipenjarakan 17 April l534. More menyelesaikan tulisan-tulisan tersebut dalam menghadapi penderitaan dan ajalnya sebab ia yakin bahwa hal demikian juga yang dialami oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus merelakan diri-Nya bagi para murid-Nya demi kebahagiaan kekal bersama Bapa di surga. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawa untuk sahabat-sahabat-Nya” (Yohanes 15:13).

V. Penutup
Dalam Utopia Thomas More menggambarkan bagaimana bentuk negara ideal. Negara ideal mempunyai hukum yang adil, mengutamakan kepentingan rakyat, penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Harapan akan sebuah negara ideal dapat terwujud apabila para pemimpin menjauhkan diri dari korupsi, kemewahan-kemewahan pribadi, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain.
Utopia juga memberikan kebebasan beragama kepada setiap orang. Setiap individu diberikan kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing sesuai dengan keyakinannya. Dalam menjalankan agamanya, setiap orang harus melakukannya dengan setia tanpa mengganggu orang lain.
More juga mempertahankan kodrat Gereja dari serangan Luther. More melihat bahwa kesatuan umat Kristen yang berkembang dari masa ke masa merupakan penafsiran wahyu ilahi dalam diri Yesus Kristus. Gereja sebagai persekutuan umat yang membawa ajaran Kristus dari para rasul sampai sekarang.
Dalam mempertahankan ekaristi, More menegaskan bahwa makna utama Ekaristi adalah kehadiran nyata Yesus Kristus dalam seluruh tubuh-Nya yaitu Gereja. Ekaristi merupakan perayaan sakramen atas tindakan Allah yang telah nyata dalam diri Yesus Kristus.
Dalam kehidupan beriman, Ekaristi hendaknya menjadi fons et Culmen dalam setiap kehidupan kita. Ekaristi adalah sumber datangnya rahmat. Rahmat itu telah nyata dan hadir dalam diri Yesus Kristus yang telah merelakan diri bagi sahabat-sahabat-Nya.

Renungan

MARI IKUTILAH AKU
PESTA SANTO ANDREAS RASUL
(Rm 10:9-18, Mat 4:18-22 )
(Oleh: Erick M. Sila)


Saudara-saudara yang terkasih….
Setiap kali kita menghadiri pesta kaul kekal atau tahbisan seorang imam, yang selalu terlontar dari mulut orang banyak adalah kekaguman atas keberanian orang-orang muda ini dalam memilih jalan hidup yang berat dan penuh tantangan. Doa dan harapan, dipanjatkan agar imam baru ini setia kepada jalan yang telah dipilihnya. Dengan demikian, ia menjadi berkat tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi terutama bagi umat yang akan dilayaninya. Peristiwa tahbisan itu penuh dengan kegembiraan dan kebanggan. Tetapi orang belum menyadari, bahwa konsekuensi pilihan itu akan berlaku seumur hidup. Dalam karya nyata, disitulah hakekat imamat imam baru itu diuji seperti (mengurus paroki, melayani umat di stasi, di komunitas dsb).
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan….
Ketika Yesus memanggil para murid-Nya yang pertama, rasa kagum akan diri Yesus membuat mereka dengan mudah mau menerima panggilan itu. Inilah pengalaman Petrus dan Andreas saudarannya (saya yakin saudara-saudara… bahwa setiap kita memiliki latar belakang panggilan yang berbeda-beda), tergantung bagaimana kita menerima tawara itu dan melaksanakannya.
Saudara-saudara yang terkasih…..
Panggilan itu adalah suatau karunia Allah. Tuhan pasti melihat sesuatau yang istimewa dalam diri para nelayan yang sederhana ini, sehingga tanpa ragu-ragu Ia memutuskan untuk memasukan mereka sebagai pengikut-Nya. Karunia inilah yang akhirnya diteruskan oleh para murid, sehingga pada akhirnya berkembang dan melahirkan kader-kader penerus karya keselamatan Allah , sebagaimana telah dimulai oleh Yesus sendiri.
Pada pesta santo Andreas Rasul yang kita rayakan hari ini, kita semua diajak untuk mengenang kembali hidup rasul ini. Menurut tradisi, Santo Andreas mati disalibkan dengan salib yang berbentuk huruf “X”. apapun bentuk salibnya tidak kita persoalkan disini, yang penting ialah kisah kemartirannya sebagai tanda kesetiaannya kepada Kristus. Andreas dan semua rasul lainnya bukanlah murid yang hanya tenggelam dalam kegembiraan karena panggilan Yesus, tetapi mereka mengembangkan rahmat panggilan itu dan menjadi berkat bagi sesama.
Oleh karena itu, saudara-saudara yang dikasihi Tuhan……..
Apakah kita juga bergembira atas panggilan ini dan memjadi sumber berkat bagi sesama? Sebuah pertanyaan yang cukup menantang bagi saya dan saudara-saudara. Jawaban atas pertanyaan itu, tentu tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi dengan perjuangan yang bukan hanya perjuangan tetapi tetapi juga pengorbanan.
Memang saudara-saudara……
Dalam mengikuti Yesus, kita sering dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan yang kita sendiri tidak bisa menanggungnya. Sebagian dari kesulitan-kesulitan itu, berasal dari tuntutan yang tidak bisa kita hindari ( kesulitan menemukan keheningan dalam doa, kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas kampus, dalam mengerjakan skripsi, dan masih banyak kesulitan-kesulitan yang bisa kita tambahka sesuai dengan pengalam kita masing-masing). Semua yang telah dikatakan tadi, mau tidak mau harus kita lakukan. Semuanya itu membanjiri kita seperti arus yang deras, sehingga kia sulit memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika kita tidak secara terang-terangan mendua hati ( pesimis dan optimis), paling tidak kita bisa melawan kesulitan-kesulitan yang yang bertentangan dalam diri kita.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan…..
Gampang sekali bagi kita untuk mempersembahkan diri kita hanya kepada Allah pada doa pagi. Tetapi sulit bagi kita untuk mengingat komitmen itu sepanjang hari. Kita terlalu sibuk, kita terlalu kacau, kita ditarik kesana-kemari oleh segala kesibukan yang sebenarnya tidak berguna bagi perjalanan panggilan kita.
Seandainya kita dapat merekam semua kegiatan sehari-hari kita dalam sebuah kamera digital / video, lalu memutarnya tahap demi tahap, mungkin kita dapat merenungkan apa yang paling baik untuk kita lakukan hari ini. Tetapi apa yang terjadi… hari-hari kta berlalu begitu cepat, tanpa kita menyadari apa makna hidup hari ini. Oleh sebab itu saudara-saudara St. Fransiskus mengajak kita semua untuk berbuat, sebab kita belum berbuat apa-apa. Pada pesta St. Andreas hari ini, kita juga memohon, agar karunia kesetiaan yang dikaruniakan kepada rasul ini, dikaruniakannya juga bagi kita. Sekali lagi saudara-saudara, marilah kita merenungkan panggilan kita masing-masing: baik waktu…..

Sejarah Gereja, Anti Reformasi dan Vatikan II

HUBUNGAN PAUS YOHANES XXIII
DENGAN KONSILI VATIKAN II
(oleh: Erick M. Sila)


I. Pendahuluan
Abad XX merupakan abad yang sulit bagi Gereja. Kurun waktu antara Perang Dunia II, Gereja mengalami banyak penderitaan di samping masalah sosial dan ekonomi yang melanda dunia.
Selama tahun 1950-an studi teologi biblikal Roma katolik mulai memasuki pembaharuan sejak Konsili Vatikan I hingga memasuki abad XX. Pada waktu yang sama, para uskup sendiri mengalami tantangan yang sangat besar dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Beberapa uskup mengusulkan serta mengupayakan pembaharuan dalam struktur dan praktek dalam Gereja untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Konsili Vatikan I yang telah berakhir satu abad sebelumnya, sempat terhenti di tengah jalan. Konsili Vatikan I dihentikan tahun 1870 ketika Italia mau menyerang Vatikan dan Kepausan. Dalam Konsili Vatikan I, isu-isu mengenai pastoral dan dogma tidak dapat dibahas akibat perang tersebut, hanya sempat menghasilkan satu dogma mengenai infabilitas paus.
Kemudian secara tidak terduga Paus Yohanes XXIII memutuskan untuk memanggil sebuah konsili. Paus Yohanes XXIII ingin menghadirkan Gereja dalam zamannya atau yang dikenal dengan istilah “Aggiornamento”. Dalam satu kesempatan sorang jurnalis bertanya kepada Paus Yohanes XXIII apa yang beliau maksudkan dengan konsili? “Saya akan membuka jendela Gereja sehingga angin segar dengan bebas masuk ke dalamnya, sebab telah berabad-abad tertutup rapat” , katanya dengan singkat. Konsili inilah yang dinamakan Konsili Vatikan II.
Untuk mengetahui sejarah lahirnya Konsili Vatikan II tidak bisa kita pisahkan dari sosok Paus Yohanes XXIII. Walaupun Ia sendiri tidak bertahan hingga berakhirnya konsili, tetapi ia telah memberikan sumbangan yang besar bagi Gereja. Untuk mengetahui dengan lebih baik bagaimana lahirnya Konsili Vatikan II, penulis akan membahasnya secara lebih mendalam pada bagian berikutnya.

II. Biografi Singkat Paus Yohanes XXIII
Untuk mengetahui secara mendalam tentang Paus Yohanes XXIII dan terlebih mengenai sumbangannya yang begitu besar kepada Gereja melalui Konsili Vatikan II, maka perlulah kita mengetahu riwayat hidup dari sosok penting ini.
Paus Yohanes memiliki nama lahir Angelo giuseppe Roncalli, ia lahir di Soto il Monte, Italia Utara pada tanggal 25 November 1881. Beliau belajar theologi di Roma dari tahun 1905 hingga 1914. Ia kemudian diangkat menjadi sekretaris uskup Mgr. Radini Tedeschi yang sangat terkenal dengan jiwa sosialnya. Kemudian pada tahun 1915 hingga 1920, beliau mengerjakan sebuah misi apostolis sebagai seorang almusenir dalam ketentaraan, serta menjadi pembimbing rohani pada sebuah seminari. Tahun 1921 hingga 1924 ia bergabung sebagai kongregasi penyebaran imam, serta menjabat sebagai direktur karya-karya misi kepausan di Italia. Ia diangkat sebagai visitator apostolik untuk Bulgaria, serta ditahbiskan menjadi uskup dan selama tiga puluh tahun beliau bertugas di dalam diplomasi tahkta suci.
Di Bulgaria Mgr. Roncalli berusaha dan berhasil mengambil hati orang-orang yang pada waktu itu selalu berprasangka buruk terhadap Roma. Ia kemudian pindah ke Konstantinopel sebagai duta apostolik bagi Turki dan Yunani. Pada tahun 1953 beliau dilantik menjadi kardinal serta diangkat menjadi patriarch Venesia.

III. Sejarah Terpilihnya Paus Yohanes XXIII
Pada tahun 1958 Paus Pius XII meninggal dunia akibat penyakit yang telah lama dideritanya, maka pada tahun yang sama konklav memilih batrik Venetia, kardinal Roncalli menjadi paus. Ia kemudian mengambil nama Yohanes XXIII.
Pilihan ini amat mengejutkan dunia luar, sebab banyak orang mengenal Roncalli sebagai orang yang tidak banyak memiliki keistimewaan. Sebagai duta Vatikan di Bulgaria dan Prancis, banyak orang mengenalinya secara lebih baik. Banyak orang merasa kecewa dengan pemilihan paus yang telah berusia 77 tahun, gemuk dan pendek, yang tentunya sangat berbeda jauh dengan paus sebelumnya. Walaupun demikian, ia memiliki sifat bergaul yang hangat dan penuh keramahan. Akan tetapi banyak orang masih juga ragu kepadanya, sebab mereka sudah terbiasa dengan paus yang keras hidupnya, yang sering diidentikan dengan tubuh kurus dan jangkung.
Banyak orang mengatakan bahwa pemilihan paus Roncalli disebabkan karena konklav tidak kunjung menemukan paus yang sesuai untuk menduduki tahkta Santo Petrus. Maka Roncalli merupakan pilihan kompromi antara kardinal yang maju dan yang konserfatif, sehingga mereka menganggap bahwa Roncalli hanya merupakan paus antara saja.
Namun demikian, kepemimpinan Paus Yohanes XXIII ternyata banyak mengejutkan Gereja katolik dan dunia pada umumnya. Diantaranya ialah dihimpunkannya Konsili Vatikan II yang menghasilkan reformasi atas doktrin-doktrin Gereja katolik dan diwujudkannya rekonsiliasi antar umat beragama, suatu hal yang pada waktu itu tidak terbayangkan muncul dari kekuasaan tertinggi tahkta suci.
Walaupun masa pemerintahannya begitu singkat (sekitar 5 tahun lamanya), Paus Yohanes XXIII dianggap sebagai salah satu paus terbesar yang pernah ada dalam sejarah Gereja katolik. Ia sering disebut paus Yohanes yang baik dan juga diakui oleh orang anglikan dan protestan berkat jasahnya untuk menyatukan Gereja yang pecah.

IV. Paus Yohanes XXIII dan Konsili Vatikan II
Orang-orang yang beranggapan miring dan sangsi akan sosok Paus Yohanes XXIII pada akhirnya mulai bertobat. Kehidupannya yang saleh, sifat bergaulnya yang begitu hangat, membuat banyak orang kagum kepadanya. Ia juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang sama sekali tidak suka terhadap protokoler upacara yang memenjarakan paus sejak abad pertengahan. Selain itu, ia juga ingin tampil sebagaimana adanya, membebaskan diri dari upacara-upacara resmi, tidak mencari popularitas, dan kehormatan pribadi.
Sejarah juga mencatat bahwa Gereja mengalami kegoncangan besar setelah Perang Dunia II (tahun 1939-1945) merupakan perang terbesar sepanjang sejarah: 55 juta orang tewas, 35 juta orang luka-luka, 8 juta orang hilang. Perang Dunia II menyebabkan kelumpuhan di berbagai bidang bahkan juga di bidang kesusilaan. Kemunduran kesusilaan akibat Perang Dunia II juga mempengaruhi kehidupan beragama. Dengan merosotnya nilai kesusilaan juga berpengaruh terhadap hidup keagamaan, sebab situasi pada saat itu sangat mendukung bagi orang-orang untuk lebih mementingkan ekonomi dari pada agama.
Gejala-gejala seperti ini, sungguh-sungguh dirasakan oleh umat katolik pada masa itu. Walaupun demikian, umat katolik, terutama para pemimpin umat mulai mencari jalan untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan Gereja Kristus di dunia. Hal ini juga diinginkan oleh Paus Yohanes XXIII.
Di luar usahanya membawa perdamaian dunia, Paus Yohanes XXIII melihat ternyata di dalam Gereja masih terdapat perbedaan pendapat sehingga tiga bulan setelah pemilihannya, yakni pada tanggal 25 Januari 1959, ia mengumumkan serta mengunkapkan keinginannya untuk memperbaharui Gereja melalui sebuah konsili ekumenis yang kemudian dikenal dengan nama Konsili Vatikan II, yang menentukan bagaimana posisi Gereja dalam dunia modern. Bahkan paus sendiri berjanji tidak akan campur tangan dalam pengambilan keputusan pada saat konsili. Keputusan ini bagaikan petir di siang bolong khususnya umat katolik terutama kuria Vatikan sendiri.
Keputusan Paus Yohanes XXIII mengejutkan banyak orang yang pada awalnya sudah ragu terhadap kemampuannya. Tidak munkin, sebab mereka menganggap bahwa Gereja harus berada di bawah kuria Roma saja. Memang di lain pihak banyak orang juga menginginkan suatu konsili ekumenis, untuk melanjutkan konsili Vatikan I yang sempat terputus di tengah jalan. Namun di pihak lain orang meragukan sebuah konsili sebab, pertemuan lebih dari 2000 uskup hanya menimbulkan kekacauan saja bukan pembaharuan. Alasan inilah yang membuat orang banyak ragu terhadap pemanggilan sebuah konsili oleh Paus Yohanes XXIII. Akan tetapi justru inilah yang menjadi tekat Paus untuk memperbaharui gereja, sebab ia yakin bahwa Roh Kuduslah yang berkarya di dalam dirinya.
Empat tahun setelah pemilihannya sebagai paus, pada tanggal 11 Oktober 1962, Paus Yohanes XXIII membuka secara resmi Konsili Vatikan II di Basilika Santo Petrus. Dalam khotbah pembukaannya, ia menolok pemikiran mengenai para “nabi-nabi palsu akhir zaman yang selalu meramalkan akan adanya bencana” di dunia dan masa depan Gereja. Ia juga menegaskan bahwa Gereja tidak perlu mengulangi maupun merumuskan kembali doktrin-doktrin dan dogma yang sudah ada, tetapi Gereja harus mewartakan pesan-pesan kristus dalam dunia moderen sekarang ini. Ia mendesak para Bapa Gereja untuk menunjukan belaskasihan bukan kecaman dalam dokumen-dokumen yang akan mereka buat. Konsili diawali denga doa yang dibawakan oleh Paus Yohanes XXIII sendiri:
“Sekarang kami sadar bahwa berabad-abad lamanya mata kami buta…kami mengerti bahwa pada dahi kami termeterai tanda kain. Abad demi adad saudara kami Abel berdarah serta menangis karena kesalahan kami, karena kami melupakan cinta-Mu. Ampunilah kutukan yang secara tidak adil telah kami datangkan pada nama Yahudi mereka. Ampuinilah kami yang menyalibkan Engkau keduakalinya yakni di dalam daging mereka, kami tidak sadar apa yang kami perbuat…
Tuhan, berilah kami kesempatan untuk berbalik dari jalan sesat yang kami tempuh di dalam sejarah dan sejarah Gereja. Berikanlah kami kesempatan berbalik dengan mengadakan pembaharuan yang konktrit”.

Sayangnya Paus Yohanes XXIII tidak dapat bertahan hingga konsili selesai. Ia meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1963 dalam umurnya yang ke 81 tahun di istana apostolik Vatikan.
Dua bulan sebelum ia meninggal, ia menerbitkan ensiklik atau ajarannya yang berjudul “Pacem in Teris” (Damai di Bumi) yang sangat terkenal, dimana dalam ensiklik tersebut Paus Yohanes XXIII telah mengemukakan ide tentang konstitusi pastoral Gereja pada zaman sekarang. Misinya untuk memperbaharui Gereja melalui Konsili Vatikan II dilanjutkan oleh Paus Paulus VI, yang terpilih pada tanggal 12 Juni 1963.
Melalui Konsili Vatika II, Gereja mengahasilkan 16 dokumen resmi. Dokumen resmi tersebut terdiri dari 4 konstitusi, 9 dektrit, dan 3 deklarasi. Konstitusi mengungkapkan landasan idiil, dekrit memuat tentang keputusan-keputusan yang menjadi program untuk dilaksanakan, dan deklarasi memuat tentang pernyataan serta sikap Gereja mengenai hal ikhwal tertentu.
Secara umum dokumen-dokumen Konsili Vatikan II membicarakan serta mencanangkan tentang pemahaman diri Gereja Katolik, pemahaman tempat, keseimbangan hak dan kewajiban dalam tatanan dunia dan masyarakat, serta merencanakan hala-hal apa saja yang menjadi program kerja Gereja pada masa yang akan datang.
Mengenai hubungan dengan bangsa-bangsa lain, Gereja merumuskan dengan tegas citranya dalam Konstitusi Dogmatik tentang: Terang bangsa-bangsa. Gereja adalah sakramen keselamatan, tanda dan sumber persatuan dalam cinta kasih.

V. Gerakan-gerakan yang Mendahului Konsili
A. Gerakan Liturgis
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap iman orang kristen pada saat itu ialah mengenai liturgi. Perayaan liturgi yang selama ini dilakukan kurang menggembirakan, sebab upacara liturgi itu sendiri terkesan kaku, dan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti orang.
Gerakan ini bertujuan agar perayaan liturgi lebih mementingkan kebutuhan rohani umat beriman dan dengan demikian iman umat semakin bertambah. Oleh karena itu, dalam gerakan ini ditekankan kembali terutama pada pemakaian bahasa pribumi, eksperimen konselebrasi, komini dengan dua ujud, serta penyederhanaan pada tindakan-tindakan liturgi sehingga mudah dipahami oleh umat beriman.
Masalah lain yang menjadi persoalan di sini yakni mengenai pastoral. Dalam bidang pastoral Gereja berusaha mendekati umat beriman terutama bagi mereka yang jauh dari ligkungannya. Misalnya para buruh dan pekerja.
Tindakan Luther yang dikecam oleh Gereja Roma beberapa abad yang lalu, ternyata menjadi perhatian khusus dalam konsili. Misalnya masalah bahasa latin, dimana pada masa itu bahasa latin dipakai sebagai satu-satunya bahasa dalam liturgi. Dalam hal ini, Paus Pius XII juga simpatik terhadap gerakan pembaharuan. Dialah yang memperbaharui liturgi yakni ibadat malam sabtu paskah.

B. Aksi-aksi Katolik
Kelompok ini timbul dari para kaum awam intelektual yang bergabung dalam perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan politis. Gerakan ini tidak terlibat langsung dalam politik paraktis namun mereka selalu berpihak pada Gereja. Gerakan ini terutama muncul di italia, Prancis dan Jerman.

C. Gerakan Ekumenisme
Gerakan ini lebih mengarah kepada keterbukaan dialog diantara umat beriman. Kesadaran akan persatuan diantara umat beriman, menjadi tujuan utama gerakan ini. Mereka sadar bahwa semua manusia memiliki cita-cita yang sama yakni menghantar umat manusia kepada Allah melalui perantaraan Kristus. Dalam hal ini, pembaharuan diarahkan kepada Gereja-gereja yang bukan katolik. Orang-orang katolik harus menerima saudara-saudara lain yang bukan katolik sebagai satu saudara, serta menjelaskan kepada mereka mengenai doktrin-doktrin katolik.
Gerakan ekumene ini mendapat semangat baru ketika terjadi pertemuan antara Gereja katolik dan Gereja ortodoks di Yerusalem pada tahun 1964. Gereja katolik diwakili oleh Paus Paulus VI sedangkan dari Gereja ortodoks diwakili oleh Batrik Athenagoras dari Konstantinopel.

VI. Penutup
Setelah melalui sebuah padang gurun yang begitu luas, Gereja pada akhirnya sampai pada sumber air yang menyejukkan. Konsili Vatikan II yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII dan ditutup oleh Paus Paulus VI, banyak membawa harapan baru bagi Gereja. Mata seluruh umat katolik dan dunia menentikan pemenuhan harapan tersebut. Maka kini telah kita lihat sendiri bahwa sudah kurang lebih 145 tahun berlalu dapat dikatakan bahwa harapan itu tidak sia-sia.
Konsili Vatikan II telah meletakan dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan pembaharuan serta peremajaan yang dapat bermanfaat bagi Gereja. Di atas landasan Konsili Vatikan II dibangun keterbukaan dialog, komunikasi dan kerja sama dengan semua aliran dan golongan dalam masyarakat. Denga demikian, kita sebagai generasi penerus Gereja Kristus di dunia, kita disadarkan kembali akan kewajiban dan tanggungjawabnya demi membangun suatu dunia baru yang lebih layak menurut citra dan gambar Allah.

Jumat, 04 Maret 2011

filsafat nusantara

SOEKARNO
Oleh:
Adrianus Mite Lamba
Frederikus Mikhael Sila
Kornelis Neba
Rahmat Slamet Riadi



I. Pendahuluan
Lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka tidak semudah yang kita bayangkan sekarang ini, melainkan melaluai suatu pergulatan dan permenungan yang cukup panjang dan mendalam. Berbicara mengenai tokoh Soekarno tidak bisa kita pisahkan dengan Indonesia. Hal ini tidak lain karena persatuan Bung Karno yang begitu erat dengan Indonesia dalam periode pergerakan nasional, perjuangan kmerdekaan, hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia, sehingga Subadio Sastrosatomo menyimpulkan bahwa “Bagi Bangsa Indonesia, RI adalah Soekarno dan Soekarno adalah RI”.
Pesatuannya yang begitu mendalam dengan Indonesia tidak hanya ditunjukannya dalam usaha-usaha melawan penjajah melainkan ia telah menunjukan kecintaannya terhadap Indonesia sejak ia masih kecil. Rasa cinta yang begitu mendalam untuk Indonesia, telah mendorong Soekarno untuk berjuang pantang mundur demi terwujudnya negara Inonesia yang merdeka, adil, dan makmur. “Bila aku melihat gelombang laut memecah pantai, aku melihat Indonesia. Bila aku melihat rumpunan padi menguning, aku melihat Indonesia”. Ungkapan ini merupakan luapan perasaan yang telah membatin dalam hati seorang Bung Karno.
Rasa cintannya terhadap Indonesia begitu kuat. Kecintaan Soekarno akan Indonesia ditunjukannya melalui usaha-usaha dalam memperjuangkan negara Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, namun usaha tersebut tidak sekali jadi melainkan harus melalui perjuangan yang begitu panjang. Untuk mengetahuai sejauh mana perjuangan Soekarno dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kelompok akan membahasnya lebih mendalam pada bagian berikut.

II. Biografi Soekarno
Presiden Soekarno merupakan Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945-1966. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur 6 Juni 1901. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya berasal dari Blitar dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari Bali. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga orang istri dan dikaruniai delapan orang anak. Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Ia masuk Europesche Lagere School (SD Belanda di Sidoarjo). Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah kawan ayahnya bernama Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Tahun 1915, tamat dari ELS di Mojokerto, Jawa Timur. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hogere Burger School), SMA Belanda di Surabaya. Pada saat belajar di HBS tersebut, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Setelah lulus HBS 10 Juni 1921, beliau pindah ke Bandung dan melanjutkan studi ke THS (Technische Hooge School atau sekolah Teknik Tinggi, sekarang ITB). Di Bandung ia bertemu dan suka musyawarah dengan Dr. Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan lain-lain dari NasionaleIndise Party. Pada 25 Mei 1925, ia lulus THS dan meraih gelar Insinyur untuk jurusan Teknik Sipil. Pada 4 Juli 1927, bersama dengan Mr. Iskak, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Budiardjo, dan Mr. Sunarjo, ia merumuskan Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929 dengan tuduhan melakukan agitasi yang revolusioner. Delapan bulan kemudian pada 18 Agustus 1930, Soekarno diajukan ke pengadilan. Dalam proses pengadilan, bung Karno mengucapkan sebuah pidato pembelaan yang di kemudian hari dijadikan sebagai dokumen bersejarah, berjudul “Indonesia Menggugat”. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun kepadanya. Ia bebas pada 31 Desember 1931. Pada 28 Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partindo/Partai Indonesia (pecahan PNI) dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya pada bulan Juli 1933, beliau kembali ditangkap Belanda dengan tuduhan telah mengadakan aksi anti pemerintah dan dibuang ke Ende, Flores pada bulan Agustus 1934. Empat tahun kemudian pada bulan Februari 1938 dipindahkan ke Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada bulan Maret 1942 dan kembali ke Jakarta pada 9 Juli 1942.
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak bercerai dengan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tahun 1956, akibatnya Moh. Hatta mengundurkan diri dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya pada pemberontakan G-30-S/PKI, yang membuat Soekarno dalam masa jabatannya tidak dapat memenuhi cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera. Kesehatannya terus memburuk, dan meninggal dunia pada hari Minggu 21 Juni 1970 RSPAD, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur dekat makam ibunya. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”

III. Pemikiran-pemikiran Soekarno
a) Nasionalisme
Sebagai seorang pribadi dan pemimpin yang bertanggungjawab terhadap tanah pertiwi, banyak usaha-usaha yang dilaksanakannya agar bangasa Indonesia menjadi banggsa yang sungguh-sungguh bersatu padu di dalam memperjuangkan kemerdekaan yang sepenuhnya dan mengisi kemerdekaan itu dengan hal-hal yang baik bagi kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh soekarno untuk menunjukan sikap kecintaannya pada tanah air. Wujud atau bukti dari usaha-usahanya itu ialah:
1. “Pada tahun 1927, Soekarno mendirikan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) di Bandung”. Usaha yang dilakukan Soekarno ini membawa pengaruh yang besar bagi para pelajar yang berada di negeri Belanda. Soekarno berusaha untuk mempersatukan semua kelompok nasonalis dibawah panji PNI. Pada saat itu ia telah menemukan pegangan dalam bidang politik, sehingga ia merasa diri mampu untuk membangun suatu partai dengan tujuan yaitu memperoleh kemerdekaan yang sepenuhnya. Adapun usaha yang diwujudkan dalam partainya itu ialah: pertama, ia berusaha untuk mendidik rakyat agar dapat mengendalikan diri sendiri. kedua, memperhatikan kesehatan rakyat dan negeri, agar mampu bersatu padu dalam mencapai kemerdekaan yang sepenuhnya.
2. Selain mendirikan PNI Soekarno juga membentuk suatu badan baru yang bernama PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) atas kerjasama dengan angkatan perang jepang pada tanggal 9 Maret 1943. PUTERA ini sebagai alat Soekarno untuk mengarahkan bantuan kepada rakyat digaris belakang. Pada bulan September 1943, badan baru yang bernama PUTERA tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, diikuti oleh sebuah badan penasihat pusat yang diketua oleh Soekarno.Dengan adanya PUTERA ini Soekarno berhasil memanfaatkan kedudukan penting dalam badan ini, dengan suatu tujuan, yakni memperluas dan mengintensifkan gagasan nasional secara mendalam.

b) Marhaenisme
Ide tentang Marhaenisme ditemukan oleh Bung Karno ketika ia sedang bersepeda di bagian selatan kota Bandung dan berjumpa dengan seorang petani muda yang bernama Marhaen. Kata Marhaen ia ambil dari nama seorang petani itu. Kemudian nama Marhaen ia gunakan untuk menyebut semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti seorang petani muda itu.

“Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya “Marhaen”. Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith Jones. Di saat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen”

Marhaenisme merupakan ideologi dan Partai Nasional Indonesia sebagai wadah pergerakan. Keduanya merupakan satu kesatuan ibarat jiwa dan badan, lahir dan batin, semangat dan kekuatan yang sepenuhnya diramu Bung Karno dari bumi Indonesia. Ideology ibarat jiwa dalam tubuh pergerakan, maka sebelum organisasi pergerakan dibangun lebih dahulu dipersiapkan ideologinya. Ideology harus diciptakan dengan sungguh-sungguh senyawa dengan hati nuraninya sendiri.
Berdasarkan pendapat dari Bung Karno, pemahaman mengenai Marhaenisme diartikan sebagai berikut:
1. Marhaenisme jaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
2. Marhaen jaitu kaum proletar Indonesia, k a u m t a n i I n d o n e s i a j a n g m e l a r a t dan kaum melarat Indonesia jang lain…
maksuknja sosio-nasionalisme memperbaiki keadaan di dalam masjarakat itu, … sehingga mentjari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, kebereswan negeri DAN keberesan rezeki.
…sosio-demokrasi – adalah timbul karena sosio-nasionalisme…tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan ketjil sahaja, tetapi kepentingan masjarakat … jang mentjari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki”
Sedangkan menurut pendapat Bagin dalam bukunya yang berjudul “Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno” pengertian mengenai Marhaen dan Marhaenisme dipahami demikian:
1. “Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh tani, pengusaha kecil, pegawai kecil, tukang, kusir dan kaum kecil lain-lainnya. Pada kesempatan lain, Bung Karno sering menyebut,
“Marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimelaratkan oleh imperialisme”.
Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran rendah, di kota, di desa dan di mana saja. Marhaen itupun ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan juga yang masih menganut animisme. Marhaen Indonesia jadinya ada yang kyai, yang pastor, yang pendeta, yang pedanda, yang bhiksu, yang mpu atau juga dukun dan lain-lain. Marhaen Indonesia itupun ada di kalangan PSII, di lingkungan Indische Partij, di Budi Utomo, di Parindra, di Muhammadiyah, di NU, di Masyumi, di Murba, di PSI, di PNI, di TNI, di KORPRI dan di mana saja.
2. Kaum Marhaen itu sesuai dengan kodratnya, berupaya melepaskan belenggu kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.
3. Kaum Marhaen itu di Indonesia, jumlahnya benar-benar mayoritas mutlak.
4. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan, penghisapan, pemerasan, penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik dan juga demokrasi ekonomi.
5. PNI dalam makna organisasi politik tipe Sukarno adalah partai pergerakan yang mengorganisir kaum Marhaen, agar mereka memahami dan sadar atas kenyataan yang sedang berlaku serta hubungannya dengan penderitaan mereka sendiri. PNI (tipe Sukarno tahun 1927) menjelaskan bahwa hapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, hanya bias dicapai melalui kemerdekaan nasional, di mana kemerdekaan itupun hanyalah merupakan Jembatan Emas. Kemudian di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa. Oleh karena itu pesan Bung Karno dalam Mentjapai Indonesia Merdeka (MIM);
“ djangan sampai di atas djembatan itu kereta-kemenangan dikusiri oleh orang selainnja Marhaen”
Hanya kereta tidak menuju jalan ke arah kecelakaan , jika kusir kereta tetap berada pada kaum Marhaen.”

Soekarno senantiasa menjelaskan bahwa Marhaenisme merupakan azas, artinya ideologi, namun sekaligus juga merupakan azas perjuangan, yaitu metode perjuangan. Maka dalam Marhaenisme terdapat cita-cita dan cara menuju cita-cita tersebut. Sedangkan Marhaen adalah subyek (rakyat) Indonesia yang berjuang bersama azas Marhaenisme melalui metode perjuangan Marhaenisme itu juga. Berdasarkan konfirmasi ini, maka menurut Bung Karno Marhaenisme sebagai ideologi merupakan senyawa dengan tuntutan hati nurani rakyat dan karena itu ideologi inipun sesuai bagi pergerakan bangsa Indonesia.

c) Pancasila
Pada tahun 1942 bangsa Jepang menduduki Indonesia dan berhasil mengusir penjajahan Belanda dari Indonesia yang kurang lebih tiga setengah abad menjajah Indonesia. Penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia akibat kekejian tentara Jepang menimbulkan rasa dendam sekaligus menumbuhan semangat persatuan untuk mengusir para penjajah dari bumi pertiwi ini.
Rakyat berkeinginan kuat untuk melepaskan diri dari kuasa asing serta berupaya untuk memproklaasikan kemerdekaan Indonesia. Menjelang 1944 balatentara Jepang mengalami kekalahan akibat gempuran-gempuran dari pihak sekutu. Keadaan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia yang selama ini mendambakan suatu tanah air yang merdeka.
Pemerintah Jepang berkeinginan mengusahakan kemerdekaan Indonesia namun tetap berada dalam naungan lingkungan Asia raya di bawah pemerintahan pusat Jepang.
Mulai tahun 1944 tentara Jepang mulai mengalami banyak kekalahan dala melawan tentara sekutu. Untuk menarik simpati rakyat indonesia agar bersedia membantu tentara Jepang dalam melawan sekutu dengan menjanjikan kemerdekaan di kemudian hari. Maka pada tanggal 7 September 1944 pemerintah Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan untuk Indonesia.
Dalam maklumat sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Dalam sidang pertama BPUPKI yang berlangsung tanggal 28 Mei-1 Juni 1945 merupakan kesempatang yang sangat penting bagi Soekarno untuk mengutarakan dasar negara Indonesia yang merdeka. Gagasan tersebut merupakan ungkapan hati yang selama ini yang selama ini didambakan oleh rakyat Indonesia.
Dalam otobiografinya Soekarno mengatakan bahwa enam belas tahun lamanya aku telah mempersiapkan apa yang hendak kukatakan:
“ketika itulah (dalam masa pembuangan di Endeh) datang ilham jang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup jang dikenal dengan pantjasila. …Apa yang kukerdjakan hanyalah mengali tradisi kami jauh sampai ke dasarnja dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah”.

Kelima asas yang dikemukakan oleh soekarno yakni:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan
Penjelasan pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 diterima baik oleh BPUPKI dan oleh Prof. A.G. Pringgodigdo S.H, dianggap sebagai lahirnya pemakaian istilah pancasila.

a. Arti dan Makna Pancasila
Pancasila merupakan lima dasar yang merupakan satu kesatuan yang mengikat, satu kebulatan yang tunggal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Pancasila sebagai gagasan falsafah negara ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 yakni:
1. Ketuhanan Yang Mahaesa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun arti dan makna dari Pancasila tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa, hal ini mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan. Sila ini ditegaskan lagi dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yakni bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Hal ini berarti bahwa negara menjamin serta memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan-nya masing-masing.
2. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam sila ini harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Negara menjamin agar setiap manusia saling menghargai dan menghormati serta menolak setiap penindasan, baik penindasan manusia oleh manusia yang lain; oleh bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, Mengandung prinsip nasionalisme, cinta tanah air dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme sangatlah diperlukan bagi setiap negara, baik negara yang sudah maju maupun negara yang masih berkembang. Apabila hal ini tidak diperhatikan, akan menimbulkan perpecahan dalam bangsa tersebut. Demi tercapainya negara Indonesia yang adil dan makmur, perlulah menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam sila ini menunjukan penolakan terhadap segala yang bersifat diktator, baik diktator perseorangan maupun diktator golongan. Dalam hal ini demokrasi dijunjung tinggi.
Demokrasi berari pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi Pancasila bukanlah ditentukan oleh kemenangan jumlah suara melainkan mufakat.
5. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan sosial adalah suatu masyarakat yang adil dan makmur yang diperuntukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala kekayaan alam di Indonesia harus dikelola demi kesejahteraan bersama.



b. Arti dan makna lambang negara repoblik Indonesia
Setiap negara memiliki lambang negaranya masing-masing. Lambang tersebut menggambarkan kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara tesebut.
Lambang negara Repoblik Indonesia ditetapkan dalam Pasal 3 UUDS 1950, yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah no. 66 tahun 1951, tanggal 17 Oktober 1951.
Arti dan makna lambang negara Repoblik Indonesia adalah sebagai berikut:
1. GARUDA: burung garuda atau raja wali adalah burung yang disebutkan dalam cerita Ramayana dan Bharatayuda. Burung Garuda adalah lambang kekuasaan dan kekuatan.
Sayapnya masing-masing terdiri dari 17 bulu, yang berarti tanggal 17; ekornya terdiri dari 8 bulu yang berarti bulan ke-8 atau bulan Agustus. Apabila jumlah bulu pada kedua sayap ditambahkan dengan ekor serta ditambahkan lagi dengan dengan kedua sayap dan ekor maka akan berjumlah 45 (17+17+8+2+1), berarti tahun ’45. hal ini mengingatkan kita pada peristiwa proklamasi kemerdekaan RI yakni tanggal 17 Agustus 1945.

2. PERISAI
Perisai yang berbentuk jantung yang digantungkan dengan rantai emas pada leher burung garuda merupakan lambang perlindungan, serta garis melintang di tengah-tengah perisai menunjukan khatulistiwa.
Lima buah ruangan pada perisai tersebut membuat simbol-simbol dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila:

• Bintang bersudut lima melambangkan dasar Ketuhanan Yang Mahaesa.
• Rantai bermata bulat (pria) dan persegi (wanita) melambangkan peri-kemanusiaan.
• Pohon Beringin melambagkan dasar persatuan Indonesia.
• Kepala banteng adalah lambang tenaga rakyat yang menunjukan dasar kerakyatan.
• Kapas dan padi melambangkan kesejahteraan yakni tujuan kemakmuran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. BHINEKA TUNGGAL IKA
Di dalam pita yang dicengkeram oleh burung Garuda tertulis sebuah semboyan dalam bahasa jawa kuno yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti: “berbeda-beda tetapi tetap satu juga”. Kalimat ini juga ditemukan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular dalam arti “Diantara puspa ragam ada kesatuan”.

IV. Penutup
Usaha-usaha demi tercapainya kemerdekaan Indonesia tidaklah sekali jadi, melainkan melaui proses permenungan yang cukup panjang. Hasil dari permenungan tesebut melahirkan sebuah negara baru yang memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa lain yakni bangsa yang merdeka.
Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hasil kerja keras rakyat Indonesia yang dipelopori oleh Soekarno, mulai dari nasionalisme, marhaenisme hingga sampai pada lahirnya pancasila dan berpuncak pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka pantaslah kita menghormati seorang Bung Karno sebagai pahlawan proklamasi.
Pancasila merupakan dasar Ideologi Bangsa Indonesia yang selama bertahun tahun direnungkan. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, kita harus mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan-pahlawan kita dengan hal-hal yang baik.

filasafat

ANSELMUS DARI CANTERBURY
(Erick M. Sila)

ABSTRAKSI

Akhir abad ke 12 ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang luar biasa dalam memberikan suatu harapan akan masa depan yang cerah terutama bagi Filsafat dan Teologi. Anselmus dari Canterbury adalah salah satu pemikir yang sangat terkenal pada masa ini. Ia pantas dikatakan sebagai skolastikus pertama karena karya-karyanya. Ia adalah seorang beriman yang mencari suatu argumen yang masuk akal. Inti pemikirannya adalah “Credo Ut Intelligam” atau “Fides Quaerens Intellectum” yakni kebenaran-kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak mempunyai kekuatan pada dirinya sendiri.

I. Pendahuluan
Filsafat mengalami kemunduran sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-9. Kemunduran filsafat disebabkan karena adanya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Tengah memasuki wilayah Eropa. Perpindahan bangsa-bangsa ke Eropa dan ketidakstabilan politik pada masa itu mengakibatkan kekaisaran Romawi runtuh. Keruntuhan bangsa Romawi mempengaruhi segala peradapannya, baik peradaban kristiani maupun peradaban yang bukan kristiani.
Suatu zaman baru dimulai ketika Karel Agung (742-814) mulai berkuasa di Eropa pada awal abad pertengahan. Pada zaman inilah ilmu pengetahuan dan kesenian mulai diperhatikan. Zaman ini disebut zaman skolastik.
Periode skolastik adalah suatu aliran filsafat yang berdasarkan atas agama dan kepercayaan. Pendapat ini sebenarnya sudah bertentangan dengan sifat filsafat skolastik, sebab filsafat di Eropa pada masa itu tidak berbicara tentang wahyu. Ada ilmu khusus yang berbicara tentang wahyu yaitu Teologia. Kedua ilmu ini tidaklah bertentangan. Bagi para filsuf, berbicara tentang wahyu karena firman Tuhan tidak mungkin salah. Bagi mereka itulah kebenaran dan ini diterima atas wahyu. Anselmus Canterbury adalah salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini. Ia hadir untuk memberikan jawaban atas persoalan mengenai hubungan antara iman dan akal yang merupakan isi dari iman kristen. Jawaban Anselmus Canterbury atas persoalan ini ternyata membawa suatu arah baru bagi pemikiran filsafat.
Anselmus Canterbury berbicara mengenai iman dan wahyu. Hubungan antara budi dengan kepercayaan yang dirumuskan oleh Anselmus ialah “Fides Quaerens Intellectum” dan “Credo Ut Intelligam”.
Filsafat Anselmus mengarah kepada kepercayaan akan agama. Agama menolong manusia untuk memahami secara mendalam tentang Tuhan, manusia dan dunia, seperti yang diyakini oleh setiap orang beriman dewasa ini. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk membahas secara khusus tokoh ini.

II. Riwayat Hidup
Anselmus lahir di Aosta, Piedmont, Italia sekitar tahun 1033 dari pasangan Gondolvo dan Ermenberga. Ayahnya adalah seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah seorang Bugundia yang kaya raya .
Pada waktu ia berumur 27 tahun, Anselmus masuk biara Benediktin di Bec, dekat Rouen Prancis. Berkat kegemilangan intelektuslnya, Anselmus kemudian diangkat menjadi pemimpin biara di Bec menggantikan Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus diangkat menjadi Uskup Agung Canterbury oleh Raja William II.
Dalam kepemimpinannya sebagai Uskup Canterbury, Anselmus tidak selamanya berjalan mulus. Anselmus Sering kali mengalami selisih pendapat dengan raja-raja Inggris. Faktor utama terjadinya perselisihan ialah mengenai kebebasan Gereja-gereja Inggris dari kekuasaan raja, serta peranan paus di Inggris. Akibatnya, Anselmus harus hidup dalam pembuangan di eropa daratan.
Anselmus Canterbury, karena kepandaian dan kegemilangannya, berhasil menulis beberapa karya penting dalam bidang teologi. Inti ajarannya ialah hubungan antara rasio dan iman, yang dikenal dengan itilah “Credo Ut Intelligam”. Ia meninggal dunia pada tahun 1109 dan digelari sebagai “Pujangga Gereja” pada tahun 1720.

III. Doktrin Anselmus
A. Dialektika
Anselmus mengikuti gaya pemikiran Agustinus dan Scotus Eriugena yakni bahwa kebenaran-kebenaran yang disampaikan melalui wahyu, harus dipercaya terlebih dahulu. Bagi Anselmus, rasio tidak mempunyai kekuatan pada dirinya sendiri. Rasio bukanlah satu-satunya jalan yang membawa orang kepada kepercayaan tetapi pertama-tama orang harus percaya telebih dahulu sehingga bisa sampai kepada kebenaran itu:
Aku tidak ingin menembus keagungan-Mu, ya Tuhan, karena daya tangkapku tidak mampu. Namun aku ingin sekedar mengerti kebenaran-Mu, yang hatiku percaya dan kasihi. Karena aku tidak berusaha mengerti agar percaya, melainkan aku percaya agar aku dapat mengerti. Sebab ini aku percaya juga bahwa kalau tidak aku percaya, aku tak mengerti.

Hubungan antara budi dan kepercayaan dilukiskan oleh Anselmus dengan istilah “Fides Quaerens Intellectum” (Iman Mencari Pengertian), dan “Credo Ut Intelligam” (Aku Percaya Untuk Mengerti).
Iman tidak terikat oleh apapun, bahkan akal sekalipun. Akan tetapi, iman dan akal tidak dapat dipisahkan. Hal ini dibuktikan oleh Anselmus bahwa walaupun orang mendapatkan kepastian melalui iman namun berkat dorongan iman akal tergerak untuk menyelami secara mendalam mengenai kebenaran yang di-imani-nya. Berdasarkan imanlah orang sampai kepada suatu kebenaran yang tak tergoyahkan, sebab kepastian iman diperoleh melalui wahyu. Iman dan akal adalah berasal dari Allah. Iman sampai kepada manusia dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan akal adalah penerangan dari yang ilahi.
Anselmus memberikan suatu arah baru bagi pemikiran filsafat terutama bagi pandangan agama kristen. Orang yang percaya akan agama memiliki pengertian tentang Tuhan, manusia, dan dunia secara lebih mendalam. Agama menolong manusia untuk sampai kepada kebenaran itu. Anselmus mempertahankan kemampuan budi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran.
Anselmus yakin akan adanya akal, sehingga ia memohonkan rahmat ilahi untuk menemukan titik terang yang meyakinkan akal (ratio) yakni percaya dengan hati (fides).

B. Argumen Ontologis
Anselmus memiliki argumen ontologis yang sangat terkenal, meskipun Agustinus menganggapnya omong kosong. Walaupun demikian, Anselmus membuat mata mereka terbuka di kemudian hari.
Dalam argumennya mengenai Monologion, Anselmus ingin membuktikan bahwa Allah benar-benar ada. Ia yakin bahwa pasti ada suatu hal yang amat baik, sebagaimana semua hal yang baik memiliki kebaikan.
Adanya sesuatu “yang ada” secara relatif mengandaikan bahwa ada sesuatu “yang ada” secara mutlak yakni Allah. Allah adalah “ada” yang lebih besar dari segala sesuatu yang kita pikirkan. Pengertian tentang Allah yang ada dalam pikiran kita, lebih besar dari apa yang kita pikirkan dan tentunya berada dalam realitas sebagai yang tertinggi dan terbesar. Tidak ada sesuatupun yang lebih besar daripada yang dapat dianggap ada dalam kenyataan. Jadi, tidak ada lagi hal yang dapat kita pikirkan lebih besar dari diri-Nya.
Meskipun uraian ini tidak dapat dikenakan kepada segala hal, misalnya pulau yang indah yang ada dalam khayalan manusia belum tentu ada dalam kenyataan, namun pengertian tentang Allah dimiliki oleh setiap manusia sebagai yang tebesar.
Dalam argumen Monologion, Anselmus tidak hanya menawarkan suatu argumen tentang eksistensi Allah, melainkan juga berbagai atribut yang dikenakan kepada Allah. Jika dalam argumen Monologion Anselmus hanya membuktikan keberadaan Allah, dan mengabaikan sifat-sifat ilahi, maka argumen Monologion yang berbicara tentang eksistensi Allah, dianggap kurang orisinil. Namun pada kenyataannya, konsep tersebut tidak ada yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan, yang ternyata memberikan hasil yang sangat mengagumkan.
Tuhan harus menjadi Yang Mahakuasa, sebab kalau tidak demikian berarti ada seseorang yang lebih besar daripada-Nya. Akan tetapi tidak ada yang lebih besar dari apa yang kita pikirkan, maka Allah adalah Mahakuasa. Ia maha adil, maha kasih, dan maha baik.

C. Cur Deus Homo?
Salah satu karya Anselmus yang sangat terkenal yaitu “Cur Deus Homo” (Mengapa Allah Menjadi Manusia?). Dalam karyanya ini, Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia demi menyelamatkan dosa-dosa kita. Dalam Cur Deus Homo, Anselmus dituduh merendahkan martabat Allah sebagai manusia.
Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia dan mati demi dosa-dosa kita. Serandainya Allah tidak menjadi manusia, maka manusia yang adalah gambaran Allah, akan binasa oleh karena dosa itu sendiri. Oleh karena Allah adalah Maha pengasih, maka Ia sendiri harus menjadi manusia demi memulihkan kehormatan-Nya yang telah rusak. Meskipun manusia telah berbuat dosa tetapi Allah menebusnya, sebab Allah adalah Maha pengasih dan hanya dalam Dialah penebusan itu terjadi. Oleh sebab itu, Allah menjadi manusia melalui Yesus Kristus putera-Nya yang tunggal, yang wafat di salib demi menebus dosa manusia.
Dalam Cur Deus Homo, Anselmus mau menunjukan bahwa penjelmaan dan salib adalah pantas dan masuk akal. Tuduhan bahwa tidak pantas Allah menjadi manusia, telah dijawab oleh Anselmus, sehingga orang yang belum percaya diarahkan kepada kebenaran.

IV. Penutup
Dalam ajarannya mengenai Fides Quaerens Intellectum atau Credo Ut Intelligam, Anselmus memberikan suatu jawaban yang masuk akal bahwa untuk mencapai suatu gambaran yang mendalam tentang Allah, pertama-tama, kita harus percaya terlebih dahulu. Ia menegaskan bahwa budi harus dipergunakan dalam keagamaan. Hal ini bukan berarti bahwa budi adalah segala-galanya, tetapi melalui agama atau kepercayaan, orang dapat sampai kepada suatu pengertian yang jelas. Melalui agama atau kepercayaan, manusia dituntun untuk lebih mengerti tentang Tuhan, manusia, dan dunia.
Dalam argumen ontologisnya, Anselmus membuktikan bahwa Allah benar-benar ada. Allah dirumuskan sebagai yang terbesar yang dapat dibayangkan. Allah berada bukan hanya dalam khayalan tetapi juga dalam kenyataan. Allah adalah mahabaik, dan penuh belaskasih; sehingga Anselmus merumuskannya dalam Cur Deus Homo.
Dalam Cur Deus Homo, Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjelma sebagai manusia. Dosa yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dibayar, maka untuk memulihkan kembali hubungan dengan umat-Nya, Allah mengutus putera-Nya yang tunggal yang rela wafat di salib demi dosa-dosa manusia.
Sebagai orang kristen dan pengikut kristus yang tersalib, hal ini merupakan suatu rahmat yang besar. Kita dituntut untuk menderita bersama Dia. Bagi orang kristen, salib merupakan tanda kemenangan, sebab oleh Dia dan dalam Dia kita memperoleh penebusan.
DAFTAR PUSTAKA


Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Donald J. MC, Wiliam (ed). New Catholic Encyclopedia Volume I. Washington: The Catholic University of America, 1967.
Edwards, Paul (ed). Enciclopedia Of Philosophy. New York-London: Macmillan Co., Inc. & Free Press-Collier Macmillan Publishers, 1972.
Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat Barat Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Snijders, Adelbert. Manusia dan kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Schneiders, Nikolas Martinus. Orang Kudus Sepanjang Tahun. Jakarta: Obor, 1993.
Wijatna, I.R Poedja. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Bina Aksara, 1986.